Dosen Kelas
Oleh
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang secara efektif
berlaku sejak Januari 2001, dilanjutkan dengan penggantinya yaitu UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diganti dengan UU No. 23 Tahun 2014 dan
terakhir diubah dengan UU No. 9 Tahun 2015. Berkaitan dengan ke uangan daerah, diatur
dengan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah yang kemudian diganti dengan UU No. 33 Tahun 2004.
Hal tersebut menandakan adanya kesungguhan pemerintah dan wakil rakyat untuk
melaksanakan otonomi dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung
jawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan
pemanfaatan sum berdaya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan
daerah. Di samping itu, penyelenggaraan otonomi daerah juga dilaksanakan dengan prinsip -
prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, dan keadilan, serta memperhatikan
potensi keanekaragaman daerah. Pemberian otonomi luas kepada daerah tersebut diarahkan
untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,
pemberdayaan dan peran serta masyarakat, serta meningkatkan daya saing yang positif dalam
sistem Negara Kesatuan
Desentralisasi dan otonomi daerah dipandang dapat memperbaiki dan meningkatkan efisiensi,
karena penyerahan urusan kepada pemerintah daerah dipandang dapat mempersingkat jalur dari
proses masukan (input), dan akan memperbesar dan mengefektifkan nilai keluaran (output),
sebab wakil-wakil rakyat dan para pejabat pemerintah daerah akan lebih sensitif terhadap
kondisi-kondisi lokal dan responsif terhadap kebutuhan-kebutuhan lokal. Desentralisasi pada
dasarnya adalah pelimpahan atau penyerahan kekuasaan/wewenang di bidang tertentu secara
vertikal dari institusi/ lembaga pejabat yang lebih tinggi kepada institusi/lembaga/fungsionaris
bawahannya sehingga yang diserahi/dilimpahi kekuasaan atau wewenang tertentu itu berhak
bertindak atas nama sendiri dalam urusan tertentu tersebut. Disamping itu, penyelenggaraan
otonomi daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat,
pemerataan, dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.
Sentralistik atau desentralistik sistem pemerintahan di Indonesia dapat terlihat di dalam
pelaksanaan kebijakan peraturan perundang - undangan yang mengatur mengenai sistem
pemerintahan daerah. Peraturan perundang-undangan tersebut memperlihatkan secara jelas
bagaimana kekuasaan dan kewenangan pemerintah daerah dalam mengambil keputusan dan
sejauh mana pemerintah pusat dapat mencampuri kebijakan pemerintah di daerah. Sebelum
diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999, kewenangan pemerintah pusat hampir meliputi seluruh
aspek pemerintahan di daerah, contohnya pembangunan pasar tradisional di daerah tertentu harus
sesuai dengan rencana pembangunan yang telah digariskan oleh Bappenas. Padahal, hal tersebut
sangat kental nuansa kedaerahannya dan tidak ada hubungannya dengan pemerintah pusat.
Demikian juga halnya dengan kebijakan perpajakan di daerah. Kebijakan perpajakan merupakan
hal utama yang langsung terkait dengan urusan sentralistik atau tidaknya sistem pemerintahan.
Melalui sistem perpajakanlah pemerintah pusat biasanya melakukan pengawasan kepada
pemerintahan daerah.
Selain UU No. 1 Tahun 1945 tentang Komite Nasional Daerah ter sebut, pada periode
konstitusi UUD 1945 (awal kemerdekaan) ini juga terdapat UU No. 22 Tahun 1948 tentang
Pemerintahan Daerah yang mengatur mengenai pemerintahan di daerah. Berdasarkan kedua
undang-undang tersebut, otonomi daerah yang dilaksanakan pada masa penjajahan Belanda dan
diteruskan pada pendudukan Jepang masih tetap diterapkan, di mana daerah berhak mengatur
dan mengurus rumah
Untuk pengaturan pajak daerah dan retribusi daerah, pada periode ini selain ordonansi-
ordonansi Belanda dan Jepang, pengaturannya juga diatur di dalam UU No. 22 Tahun 1948.
Dalam UU No. 22 Tahun 1948 diatur mengenai sumber-sumber pendapatan daerah, yaitu:
a) Pajak daerah, termasuk juga retribusi. Pajak daerah adalah sumber pendapatan yang tidak
kecil artinya bagi pemerintahan daerah. Hanya pemerintahlah yang boleh mengadakan
pajak.
c) Pajak negara yang diserahkan kepada daerah. Pajak negara yang diserahkan oleh
pemerintah (pusat) kepada daerah otonom tetap menjadi urusan pemerintah.
Konstitusi RIS berlaku lebih kurang hanya selama delapan bulan, melalui Keputusan Presiden
RIS No. 48 Tahun 1950 tanggal 31 Januari 195021 dan berakhir pada tanggal 15 Agustus 1950
dengan terbitnya UU No. 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik
Indonesia Serikat menjadi UUDS. Saat ini setidaknya terdapat dua UU dan dua UU Darurat yang
mengatur pemerintahan daerah,yaitu
UU No. 1 Tahun 1950 tentang Jenis dan Bentuk Peraturan Yang Dikeluarkan oleh Pemerintah
Pusat.
a) UU NIT No. 44 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerah Negara Indonesia Timur.
a) UU Pajak Radio No. 12 Tahun 1947 setelah diubah dan ditambah dengan UU No. 21
Tahun 1948.
b) UU Pajak Pembangunan I No. 14 Tahun 1947 setelah diubah dan ditambah dengan UU
No. 20 Tahun 1948.
e) Ordonansi Pajak Upah 1934, yang diubah dan ditambah pada tahun 1949.
f) Ordonansi Pajak Rumah Tangga 1908, yang diubah dan ditambah pada tahun 1949.
g) Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor 1934, yang diubah dan di tambah pada tahun
1949.8
h) Ordonansi Bea Balik Nama 1924, yang diubah dan ditambah pada tahun 1949.
i) Ordonansi Pajak Potong 1936, yang diubah dan ditambah pada ta hun 1949.
j) Aturan Bea Materai 1921, yang diubah dan ditambah pada tahun 1949.
k) Ordonansi Successie 1901, yang diubah dan ditambah pada tahun 1949.
l) Ordonansi Pajak Kekayaan 1932, yang diubah dan ditambah pada tahun 1943 dan tahun
1947
Pada masa UU No. 1 Tahun 1957 ini, meskipun terdapat UU dan PP yang mengatur mengenai
penyerahan beberapa tugas pemerintahan pusat ke daerah, tetapi juga terdapat beberapa PP yang
sebaliknya dapat mengindikasikan bahwa pemerintah pusat mulai terlibat jauh dalam kebijakan
di pemerintah daerah. PP tersebut, di antaranya:
b) PP No. 4 Tahun 1957 tentang Pemberian Ganjaran dan Sebagainya kepada Daerah. PP ini
mengatur mengenai pelaporan keuangan dalam penyelenggaran pemerintahan daerah dan
sanksi-sanksi nya.
c) PP No. 4 Tahun 1957 tentang Peraturan Pemilihan Kepala Daerah. PP ini mengatur
mengenai syarat dan sistem pencalonan, pemilih an dan pengangkatan kepala daerah.
d) PP No. 6 Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Mengenai Gaji, Uang Jalan dan
Penginapan Serta Penghasilan-penghasilan Lain Kepala Daerah. PP ini mengatur
mengenai nilai gaji, rumah, kenda raan, pengobatan, tunjangan kematian, dan lain
sebagainya untuk kepala daerah.
Walaupun demikian, secara umum, seperti halnya UU No. 22 Tahun 1948, UU No. 1 Tahun
1957 ini juga tetap dalam rangka pemerintahan yang desentralistik, terutama apabila ditinjau dari
sistem pem bentukan dan pengesahan peraturan daerah, di mana DPRD memiliki kewenangan
untuk membentuk dan mengesahkan
Pemerintahan daerah pada masa setelah berakhirnya Konstitusi UUD 1950 (yaitu tahun
1959) hingga tahun 1965 masih memberlakukan UU No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan Daerah. Baru pada tanggal 1 September 1965 ada UU No. 18 Tahun 1965 tentang
Pokok-pokok Pemerintahan Daerah yang baru. Dalam peraturan daerah yang dibuat dan
disahkannya tersebut, DPRD dan kepala daerah dapat memberikan sanksi, baik berupa pidana
maupun perdata, dan untuk keperluan tersebut berkuasa untuk mengangkat pegawai-pegawai
yang diberi tugas untuk menyidik pelanggaran peraturan daerah.
Selama masa UU No. 18 Tahun 1965 ini, peraturan perundang undangan mengenai pajak
daerah dan retribusi daerah belum mengalami perubahan. Pengaturannya masih menggunakan
peraturan perundang-undangan yang berlaku pada masa UU No. 1 Tahun 1957, yaitu UU Drt.
No. 1 Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah dan UU Drt. No. 12 Tahun 1957
tentang Peraturan Umum Retribusi
Masa ini diklasifikasikan sebagaimasa Orde Baru, dimana otonomi daerah secara tegas
berdasarkan UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok pokok Pemerintahan di Daerah dan UU No. 5
Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, justru mengandung pernyataan bahwa otonomi11 bukan
sebagai otonomi yang seluas-luasnya, tetapi otonomi daerah yang nyata dan bertanggungjawab
yang dapat menjamin perkembangan dan pembangunan daerah dan dilaksanakan bersama-sama
dengan dekonsentrasi. Hal ini juga berkaitan dengan konsep otonomi seluas luasnya
sebagaimana yang dimaksudkan oleh Tap. MPRS No.XXI/ MPRS/1966. Di dalam UU No. 5
Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah terdapat tiga asas penyelenggaraan
urusan pemerintahan. Pertama, asas desentralisasi. Desentralisasi adalah penyerahan urusan
pemerintahan dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah menjadi urusan rumah
tangganya.
Kedua, asas dekonsentrasi. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah atau
kepala wilayah atau kepala instansi vertikal tingkat atasnya kepada pejabat- pejabatnya di
daerah. Ketiga, asas tugas pembantuan, yaitu pemerintah pusat “membayar” perangkat daerah
untuk melaksanakan urusannya di daerah yang tidak diserahkan ke daerah. Semua peraturan
daerah mengenai pajak daerah dan retribusi da erah harus mendapat pengesahan
Akibat dari semua itu, penggunaan penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah semata
untuk keperluan APBD yang ditetapkan pada tahun bersangkutan dengan tidak
mempertimbangkan kebutuhan pelayanan bagi pembayar pajak. Hal tersebut menyebabkan
pembayar pajak daerah tidak merasakan adanya imbalan dari pemerintah daerah sebagai
kontraprestasi dari membayar pajak. Disini pajak semata-mata sebagai kewajiban tanpa
menghiraukan adanya hak pembayar pajak di dalamnya. Apabila paradigma tersebut tidak
diubah, akan dirasakan tidak ubahnya seperti pembayaran pajak sebagai upeti pada zaman
kolonial dahulu.
Pembagian kewenangan atau fungsi (power sharing) antara pusat dan daerah dalam
menyelenggarakan pemerintahan, pelayanan masyarakat dan pembangunan menjadi semakin
jelas dengan diberikannya porsi peranan daerah yang lebih besarjika dibandingkan dengan pusat.
Kewenangan otonomi luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan13
yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan kecuali kewenangan di bidang politik
luar nege ri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan
bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan
Dalam pengaturan peraturan daerah, dalam UU No. Pada 22 tahun 1999 disebutkan bahwa
peraturan daerah tidak boleh bertentangan kepentingan umum, peraturan daerah lainnya, dan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Sejalan dengan pembagian fungsi tugas dan kewenangan pusat ke pada daerah juga dilakukan
pembagian sumber keuangan yang menja min agar semua daerah dapat membiayai tanggung
jawab pengeluarannya.
A. Realisasi Pengawasan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Ketentuan UU No. 34 Tahun 2000 mengamanatkan bahwa peraturan daerah tentang pajak dan
retribusi yang diterbitkan oleh pemerintah daerah harus disampaikan kepada pemerintah pusat,
yaitu ke Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling lama 15 (lima belas) hari sejak
ditetapkan.
B. Pengkajian Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Dari jumlah
peraturan daerah yang terkompilasi sebagaimana telah dijelaskan, Direktorat Pendapatan Daerah,
DJPKPD selanjutnya melakukan pengkajian terhadap peraturan daerah dimaksud.Berdasarkan
penelitian tersebut, maka peraturan daerah kemudian dikelompokkan menjadi lima kelompok,
yaitu:
1) Peraturan daerah tentang pajak dan retribusi yang telah sesuai dengan jenis-jenis pajak dan
retribusi sebagaimana yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan.
2) Peraturan daerah tentang jenis-jenis pajak dan retribusi baru (di luar yang tercantum dalam
peraturan perundang-undangan).
4) Peraturan daerah yang bersifat pengaturan tetapi di dalamnya tercantum pula pungutan-
pungutan yang mirip pungutan pajak dan/ atau retribusi.
5) Peraturan daerah yang bersifat pengaturan yang di dalamnya juga memuat pungutan, tetapi
pungutan tersebut berkaitan dengan jasa di bidang kepelabuhanan.15
C. Pembatalan Peraturan Daerah Oleh Menteri Keuangan
Peraturan daerah yang termasuk ke dalam matriks “Rekapitulasi Peraturan Daerah yang
Dipertimbangkan untuk Dibatalkan Beserta Alasan Pembatalannya” merupakan peraturan daerah
yang direkomendasikan Menteri Keuangan kepada Menteri Dalam Negeri untuk dibatalkan
setelah melalui proses pengkajian yang intensif dan mendalam. Kegiatan pengkajian
dilaksanakan oleh Tim Pengkajian Peraturan Daerah dan Retribusi Daerah, dengan tugas untuk
melakukan pengkajian atas peraturan daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
mempersiapkan pertimbangan Menteri Keuangan kepada Menteri Dalam Negeri berdasarkan
hasil pengkajian peraturan daerah dimaksud; dan melaporkan hasil pelaksanaan tugas tersebut
kepada Menteri Keuangan.
Secara teoretis, desentralisasi diharapkan akan menghasilkan dua manfaat nyata, yaitu:
pertama, mendorong peningkatan partisipasi prakarsa dan kreativitas masyarakat dalam
pembangunan serta mendorong pemerataan hasil-hasil pembangunan (keadilan) di seluruh
daerah dengan memanfaatkan sumber daya dan potensi yang tersedia di tiap-tiap daerah. Kedua,
memperbaiki alokasi sumber daya produktif melalui pergeseran peran pengambilan keputusan
publik ke tingkat pemerintah yang paling rendah yang memiliki informasi yang paling lengkap.
Untuk itu, diperlukan adanya suatu sistem pengawasan dalam pelaksanaan desentralisasi agar
sesuai dengan tujuan yang
UU No. 22 Tahun 1999 menegaskan bahwa dalam menghadapi perkembangan keadaan, baik
di dalam maupun di luar negeri, serta tantangan persaingan global, dipandang perlu
menyelenggarakan otonomi daerah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan
bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional, yang diwujudkan dengan pengaturan,
pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional, serta perimbangan keuangan pusat dan
daerah, sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, dan
keadilan, serta potensi dan keanekaragaman daerah, yang dilaksanakan dalam kerangka NKRI.
Khusus mengenai pajak dan retribusi daerah, dinyatakan bahwa pajak dan retribusi daerah
ditetapkan dengan undang-undang, dimana penentuan tarif dan tata cara pemungutan pajak dan
retribusi daerah ditetapkan dengan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-
undangan
Dalam UU No. 22 Tahun 1999 dinyatakan bahwa DPRD selain bertugas memilih dan
mengangkat/memberhentikan kepala daerah, memilih anggota MPR dari utusan daerah,
membentuk Perda dan menetapkan APBD bersama kepala daerah, juga mempunyai tugas dan
wewenang sebagai berikut:
Dalam PP No. 68 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Masyarakat dalam
Penyelenggaraan Negara, disebutkan bahwa partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan
negara untuk mewujudkan penyelenggara negara yang bersih dilaksanakan dalam bentuk:
1) Hak untuk mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang operasi negara
2) Hak untuk mendapatkan pelayanan yang setara dan adil dalam pemeliharaan negara
3) Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab atas kebijakan
penyelenggara negara dan
Meskipun UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah berumur efektif hanya
selama kurang dari tiga tahun, tetapi kedua undang-undang tersebut merupakan tonggak penting
yang telah meletakkan dasar perubahan dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Selama masa
berlakunya undang-undang tersebut, pemerintah dan rakyat Indonesia mendapatkan banyak19
pelajaran penting yang sangat berarti bagi perubahan dan peralihan sistem pemerintahan untuk
masa datang.
Berdasarkan Pasal 5 UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, ber-sumber pemerintah daerah dalam melakukan
tata kelola pemerintahan daerah terdiri atas pendapatan daerah dan pembiayaan. Pendapatan
daerah bersumber dari:
2. Dana perimbangan.
3. Lain-lain pendapatan
DBH Pajak
PBB meliputi sektor pertambangan, kehutanan, perkebunan, per desaan, dan perkotaan. Mulai
tahun 2014, PBB sektor perdesaan dan perkotaan, berda sarkan UU No. 28 Tahun 2009 dialihkan
menjadi pajak daerah.
2. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan 29 Wajib Pajak Orang Priba di Dalam Negeri dan
PPh Upah Karyawan (PPh Pasal 21):
▪ Pusat 80 persen
▪ Provinsi 8 persen
▪ Kab/Kota 12 perse
3. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Terhitung tahun 2010,
berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009 dialihkan
▪ Pusat 85 persen
▪ Provinsi 3 persen
▪ Kab/Kota 6 persen (penghasil)
▪ Pusat 70 persen
▪ Provinsi 6 persen
▪ Pusat 20 persen
▪ Provinsi 16 persen
6.Perikanan:
▪ Pusat 20 persen
▪ Kab/Kota 80
Walaupun dalam UU No. 23 Tahun 2014 sebagai pengganti UU No. 32 Tahun 2004
keduanya menganut prinsip otonomi daerah yang seluas-luasnya, akan tetapi berdasarkan
Undang-Undang Pemerintahan Daerah No. 23 Tahun 2014 yang kemudian diubah dengan UU
No. 9 Tahun 2015 lebih diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat
melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran
Urusan pemerintahan umum dilaksanakan oleh gubernur dan bupati/wali kota dengan dibantu
oleh instansi vertikal. Adapun urusan umum tersebut meliputi:
Demikianlah paparan kondisi dan analisis penulis mengenai pengaturan pemerintahan daerah
di Indonesia sejak masa kemerdekaan yang diawali dengan UU No. 1 Tahun 1945 tentang
Komite Nasional Daerah dan UU No. 22 Tahun 1948 tentang UU Pokok Pemerintahan Daerah
hingga masa reformasi yang ditandai dengan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah, UU No. 32 Tahun 2004, dan UU No. 23 Tahun 2014 yang terakhir diubah dengan UU
No. 9 Tahun 2015 berikut pengaturan mengenai pajak daerah dan retribusi daerah yang
mengiringinya secara