Anda di halaman 1dari 14

ABSTRAK

Efektifitas Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) di era adaptasi kebiasan baru pandemi

Covid-19 merupakan hal yang banyak diperbincangkan akhir-akhir ini.

Pembelajaran Jarak Jauh mau tidak mau harus menjadi alternatif utama metode

pembelajaran saat pandemi. Meskipun pada kenyataannya banyak kelemahan

pembelajaran moda daring ( pembelajaran jarak jauh ). Pembelajaran Jarak Jauh

mengungkap disparitas pendidikan secara nyata antara anak dari keluarga mampu

dengan anak dari keluarga miskin. Kebutuhan akan digitalisasi berhadapan dengan

kenyataan lebarnya ketidaksetaraan ekonomi dan sosial di kalangan keluarga-

keluarga siswa, kesenjangan itu berimplikasi pada perbedaan tajam dalam akses

terhadap teknologi komunikasi dan informasi.

Survei itu juga mengungkapkan setidaknya ada 68,2 juta siswa dan dan 3,2 juta

guru yang merasakan ketidaksiapan sekolah dan pemerintah dalam menghadapi

bencana non alam pandemi Covid-19.


PENDAHULUAN

Sudah sekitar tiga bulan lamanya, sebagian masyarakat Indonesia berada

dalam situasi yang tidak biasa, sebagai imbas pandemi Covid-19. Tidak biasa itu:

sebagian masyarakat bekerja dari rumah (work from home), tidak sedikit juga

pekerja yang dirumahkan (atau di-PHK), dan cukup banyak pekerja informal yang

merosot bahkan nirpenghasilan. Catatan pemerintah, sebanyak 3 juta orang di-PHK

dari kantornya.

Beban perekonomian yang ditimbulkan oleh pandemi ini terasa sangat berat.

Pemerintah memang menyalurkan bantuan sosial, tetapi menuai banyak kritikan.

Basis data penduduk dianggap sudah lampau, persyaratan yang berbelit,

penyaluran barang yang tidak merata, hingga solusi yang tak tepat sasaran. Alhasil,

muncul banyak gerakan dari masyarakat sendiri untuk membantu sesamanya.

Kebijakan “belajar dari rumah” sebagai respons dari pandemi COVID-19 memiliki

dampak serius kepada 68 juta siswa dan 3,2 juta guru. 1 Pembelajaran jarak jauh

(PJJ) berisiko menghambat bahkan menghentikan proses pembelajaran bagi

sekolah-sekolah di wilayah terpencil karena keterbatasan akses internet dan biaya

yang harus dikeluarkan setiap murid. Sekolah dan murid-murid yang tidak memiliki

fasilitas memadai mengalami kesulitan melanjutkan proses belajar-mengajar. Hal

tersebut berpotensi meningkatkan disparitas atau ketimpangan pendidikan di

Indonesia. Kini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud)

Indonesia sedang mendiskusikan berbagai kebijakan untuk mengurangi dampak

buruk dari pandemi COVID-19, termasuk pembentukan kurikulum darurat dan

menggeser tahun ajaran baru.


DAMPAK COVID-19 TERHADAP SEKTOR PENDIDIKAN

Sektor pendidikan pada dasarnya hidup dalam konteks jejaring kompleks

yang melibatkan situasi sosio-ekonomi serta lingkungan masyarakat sekitar. Kelas

ekonomi sebuah keluarga memiliki dampak besar terhadap lama sekolah dan

kualitas Pendidikan individu.

Dalam sebuah penelitian yang dibuat oleh SMERU Research Institute, Pandemi

COVID-19 berpotensi menaikkan tingkat kemiskinan di Indonesia. SMERU

melakukan beberapa proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dan dalam skenario

terburuknya angka kemiskinan di tahun 2020 meningkat sebanyak 4 persen dari

tahun 2019 menjadi sekitar 12 persen. Apabila kita menempatkan angka tersebut

dalam konteks keluarga, peningkatan tersebut bisa memiliki dampak yang cukup

besar kepada sektor pendidikan terutama dalam kemampuan orang tua

memberikan fasilitas belajar bagi anak-anaknya.

Pandemi COVID-19 sudah jelas akan memiliki dampak yang beragam

terhadap kelas-kelas ekonomi yang berbeda. Selain kelas miskin sebagai prioritas

utama, kelas menengah yang rentan juga perlu dipertimbangkan sebagai penerima

bantuan selanjutnya karena mereka bisa saja kembali masuk kalangan miskin

ketika menerima tekanan ekonomi yang besar.2

Menurut data dari BPS, status ekonomi sebuah keluarga memiliki dampak

yang jelas terhadap rata-rata lama sekolah anak-anaknya dan menentukan di tahap

mana pendidikan seorang anak selesai.3 Terdapat perbedaan angka lama sekolah

yang signifikan (4.54 tahun) antara kelompok tertinggi dan terendah. Ketimpangan

tersebut merupakan sebuah masalah yang sudah menempel dalam pendidikan

Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.


Maka dari itu, penurunan status ekonomi jutaan keluarga akibat wabah

COVID-19 dapat semakin mengurangi rata-rata lama sekolah anak-anak. Belum

lagi dengan bertambahnya jumlah Pekerja Dirumahkan/PHK, yang bertambah

sebanyak 1.722.958 pekerja di sektor formal dan informal akibat pandemi COVID-

19.

Dampak keterpurukan ekonomi juga berlaku dua arah dan mempengaruhi

kesejahteraan guru dan sekolah sebagai institusi pendidikan. Beberapa sekolah di

Indonesia sudah mulai melaporkan masalah pembayaran biaya SPP yang tidak

sesuai ataupun tidak tepat waktu. Sekolah-sekolah yang memiliki angka guru

honorer dan tidak tetap yang tinggi akan mengalami kesulitan yang lebih serius

karena guru tanpa sertifikasi memiliki pendapatan yang lebih rendah. Daerah

seperti Kabupaten Garut sudah mulai inisiatif menyalurkan dana bagi guru-guru

tidak tetap di wilayahnya.

Kelompok rentan yang sudah tertinggal dalam kualitas pendidikan akan

semakin terjatuh karena kondisi ekonomi yang semakin terpuruk dan pendidikan

anak-anak terancam dikesampingkan demi membiayai kehidupan sehari-hari. Maka

dari itu, pemerintah perlu menyeimbangkan antara Permasalahan Pembelajaran

Jarak Jauh bagi Pendidikan di Indonesia

Kebijakan PJJ Kemendikbud mendapat berbagai macam respons dari publik.

Meskipun tidak ideal, PJJ dianggap sebagai satu-satunya kebijakan yang

memungkinkan proses pembelajaran tetap bisa dilakukan di tengah pandemi

COVID-19. Meskipun begitu, terdapat dua masalah utama yang menghambat

efektivitas proses PJJ yaitu keterbatasan akses terhadap internet dan keterbatasan

kapabilitas tenaga pengajar.


Pertama, keterbatasan akses terhadap internet yang stabil. Banyak wilayah di

Indonesia belum dijangkau oleh internet, bahkan sinyal komunikasi dan listrik pun

belum mencapai beberapa wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Salah satu

building block dari sebuah pembelajaran jarak jauh yang efektif adalah kecepatan

internet yang memadai dan stabil. Tanpa koneksi yang stabil, murid tidak mungkin

mendapatkan materi pembelajaran secara utuh dan proses pemahaman pun

terbatas dan dibatasi oleh internet. Ketimpangan akses terhadap internet tersebut

dapat terlihat jelas ketika kita membandingkan data antara wilayah perkotaan dan

pedesaan.

Berdasarkan data dari BPS, persentase rumah tangga dengan akses internet

di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya dan mencapai 78% pada tahun 2018.

Meskipun begitu, terlihat adanya disparitas yang cukup tinggi antara akses internet

di pedesaan dan perkotaan yaitu 27% di tahun 2018. Disparitas akses tersebut

dapat dilihat ketika membandingkan beberapa provinsi di Indonesia. Yogyakarta

dan Jakarta memiliki penetrasi internet yang mencapai 50%. Sementara itu,

penetrasi internet di provinsi-provinsi bagian timur masih di bawah 30 persen. Hal

tersebut memperkuat asumsi disparitas pendidikan bagi beberapa wilayah ketika

melaksanakan PJJ yang bersifat daring.

Lembaga Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI) melakukan

survei di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB),

Kalimantan Utara (Kaltara), dan Jawa Timur untuk mengetahui penerapan

kebijakan belajar dari rumah. Dari keempat provinsi tersebut, Provinsi NTB dan

NTT mencatat angka pembelajaran daring paling rendah yaitu 7% dan 4%

selebihnya menggunakan buku dan lembar kerja siswa (LKS). Jadi, di samping
disparitas regional untuk akses internet, pemanfaatannya pun masih terfragmentasi

pada kelas dan wilayah tertentu. Murid-murid yang tidak punya privilese geografis

dalam mengakses internet terpaksa harus mengandalkan buku tanpa ada

bimbingan langsung dari tenaga pengajar.

Kedua, permasalahan kapabilitas tenaga pengajar yang kesulitan beradaptasi

dengan metode pembelajaran PJJ. Secara umum PJJ menambahkan beban

kepada guru karena kebanyakan dari mereka baru pertama kali melakukan

pembelajaran dari jarak jauh. Dengan adanya pandemi COVID-19, sekolah

mengerti bahwa proses belajar tidak bisa dilakukan dalam waktu yang lama seperti

pada situasi normal. Akibatnya, guru terpaksa memadatkan materi pembelajaran

yang banyak dalam beberapa jam saja.

Bagi murid-murid di wilayah perkotaan, masalah utamanya biasanya berasal dari

pola pemberian tugas tanpa ada timbal balik dari guru. Hal tersebut terjadi karena

pada umumnya sekolah dasar dan

Selain itu, banyak murid yang mengeluh tidak ada penjelasan dari guru tentang

materi-materi yang mereka kerjakan. Padahal, guru bisa saja merekam video

penjelasan sebuah materi sebelum memberikan tugas kepada murid. Masalahnya,

mereka kurang dibekali dengan pendidikan literasi digital dan kecakapan teknologi

untuk memanfaatkan sarana dasar yang ada. Ditambah lagi, Kemendikbud pun

tidak memberikan arahan yang spesifik dan detail dalam pelaksanaan PJJ di masa

pandemi COVID-19 sehingga guru dan sekolah dituntut untuk berinovasi dan

membuat kebijakannya masing-masing.


Bagi sekolah dan guru yang berada di wilayah terpencil, permasalahannya juga

tentang cara mengatasi keterbatasan -keterbatasan fundamental seperti akses

internet yang tidak ada atau tidak stabil, keterbatasan finansial keluarga murid, dan

fasilitas digital sekolah yang terbatas. Bagi wilayah pedesaan yang masih bisa

mengakses internet, biaya menjadi kendala karena keluarga murid yang tidak bisa

membayar pulsa dan paket data internet bagi anaknya. Pada akhirnya guru kerap

terpaksa mendatangi murid ke rumah masing-masing meskipun berisiko

menyebarkan penyakit COVID-19.11 Wilayah-wilayah tertinggal seperti ini perlu

diberikan perhatian khusus karena berpotensi melebarkan jarak kesenjangan

pendidikan.

Situasi Pandemi COVID-19 menunjukkan adanya kekosongan dalam infrastruktur

dan juga institusi Pendidikan Indonesia yang tidak siap menghadapi situasi tidak

terduga seperti sekarang. Lebih dari itu, kebijakan PJJ memperlihatkan

ketidaksiapan Indonesia untuk memindahkan pendidikan ke dalam medium

teknologi digital. Jurang pemisah antara wilayah maju dengan fasilitas internet dan

wilayah terpencil tanpa sinyal begitu besar sehingga pemerintah pun harus

melakukan jenis intervensi yang berbeda sesuai kebutuhan masing-masing daerah.


REFLEKSI KEBIJAKAN KEMENDIKBUD DI TENGAH PANDEMI

Kebijakan konkret Kemendikbud terkait himbauan pemerintah tentang belajar

dari rumah tertuang dalam Surat Edaran Mendikbud tentang Pembelajaran secara

Daring dan Bekerja dari Rumah untuk Mencegah Penyebaran COVID -19 yang

isinya menjelaskan tentang pelaksanaan PJJ bagi seluruh sekolah dan perguruan

tinggi di Indonesia. Surat Edaran tersebut juga melampirkan beberapa saran

pembelajaran daring yang bisa dimanfaatkan oleh sekolah dan siswa. Dalam

praktiknya, banyak tenaga pengajar yang tidak dilatih dan tidak mengetahui cara

penggunaan sarana pembelajaran daring.

Lalu, melalui Edaran Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan

Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran Corona Virus Disease (COVID-19),

Kemendikbud menerapkan kebijakan pembatalan Ujian Nasional (UN) dan

penyesuaian nilai pembelajaran. Selain itu, terdapat beberapa poin tentang

pelaksanaan PJJ termasuk imbauan agar guru tidak terlalu membebankan murid

dengan capaian yang sesuai dengan kurikulum dan penilaian yang bersifat timbal

balik menyesuaikan dengan kebutuhan murid. Surat Edaran Nomor 4 sayangnya

tidak memberikan arahan khusus tentang petunjuk pelaksana (juklak) bagi guru

dalam melaksanakan PJJ. Surat tersebut hanya berperan sebagai arahan umum

tentang apa yang harus diajarkan dan bagaimana menilainya. Hingga akhir Mei,

Kemendikbud belum memberikan petunjuk spesifik bagi guru tentang menjalankan

proses pembelajaran.
Pada pertengahan April 2020, Kemendikbud melakukan kerja sama dengan

TVRI dan RRI untuk menayangkan program edukasi demi membantu murid dan

guru selama PJJ. Namun, banyak pihak yang menganggap materi yang

disampaikan di TVRI terlalu monoton dan tidak efektif. Meskipun langkah tersebut

perlu diapresiasi, PJJ melalui televisi juga tidak menyelesaikan persoalan metode

pembelajaran yang satu arah dan masalah pendidikan bagi keluarga miskin yang

tidak memiliki akses terhadap listrik atau televisi.

Wahana Visi Indonesia melakukan survei terhadap 3.000 anak di 30 provinsi

pada 2 sampai 21 April dan menemukan pengaruh emosional dalam penerapan

pembelajaran jarak jauh (PJJ) dan jaga jarak selama corona. Survei tersebut

menjelaskan bahwa situasi keluarga juga berdampak pada emosional anak. Murid

juga banyak yang kesulitan menghadapi metode PJJ yang hanya difokuskan pada

pemberian tugas tanpa jadwal yang teratur. Hal tersebut, kembali lagi, terjadi

karena guru yang tidak memiliki pengalaman dalam proses pembelajaran yang

memanfaatkan teknologi dan bersifat jarak jauh.

Pandemi COVID-19 menunjukkan bahwa digitalisasi industri 4.0 Indonesia

masih bersifat eksklusif pada sektor industri dan ekonomi, sementara sektor

Pendidikan masih jauh tertinggal. Dalam praktiknya, digitalisasi pendidikan justru

diinisiasi oleh sektor swasta berbentuk startup seperti Zenius dan Ruangguru yang

pada dasarnya dibentuk untuk masyarakat urban di kota-kota besar. Penerima

manfaat proses digitalisasi pendidikan di Indonesia masih terus berputar dalam

sebuah kebijakan pendidikan yang bersifat Jawa-sentris dan hal tersebut

memperlebar ketimpangan pendidikan yang sudah begitu besar di Indonesia.

Pada akhirnya, Kemendikbud harus mulai mempertimbangkan

mengeluarkan juklak khusus yang membahas indikator-indikator dalam


melaksanakan PJJ serta memperhatikan berbagai hambatan yang dihadapi oleh

murid di wilayah perkotaan dan pedesaan. Penyusunan metode pembelajaran yang

berbeda daripada situasi yang normal juga diperlukan untuk mempertimbangkan

sisi emosional murid dan keterbatasan guru.

Pandemi virus corona telah memaksa pemerintah memindahkan proses

belajar siswa-siswi sekolah ke rumah mereka masing-masing. Akan tetapi,

dengan keragaman latar belakang ekonomi hingga akses terhadap teknologi,

seberapa efektif sistem belajar dari rumah yang sejauh ini dijalani para

pelajar?

Sudah sejak pertengahan Maret lalu sebagian besar pelajar di Indonesia

menjalani proses belajar dari rumah di tengah pandemi virus corona. Dalam situasi

darurat tersebut, bukan hanya para siswa yang dihadapkan pada tantangan untuk

belajar jarak jauh, tapi juga orang tua. Orang tua diharapkan tak pernah absen

mendampingi putra-putrinya saat belajar dari rumah. Guru dituntut untuk kreatif

menggunakan berbagai moda pembelajaran daring agar pembelajaran berlangsung

efektif.
KURIKULUM EKSISTING TAK HARUS DITUNTASKAN

SAAT BELAJAR DARI RUMAH

Keresahan orang tua tercermin dalam survei evaluasi pelaksanaan

Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) untuk siswa dan guru yang digelar Komisi

Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI)

pada bulan April.

Survei yang melibatkan 1.700 siswa SD hingga SMA dari 20 provinsi dengan latar

belakang ekonomi yang berbeda-beda itu menunjukkan bahwa 79,9% responden

tidak berinteraksi dengan guru mereka selama PJJ. Sisanya, sebagian besar

interaksi dilakukan hanya dalam konteks pemberian dan pengumpulan tugas.

Petugas menyemprotkan disinfektan di ruang kelas sebuah sekolah di tengah

pandemi Covid-19 di Jakarta.

Sementara itu, terkait kesulitan yang dihadapi siswa selama PJJ, 77,8% responden

mengaku kewalahan dengan tugas menumpuk yang diberikan, sementara 42,2% di


antaranya mengeluhkan biaya kuota internet yang dibutuhkan untuk

merampungkan tugas.

“Hasil survei kami menyatakan bahwa para guru tuh ngejar target penyelesaian

kurikulum loh. Kenapa tugas demi tugas dilakukan, itu karena kurikulumnya harus

dia selesaiin,” ungkap Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti, dalam

wawancara dengan VOA (5/5).

“Ketika kami bertanya apakah ada panduan dari dinas untuk tidak menyelesaikan

(kurikulum)? Ya nggak. Apakah tahu permen nomor 4 untuk tidak menyelesaikan?

Nggak tahu. Itu kan menunjukkan bahwa main kasih suratnya ke kepala dinas,

main kasih surat lagi kepala dinas kepada kepala sekolah, kepala sekolah tidak

mempelajari, tidak lihat detil, tidak membantu guru,” lanjutnya.

Surat yang dimaksud adalah Surat Edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan

Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan Dalam Masa

Darurat Penyebaran Covid-19.

Di dalamnya, disebutkan empat ketentuan proses belajar dari rumah, pertama,

untuk memberikan pengalaman belajar yang bermakna bagi siswa tanpa terbebani

penuntasan kurikulum; kedua, fokus pada pendidikan kecakapan hidup, misalnya

soal pandemi Covid-19; ketiga, aktivitas dan tugas disesuaikan dengan minat dan

kondisi masing-masing siswa; serta keempat, evaluasi siswa/i bersifat kualitatif,

bukan kuantitatif.

Disparitas Jawa-Luar Jawa, Si Miskin dan Si Kaya

Dalam hal aktivitas belajar yang disesuaikan dengan kondisi siswa, nasib pelajar di

daerah terpencil dengan infrastruktur yang minim berada di ujung tanduk.


Anggi Crestamia, guru relawan dari program Indonesia Mengajar yang tengah

mengabdi di Kepulauan Yapen, Papua, khawatir akan pendidikan muridnya di sana.

Pasalnya, desa tempatnya mengajar belum dialiri listrik, sehingga tidak

memungkinkannya melakukan pengajaran jarak jauh secara daring.

“Kalau untuk tugas atau belajar dalam bentuk apa, sampai saat ini pun aku belum

kembali ke desa, jadi belum sama sekali aku ngasih kayak PR sama mungkin LKS,

belum sempat,” ujar Anggi saat dihubungi VOA (15/5).

Anak-anak Taman Kanak-kanak diajar untuk menggunakan penyanitasi tangan di

Jakarta (foto: ilustrasi).

Untuk sementara, dirinya dan sejumlah guru lain mencoba memberikan pelajaran

melalui siaran Radio Republik Indonesia setiap harinya.

“Dari RRI itu sendiri memberikan waktu kepada guru2 untuk mengajar via radio,

begitu. Jadi itu mungkin salah satu solusi pertama misalkan ternyata sampai Juli

kita belum bisa masuk ke desa,” jelasnya.

Menurut hasil survei KPAI, di Papua sendiri, 54% pelajar sama sekali tidak

melakukan pembelajaran sejak kebijakan belajar dari rumah diterapkan. Senada

dengan pengakuan Anggi, faktor minimnya infrastruktur menjadi alasan utama.

“Tidak ada listrik, tidak memiliki handphone, jarak rumahnya jauh-jauh, gurunya

tidak bisa kemudian melakukan proses ini semua. Guru kunjung tak ada. Papua

tidak terjadi pembelajaran selama hampir 2 bulan,” kata Komisioner KPAI Bidang

Pendidikan, Retno Listyarti.


“Ini menjadi problem di mana ada anak-anak yang tidak terlayani secara hak atas

pendidikan. Disparitas Jawa-luar Jawa pun nampak dengan sangat jelas,”

tandasnya.

Disparitas Jawa-luar Jawa maupun kesenjangan antara si kaya dan si miskin diakui

Retno merupakan masalah lama di bidang pendidikan yang seharusnya sudah bisa

diantisipasi pemerintah ketika situasi darurat, seperti pandemi, terjadi.

Meski demikian, ia menganggap yang paling genting yang harus dilakukan

pemerintah saat ini adalah mengeluarkan kurikulum darurat yang bisa dijadikan

panduan sekolah dalam menavigasi proses belajar-mengajar jarak jauh dengan

baik sehingga hak pendidikan anak-anak Indonesia bisa terpenuhi

seutuhnya. [rd/em]

Anda mungkin juga menyukai