Anda di halaman 1dari 30

Ketika PSBB Dilonggarkan, Apa yang

Kamu Harapkan?

Sudah sekitar tiga bulan lamanya, sebagian masyarakat Indonesia berada dalam situasi

yang tidak biasa, sebagai imbas pandemi Covid-19. Tidak biasa itu: sebagian masyarakat

bekerja dari rumah (work from home), tidak sedikit juga pekerja yang dirumahkan (atau di-

PHK), dan cukup banyak pekerja informal yang merosot bahkan nirpenghasilan. Catatan

pemerintah, sebanyak 3 juta orang di-PHK dari kantornya.

Beban perekonomian yang ditimbulkan oleh pandemi ini terasa sangat berat. Pemerintah

memang menyalurkan bantuan sosial, tetapi menuai banyak kritikan. Basis data

penduduk dianggap sudah lampau, persyaratan yang berbelit, penyaluran barang yang

tidak merata, hingga solusi yang tak tepat sasaran. Alhasil, muncul banyak gerakan dari

masyarakat sendiri untuk membantu sesamanya.


Di

bawah projek Wings of Emergency, Greenpeace Brazil memproduksi 850 masker kain per

hari untuk didistribusikan ke suku asli di Amazon demi mengurangi risiko dampak Covid-

19. Greenpeace juga mengirimkan bantuan tenaga medis profesional, logistik, dan

peralatan medis di daerah yang rentan tak tersentuh sistem bantuan kesehatan dan

logistik dari Pemerintah. © Edmar Barros / Greenpeace

Kini, di bulan Juni, pemerintah kita dan juga banyak negara mulai melonggarkan

kebijakan karantina, atau kita mengenalnya sebagai Pembatasan Sosial Berskala Besar

(PSBB). Masyarakat sudah gerah ingin kembali beraktivitas seperti dahulu, pemerintah

sudah gerah ingin menggulirkan kembali roda perekonomian. #NewNormal begitu gaung

yang muncul belakangan ini.

Dunia tempat kita berpijak sebenarnya masih sama dengan segala problematikanya. Tapi

pandemi ini telah memberikan kita waktu jeda yang cukup lama untuk mengingat apa

yang sudah terjadi di masa prapandemi, untuk kemudian berbuat sesuatu yang lebih baik
pascapandemi. Wadahnya sama, tapi harapannya ada pada manusia untuk bersikap lebih

baik. 

Sikap seperti apa yg bisa kita pilih dan lakukan?

1. Kebijakan yang pro terhadap keberlanjutan alam dan semua makhluk hidup 

Investasi ratusan atau ribuan triliun tidak akan berarti bila mengenyampingkan aspek

keberlanjutan. Duit bisa diciptakan, tetapi alam? Tuhan hanya menciptakannya sekali, dan

memberikannya kepada manusia untuk dijaga. Maka itu, sedih rasanya mendengar bila

ada niatan pemerintah melalui Rancangan Undang-undang Cipta Kerja, atau Omnibus

Law, yang membuat kelestarian alam negara ini di jurang kehancuran karena, salah

satunya izin lingkungan dihilangkan. Miris pula melihat DPR ketuk palu mengesahkan

RUU tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba). 

Ya.. ada sedikit angin segar dengan hadirnya National Plastic Action Partnership (NPAP).

Lewat Skenario Perubahan Sistem yang berisikan lima langkah, Indonesia menargetkan

untuk mengurangi sampah plastik di lautan sebesar 70% pada 2025, dan mewujudkan

Indonesia bebas sampah plastik pada 2040. Salah satu langkahnya, reduksi penggunaan

plastik sekali pakai akan dilakukan. Eits, jangan terlena dulu ya, langkah ini cukup

progresif tapi perlu dicermati celah yang bisa dimanfaatkan oleh industri. Apalagi NPAP ini

disusun bersama dengan sejumlah perusahaan yang berada di industri petrokimia

(sebagai bahan baku plastik) dan fast moving consumer goods (FMCG). 

2. Transportasi ramah lingkungan yang terintegrasi

Jakarta sudah punya MRT, dan terakhir LRT. Dua moda transportasi modern sebagai

pilihan bagi kaum komuter, selain busway dan KRL. Dengan fasilitas yang bagus, MRT

sepertinya berhasil menjadi pilihan masyarakat kelas menengah bahkan atas. Mereka

mengurangi volume bepergian dengan mobil pribadi. Bisa terlihat dari berbagai postingan

sosial media sejumlah artis, misalnya. Saya pun cukup bisa melihat jelas bagaimana

masyarakat golongan tersebut menikmati naik MRT. Tak heran, pihak MRT mendapatkan
angka pengguna yang lumayan tinggi, bisa lebih dari 80.000 orang per hari, berdasarkan

catatan per September tahun lalu. 

Walau belum tuntas untuk seluruh rangkaian rutenya, LRT juga mendapatkan perhatian

tinggi dari masyarakat. Mengingat rutenya berbeda dengan MRT. Bila semua moda

transportasi ini bisa terintegrasi penuh, dan pelayanannya baik, bukan tidak mungkin

masyarakat secara luas akan malas menggunakan kendaraan pribadinya. 

Sementara itu, para pengguna sepeda dan pejalan kaki memang sudah

dibuatkan space khusus di jalan raya. Tapi itu belum semua. Seharusnya jalurnya

diperbanyak, seiring dengan cukup banyak masyarakat yang menggunakan sepeda ke

kantor, ditambah lagi salah satu perusahaan transportasi online pun memiliki lini bisnis

pengantaran yang memakai sepeda. Ini gambaran jelas, pengguna sepeda harus

mendapatkan perhatian pemerintah untuk mendapatkan kenyamanan ketika di jalan.

Seor

ang kurir jasa pengantaran mengendarai sepeda di jalanan kosong Jakarta saat PSBB.

Kurangnya jalur sepeda di jalanan ibukota seharusnya menjadi perhatian Pemerintah


demi mendapatkan keamanan dan kenyamanan ketika di jalan. © Afriadi Hikmal /

Greenpeace

Sejatinya, mobilitas yang seharusnya terjadi adalah mobilitas untuk orang, bukan

mobilitas kendaraan pribadi baik itu motor ataupun mobil. 

3. Kedaulatan pangan 

Masalah pangan ini mendapatkan sorotan khusus ketika pandemi. Banyak masyarakat

yang tidak mempunyai biaya untuk kebutuhan makanan sehari-hari. Sebagai solusi, ada

muncul dapur umum, ada juga masyarakat yang saling bantu lewat memberi bahan

mentah dengan cara digantung di depan rumah. Banyak juga muncul ruang diskusi soal

menanam sejumlah bahan pangan di rumah. Untuk mengisi perut sendiri dan keluarga. 

Ini menarik! Ternyata gerakan urban farming (petani kota) itu cukup banyak loh! Tidak

butuh lahan luas. Sebuah talang air bekas bisa jadi ‘lahan’ buat menanam daun bawang.

Bila hasil panennya berlebih, tentu bisa berbagi dengan tetangga. Sebisa mungkin kita

menanam tanaman pangan di rumah kita. Sehingga bila ada pandemi seperti ini, atau

gejolak kelangkaan dan mahalnya harga produk pangan, itu bisa dilalui. 
Pelat

ihan urban farming di acara Make Smthng yang diadakan Greenpeace Indonesia di

Jakarta, 8 Desember 2019. © Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace

4. Ketersediaan ruang hijau dan berkurangnya polusi udara

Untuk ruang hijau, di sejumlah kota besar (Jakarta, Bandung, Surabaya, misalnya),

pemerintahnya sudah mulai sadar dan memperbaiki, juga menambah ruang terbuka hijau.

Ruang ini juga bisa menjadi sarana bagi masyarakat untuk berinteraksi dan beraktivitas.

Bahkan ruang terbuka hijau memiliki segudang manfaat, mulai sebagai ‘paru-paru’ kota

hingga menjaga kesehatan mental.

Ruang terbuka hijau juga merupakan salah satu solusi untuk penanganan polusi udara.

Dengan banyaknya ketersediaan ruang hijau, polutan yang berada di udara mampu

diserap oleh pohon-pohon atau tanaman yang ada di sekitar area tersebut. Namun,

tentunya hal tersebut belum cukup untuk mengembalikan langit biru Jakarta. Pemerintah

pusat maupun daerah harus bersinergi untuk mengatasi polusi udara dari sumbernya.

Memperbanyak stasiun pemantauan kualitas udara, melakukan inventarisasi emisi untuk


mengetahui sumber pencemar, dan transparansi data kepada publik, menjadi hal yang

penting dan harus segera dilakukan untuk mengatasi polusi udara. 

5. #SalingBantu antarwarga

Pandemi ternyata telah memunculkan sikap solidaritas sesama manusia yang begitu

tinggi. Kepedulian terhadap mereka yang berada di garda terdepan penanganan

pasien. Membantu warga yang sulit membeli kebutuhan hidup karena tak ada lagi

penghasilan. Sungguh indah! Sisi humanis manusia terangkat ke permukaan dan kian

menggelora. Ini membuahkan hasil nyata, minimal membantu mengisi perut sebagian

masyarakat yang tidak berdaya. #SalingBantu ini kiranya terus berakar karena tidak bisa

kita melulu mengandalkan bantuan pemerintah.  

Jadi, kalau saya melihat #betternormal seyogyanya dimulai dari lingkup kebijakan.

Harapan itu masih ada meski menipis. Tapi, jangan mentok di situ. Lebih baik kita mulai

dari diri sendiri, lalu bantu sesama. Kita bisa pilih untuk hidup hijau. Bila kita dan seisi

rumah kita bisa melakukan itu, lalu menginspirasi tetangga, tetangga melanjutkan

kebaikan kepada tetangga lainnya, niscaya #betternormal itu berarti dunia yang lebih baik.
Bekerja dari Rumah:
Menanam Kultur Kerja Fleksibel

Di masa lalu, bekerja dari rumah bagi pekerja purna waktu atau full time dianggap

sebagai hal negatif, terutama karena faktor gangguan non-kerja yang diperkirakan akan

muncul serta sulitnya pengawasan yang berakibat pada rendahnya produktivitas. Bekerja

dari rumah biasanya hanya dilakukan dalam situasi tertentu, ketika pekerja tidak

dimungkinkan datang ke kantor.

Saat ini pandangan tersebut mulai berubah terutama karena teknologi yang

memungkinkan seseorang bekerja dari rumah. Dengan munculnya pandemi COVID-19,

bekerja dari rumah saat ini malah dianjurkan untuk menghindari terjadinya penularan.

Bekerja dari rumah menjadi bagian dari social distancing, yang diperlukan untuk

menghambat penyebaran COVID-19. Diyakini cara penularan COVID-19 adalah melalui

sentuhan antar manusia, atau jika cairan tubuh penderita mengenai orang lain dan

masuk dalam jaringan pernafasan. Dengan bekerja dari rumah, persinggungan fisik

antara manusia yang bisa terjadi ketika mereka berangkat ke kantor dengan menggunakan

transportasi publik, atau ketika melakukan rapat secara tatap muka di kantor dapat

dicegah.
Meskipun pada awalnya bekerja dari rumah dimaksudkan untuk mencegah penyebaran

penyakit, dan mencegah perusahaan mengalami kerugian lebih besar jika harus

membiayai pekerja yang tertular penyakit, pada akhirnya memperkenalkan kultur bekerja

baru pada berbagai segmen pekerjaan. Apakah setelah Pandemi COVID-19 berlalu,

bekerja dari rumah akan tetap menjadi pilihan. Bagaimana hal tersebut berdampak

pada produktivitas?

Pilihan Individu dan Keuntungan

Perusahaan: Bukti Pendukung


White (2020) menyatakan bahwa pilihan untuk bekerja dari rumah (remote) atau

bekerja di kantor, sangat tergantung pada jenis pekerjaan, kebijakan perusahaan dan

pilihan individu1. Kepentingan perusahaan terutama pada tingkat produktivitas.

Sedangkan pilihan individu ditentukan oleh pola dan gaya bekerja. Keharusan bekerja

dari rumah yang ditetapkan oleh pemerintah terkait COVID-19 bagi banyak orang

menjadi hal yang tidak menyenangkan, karena mereka tidak bisa bekerja ketika TV di

rumah menyala, atau mendengar anak menangis, sehingga pada akhirnya tidak

menghasilkan apa-apa. Sedangkan bagi yang lain bekerja dari rumah di rasa lebih

menyenangkan karena terbebas dari gangguan-gangguan yang biasa muncul dikantor.

Perbedaan kenyamanan dan penerimaan untuk bekerja di rumah pada tingkat individu

ini ditunjukkan oleh berbagai studi. Global Workplace Analytics2 menyatakan bahwa 37

persen dari pekerja yang diteliti menginginkan bekerja dari rumah, karena alasan

perlunya keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan, meningkatkan

produktivitas, mengurangi stres dan menghindari perjalanan ke kantor. Bahkan 20-34

persen responden bersedia jika untuk itu gajinya harus dipotong antara 5 sampai 10

persen.
Hal ini sesuai dengan observasi asosiasi ahli psikologi Amerika bahwa bekerja secara

remote akan meningkatkan kepuasan pekerja jika diterapkan secara benar 3. Studi

Staples pada tahun 2011 menemukan bahwa pekerja yang bekerja dari rumah

mengalami stres 25 persen lebih rendah dibanding mereka yang bekerja dikantor. Di

Amerika, kecenderungan bekerja di luar kantor semakin menguat seperti ditunjukkan

oleh Biro Statistik Pekerja 2018, 57 persen bekerja dengan waktu yang fleksibel, 29

persen dapat bekerja dari rumah dan 25 persen kadang-kadang bekerja dari rumah4.

Studi tentang pengaruh teknologi terhadap perempuan (Medelina, 2019), menunjukkan

bahwa bekerja dari rumah dengan waktu yang fleksibel memberi perasaan bebas,

karena pekerja dapat mengatur waktu dan hidupnya sendiri, dan tidak ditentukan oleh

atasan5. Perempuan yang mempunyai jam kerja yang fleksibel dengan berbagai

bentuknya atau yang bekerja dari rumah biasanya bekerja di sektor jasa, menghasilkan

produk digital, e-commerce dan pekerjaan-pekerjaan yang memerlukan kreativitas

(pengembang software, data analis, serta bagian pemasaran)6. Bagi pekerja perempuan

yang mempunyai anak-anak masih kecil, bekerja dari rumah menjadi kesempatan ideal.

1 White, Sarah, (2020), “Working from home can benefit employers as much as employees”.

https://www.monster.com/career- advice/article/the-benefits-of-working-from-home

2 Peek, Sean, Communication Technology and Inclusion Will Shape Future of Remote Work . Business News Daily, 18

Maret 2020.

3 Ibid.

4 Papandrea, Dawn (2020). Working from Home Affords You Flexibility, but also demands a lot from

you in return. https://www.monster.com/career-advice/article/Pros-Cons-of-Working-from-Home

5 Hendytio, Medelina K and Barany, Lestary J. “Impact of Disruptive Technology on Indonesia Women Workers”, ADB

Paper, 2019.
6 Coffman, Katherine B., Christine L. Exley, and Muriel Niederle. 2017. “When Gender Discrimination Is Not About

Gender.”

Harvard Business School Working Paper 18 (054).


Menurut Cameron (2018) faktor yang paling membatasi perempuan memasuki pasar

kerja adalah adanya beban ganda yaitu melakukan pengasuhan anak dan sekaligus

bekerja7. Dengan bekerja dari rumah perempuan memperoleh waktu yang fleksibel di

mana perempuan dapat menyeimbangkan antara pekerjaan dan keluarga8. Madsen

(2003) menyebutkan adanya kebutuhan pekerja perempuan untuk menyeimbangkan

antara keluarga dan pekerjaan agar terhindar dari konflik keluarga atau konflik peran9.

Dampak konflik keluarga adalah munculnya tekanan psikologis, depresi, komplain serta

kelelahan10. Gangguan psikologis lain yang muncul adalah ketidakpuasan dalam

bekerja dalam kehidupan keluarga, menurunnya komitmen pada organisasi dan akhirnya

keluar dari pekerjaannya11.

Bukti Sebaliknya
Akan tetapi, studi lain menunjukkan hasil yang bertolak belakang. Sebuah laporan

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2017 misalnya menemukan bahwa 41

persen pekerja jarak jauh melaporkan tingkat stres yang tinggi, dibanding hanya 25

persen pekerja kantor yang mengalami hal sama12. Sejalan dengan temuan itu adalah

hasil studi ILO yang dilakukan di 15 negara13. Bahwa ternyata para pekerja remote

termasuk di dalamnya mereka yang bekerja dari rumah, yang terisolasi mengalami

peningkatan level stres. 52 persen pekerja yang bekerja dari rumah—setidaknya dalam

beberapa waktu—lebih cenderung merasa tersisih dan diperlakukan dengan buruk,

serta tidak mampu menangani konflik dengan kolega14.

Pada perusahaan-perusahaan dengan basis teknologi tinggi, berbasis jaringan dan

teknologi kecenderungan bekerja dari jarak jauh termasuk dari rumah cenderung

menguat. Para programmer, pengembang, maupun peneliti yang memerlukan detail

dan waktu panjang untuk berkonsentrasi akan cenderung bekerja dari rumah, karena

mereka dapat memanfaatkan waktu yang seharusnya digunakan untuk perjalanan ke


kantor menjadi waktu kerja yang produktif, selain menghindari gangguan- gangguan

lain yang muncul jika bekerja di kantor. Jenis-jenis pekerjaan dengan platform online

atau virtual, serta yang berbasis digital akan dapat dikerjakan dari rumah tanpa

menurunkan produktivitas pekerja terutama karena industri berbasis teknologi memiliki

jam kerja yang fleksibel. Jenis-jenis pekerjaan ini telah meleburkan batas antara domain

kerja dan privat. Keberadaan telecommuting, video percakapan, conference calls, jaringan

VPN serta internet tanpa kabel, memungkinkan setiap pekerja dapat terus terhubung

meskipun mereka berada di rumah.

Produktivitas
Terlepas dari soal kenyamanan dan pilihan individu, beberapa studi menunjukkan

bahwa dibanding bekerja di kantor, bekerja dari rumah bagi orang yang tepat justru

dapat meningkatkan produktivitas. Airstaker (dalam Peek, 2019) melakukan studi

tentang perilaku dan produktivitas terhadap 1.004

7 Cameron, Lisa. “Gender Inequality in the Indonesia Labor Market.” University of Melbourne, July 24, 2018.

8 Cazes, Sandrine, Alexander Hijzen, and Anne Saint-Martin. 2016. “Measuring and Assessing Job Quality: The OECD

Job Quality Framework.” OECD Social, Employment and Migration Working Papers 174.

9 Madsen, Susan R. 2003. “The Effects of Home-based Teleworking on Work-Family Conflict.” Human Resource

Development Quarterly

14 (1): 35-58. doi:10.1002/hrdq.1049

10 Dawn, S. Carlson, K.Michele Kacmar, and Larry J. Williams. 2000. “Construction and Initial Validation of a

Multidimensional Measure of Work–Family Conflict.” Journal of Vocational Behavior 56 (2): 249-276.

https://doi.org/10.1006/jvbe.1999.1713

11 Clark, Sue Campbell. 2000. “Work-Family Border Theory: A New Theory of Work-Life Balance.” Human Relations

53: 747-770.

12 Russel, Stephanie, “How remote working can increase Stress and reduce well-being”. ,The Conversation, 25 oktober

2019.
13 Maharrani, Anindhita. 2020. "Pekerja Remote Berisiko Stres". Lokadata.ID. https://lokadata.id/artikel/pekerja-remote-

berisiko- stres.

14 Russel, Stephanie.
pekerja full-time, 505 di antaranya bekerja dari jarak jauh atau remote. Hasil studi tersebut

menunjukkan bahwa pekerja yang bekerja dari jarak jauh atau remote lebih produktif

dibandingkan dengan mereka yang bekerja di kantor. Mereka juga bekerja dengan

waktu yang lebih lama serta beristirahat lebih sedikit. Bahkan terkadang mereka juga

bekerja meskipun sakit. Dalam setahun mereka bekerja 17 hari lebih lama dibanding

pekerja yang bekerja di kantor.

Pekerja remote biasanya mengompensasi waktu istirahat yang mereka ambil dengan

lebih lama melakukan pekerjaan. Jumlah pekerja remote yang menyatakan terganggu oleh

atasan sebesar 15 persen, dibanding 22 persen pekerja yang berada di kantor yang

menyatakan terganggu oleh keberadaan atasan. Secara keseluruhan studi itu

menunjukkan bahwa pekerja di kantor 37 menit tidak produktif (tidak termasuk makan

siang dan istirahat) sedangkan pekerja remote tidak produktif hanya selama 27 menit.

Bagi perusahaan mengizinkan pegawainya bekerja di rumah juga memberikan

keuntungan dalam jangka pendek dan jangka panjang. Perusahaan dapat menghemat

biaya operasional, karena tidak perlu membayar uang transport, uang makan, biaya

listrik, dan AC dan biaya operasional yang lain. Studi Airstaker menunjukkan pekerja

yang bekerja dari rumah cenderung tidak mudah mengundurkan diri, dibanding mereka

yang bekerja di kantor. Estimasi menunjukkan bahwa untuk setiap pekerja yang bekerja

dari rumah, perusahaan dapat menghemat sekitar $2.000.

Dalam jangka panjang penghematan biaya tersebut dapat diberikan kepada karyawan

dalam bentuk bonus. Selain itu perusahaan mempunyai ‘pool of talent’ yang cukup luas.

Perusahaan mempunyai pilihan calon yang lebih banyak jika akan merekrut pegawai baru.

Dengan demikian perusahaan dapat memilih siapa pun dengan kualifikasi terbaik dari

wilayah mana pun tanpa perlu mengkhawatirkan tentang jarak tempuh antara tempat

tinggal dan tempat bekerja. Artinya, dalam domain teknologi, di mana sebagian

pekerjaan dilakukan dengan komputer dan online, tempat tinggal pekerja di mana pun
tidak penting lagi, asal mempunyai koneksi internet yang dapat diandalkan.

Tantangan
Meskipun bekerja di rumah menjadi pilihan banyak orang dan sekaligus menjadi kebijakan

perusahaan ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan. Pertama, bekerja dari rumah

memerlukan dukungan broadband yang kuat dan stabil, sehingga komunikasi dan

koneksi antara pekerja dan kantor tidak terputus. Fasilitas ini harus dimiliki tidak hanya

oleh perusahaan tetapi juga dimiliki secara pribadi oleh pekerja di rumah. Untuk kasus

Indonesia hal ini masih sulit, karena tidak semua orang tidak memiliki akses seperti itu

karena mahalnya biaya sambungan. Dengan bekerja dari rumah sebenarnya pekerja

harus menanggung biaya operasional yang harusnya ditanggung oleh perusahaan

seperti ruang kerja, listrik, sambungan internet maupun peralatan kerja lainnya.

Persoalan kedua yang dihadapi perusahaan yang memperkerjakan pekerjanya dari

rumah adalah soal tanggung jawab keamanan. Ketika komunikasi dan interaksi

dilakukan secara virtual, gangguan terhadap keamanan data, dokumen maupun file-file

penting yang dipertukarkan secara online dapat terjadi, termasuk menghadapi virus atau

gangguan keamanan siber. Pekerja perlu memahami kebijakan perusahaan terkait

keamanan ini.

Persoalan ketiga, transformasi budaya bekerja di rumah memerlukan perubahan dalam

perusahaan terkait struktur pekerjaan, mekanisme pengawasan dan pendampingan, serta

kebijakan-kebijakan lain untuk menjamin produktivitas. Dalam hal ini penentuan KPI (Key

Performance Index) atau indeks penilaian kunci perlu dilakukan dengan rigid, terukur

disertai dengan monitoring dan evaluasi kinerja secara efektif.

Yang penting para pekerja mengetahui apa yang diharapkan dari mereka dan semua

hasil dapat diukur. Dalam konteks ini penilaian dan penggajian maupun pemberian

remunerasi tidak lagi ditentukan lama


kerja per minggu tetapi berdasar output atau output-based. Tentu saja hal ini tidak bisa

diterapkan pada perusahaan manufaktur atau pabrik, di mana setiap pekerja harus

datang serta menjalankan mesin untuk menghasilkan suatu produk.

Keempat, dalam melaksanakan pekerjaan terutama jika diperlukan kerja tim, semangat

kerja bersama, solidaritas dan empati diperlukan untuk membangun tim yang kuat.

Hal ini akan sulit dibangun jika tidak ada pertemuan dan interaksi langsung.

Pertemuan secara virtual yang hanya terjadi beberapa kali seminggu tidak cukup kuat

untuk membangun semangat kebersamaan dan kerja sama yang sangat diperlukan

dalam masa krisis atau jika terjadi krisis dalam perusahaan. Kesulitan lain bagi

atasan atau supervisor adalah jaminan bahwa pekerja berada di tempat dan

tersambung dengan kantor pada saat dibutuhkan. Dan ini juga berarti gangguan

dalam keseharian dalam keluarga. Kebutuhan pertemuan yang mendadak,

perubahan jadwal, ataupun kebutuhan data yang tiba-tiba tidak selalu dapat dipenuhi

jika pekerja tidak berada di kantor.

Kesimpulan

Bekerja dari rumah akan memberi kenyamanan dan produktivitas yang berbeda

tergantung pada jenis pekerjaan, ketersediaan teknologi, kondisi psikologis dan

preferensi individual. Artinya, bekerja dari rumah secara efektif tidak berlaku bagi

semua pekerja atau semua jenis pekerjaan. Secara umum pekerjaan yang berbasis

teknologi, digital dan jaringan dapat dikerjakan dari rumah dengan jadwal kerja yang

fleksibel. Kebijakan perusahaan menjadi kunci bagi pelaksanaan pekerjaan dari

rumah, bagi penyediaan fasilitas koneksi, alur kerja yang memungkinkan waktu kerja

yang fleksibel serta mengidentifikasikan pekerjaan mana yang dapat dikerjakan

dengan skedul yang fleksibel dan mana yang tidak.


Potret Pendidikan di Tahun Pandemi:
Dampak COVID-19 Terhadap
Disparitas Pendidikan di Indonesia

Kebijakan “belajar dari rumah” sebagai respons dari pandemi COVID-19 memiliki

dampak serius kepada 68 juta siswa dan 3,2 juta guru. 1 Pembelajaran jarak jauh (PJJ)

berisiko menghambat bahkan menghentikan proses pembelajaran bagi sekolah-sekolah

di wilayah terpencil karena keterbatasan akses internet dan biaya yang harus

dikeluarkan setiap murid. Sekolah dan murid-murid yang tidak memiliki fasilitas

memadai mengalami kesulitan melanjutkan proses belajar-mengajar. Hal tersebut

berpotensi meningkatkan disparitas atau ketimpangan pendidikan di Indonesia. Kini,

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Indonesia sedang

mendiskusikan berbagai kebijakan

1 “Beda Sikap Nadiem dan Serikat Guru soal Belajar Selama Corona”, CNN

Indonesia, 2 Mei 2020, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200502110433-

20-499378/beda-sikap-nadiem-dan-sersoal-belajar-selama-corona

1
untuk mengurangi dampak buruk dari pandemi COVID-19, termasuk pembentukan

kurikulum darurat dan menggeser tahun ajaran baru.

Dampak COVID-19 terhadap Sektor Pendidikan

Sektor pendidikan pada dasarnya hidup dalam konteks jejaring kompleks yang

melibatkan situasi sosio-ekonomi serta lingkungan masyarakat sekitar. Kelas ekonomi

sebuah keluarga memiliki dampak besar terhadap lama sekolah dan kualitas

Pendidikan individu.

Dalam sebuah penelitian yang dibuat oleh SMERU Research Institute, Pandemi

COVID-19 berpotensi menaikkan tingkat kemiskinan di Indonesia. SMERU melakukan

beberapa proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dan dalam skenario terburuknya

angka kemiskinan di tahun 2020 meningkat sebanyak 4 persen dari tahun 2019 menjadi

sekitar 12 persen. Apabila kita menempatkan angka tersebut dalam konteks keluarga,

peningkatan tersebut bisa memiliki dampak yang cukup besar kepada sektor

pendidikan terutama dalam kemampuan orang tua memberikan fasilitas belajar bagi

anak-anaknya.

Pandemi COVID-19 sudah jelas akan memiliki dampak yang beragam terhadap kelas-

kelas ekonomi yang berbeda. Selain kelas miskin sebagai prioritas utama, kelas

menengah yang rentan juga perlu dipertimbangkan sebagai penerima bantuan

selanjutnya karena mereka bisa saja kembali masuk kalangan miskin ketika menerima

tekanan ekonomi yang besar.2


Menurut data dari BPS, status ekonomi sebuah keluarga memiliki dampak yang jelas

terhadap rata-rata lama sekolah anak-anaknya dan menentukan di tahap mana

pendidikan seorang anak selesai. 3 Terdapat perbedaan angka lama sekolah yang

signifikan (4.54 tahun) antara kelompok tertinggi dan terendah. Ketimpangan tersebut

merupakan sebuah masalah yang sudah menempel dalam pendidikan Indonesia dalam

beberapa tahun terakhir.

Maka dari itu, penurunan status ekonomi jutaan keluarga akibat wabah COVID-19

dapat semakin mengurangi rata-rata lama sekolah anak-anak. Belum lagi dengan

bertambahnya jumlah Pekerja Dirumahkan/PHK, yang bertambah sebanyak 1.722.958

pekerja di sektor formal dan informal akibat pandemi COVID-19. 4

Dampak keterpurukan ekonomi juga berlaku dua arah dan mempengaruhi

kesejahteraan guru dan sekolah sebagai institusi pendidikan. Beberapa sekolah di

Indonesia sudah mulai melaporkan masalah pembayaran biaya SPP yang tidak sesuai

ataupun tidak tepat waktu.5 Sekolah-sekolah yang memiliki angka guru honorer dan

tidak tetap yang tinggi akan mengalami kesulitan yang lebih serius karena guru tanpa

sertifikasi memiliki pendapatan yang lebih rendah. Daerah seperti Kabupaten Garut

sudah mulai inisiatif menyalurkan dana bagi guru-guru tidak tetap di wilayahnya. 6

Kelompok rentan yang sudah tertinggal dalam kualitas pendidikan akan semakin

terjatuh karena kondisi ekonomi yang semakin terpuruk dan pendidikan anak-anak

terancam dikesampingkan demi membiayai kehidupan sehari-hari. Maka dari itu,

pemerintah perlu menyeimbangkan antara


2 Yuli Yanna Fauzie, “Hati-hati, Kelas Menengah Rentan Jatuh Miskin karena

Pandemi”, CNN Indonesia, 28 April 2020,

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200428071536-532-497901/hati-hati-

kelas-menengah-rentan-jatuh-miskin-karena-pandemi

3 Dwi Hadya Jayani, “Ketimpangan Pendidikan Antar-Kelompok Ekonomi

Masyarakat RI” , Katadata, 5 November 2019,

https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/11/05/tingginya-ketimpangan-

pendidikan-antar-kelompok-ekonomi-di-indonesia#

4 Kementerian Ketenagakerjaan per 1 Mei 2020

5 “Virus corona: Guru honorer jual barang, orang tua siswa tunggak iuran

sekolah: 'Mending untuk makan'”, BBC Indonesia, 4 Mei 2020,

https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-52525402

6 Pernyataan Wakil Bupati Kabupaten Garut per 14 Mei 2020,

https://www.garutkab.go.id/news/pemkab-garut-alokasikan-anggaran-

8-miliar-bantu-guru-honorer-dan-swasta

2
keberlangsungan sekolah, kesejahteraan guru, dan beban orang tua murid yang

sedang mengalami kesulitan finansial akibat pandemi.

Permasalahan Pembelajaran Jarak Jauh bagi Pendidikan di Indonesia

Kebijakan PJJ Kemendikbud mendapat berbagai macam respons dari publik. Meskipun

tidak ideal, PJJ dianggap sebagai satu-satunya kebijakan yang memungkinkan proses

pembelajaran tetap bisa dilakukan di tengah pandemi COVID-19. Meskipun begitu,

terdapat dua masalah utama yang menghambat efektivitas proses PJJ yaitu

keterbatasan akses terhadap internet dan keterbatasan kapabilitas tenaga pengajar.

Pertama, keterbatasan akses terhadap internet yang stabil. Banyak wilayah di

Indonesia belum dijangkau oleh internet, bahkan sinyal komunikasi dan listrik pun

belum mencapai beberapa wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Salah satu

building block dari sebuah pembelajaran jarak jauh yang efektif adalah kecepatan

internet yang memadai dan stabil. Tanpa koneksi yang stabil, murid tidak mungkin

mendapatkan materi pembelajaran secara utuh dan proses pemahaman pun terbatas

dan dibatasi oleh internet. Ketimpangan akses terhadap internet tersebut dapat terlihat

jelas ketika kita membandingkan data antara wilayah perkotaan dan pedesaan.

Berdasarkan data dari BPS, persentase rumah tangga dengan akses internet di

Indonesia terus meningkat setiap tahunnya dan mencapai 78% pada tahun 2018.

Meskipun begitu, terlihat adanya disparitas yang cukup tinggi antara akses internet di

pedesaan dan perkotaan yaitu 27% di tahun 2018. Disparitas akses tersebut dapat
dilihat ketika membandingkan beberapa provinsi di Indonesia. Yogyakarta dan Jakarta

memiliki penetrasi internet yang mencapai 50%. Sementara itu, penetrasi internet di

provinsi-provinsi bagian timur masih di bawah 30 persen. 7 Hal tersebut memperkuat

asumsi disparitas pendidikan bagi beberapa wilayah ketika melaksanakan PJJ yang

bersifat daring.

Lembaga Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI) melakukan survei di

provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB), Kalimantan Utara

(Kaltara), dan Jawa Timur untuk mengetahui penerapan kebijakan belajar dari rumah. 8

Dari keempat provinsi tersebut, Provinsi NTB dan NTT mencatat angka pembelajaran

daring paling rendah yaitu 7% dan 4% selebihnya menggunakan buku dan lembar kerja

siswa (LKS). Jadi, di samping disparitas regional untuk akses internet, pemanfaatannya

pun masih terfragmentasi pada kelas dan wilayah tertentu. Murid-murid yang tidak

punya privilese geografis dalam mengakses internet terpaksa harus mengandalkan

buku tanpa ada bimbingan langsung dari tenaga pengajar.

Kedua, permasalahan kapabilitas tenaga pengajar yang kesulitan beradaptasi dengan

metode pembelajaran PJJ. Secara umum PJJ menambahkan beban kepada guru

karena kebanyakan dari mereka baru pertama kali melakukan pembelajaran dari jarak

jauh. Dengan adanya pandemi COVID-19, sekolah mengerti bahwa proses belajar tidak

bisa dilakukan dalam waktu yang lama seperti pada situasi normal. Akibatnya, guru

terpaksa memadatkan materi pembelajaran yang banyak dalam beberapa jam saja. 9
Bagi murid-murid di wilayah perkotaan, masalah utamanya biasanya berasal dari pola

pemberian tugas tanpa ada timbal balik dari guru. Hal tersebut terjadi karena pada

umumnya sekolah dasar dan

7 Data disadur dari Indeks Pembangunan Teknologi, Informasi, dan Komunikasi

Badan Pusat Statistik (BPS) 2018

8 Senza Arsedy, George Adam Sukoco, dan Rasita Ekawati Purba, “Riset

dampak COVID-19: potret gap akses online ‘Belajar dari Rumah’ dari 4 provinsi”, The

Conversation, 2 Mei 2020, https://theconversation.com/riset-dampak-covid-19-potret-

gap-akses-online-belajar-dari-rumah-dari-4-provinsi-136534

9 “FSGI Sebut Kualitas Pendidikan Indonesia Turun saat Corona”, CNN

Indonesia, 2 Mei 2020, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200502091822-20-

499370/fsgi-sebut-kualitas-pendidikan-indonesia-turun-saat-corona

3
menengah di Indonesia tidak memiliki sistem pembelajaran daring sehingga guru hanya

membagikan tugas melalui Whatsapp.10

Selain itu, banyak murid yang mengeluh tidak ada penjelasan dari guru tentang materi-

materi yang mereka kerjakan. Padahal, guru bisa saja merekam video penjelasan

sebuah materi sebelum memberikan tugas kepada murid. Masalahnya, mereka kurang

dibekali dengan pendidikan literasi digital dan kecakapan teknologi untuk

memanfaatkan sarana dasar yang ada. Ditambah lagi, Kemendikbud pun tidak

memberikan arahan yang spesifik dan detail dalam pelaksanaan PJJ di masa pandemi

COVID-19 sehingga guru dan sekolah dituntut untuk berinovasi dan membuat

kebijakannya masing-masing.

Bagi sekolah dan guru yang berada di wilayah terpencil, permasalahannya juga tentang

cara mengatasi keterbatasan -keterbatasan fundamental seperti akses internet yang

tidak ada atau tidak stabil, keterbatasan finansial keluarga murid, dan fasilitas digital

sekolah yang terbatas. Bagi wilayah pedesaan yang masih bisa mengakses internet,

biaya menjadi kendala karena keluarga murid yang tidak bisa membayar pulsa dan

paket data internet bagi anaknya. Pada akhirnya guru kerap terpaksa mendatangi murid

ke rumah masing-masing meskipun berisiko menyebarkan penyakit COVID-19. 11

Wilayah-wilayah tertinggal seperti ini perlu diberikan perhatian khusus karena

berpotensi melebarkan jarak kesenjangan pendidikan.

Situasi Pandemi COVID-19 menunjukkan adanya kekosongan dalam infrastruktur dan

juga institusi Pendidikan Indonesia yang tidak siap menghadapi situasi tidak terduga
seperti sekarang. Lebih dari itu, kebijakan PJJ memperlihatkan ketidaksiapan Indonesia

untuk memindahkan pendidikan ke dalam medium teknologi digital. Jurang pemisah

antara wilayah maju dengan fasilitas internet dan wilayah terpencil tanpa sinyal begitu

besar sehingga pemerintah pun harus melakukan jenis intervensi yang berbeda sesuai

kebutuhan masing-masing daerah.

Refleksi Kebijakan Kemendikbud di Tengah Pandemi

Kebijakan konkret Kemendikbud terkait himbauan pemerintah tentang belajar dari

rumah tertuang dalam Surat Edaran Mendikbud tentang Pembelajaran secara Daring

dan Bekerja dari Rumah untuk Mencegah Penyebaran COVID -19 yang isinya

menjelaskan tentang pelaksanaan PJJ bagi seluruh sekolah dan perguruan tinggi di

Indonesia. Surat Edaran tersebut juga melampirkan beberapa saran pembelajaran

daring yang bisa dimanfaatkan oleh sekolah dan siswa. Dalam praktiknya, banyak

tenaga pengajar yang tidak dilatih dan tidak mengetahui cara penggunaan sarana

pembelajaran daring.

Lalu, melalui Edaran Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan

dalam Masa Darurat Penyebaran Corona Virus Disease (COVID-19), Kemendikbud

menerapkan kebijakan pembatalan Ujian Nasional (UN) dan penyesuaian nilai

pembelajaran. Selain itu, terdapat beberapa poin tentang pelaksanaan PJJ termasuk

imbauan agar guru tidak terlalu membebankan murid dengan capaian yang sesuai

dengan kurikulum dan penilaian yang bersifat timbal balik menyesuaikan dengan

kebutuhan murid. Surat Edaran Nomor 4 sayangnya tidak memberikan arahan khusus

tentang petunjuk pelaksana (juklak) bagi guru dalam melaksanakan PJJ. Surat tersebut
hanya berperan sebagai arahan umum tentang apa yang harus diajarkan dan

bagaimana menilainya. Hingga akhir Mei, Kemendikbud belum memberikan petunjuk

spesifik bagi guru tentang menjalankan proses pembelajaran.

10 “Virus corona: Tak semua pengajar, siswa siap terapkan 'sekolah

di rumah'”, BBC Indonesia, 18 Maret 2020,

https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-51906763

11 “Virus corona: Kisah guru di Jawa Barat mendatangi rumah murid-muridnya yang

tidak punya gawai dan sulit akses siaran televisi”,

BBC Indonesia, 13 Mei 2020, https://www.bbc.com/indonesia/majalah-52642997

4
Pada pertengahan April 2020, Kemendikbud melakukan kerja sama dengan TVRI

dan RRI untuk menayangkan program edukasi demi membantu murid dan guru

selama PJJ. Namun, banyak pihak yang menganggap materi yang disampaikan di

TVRI terlalu monoton dan tidak efektif. 12 Meskipun langkah tersebut perlu

diapresiasi, PJJ melalui televisi juga tidak menyelesaikan persoalan metode

pembelajaran yang satu arah dan masalah pendidikan bagi keluarga miskin yang

tidak memiliki akses terhadap listrik atau televisi.

Wahana Visi Indonesia melakukan survei terhadap 3.000 anak di 30 provinsi pada

2 sampai 21 April dan menemukan pengaruh emosional dalam penerapan

pembelajaran jarak jauh (PJJ) dan jaga jarak selama corona. 13 Survei tersebut

menjelaskan bahwa situasi keluarga juga berdampak pada emosional anak. Murid

juga banyak yang kesulitan menghadapi metode PJJ yang hanya difokuskan pada

pemberian tugas tanpa jadwal yang teratur. Hal tersebut, kembali lagi, terjadi

karena guru yang tidak memiliki pengalaman dalam proses pembelajaran yang

memanfaatkan teknologi dan bersifat jarak jauh.

Pandemi COVID-19 menunjukkan bahwa digitalisasi industri 4.0 Indonesia masih

bersifat eksklusif pada sektor industri dan ekonomi, sementara sektor Pendidikan

masih jauh tertinggal. Dalam praktiknya, digitalisasi pendidikan justru diinisiasi

oleh sektor swasta berbentuk startup seperti Zenius dan Ruangguru yang pada

dasarnya dibentuk untuk masyarakat urban di kota-kota besar. Penerima manfaat

proses digitalisasi pendidikan di Indonesia masih terus berputar dalam sebuah


kebijakan pendidikan yang bersifat Jawa-sentris dan hal tersebut memperlebar

ketimpangan pendidikan yang sudah begitu besar di Indonesia.

Pada akhirnya, Kemendikbud harus mulai mempertimbangkan mengeluarkan

juklak khusus yang membahas indikator-indikator dalam melaksanakan PJJ serta

memperhatikan berbagai hambatan yang dihadapi oleh murid di wilayah

perkotaan dan pedesaan. Penyusunan metode pembelajaran yang berbeda

daripada situasi yang normal juga diperlukan untuk mempertimbangkan sisi

emosional murid dan keterbatasan guru.


12 “Materi Program Belajar TVRI Dinilai ‘Jadul’ dan Tak Efektif”, CNN

Indonesia, 4 Mei 2020,

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200504145301-20-499875/materi-

program-belajar-tvri-dinilai-jadul-dan-tak-efektif

13 Feybien Ramayanti, “Home Sweet Home Tak Berlaku, Belajar Makin

Sporadis dan Kaku”, CNN Indonesia, 8 Mei 2020,

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200506181541-20-500840/home-

sweet-home-tak-berlaku-belajar-makin-sporadis-dan-kaku

Anda mungkin juga menyukai