Sekolah : SMP
Kelas/Semester : VII/2
Materi Pokok : Literasi Buku Fiksi Dan Non Fiksi (KD 3.15,4.15)
A. Tujuan Pembelajaran
C. Materi Pembelajaran
1. Pengertian Buku Fiksi dan NonFiksi
Buku fiksi adalah buku yang berisi cerita atau kejadian yang tidak
sebenarnya. Sedangkan buku nonfiksi adalah buku yang berisikan kejadian
sebenarnya yang disampaikan menurut pendapat/opini/kajian penulis.
Dengan kata lain, buku fiksi adalah buku yang di dalamnya berisi cerita
rekaan atau khayalan. Sedangkan buku nonfiksi adalah buku yang dibuat
berdasarkan fakta dan kenyataan. Contoh buku fiksi yaitu buku cerita anak,
dongeng, novel, cerita pendek (cerpen), fabel, dan komik.
Contoh buku nonfiksi yaitu buku pelajaran, buku ensiklopedia, esai, jurnal,
dokumenter, biografi, dan laporan ilmiah (makalah, skripsi, tesis, disertasi).
Rangkuman
Dahuku kala ada seorang Raja yang bernama Raja Boko dan mempunyai putri
yang sangat cantik, Rara Jonggrang. Suatu hari Rara Jonggrang dilamar oleh
seorang pemuda yang bernama Bandung Bondowoso. Rara Jonggrang pun
menolaknya karena ia tidak mencintai Bandung. Bandung terus memaksa dan
membujuk hingga akhirnya Rara Jonggrang pun setuju, asalkan
permintaannya dikabulkan oleh Bandung. Permintaannya ialah ia minta
didirikan 1.000 candi dalam waktu satu hari satu malam.
Bandung Bondowoso setuju, lalu ia mulai membangun, tetapi setelah malam
hari ia meminta bantuan makhluk halus agar pembangunan bisa lebih cepat
selesai. Rara Jonggrang khawatir dan ia menyuruh dayang-dayangnya supaya
membunyikan suara-suara berisik dan membangunkan hewan-hewan
peliharaan supaya para makhluk halus takut. Ternyata benar, para makhluk
halus mengira hari telah pagi dan mereka bersembunyi lagi. Bandung
Bondowoso melihat bahwa jumlah candi hanya 999 dan ia tahu bahwa ia telah
dikelabui oleh Rara Jongrang yang berbuat curang. Maka iapun murka dan
menyihir Rara Jongrang menjadi patung batu yang menghias candi terakhir.
Nonfiksi
”Dewi Sartika”
Rangkuman
Dewi Sartika dilahirkan di Bandung, 4 Desember 1884 dari keluarga priyayi
Sunda, Nyi Raden Rajapermas dan Raden Somanagara. Meski melanggar adat
saat itu, orang tuanya bersikukuh menyekolahkan Dewi Sartika, ke sekolah
Belanda pula. Sepeninggal ayahnya, Dewi Sartika dirawat oleh pamannya
(kakak ibunya) yang berkedudukan sebagai patih di Cicalengka. Dari
pamannya, beliau mendapatkan didikan mengenai kesundaan, sedangkan
wawasan kebudayaan Barat diperolehnya dari berkat didikan seorang nyonya
Asisten Residen bangsa Belanda.
Sejak kecil, Dewi Sartika sudah menunjukkan bakat pendidik dan kegigihan
untuk meraih kemajuan. Sambil bermain di belakang gedung kepatihan, beliau
sering memperagakan praktik di sekolah, mengajari baca-tulis, dan bahasa
Belanda, kepada anak-anak pembantu di kepatihan. Papan bilik kandang
kereta, arang, dan pecahan genting dijadikannya alat bantu belajar.
Waktu itu Dewi Sartika baru berumur sekitar sepuluh tahun, ketika
Cicalengka digemparkan oleh kemampuan baca-tulis dan beberapa patah kata
dalam bahasa Belanda yang ditunjukkan oleh anak-anak pembantu kepatihan.
Gempar, karena di waktu itu belum banyak anak-anak (apalagi anak rakyat
jelata) memiliki kemampuan seperti itu, dan diajarkan oleh seorang anak
perempuan.
Sejak 1902, Dewi Sartika sudah merintis pendidikan bagi kaum perempuan.
Di sebuah ruangan kecil, di belakang rumah ibunya di Bandung, Dewi Sartika
mengajar di hadapan anggota keluarganya yang perempuan. Merenda,
memasak, jahit-menjahit, membaca, menulis, dan sebagainya, menjadi materi
pelajaran saat itu.
Usai berkonsultasi dengan Bupati R.A. Martenagara, pada 16 Januari 1904,
Dewi Sartika membuka Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia-
Belanda. Tenaga pengajarnya tiga orang; Dewi Sartika dibantu dua saudara
misannya, Ny. Poerwa dan Nyi. Oewid. Murid-murid angkatan pertamanya
terdiri dari 20 orang, menggunakan ruangan pendopo kabupaten Bandung.
D. Metode Pembelajaran
1. Pendekatan saintifik
2. Metode tanya jawab
3. Metode diskusi
4. Penugasan
E. Media Pembelajaran
1. Teks
2. Laptop
3. LCD
F. Sumber Belajar
1. Suherli, dkk. 2017. Bahasa Indonesia; Buku Siswa SMP/MTs KELAS VII.
Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemendikbud.
2. Suherli, dkk. 2017. Bahasa Indonesia; Buku Guru SMP/MTs KELAS VII. Jakarta:
Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemendikbud.
3. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
G. Langkah-langkah Pembejaran
Pertemuan 1
Langkah Kegiatan Pembelajaran Waktu
/Tahap
Pendahulua Guru dan peserta didik memulai pembelajaran dengan mengucap
n salam,berdoa dan mengabsen. 10
Guru memberikan motivasi yang membangun sikap percaya diri menit
siswa.
Guru menyampaikan tujuan pembelajaran.
Kegiatan Guru menyampaikan materi pembelajaran terkait dengan literasi
Inti buku fiksi dan nonfiksi.
Guru menanyakan kepada siswa terkait materi yang telah
dipelajari untuk mengetahui pemahaman siswa. 60
Peserta didik menjelaskan pengertian buku fiksi dan nonfiksi Menit
Peserta didik menentukan unsur-unsur buku fiksi dan nonfiksi.
Peserta didik menentukan persamaan dan perbedaan buku fiksi
dan nonfiksi.
Peserta didik menjelaskan cara membaca dengan SQ3R
Penutup Guru dan peserta didik melakukan refleksi tentang kesulitan dan
manfaat dari kegiatan pembelajaran yag berlangsung.
Peserta didik menerima tugas dari guru mencari contoh buku fiksi
dan nonfiksi. 10
Guru menginformasikan kegiatan selanjutnya yang akan menit
dipelajari pada pertemuan selanjutnya.
Guru dan peserta didik menutup pembelajaran dengan berdoa
bersama dan mengucapkan salam.
Pertemuan II
Langkah / Kegiatan Pembelajaran Waktu
Tahap
Pendahulu Guru membuka kegiatan pembelajaran dengan salam dan berdoa
an bersama peseta didik. 10
Guru menanyakan ketidak hadiran siswa. menit
Guru memberikan penguatan terkait pelajaran yang telah dipelajari.
Kegiatan Peserta didik membuat contoh rangkuman dalam bentuk buku fiksi
Inti dan nonfiksi. 60
menit
Penutup Peserta didik bersama guru menyimpulkan materi yang telah dipelajari.
Guru dan peserta didik menutup pembelajaran dengan berdo’a 10
bersama dan megucapkan salam. menit
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10
Rubrik Skor
Kategori nilai dapat dilihat pada table konversi nilai sikap (K, C, B, SB).
Konvers
Predikat dan nilai kompetensi
Nilai
Hasil Nilaikompetensi
Interval Predikat Pengetahua Keterampil Sikap
Konveksi
n an
No Aspek Keterangan
2. Penilaian Pengetahuan
a. Teknik : teks tertulis
b. Bentuk : uraian
c. Instrumen
No Indikator Jenis Instrumen Skor
soal
Teks Laporan
3. Penilaian keterampilan
a. Teknik : tes tulis
b. Bentuk : uraian
c. Instrumen:
100
Jumlah skor
Soal:
1. Sebutkan unsur-unsur buku fiksi dan nonfiksi!
2. Menentukan persamaan dan perbedaan unsur buku fiksi dan nonfiksi!
3. Menjelaskan cara membaca buku dengan SQ3R!
4. Buatlah contoh rangkuman dalam bentuk buku fiksi dan nonfiksi!
Kunci Jawaban:
Fiksi
“Misteri Rara Jonggrang”
Rangkuman
Dahuku kala ada seorang Raja yang bernama Raja Boko dan mempunyai putri yang
sangat cantik, Rara Jonggrang. Suatu hari Rara Jonggrang dilamar oleh seorang
pemuda yang bernama Bandung Bondowoso. Rara Jonggrang pun menolaknya
karena ia tidak mencintai Bandung. Bandung terus memaksa dan membujuk hingga
akhirnya Rara Jonggrang pun setuju, asalkan permintaannya dikabulkan oleh
Bandung. Permintaannya ialah ia minta didirikan 1.000 candi dalam waktu satu hari
satu malam.
Bandung Bondowoso setuju, lalu ia mulai membangun, tetapi setelah malam hari ia
meminta bantuan makhluk halus agar pembangunan bisa lebih cepat selesai. Rara
Jonggrang khawatir dan ia menyuruh dayang-dayangnya supaya membunyikan suara-
suara berisik dan membangunkan hewan-hewan peliharaan supaya para makhluk
halus takut. Ternyata benar, para makhluk halus mengira hari telah pagi dan mereka
bersembunyi lagi. Bandung Bondowoso melihat bahwa jumlah candi hanya 999 dan
ia tahu bahwa ia telah dikelabui oleh Rara Jongrang yang berbuat curang. Maka iapun
murka dan menyihir Rara Jongrang menjadi patung batu yang menghias candi
terakhir.
Nonfiksi
”Dewi Sartika”
Rangkuman
Dewi Sartika dilahirkan di Bandung, 4 Desember 1884 dari keluarga priyayi Sunda,
Nyi Raden Rajapermas dan Raden Somanagara. Meski melanggar adat saat itu, orang
tuanya bersikukuh menyekolahkan Dewi Sartika, ke sekolah Belanda pula.
Sepeninggal ayahnya, Dewi Sartika dirawat oleh pamannya (kakak ibunya) yang
berkedudukan sebagai patih di Cicalengka. Dari pamannya, beliau mendapatkan
didikan mengenai kesundaan, sedangkan wawasan kebudayaan Barat diperolehnya
dari berkat didikan seorang nyonya Asisten Residen bangsa Belanda.
Sejak kecil, Dewi Sartika sudah menunjukkan bakat pendidik dan kegigihan untuk
meraih kemajuan. Sambil bermain di belakang gedung kepatihan, beliau sering
memperagakan praktik di sekolah, mengajari baca-tulis, dan bahasa Belanda, kepada
anak-anak pembantu di kepatihan. Papan bilik kandang kereta, arang, dan pecahan
genting dijadikannya alat bantu belajar.
Waktu itu Dewi Sartika baru berumur sekitar sepuluh tahun, ketika Cicalengka
digemparkan oleh kemampuan baca-tulis dan beberapa patah kata dalam bahasa
Belanda yang ditunjukkan oleh anak-anak pembantu kepatihan. Gempar, karena di
waktu itu belum banyak anak-anak (apalagi anak rakyat jelata) memiliki kemampuan
seperti itu, dan diajarkan oleh seorang anak perempuan.
Ketika sudah mulai remaja, Dewi Sartika kembali ke ibunya di Bandung. Jiwanya
yang semakin dewasa semakin menggiringnya untuk mewujudkan cita-citanya. Hal
ini didorong pula oleh pamannya, Bupati Martanagara, pamannya sendiri, yang
memang memiliki keinginan yang sama. Tetapi, meski keinginan yang sama dimiliki
oleh pamannya, tidak menjadikannya serta merta dapat mewujudkan cita-citanya.
Adat yang mengekang kaum wanita pada waktu itu, membuat pamannya mengalami
kesulitan dan khawatir. Namu karena kegigihan semangatnya yang tak pernah surut,
akhirnya Dewi Sartika bisa meyakinkan pamannya dan diizinkan mendirikan sekolah
untuk perempuan.
Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata,
seseorang yang memiliki visi dan cita-cita yang sama, guru di Sekolah Karang
Pamulang, yang pada waktu itu merupakan Sekolah Latihan Guru.
Sejak 1902, Dewi Sartika sudah merintis pendidikan bagi kaum perempuan. Di
sebuah ruangan kecil, di belakang rumah ibunya di Bandung, Dewi Sartika mengajar
di hadapan anggota keluarganya yang perempuan. Merenda, memasak, jahit-menjahit,
membaca, menulis, dan sebagainya, menjadi materi pelajaran saat itu.
Usai berkonsultasi dengan Bupati R.A. Martenagara, pada 16 Januari 1904, Dewi
Sartika membuka Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia-Belanda.
Tenaga pengajarnya tiga orang; Dewi Sartika dibantu dua saudara misannya, Ny.
Poerwa dan Nyi. Oewid. Murid-murid angkatan pertamanya terdiri dari 20 orang,
menggunakan ruangan pendopo kabupaten Bandung.
Memasuki usia ke-sepuluh, tahun 1914, nama sekolahnya diganti menjadi Sakola
Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan). Kota-kota kabupaten wilayah
Pasundan yang belum memiliki Sakola Kautamaan Istri tinggal tiga/empat, semangat
ini menyeberang ke Bukittinggi, di mana Sakola Kautamaan Istri didirikan oleh Encik
Rama Saleh. Seluruh wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di
tiap kota kabupatennya pada tahun 1920, ditambah beberapa yang berdiri di kota
kewedanaan.
Bulan September 1929, Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya
yang telah berumur 25 tahun, yang kemudian berganti nama menjadi "Sakola Raden
Déwi". Atas jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa oleh
pemerintah Hindia-Belanda.
Mengetahui,
NIDN.0810106301
C. Materi Pembelajaran
Contoh Rangkuman Buku Fiksi dan Nonfiksi
Fiksi
“Misteri Rara Jonggrang”
Rangkuman
Dahuku kala ada seorang Raja yang bernama Raja Boko dan mempunyai putri yang
sangat cantik, Rara Jonggrang. Suatu hari Rara Jonggrang dilamar oleh seorang
pemuda yang bernama Bandung Bondowoso. Rara Jonggrang pun menolaknya
karena ia tidak mencintai Bandung. Bandung terus memaksa dan membujuk hingga
akhirnya Rara Jonggrang pun setuju, asalkan permintaannya dikabulkan oleh
Bandung. Permintaannya ialah ia minta didirikan 1.000 candi dalam waktu satu hari
satu malam.
Bandung Bondowoso setuju, lalu ia mulai membangun, tetapi setelah malam hari ia
meminta bantuan makhluk halus agar pembangunan bisa lebih cepat selesai. Rara
Jonggrang khawatir dan ia menyuruh dayang-dayangnya supaya membunyikan suara-
suara berisik dan membangunkan hewan-hewan peliharaan supaya para makhluk
halus takut. Ternyata benar, para makhluk halus mengira hari telah pagi dan mereka
bersembunyi lagi. Bandung Bondowoso melihat bahwa jumlah candi hanya 999 dan
ia tahu bahwa ia telah dikelabui oleh Rara Jongrang yang berbuat curang. Maka iapun
murka dan menyihir Rara Jongrang menjadi patung batu yang menghias candi
terakhir.
Nonfiksi
”Dewi Sartika”
Rangkuman
Dewi Sartika dilahirkan di Bandung, 4 Desember 1884 dari keluarga priyayi Sunda,
Nyi Raden Rajapermas dan Raden Somanagara. Meski melanggar adat saat itu, orang
tuanya bersikukuh menyekolahkan Dewi Sartika, ke sekolah Belanda pula.
Sepeninggal ayahnya, Dewi Sartika dirawat oleh pamannya (kakak ibunya) yang
berkedudukan sebagai patih di Cicalengka. Dari pamannya, beliau mendapatkan
didikan mengenai kesundaan, sedangkan wawasan kebudayaan Barat diperolehnya
dari berkat didikan seorang nyonya Asisten Residen bangsa Belanda.
Sejak kecil, Dewi Sartika sudah menunjukkan bakat pendidik dan kegigihan untuk
meraih kemajuan. Sambil bermain di belakang gedung kepatihan, beliau sering
memperagakan praktik di sekolah, mengajari baca-tulis, dan bahasa Belanda, kepada
anak-anak pembantu di kepatihan. Papan bilik kandang kereta, arang, dan pecahan
genting dijadikannya alat bantu belajar.
Waktu itu Dewi Sartika baru berumur sekitar sepuluh tahun, ketika Cicalengka
digemparkan oleh kemampuan baca-tulis dan beberapa patah kata dalam bahasa
Belanda yang ditunjukkan oleh anak-anak pembantu kepatihan. Gempar, karena di
waktu itu belum banyak anak-anak (apalagi anak rakyat jelata) memiliki kemampuan
seperti itu, dan diajarkan oleh seorang anak perempuan.
Ketika sudah mulai remaja, Dewi Sartika kembali ke ibunya di Bandung. Jiwanya
yang semakin dewasa semakin menggiringnya untuk mewujudkan cita-citanya. Hal
ini didorong pula oleh pamannya, Bupati Martanagara, pamannya sendiri, yang
memang memiliki keinginan yang sama. Tetapi, meski keinginan yang sama dimiliki
oleh pamannya, tidak menjadikannya serta merta dapat mewujudkan cita-citanya.
Adat yang mengekang kaum wanita pada waktu itu, membuat pamannya mengalami
kesulitan dan khawatir. Namu karena kegigihan semangatnya yang tak pernah surut,
akhirnya Dewi Sartika bisa meyakinkan pamannya dan diizinkan mendirikan sekolah
untuk perempuan. Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan
Agah Suriawinata, seseorang yang memiliki visi dan cita-cita yang sama, guru di
Sekolah Karang Pamulang, yang pada waktu itu merupakan Sekolah Latihan Guru.
Sejak 1902, Dewi Sartika sudah merintis pendidikan bagi kaum perempuan. Di
sebuah ruangan kecil, di belakang rumah ibunya di Bandung, Dewi Sartika mengajar
di hadapan anggota keluarganya yang perempuan. Merenda, memasak, jahit-menjahit,
membaca, menulis, dan sebagainya, menjadi materi pelajaran saat itu.
Usai berkonsultasi dengan Bupati R.A. Martenagara, pada 16 Januari 1904, Dewi
Sartika membuka Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia-Belanda.
Tenaga pengajarnya tiga orang; Dewi Sartika dibantu dua saudara misannya, Ny.
Poerwa dan Nyi. Oewid. Murid-murid angkatan pertamanya terdiri dari 20 orang,
menggunakan ruangan pendopo kabupaten Bandung.
Soal
1. Jelaskan struktur isi dan ciri kebahasaan teks laporan hasil observasi!
2. Jelaskan unsur-unsur kebahasaan teks laporan hasil observasi!
3. Sebutkan langkah langkah menyimpulkan teks laporan hasil observasi!
4. Simpulkan isi teks laporan hasil observasi!