Anda di halaman 1dari 29

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN(RPP)

Sekolah : SMP

Mata Pelajaran           : Bahasa Indonesia

Kelas/Semester            : VII/2

Materi Pokok              : Literasi Buku Fiksi Dan Non Fiksi (KD 3.15,4.15)

Alokasi Waktu            : 4x 40 menit (2 kali pertemuan)

A. Tujuan Pembelajaran

Setelah proses belajar berakhir diharapkan peserta didik mampu:


1. Menentukan unsur-unsur buku fiksi dan nonfiksi
2. Menentukan persamaan dan perbedaan unsur buku nonfiksi dengan fiksi.
3. Menjelaskan cara membaca buku dengan SQ3R
4. Membuat contoh rangkuman dalam bentuk buku fiksi dan nonfiksi

B. Kompetensi Dasar Dan Indikator Pencapaian Kompetensi

Kompetensi Dasar Indikator Pencapaian Kompetensi


3.15 Menemukan unsur-unsur dari
Menentukan unsur-unsur buku
buku fiksi dan nonfiksi yang 3.15.1
fiksi dan nonfiksi.
dibaca.
Menentukan persamaan dan
3.15.2
perbedaan unsur buku nonfiksi
dengan fiksi.

Menjelaskan cara membaca buku


3.15.3 dengan SQ3R
4.15 Membuat peta pikiran/
Membuat contoh rangkuman
rangkuman alur tentang isi buku 4.15.1
dalam bentuk buku fiksi dan
nonfiksi/ buku fiksi yang dibaca
nonfiksi

C. Materi Pembelajaran
1. Pengertian Buku Fiksi dan NonFiksi
Buku fiksi adalah buku yang berisi cerita atau kejadian yang tidak
sebenarnya. Sedangkan buku nonfiksi adalah buku yang berisikan kejadian
sebenarnya yang disampaikan menurut pendapat/opini/kajian penulis.
Dengan kata lain, buku fiksi adalah buku yang di dalamnya berisi cerita
rekaan atau khayalan. Sedangkan buku nonfiksi adalah buku yang dibuat
berdasarkan fakta dan kenyataan. Contoh buku fiksi yaitu buku cerita anak,
dongeng, novel, cerita pendek (cerpen), fabel, dan komik.
Contoh buku nonfiksi yaitu buku pelajaran, buku ensiklopedia, esai, jurnal,
dokumenter, biografi, dan laporan ilmiah (makalah, skripsi, tesis, disertasi).

2. Unsur-Unsur Buku Fiksi dan NonFiksi


Unsur-unsur buku fiksi meliputi bagian:
a. Cover Buku
b. Rincian Sub Bab Buku
c. Judul Sub Bab
d. Tokoh dan Penokohan
e. Tema Cerita
f. Bahasa yang digunakan
g. Penyajian alur cerita

Unsur-unsur buku nonfiksi meliputi bagian:


a. Cover Buku
b. Rincian Sub Bab Buku
c. Judul Sub Bab
d. Isi Buku
e. Cara menyajikan isi buku
f. Bahasa yang digunakan
g. Sistematika penulisan
3. Cara Membaca Buku Dengan SQ3R

1) Survey atau meninjau,


2) Question atau bertanya,
3) Read atau membaca,
4) Recite atau menuturkan,
5) Review atau mengulang
a. Survei (penelaahan dan pendahuluan)
Sebelum kita membaca, biasanya orang menyedikan waktu
beberapa menit untuk mengenal keseluruhan anatomi buku. Caranya
dengan membuka-buka buku secara cepat dan keseluruhan yang langsung
tampak. Yang dimaksud dengan anatomi buku tersebut meliputi (1)
bagian pendahuluan: halaman judul ,daftar isi, halaman ucapan
terimakasih, daftar tabel dan daftar gambar (jika ada daftar tabel, grafik
dan gambar) atau barang kali juga halaman yang berisi persetujuan dari
yang berwenang menerbitkan buku tersebut, dan abstraksi. (2) bagian isi
buku, yang menggambarkan urutan dan tata penyajian isi buku. (3) bagian
akhir buku, yang berisi kesimpulan, saran atau rekomendasi, daftar
pustaka dan indeks. Jadi, dalam membaca buku, kita tidak langsung
masuk kedalam batang tubuh bacaan tersebut.
b. Question (bertanya)
Pada saat menghadapi sebuah bacaan, pernakah mengajukan
pertanyaan pada diri senidiri tentang hal-hal yang berkaitan tentang
dengan bacaan atau buku tersebut ? apabila pembaca melakukan hal
demikian, maka pembaca telah merumuskan pertanyaan-pertanyaan yang
berkaitan dengan bacaan pertanyaan-pertanyaan itu dapat menuntun kita
memahami bacaan, dan mengarahkan pikiran pada isi bacaan yang akan
dimasuki sehingga anda bersikap aktif. Pembaca tidak saja mengikuti
pada apa yang dikatakan pengarang. Pembaca boleh mengkritik dan
mempertanyakan apa yang dikatakan pengarang sambil nanti melihat
buktinya.
c. Read (baca)
Setelah mensurvei dan merumuskan pertanyaan-pertanyaan,
selanjutnya mulai melakukan membaca. Tidak perlu semua kalimat demi
kalimat, melainkan membaca dapat dengan dituntun pleh pertanyaan-
pertanyaan yang telah dirumuskan. Perlambat cara membaca pada bagian-
bagian yang penting atau yang dianggap sulit dan percepat kembali pada
bagian-bagian yang tidak penting atau yang telah dimengerti. Dengan
demikian, kegiatan membaca dengan hal ini relatif lebih cepat atau
efektif, pada langkah ini konsentrasi diri sangatlah penting.
d. Recite (mengutarakan kembali)
Setiap selesai membaca satu bagian berhentilah sejenak. Buatlah
catatan-catatan penting tentang bagian yang dibaca itu dengan kata-kata
sendir, lakukan itu secara terus-menerus sampai selesai membaca. Catatan
itu dapat berupa kutipan, simpulan atau komentar. Catatan-catatan
tersebut akan membantu untuk mengingat apa yang sudah dibaca agar
tidak sampai terjadi begitu selesai membaca hilang pula apa yang telah
dibaca.
e. Review (mengulang kembali)
Setelah selesai membaca buku secara keseluruhan, tinjau kembali
hal-hal yang penting yang telah dibaca. Temukan bagian-bagian yang
peting yang perlu untuk diingat kembali, terutama hal-hal yang telah
diberi tanda atau garisbawah. Pengulangan kembali ini akan membantu
daya ingat dan memperjelas pemahaman terhadap bacaan.

4. Cara Membuat Rangkuman


a. Membaca teks asli atau mendengarkan naskah yang dibacakan. Dengan
membaca maka kita akan mengetaui informasi yang ada di dalamnya.
Dalam merangkum, membaca adalah kegiata pokok utama yang harus
dilakukan sebelum membuat rangkuman. Hal ini akan memudahkan kita
untuk mengingat, memahami, dan mengerti akan isi naskah. Sehingga
akan mempermudah ketika membuat rangkuman. 
b. Tentukan ide pokok pada tiap paragraf. Pada tahap kedua, setelah
membaca teks atau mendengarkan isi teks, selanjutnya ialah menentukan
gagasan atau ide poko para tiap-tiap paragraf (naskah teks) atau
menentukan isi pokok dari naskah yang dibacakan. Setelah memperoleh
ide pokok, rangkuman dapat dibuat dengan mengembangkan ide pokok
dengan bahasa sendiri (bahasa yang lebih sederhana) dibanding dengan
teks. (biasanya buku-buku teks pelajaran menggunakan bahasa yang sulit
dipahami).
c. Menulis rangkuman. Setelah memahami isi teks dan menentukan ide
pokok, langkah selanjutnya ialah membuat rangkuman. Ingat, rangkuman
adalah ringasan, tulislah yang menjadi teks pokok yang memang harus
ditulis (ide pokok). Pengembangan seperti pada langkah kedua dapat
dilakukan untuk memperjelas ide pokok. Rangkuman disusun secara
kronologis.
d. Membaca kembali rangkuman yang telah dibuat. setelah selesai membuat
rangkuman, maka bacalah kembali rangkuman yang telah dibuat. hal ini
untuk mengantisipasi adanya ide pokok atau informasi penting lainnya
yang belum ditulis. 

5. Hubungan Antar Unsur Dalam Buku Fiksi Dan Nonfiksi


Dengan mengamati setiap unsur yang terkandung di dalam buku fiksi
dan nonfiksi, kita dapat meyimpulkan bahwa sebagian unsur memiliki
kesamaan dan sebagian yang lain berbeda. Unsur yang sama-sama dimiliki
baik buku fiksi maupun nonfiksi yaitu sampul/cover, subbab, dan judul
subbab.
Dalam hal perbedaan, buku nonfiksi memiliki isi yang
ilmiah/aktual/faktual, disajikan dengan bahasa baku, dan memiliki sistematika
penulisan standar. Sedangkan buku fiksi memiliki tokoh dan penokohan
sebagai pelaku cerita, didukung dengan tema, disajikan dengan bahasa
variatif (biasanya tidak baku), dan dilengkapi dengan alur cerita yang
beraneka ragam.
6. Rangkuman Buku Fiksi Dan Nonnfiksi
 Fiksi
“Misteri Rara Jonggrang”

Rangkuman
Dahuku kala ada seorang Raja yang bernama Raja Boko dan mempunyai putri
yang sangat cantik, Rara Jonggrang. Suatu hari Rara Jonggrang dilamar oleh
seorang pemuda yang bernama Bandung Bondowoso. Rara Jonggrang pun
menolaknya karena ia tidak mencintai Bandung. Bandung terus memaksa dan
membujuk hingga akhirnya Rara Jonggrang pun setuju, asalkan
permintaannya dikabulkan oleh Bandung. Permintaannya ialah ia minta
didirikan 1.000 candi dalam waktu satu hari satu malam.
Bandung Bondowoso setuju, lalu ia mulai membangun, tetapi setelah malam
hari ia meminta bantuan makhluk halus agar pembangunan bisa lebih cepat
selesai. Rara Jonggrang khawatir dan ia menyuruh dayang-dayangnya supaya
membunyikan suara-suara berisik dan membangunkan hewan-hewan
peliharaan supaya para makhluk halus takut. Ternyata benar, para makhluk
halus mengira hari telah pagi dan mereka bersembunyi lagi. Bandung
Bondowoso melihat bahwa jumlah candi hanya 999 dan ia tahu bahwa ia telah
dikelabui oleh Rara Jongrang yang berbuat curang. Maka iapun murka dan
menyihir Rara Jongrang menjadi patung batu yang menghias candi terakhir.

 Nonfiksi
”Dewi Sartika”

Rangkuman
Dewi Sartika dilahirkan di Bandung, 4 Desember 1884 dari keluarga priyayi
Sunda, Nyi Raden Rajapermas dan Raden Somanagara. Meski melanggar adat
saat itu, orang tuanya bersikukuh menyekolahkan Dewi Sartika, ke sekolah
Belanda pula. Sepeninggal ayahnya, Dewi Sartika dirawat oleh pamannya
(kakak ibunya) yang berkedudukan sebagai patih di Cicalengka. Dari
pamannya, beliau mendapatkan didikan mengenai kesundaan, sedangkan
wawasan kebudayaan Barat diperolehnya dari berkat didikan seorang nyonya
Asisten Residen bangsa Belanda.

Sejak kecil, Dewi Sartika sudah menunjukkan bakat pendidik dan kegigihan
untuk meraih kemajuan. Sambil bermain di belakang gedung kepatihan, beliau
sering memperagakan praktik di sekolah, mengajari baca-tulis, dan bahasa
Belanda, kepada anak-anak pembantu di kepatihan. Papan bilik kandang
kereta, arang, dan pecahan genting dijadikannya alat bantu belajar.

Waktu itu Dewi Sartika baru berumur sekitar sepuluh tahun, ketika
Cicalengka digemparkan oleh kemampuan baca-tulis dan beberapa patah kata
dalam bahasa Belanda yang ditunjukkan oleh anak-anak pembantu kepatihan.
Gempar, karena di waktu itu belum banyak anak-anak (apalagi anak rakyat
jelata) memiliki kemampuan seperti itu, dan diajarkan oleh seorang anak
perempuan.

Ketika sudah mulai remaja, Dewi Sartika kembali ke ibunya di Bandung.


Jiwanya yang semakin dewasa semakin menggiringnya untuk mewujudkan
cita-citanya. Hal ini didorong pula oleh pamannya, Bupati Martanagara,
pamannya sendiri, yang memang memiliki keinginan yang sama. Tetapi,
meski keinginan yang sama dimiliki oleh pamannya, tidak menjadikannya
serta merta dapat mewujudkan cita-citanya. Adat yang mengekang kaum
wanita pada waktu itu, membuat pamannya mengalami kesulitan dan
khawatir. Namu karena kegigihan semangatnya yang tak pernah surut,
akhirnya Dewi Sartika bisa meyakinkan pamannya dan diizinkan mendirikan
sekolah untuk perempuan.
Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah
Suriawinata, seseorang yang memiliki visi dan cita-cita yang sama, guru di
Sekolah Karang Pamulang, yang pada waktu itu merupakan Sekolah Latihan
Guru.

Sejak 1902, Dewi Sartika sudah merintis pendidikan bagi kaum perempuan.
Di sebuah ruangan kecil, di belakang rumah ibunya di Bandung, Dewi Sartika
mengajar di hadapan anggota keluarganya yang perempuan. Merenda,
memasak, jahit-menjahit, membaca, menulis, dan sebagainya, menjadi materi
pelajaran saat itu.
Usai berkonsultasi dengan Bupati R.A. Martenagara, pada 16 Januari 1904,
Dewi Sartika membuka Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia-
Belanda. Tenaga pengajarnya tiga orang; Dewi Sartika dibantu dua saudara
misannya, Ny. Poerwa dan Nyi. Oewid. Murid-murid angkatan pertamanya
terdiri dari 20 orang, menggunakan ruangan pendopo kabupaten Bandung.

Setahun kemudian, 1905, sekolahnya menambah kelas, sehingga kemudian


pindah ke Jalan Ciguriang, Kebon Cau. Lokasi baru ini dibeli Dewi Sartika
dengan uang tabungan pribadinya, serta bantuan dana pribadi dari Bupati
Bandung. Lulusan pertama keluar pada tahun 1909, membuktikan kepada
bangsa kita bahwa perempuan memiliki kemampuan yang tak ada bedanya
dengan laki-laki. Tahun 1910, menggunakan hartanya pribadi, sekolahnya
diperbaiki lagi sehingga bisa lebih mememnuhi syarat kelengkapan sekolah
formal.

Pada tahun-tahun berikutnya di beberapa wilayah Pasundan bermunculan


beberapa Sakola Istri, terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan
Sunda yang memiliki cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika. Pada tahun
1912 sudah berdiri sembilan Sakola Istri di kota-kota kabupaten (setengah dari
seluruh kota kabupaten se-Pasundan).

Memasuki usia ke-sepuluh, tahun 1914, nama sekolahnya diganti menjadi


Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan). Kota-kota
kabupaten wilayah Pasundan yang belum memiliki Sakola Kautamaan Istri
tinggal tiga/empat, semangat ini menyeberang ke Bukittinggi, di mana Sakola
Kautamaan Istri didirikan oleh Encik Rama Saleh. Seluruh wilayah Pasundan
lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota kabupatennya pada
tahun 1920, ditambah beberapa yang berdiri di kota kewedanaan.
Bulan September 1929, Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian
sekolahnya yang telah berumur 25 tahun, yang kemudian berganti nama
menjadi "Sakola Raden Déwi". Atas jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika
dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah Hindia-Belanda.

Dewi Sartika meninggal 11 September 1947 di Tasikmalaya, dan dimakamkan


dengan suatu upacara pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon-Desa
Rahayu Kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian dimakamkan kembali di
kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar, Bandung.

D. Metode Pembelajaran
1. Pendekatan saintifik
2. Metode tanya jawab
3. Metode diskusi
4. Penugasan
E. Media Pembelajaran
1. Teks
2. Laptop
3. LCD
F. Sumber Belajar
1. Suherli, dkk. 2017. Bahasa Indonesia; Buku Siswa SMP/MTs KELAS VII.
Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemendikbud.
2. Suherli, dkk. 2017. Bahasa Indonesia; Buku Guru SMP/MTs KELAS VII. Jakarta:
Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemendikbud.
3. Kamus Besar Bahasa Indonesia.

G. Langkah-langkah Pembejaran
Pertemuan 1
Langkah Kegiatan Pembelajaran Waktu
/Tahap
Pendahulua  Guru dan peserta didik memulai pembelajaran dengan mengucap
n salam,berdoa dan mengabsen. 10
 Guru memberikan motivasi yang membangun sikap percaya diri menit
siswa.
 Guru menyampaikan tujuan pembelajaran.
Kegiatan  Guru menyampaikan materi pembelajaran terkait dengan literasi
Inti buku fiksi dan nonfiksi.
 Guru menanyakan kepada siswa terkait materi yang telah
dipelajari untuk mengetahui pemahaman siswa. 60
 Peserta didik menjelaskan pengertian buku fiksi dan nonfiksi Menit
 Peserta didik menentukan unsur-unsur buku fiksi dan nonfiksi.
 Peserta didik menentukan persamaan dan perbedaan buku fiksi
dan nonfiksi.
 Peserta didik menjelaskan cara membaca dengan SQ3R

Penutup  Guru dan peserta didik melakukan refleksi tentang kesulitan dan
manfaat dari kegiatan pembelajaran yag berlangsung.
 Peserta didik menerima tugas dari guru mencari contoh buku fiksi
dan nonfiksi. 10
 Guru menginformasikan kegiatan selanjutnya yang akan menit
dipelajari pada pertemuan selanjutnya.
 Guru dan peserta didik menutup pembelajaran dengan berdoa
bersama dan mengucapkan salam.

Pertemuan II
Langkah / Kegiatan Pembelajaran Waktu
Tahap
Pendahulu  Guru membuka kegiatan pembelajaran dengan salam dan berdoa
an bersama peseta didik. 10
 Guru menanyakan ketidak hadiran siswa. menit
 Guru memberikan penguatan terkait pelajaran yang telah dipelajari.
Kegiatan  Peserta didik membuat contoh rangkuman dalam bentuk buku fiksi
Inti dan nonfiksi. 60
menit
Penutup  Peserta didik bersama guru menyimpulkan materi yang telah dipelajari.
 Guru dan peserta didik menutup pembelajaran dengan berdo’a 10
bersama dan megucapkan salam. menit

H. Penilaian Hasil Belajar


1. Penilaian Sikap
a. Teknik penilaian : Observasi, Penilaian diri.
b. Bentuk Instrumen : Lembar Observasi, lembar penilaian diri.
c. kisi-kisi.

Aspek yang dinilai Jumlah


Religious Tanggung Responsiv Proaktif Jujur Sk nilai Predi
Namasis
jawab e or kat
No wa
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1.
2.

3.
4.
5.

6.

7.

8.

9.

10

a. Rubik Penilaian Sikap

Rubrik Skor

Sama sekali tidak menunjukkan usaha sungguh-sungguh dalam melakukan 1


kegiatan.

Menunjukkan usaha sungguh-sungguh dalam melakukan kegiatan tetapi 2


masih sedikit dan belum konsisten.

Menunjukkan adanya usaha sungguh-sungguh dalam melakukan kegiatan 3


yang cukup sering dan mulai konsisten.

Menunjukkan adanya usaha sungguh-sungguh dalam melakukan kegiatan 4


secara terus menerus dan konsisten.

Pedoman nilai sikap;

Skor = Jumlah perolehan angka seluruh aspek


skor yang diperoleh
Nilai = x100
Skor maximal

Konversi nilai = (Nilai/100) x 4

Kategori nilai dapat dilihat pada table konversi nilai sikap (K, C, B, SB).

b. Tabel Konvers Nilai

Konvers
Predikat dan nilai kompetensi
Nilai

Hasil Nilaikompetensi
Interval Predikat Pengetahua Keterampil Sikap
Konveksi
n an

96-100 4,00 A 4,00 4,00 SB

91-95 4,66 A- 4,66 4,66 (SANGAT


BAIK)

85-90 3,33 B+ 3,33 3,33 B

80-84 3,00 B 3,00 3,00 (BAIK)

75-79 2,66 B- 2,66 2,66

70-74 2,33 C+ 2,33 2,33 C

65-69 2,00 C 2,00 2,00 (CUKUP)

60-65 1,66 C- 1,66 1,66

55-59 1,33 D+ 1,33 1,33 K

≤54 1,00 D 1,00 1,00 (KURANG)


Rubrik Penilaian Sikap

No Aspek Keterangan

1 Relegius Peserta didik mampu menghayati dan mengamalkan


ajaran agama yang dianutnya.

2 Tanggung Jawab Peserta didik mengamalkan prilaku bertanggung jawab


dengan hasil yang dicapai dalam proses pembelajaran
yang diberikan.

3 Responsive Peserta didik mampu merespon dalam menjawab


pertanyaan yang diberikan oleh guru

4 Proaktif Peserta didik aktif dalam proses pembelajaran baik dalam


diskusi, mengerjakan latihan, tugas dan ulangan yang
diberikan.

5 Jujur Peserta didik dalam mengerjakan soal latihan maupun


ulangand engan jujur.

2. Penilaian Pengetahuan
a. Teknik : teks tertulis
b. Bentuk : uraian
c. Instrumen
No Indikator Jenis Instrumen Skor
soal

1 Menentukan unsur-unsur buku fiksi uraian 1.Sebutkan unsur-


dan nonfiksi. unsur buku fiksi 0-30
dan nonfiksi!
2.Tentukan
Menentukan persamaan dan
2 persamaan dan
perbedaan unsur buku nonfiksi dengan
perbedaan unsur 0-30
fiksi.
buku fiksi dengan
nonfiksi!

3 Menjelaskan cara membaca buku Jelaskan cara


denga SQ3R membaca dengan 0-40
SQ3R

Jumlah Skor 100

Rubrik Penilaian Pengetahuan

No Teks Laporan bagian teks Skor Keterangan

Teks Laporan

1. Unsur-unsur buku fiksi dan nonfiksi 1-30 Kurang-Cukup : Apabila


menyebutkan 7 usur-unsur buku
fiksi dan nonfiksi dengan benar dan
lengkap.
Persamaan dan perbedaan unsur buku
2. 31-60 Cukup-Baik : Apabila menentukan
nonfiksi dengan fiksi
persamaan dan perbedaan unsur buku
fiksi da nonfiksi dengan benar dan
lengkap.
Jelaskan cara membaca buku dengan SQ3R
3. 61-100 Baik-Sangat Baik : Apabila
menjelaskan cara membuat buku
dengan SQ3R dengan benar dan
lengkap.

3. Penilaian keterampilan
a. Teknik : tes tulis
b. Bentuk : uraian
c. Instrumen:

Indikator Jenis teks Skor


Instrumental
1. Buatlah rangkuman dalam
1.Membuat Uraian 0-100
bentuk rangkaian gagasan pokok
rangkuman dalam
isi buku!
bentuk rangkaian
gagasan pokok isi
buku.

Rubrik Penilaian Keterampilan

No Aspek Penilaian Deskripsi Skor


1 Contoh rangkuman dalam bentuk Membuat contoh 0-100
. buku fiksi dan nonfiksi rangkuman dalam
bentuk buku fiksi dan
nonfiksi dengan benar
dan tepat.

100
Jumlah skor

Soal:
1. Sebutkan unsur-unsur buku fiksi dan nonfiksi!
2. Menentukan persamaan dan perbedaan unsur buku fiksi dan nonfiksi!
3. Menjelaskan cara membaca buku dengan SQ3R!
4. Buatlah contoh rangkuman dalam bentuk buku fiksi dan nonfiksi!

Kunci Jawaban:

1. Unsur-Unsur Buku Fiksi dan Nonfiksi


Unsur-unsur buku fiksi meliputi bagian:
h. Cover Buku
i. Rincian Sub Bab Buku
j. Judul Sub Bab
k. Tokoh dan Penokohan
l. Tema Cerita
m. Bahasa yang digunakan
n. Penyajian alur cerita
Unsur-unsur buku nonfiksi meliputi bagian:
h. Cover Buku
i. Rincian Sub Bab Buku
j. Judul Sub Bab
k. Isi Buku
l. Cara menyajikan isi buku
m. Bahasa yang digunakan
n. Sistematika penulisan

2. Persamaan dan Perbedaan Unsur Buku Fiksi dan Nonfiksi


Unsur yang sama-sama dimiliki baik buku fiksi maupun nonfiksi yaitu
sampul/cover, subbab, dan judul subbab.
Dalam hal perbedaan, buku nonfiksi memiliki isi yang ilmiah/aktual/faktual,
disajikan dengan bahasa baku, dan memiliki sistematika penulisan standar. Sedangkan
buku fiksi memiliki tokoh dan penokohan sebagai pelaku cerita, didukung dengan
tema, disajikan dengan bahasa variatif (biasanya tidak baku), dan dilengkapi dengan
alur cerita yang beraneka ragam.

3. Cara Membaca Buku dengan SQ3R


a. Survei (penelaahan dan pendahuluan)
Sebelum kita membaca, biasanya orang menyedikan waktu beberapa menit
untuk mengenal keseluruhan anatomi buku. Caranya dengan membuka-buka
buku secara cepat dan keseluruhan yang langsung tampak. Yang dimaksud
dengan anatomi buku tersebut meliputi (1) bagian pendahuluan: halaman judul
,daftar isi, halaman ucapan terimakasih, daftar tabel dan daftar gambar (jika ada
daftar tabel, grafik dan gambar) atau barang kali juga halaman yang berisi
persetujuan dari yang berwenang menerbitkan buku tersebut, dan abstraksi. (2)
bagian isi buku, yang menggambarkan urutan dan tata penyajian isi buku. (3)
bagian akhir buku, yang berisi kesimpulan, saran atau rekomendasi, daftar
pustaka dan indeks. Jadi, dalam membaca buku, kita tidak langsung masuk
kedalam batang tubuh bacaan tersebut.
b. Question (bertanya)
Pada saat menghadapi sebuah bacaan, pernakah mengajukan pertanyaan
pada diri senidiri tentang hal-hal yang berkaitan tentang dengan bacaan atau buku
tersebut ? apabila pembaca melakukan hal demikian, maka pembaca telah
merumuskan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan bacaan pertanyaan-
pertanyaan itu dapat menuntun kita memahami bacaan, dan mengarahkan pikiran
pada isi bacaan yang akan dimasuki sehingga anda bersikap aktif. Pembaca tidak
saja mengikuti pada apa yang dikatakan pengarang. Pembaca boleh mengkritik
dan mempertanyakan apa yang dikatakan pengarang sambil nanti melihat
buktinya.
c. Read (baca)
Setelah mensurvei dan merumuskan pertanyaan-pertanyaan, selanjutnya
mulai melakukan membaca. Tidak perlu semua kalimat demi kalimat, melainkan
membaca dapat dengan dituntun pleh pertanyaan-pertanyaan yang telah
dirumuskan. Perlambat cara membaca pada bagian-bagian yang penting atau
yang dianggap sulit dan percepat kembali pada bagian-bagian yang tidak penting
atau yang telah dimengerti. Dengan demikian, kegiatan membaca dengan hal ini
relatif lebih cepat atau efektif, pada langkah ini konsentrasi diri sangatlah
penting.
d. Recite (mengutarakan kembali)
Setiap selesai membaca satu bagian berhentilah sejenak. Buatlah catatan-
catatan penting tentang bagian yang dibaca itu dengan kata-kata sendir, lakukan
itu secara terus-menerus sampai selesai membaca. Catatan itu dapat berupa
kutipan, simpulan atau komentar. Catatan-catatan tersebut akan membantu untuk
mengingat apa yang sudah dibaca agar tidak sampai terjadi begitu selesai
membaca hilang pula apa yang telah dibaca.
e. Review (mengulang kembali)
Setelah selesai membaca buku secara keseluruhan, tinjau kembali hal-hal
yang penting yang telah dibaca. Temukan bagian-bagian yang peting yang perlu
untuk diingat kembali, terutama hal-hal yang telah diberi tanda atau garisbawah.
Pengulangan kembali ini akan membantu daya ingat dan memperjelas
pemahaman terhadap bacaan.

4. Contoh Rangkuman dalam Bentuk Buku Fiksi Dan Nonfiksi

 Fiksi
“Misteri Rara Jonggrang”

Rangkuman
Dahuku kala ada seorang Raja yang bernama Raja Boko dan mempunyai putri yang
sangat cantik, Rara Jonggrang. Suatu hari Rara Jonggrang dilamar oleh seorang
pemuda yang bernama Bandung Bondowoso. Rara Jonggrang pun menolaknya
karena ia tidak mencintai Bandung. Bandung terus memaksa dan membujuk hingga
akhirnya Rara Jonggrang pun setuju, asalkan permintaannya dikabulkan oleh
Bandung. Permintaannya ialah ia minta didirikan 1.000 candi dalam waktu satu hari
satu malam.
Bandung Bondowoso setuju, lalu ia mulai membangun, tetapi setelah malam hari ia
meminta bantuan makhluk halus agar pembangunan bisa lebih cepat selesai. Rara
Jonggrang khawatir dan ia menyuruh dayang-dayangnya supaya membunyikan suara-
suara berisik dan membangunkan hewan-hewan peliharaan supaya para makhluk
halus takut. Ternyata benar, para makhluk halus mengira hari telah pagi dan mereka
bersembunyi lagi. Bandung Bondowoso melihat bahwa jumlah candi hanya 999 dan
ia tahu bahwa ia telah dikelabui oleh Rara Jongrang yang berbuat curang. Maka iapun
murka dan menyihir Rara Jongrang menjadi patung batu yang menghias candi
terakhir.
 Nonfiksi
”Dewi Sartika”

Rangkuman
Dewi Sartika dilahirkan di Bandung, 4 Desember 1884 dari keluarga priyayi Sunda,
Nyi Raden Rajapermas dan Raden Somanagara. Meski melanggar adat saat itu, orang
tuanya bersikukuh menyekolahkan Dewi Sartika, ke sekolah Belanda pula.
Sepeninggal ayahnya, Dewi Sartika dirawat oleh pamannya (kakak ibunya) yang
berkedudukan sebagai patih di Cicalengka. Dari pamannya, beliau mendapatkan
didikan mengenai kesundaan, sedangkan wawasan kebudayaan Barat diperolehnya
dari berkat didikan seorang nyonya Asisten Residen bangsa Belanda.

Sejak kecil, Dewi Sartika sudah menunjukkan bakat pendidik dan kegigihan untuk
meraih kemajuan. Sambil bermain di belakang gedung kepatihan, beliau sering
memperagakan praktik di sekolah, mengajari baca-tulis, dan bahasa Belanda, kepada
anak-anak pembantu di kepatihan. Papan bilik kandang kereta, arang, dan pecahan
genting dijadikannya alat bantu belajar.

Waktu itu Dewi Sartika baru berumur sekitar sepuluh tahun, ketika Cicalengka
digemparkan oleh kemampuan baca-tulis dan beberapa patah kata dalam bahasa
Belanda yang ditunjukkan oleh anak-anak pembantu kepatihan. Gempar, karena di
waktu itu belum banyak anak-anak (apalagi anak rakyat jelata) memiliki kemampuan
seperti itu, dan diajarkan oleh seorang anak perempuan.

Ketika sudah mulai remaja, Dewi Sartika kembali ke ibunya di Bandung. Jiwanya
yang semakin dewasa semakin menggiringnya untuk mewujudkan cita-citanya. Hal
ini didorong pula oleh pamannya, Bupati Martanagara, pamannya sendiri, yang
memang memiliki keinginan yang sama. Tetapi, meski keinginan yang sama dimiliki
oleh pamannya, tidak menjadikannya serta merta dapat mewujudkan cita-citanya.
Adat yang mengekang kaum wanita pada waktu itu, membuat pamannya mengalami
kesulitan dan khawatir. Namu karena kegigihan semangatnya yang tak pernah surut,
akhirnya Dewi Sartika bisa meyakinkan pamannya dan diizinkan mendirikan sekolah
untuk perempuan.

Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata,
seseorang yang memiliki visi dan cita-cita yang sama, guru di Sekolah Karang
Pamulang, yang pada waktu itu merupakan Sekolah Latihan Guru.

Sejak 1902, Dewi Sartika sudah merintis pendidikan bagi kaum perempuan. Di
sebuah ruangan kecil, di belakang rumah ibunya di Bandung, Dewi Sartika mengajar
di hadapan anggota keluarganya yang perempuan. Merenda, memasak, jahit-menjahit,
membaca, menulis, dan sebagainya, menjadi materi pelajaran saat itu.
Usai berkonsultasi dengan Bupati R.A. Martenagara, pada 16 Januari 1904, Dewi
Sartika membuka Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia-Belanda.
Tenaga pengajarnya tiga orang; Dewi Sartika dibantu dua saudara misannya, Ny.
Poerwa dan Nyi. Oewid. Murid-murid angkatan pertamanya terdiri dari 20 orang,
menggunakan ruangan pendopo kabupaten Bandung.

Setahun kemudian, 1905, sekolahnya menambah kelas, sehingga kemudian pindah ke


Jalan Ciguriang, Kebon Cau. Lokasi baru ini dibeli Dewi Sartika dengan uang
tabungan pribadinya, serta bantuan dana pribadi dari Bupati Bandung. Lulusan
pertama keluar pada tahun 1909, membuktikan kepada bangsa kita bahwa perempuan
memiliki kemampuan yang tak ada bedanya dengan laki-laki. Tahun 1910,
menggunakan hartanya pribadi, sekolahnya diperbaiki lagi sehingga bisa lebih
mememnuhi syarat kelengkapan sekolah formal.

Pada tahun-tahun berikutnya di beberapa wilayah Pasundan bermunculan beberapa


Sakola Istri, terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki
cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika. Pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan
Sakola Istri di kota-kota kabupaten (setengah dari seluruh kota kabupaten se-
Pasundan).

Memasuki usia ke-sepuluh, tahun 1914, nama sekolahnya diganti menjadi Sakola
Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan). Kota-kota kabupaten wilayah
Pasundan yang belum memiliki Sakola Kautamaan Istri tinggal tiga/empat, semangat
ini menyeberang ke Bukittinggi, di mana Sakola Kautamaan Istri didirikan oleh Encik
Rama Saleh. Seluruh wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di
tiap kota kabupatennya pada tahun 1920, ditambah beberapa yang berdiri di kota
kewedanaan.
Bulan September 1929, Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya
yang telah berumur 25 tahun, yang kemudian berganti nama menjadi "Sakola Raden
Déwi". Atas jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa oleh
pemerintah Hindia-Belanda.

Dewi Sartika meninggal 11 September 1947 di Tasikmalaya, dan dimakamkan


dengan suatu upacara pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon-Desa Rahayu
Kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian dimakamkan kembali di kompleks
Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar, Bandung.

Mengetahui,

Kepala Sokolah, Guru Mata Pelajaran,


Nurjuwita Qomariah

Dra. Titin Untari., M.Pd NIM. 117110021

NIDN.0810106301

LEMBARAN KERJA PESERTA DIDIK(LKPD)


A. Kompetensi Dasar
3.15 Menemukan unsur-unsur dari buku fiksi dan nonfiksi yang dibaca
4.15 Membuat peta pikiran/rangkuman alur tentang isi buku nonfiksi/ buku fiksi yang
dibaca
B. Indikator
1.1.1 Menentukan unsur-unsur buku fiksi dan nonfiksi
1.1.2 Menentukan persamaan dan perbedaan unsur buku nonfiksi dengan fiksi
1.1.3 Menjelaskan cara membaca buku dengan SQ3R
1.1.4 Membuat contoh rangkuman dalam bentuk buku fiksi dan nonfiksi

C. Materi Pembelajaran
Contoh Rangkuman Buku Fiksi dan Nonfiksi
 Fiksi
“Misteri Rara Jonggrang”

Rangkuman
Dahuku kala ada seorang Raja yang bernama Raja Boko dan mempunyai putri yang
sangat cantik, Rara Jonggrang. Suatu hari Rara Jonggrang dilamar oleh seorang
pemuda yang bernama Bandung Bondowoso. Rara Jonggrang pun menolaknya
karena ia tidak mencintai Bandung. Bandung terus memaksa dan membujuk hingga
akhirnya Rara Jonggrang pun setuju, asalkan permintaannya dikabulkan oleh
Bandung. Permintaannya ialah ia minta didirikan 1.000 candi dalam waktu satu hari
satu malam.
Bandung Bondowoso setuju, lalu ia mulai membangun, tetapi setelah malam hari ia
meminta bantuan makhluk halus agar pembangunan bisa lebih cepat selesai. Rara
Jonggrang khawatir dan ia menyuruh dayang-dayangnya supaya membunyikan suara-
suara berisik dan membangunkan hewan-hewan peliharaan supaya para makhluk
halus takut. Ternyata benar, para makhluk halus mengira hari telah pagi dan mereka
bersembunyi lagi. Bandung Bondowoso melihat bahwa jumlah candi hanya 999 dan
ia tahu bahwa ia telah dikelabui oleh Rara Jongrang yang berbuat curang. Maka iapun
murka dan menyihir Rara Jongrang menjadi patung batu yang menghias candi
terakhir.

 Nonfiksi
”Dewi Sartika”

Rangkuman
Dewi Sartika dilahirkan di Bandung, 4 Desember 1884 dari keluarga priyayi Sunda,
Nyi Raden Rajapermas dan Raden Somanagara. Meski melanggar adat saat itu, orang
tuanya bersikukuh menyekolahkan Dewi Sartika, ke sekolah Belanda pula.
Sepeninggal ayahnya, Dewi Sartika dirawat oleh pamannya (kakak ibunya) yang
berkedudukan sebagai patih di Cicalengka. Dari pamannya, beliau mendapatkan
didikan mengenai kesundaan, sedangkan wawasan kebudayaan Barat diperolehnya
dari berkat didikan seorang nyonya Asisten Residen bangsa Belanda.

Sejak kecil, Dewi Sartika sudah menunjukkan bakat pendidik dan kegigihan untuk
meraih kemajuan. Sambil bermain di belakang gedung kepatihan, beliau sering
memperagakan praktik di sekolah, mengajari baca-tulis, dan bahasa Belanda, kepada
anak-anak pembantu di kepatihan. Papan bilik kandang kereta, arang, dan pecahan
genting dijadikannya alat bantu belajar.

Waktu itu Dewi Sartika baru berumur sekitar sepuluh tahun, ketika Cicalengka
digemparkan oleh kemampuan baca-tulis dan beberapa patah kata dalam bahasa
Belanda yang ditunjukkan oleh anak-anak pembantu kepatihan. Gempar, karena di
waktu itu belum banyak anak-anak (apalagi anak rakyat jelata) memiliki kemampuan
seperti itu, dan diajarkan oleh seorang anak perempuan.

Ketika sudah mulai remaja, Dewi Sartika kembali ke ibunya di Bandung. Jiwanya
yang semakin dewasa semakin menggiringnya untuk mewujudkan cita-citanya. Hal
ini didorong pula oleh pamannya, Bupati Martanagara, pamannya sendiri, yang
memang memiliki keinginan yang sama. Tetapi, meski keinginan yang sama dimiliki
oleh pamannya, tidak menjadikannya serta merta dapat mewujudkan cita-citanya.
Adat yang mengekang kaum wanita pada waktu itu, membuat pamannya mengalami
kesulitan dan khawatir. Namu karena kegigihan semangatnya yang tak pernah surut,
akhirnya Dewi Sartika bisa meyakinkan pamannya dan diizinkan mendirikan sekolah
untuk perempuan. Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan
Agah Suriawinata, seseorang yang memiliki visi dan cita-cita yang sama, guru di
Sekolah Karang Pamulang, yang pada waktu itu merupakan Sekolah Latihan Guru.
Sejak 1902, Dewi Sartika sudah merintis pendidikan bagi kaum perempuan. Di
sebuah ruangan kecil, di belakang rumah ibunya di Bandung, Dewi Sartika mengajar
di hadapan anggota keluarganya yang perempuan. Merenda, memasak, jahit-menjahit,
membaca, menulis, dan sebagainya, menjadi materi pelajaran saat itu.
Usai berkonsultasi dengan Bupati R.A. Martenagara, pada 16 Januari 1904, Dewi
Sartika membuka Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia-Belanda.
Tenaga pengajarnya tiga orang; Dewi Sartika dibantu dua saudara misannya, Ny.
Poerwa dan Nyi. Oewid. Murid-murid angkatan pertamanya terdiri dari 20 orang,
menggunakan ruangan pendopo kabupaten Bandung.

Setahun kemudian, 1905, sekolahnya menambah kelas, sehingga kemudian pindah ke


Jalan Ciguriang, Kebon Cau. Lokasi baru ini dibeli Dewi Sartika dengan uang
tabungan pribadinya, serta bantuan dana pribadi dari Bupati Bandung. Lulusan
pertama keluar pada tahun 1909, membuktikan kepada bangsa kita bahwa perempuan
memiliki kemampuan yang tak ada bedanya dengan laki-laki. Tahun 1910,
menggunakan hartanya pribadi, sekolahnya diperbaiki lagi sehingga bisa lebih
mememnuhi syarat kelengkapan sekolah formal.

Pada tahun-tahun berikutnya di beberapa wilayah Pasundan bermunculan beberapa


Sakola Istri, terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki
cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika. Pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan
Sakola Istri di kota-kota kabupaten (setengah dari seluruh kota kabupaten se-
Pasundan). Memasuki usia ke-sepuluh, tahun 1914, nama sekolahnya diganti menjadi
Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan). Kota-kota kabupaten
wilayah Pasundan yang belum memiliki Sakola Kautamaan Istri tinggal tiga/empat,
semangat ini menyeberang ke Bukittinggi, di mana Sakola Kautamaan Istri didirikan
oleh Encik Rama Saleh. Seluruh wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola
Kautamaan Istri di tiap kota kabupatennya pada tahun 1920, ditambah beberapa yang
berdiri di kota kewedanaan.
Bulan September 1929, Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya
yang telah berumur 25 tahun, yang kemudian berganti nama menjadi "Sakola Raden
Déwi". Atas jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa oleh
pemerintah Hindia-Belanda.

Dewi Sartika meninggal 11 September 1947 di Tasikmalaya, dan dimakamkan


dengan suatu upacara pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon-Desa Rahayu
Kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian dimakamkan kembali di kompleks
Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar, Bandung.

Soal
1. Jelaskan struktur isi dan ciri kebahasaan teks laporan hasil observasi!
2. Jelaskan unsur-unsur kebahasaan teks laporan hasil observasi!
3. Sebutkan langkah langkah menyimpulkan teks laporan hasil observasi!
4. Simpulkan isi teks laporan hasil observasi!

Anda mungkin juga menyukai