11
a. Pengertian Nikah
Perkawinan atau pernikahan merupakan salah satu sunnatullāh yang
berlaku pada semua makhluk ciptaan Allāh SWT, baik pada manusia,
hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Lembaga perkawinan adalah dasar
dan asas peradaban umat manusia. Banyak sekali nash Al-Qur’an yang
berbicara tentang itu.
Nikah berasal dari bahasa Arab yang bermakna al-wathi’ dan al-
dhammu wa al-tadākhul. Dalam istilah lain juga sering disebut dengan al-
dhammu wa al-jam’u, atau ‘ibarat ‘an al-wathi’ wa al-‘aqd yang
bermakna bersetubuh, berkumpul dan ‘aqad .22 Perkawinan dalam
bahasa Indonesia, berasal dari kata kawin, yang kemudian diberi
imbuhan awalan “per” dan akhiran “an”. Istilah yang sama dengan kata
kawin ialah nikah, apabila diberi imbuhan awalan “per’ dan akhiran “an”
menjadi pernikahan. Perkawinan atau pernikahan diartikan sebagai
perjanjian antara laki-laki dan perempuan bersuami istri.23 Menurut
istilah, sebagian besar para ulama fikih memberikan definisi nikah dalam
konteks hubungan biologis berdasarkan makna etimologis.
22
Wahbah al-Zuhayli, Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu. Juz. VII. (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), hlm.
29.
23
W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hlm. 453.
24
Loc. Cit
25
Ibid.
12
Menurut Hanabilah nikah adalah ‘aqad yang menggunakan lafaz inkāh
yang bermakna tazwīj dengan maksud mengambil manfaat untuk
bersenang-senang.26
26
‘Abd al-Rahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala Madzāhib al-Arba’ah. Juz. IV. (t.t.p.: Dar Ihya al-Turas
al-‘Arabi, 1986), hlm. 3.
27
Muhammad Abu Zahrah, Al-Ahwāl al-Syakhsiyyah. (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1957), hlm. 19.
28
Imam Taqiyuddin, Kifāyat al-Akhyār fi Hal Ghāyat al-Ikhtiyār. Juz. II. (Bandung: PT. Al-Ma’arif,
t.t.h.), hlm. 36.
29
Ibid.
30
Arso Sosroatmojo, Wasit Aulawi. Hukum Perkawinan di Indonesia. (Jakarta: Bulan Bintang, 1975),
hlm. 103.
31
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 dan Kompilasi Hukum Islam. (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hlm. 2.
13
Menurut T. Jafizham dengan mengutip pendapat para ahli dari berbagai
golongan dan bangsa menetapkan bahwa perkawinan adalah suatu
ikatan persahabatan yang erat antara jenis laki-laki dan jenis perempuan,
memperlihatkan suatu kerjasama yang baik dan teratur dalam satu
rumah tangga bahagia.32 Hazairin mengatakan bahwa inti dari sebuah
perkawinan adalah hubungan seksual. Menurutnya tidak ada nikah
(perkawinan) bila tidak ada hubungan seksual.33
Dari berbagai macam definisi yang diberikan oleh para ulama fikih klasik
maupun para ahli hukum Islam modern, ada satu benang merah yang
dapat ditarik sebagai sebuah konklusi untuk mendeskripsikan definisi
nikah, yaitu nikah digambarkan hanya semata-mata dalam konteks
hubungan biologis an sich. Pandangan seperti ini sangat wajar
mengingat makna nikah dalam literatur Arab berkonotasi hubungan
seksual. Satu hal yang pasti, memang harus jujur diakui bahwa nikah
merupakan satu-satunya solusi untuk menghalalkan hubungan badan
(biologis) antara seorang laki-laki dan seorang wanita.36 Nikah juga
32
T. Jafizham, Persintuhan Hukum di Indonesia dengan Hukum Perkawinan Islam. (Jakarta: PT.
Mestika, Cet. ke-2, 2006), hlm. 255.
33
Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional Indonesia. (Jakarta: Tintamas, 1961), hlm. 61.
34
Ibrahim Hosen, Fikih Perbandingan Dalam Masalah Nikah, Talak dan Rujuk. (Jakarta: Ihya
Ulumuddin, 1971), hlm. 65.
35
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries. (New Delhi: Academy of Law and Religion,
1987), hlm. 209.
36
Paling tidak ada empat tujuan perkawinan, yaitu : a) menentramkan jiwa; b) mewujudkan
(melestarikan) turunan; c) memenuhi kebutuhan biologis; d) latihan memikul tanggung jawab. Lihat M. Ali
Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah. (Jakarta: Rajawali Pers, Cet. ke-3, 1988), hlm. 2-7.
14
merupakan jawaban akan kebutuhan manusia untuk menyalurkan hasrat
seksualnya, disamping untuk mendapatkan keturunan tentunya.
b. Dasar Hukum
Banyak ayat Al-Qur’an maupun Hadis Rasūlullāh SAW yang berbicara
tentang nikah, baik itu berupa anjuran, motivasi maupun nasihat bahkan
ancaman bagi orang yang tidak mau menikah. Berikut ini beberapa ayat
Al-Qur’an maupun Hadis Rasūlullāh SAW , yang berbicara tentang
nikah.
15
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”.
ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ اﻟﻨﱢﻜَﺎ ُح ِﻣ ْﻦ ُﺳﻨ ِﱠﱵ ﻓَ َﻤ ْﻦ َ ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ ُ َﺎل َرﺳ َ َﺖ ﻗ ْ َﻋ ْﻦ ﻋَﺎﺋِ َﺸﺔَ ﻗَﺎﻟ
ِﱐ ُﻣﻜَﺎﺛٌِﺮ ﺑِ ُﻜ ْﻢ ْاﻷَُﻣ َﻢ َوَﻣ ْﻦ ﻛَﺎ َن ذَا ﻃَﻮٍْل ِﲏ َوﺗَـَﺰﱠو ُﺟﻮا ﻓَﺈ ﱢ ْﺲ ﻣ ﱢ
َ َﱂْ ﻳـَ ْﻌ َﻤ ْﻞ ﺑِ ُﺴﻨ ِﱠﱵ ﻓَـﻠَﻴ
ٌَﺎم ﻓَِﺈ ﱠن اﻟﺼ ْﱠﻮَم ﻟَﻪُ ِوﺟَﺎء
ِ ﺼﻴﻓَـ ْﻠﻴَـْﻨ ِﻜ ْﺢ َوَﻣ ْﻦ َﱂْ َِﳚ ْﺪ ﻓَـ َﻌﻠَﻴْ ِﻪ ﺑِﺎﻟ ﱢ
“Dari ‘Ᾱ’isyah berkata,’Rasūlullāh SAW bersabda,’Nikah itu bagian dari
sunnahku. Oleh karena itu, barang siapa yang tidak mengerjakannya,
maka tidak termasuk golonganku. Dan menikahlah kamu sebab
sesungguhnya aku senang kalian umat yang paling banyak. Dan
barangsiapa mempunyai kesempatan, maka hendaklah menikah dan
barang siapa tidak mendapatkannya, maka berpuasalah sebab
sesungguhnya puasa itu penekan hawa nafsu” (HR.Ibnu Majah, dari
Aisyah ra No.1836.).
Pada sisi lain, Rasūlullāh SAW menekankah pernikahan kepada
pemuda-pemudi dengan sabda beliau;
c. Tujuan
Tujuan pernikahan menurut Islam yang sebenarnya adalah sebagai
berikut37:
37
Waskita Adiharto, “Tujuan Pernikahan Dalam Islam”, www.cahaya-akhir-zaman.blogspot.com.,
diakses tanggal 16 Agustus 2012.
16
Allāh Taala telah mentakdirkan bahwa lelaki ada nafsu/keinginan
kepada perempuan. Perempuan juga ada nafsu dengan lelaki. Hakikat
ini tidak dapat ditolak. Semua manusia tidak dapat lari dari dorongan
alamiah itu. Oleh karena itu untuk menyelamatkan keadaan maka
tujuan menikah agar jangan sampai manusia melakukan zina yang
terkutuk.
2) Mendapatkan keturunan.
Alangkah indahnya kalau Islam yang maha indah itu dapat menjadi
budaya hidup sebagaimana yang pernah mengisi ruangan dunia ini di
masa yang silam, selama tiga abad dari sejak Rasūlullāh SAW . Saat
ini keadaan itu tinggal nostalgia saja, yang tinggal pada hari ini hanya
akidah dan ibadah. Itu pun tidak semua umat Islam mengerjakannya.
Mayoritas umat Islam sangat ingin keindahan Islam itu dapat
diwujudkan. Minimal dalam suasana keluarga pun jadilah. Karena
itulah pernikahan itu amat perlu karena akan melahirkan masyarakat
Islam kecil.
17
5) Menghibur hati Rasūlullāh SAW .
7) Menyambung zuriat/keturunan
Menikah itu jangan sampai putus zuriat karena seharusnya umat Islam
bangga dapat menyambung zuriat yang menerima Islam sebagai
agamanya dan dengan keturunan itulah orang kenal siapa asal-usul
sebuah keluarga.
18
8) Menghibur hamba Allāh
َﺎل
َ َاﻷَ ْﺳ َﻮِد َﻋﻠَﻰ َﻋْﺒ ِﺪ اﻟﻠﱠ ِﻪ ﻓَـﻘ
ْ ْﺖ َﻣ َﻊ َﻋ ْﻠ َﻘ َﻤﺔَ و
ُ َﺎل َد َﺧﻠ
َ َﻋ ْﻦ َﻋﺒْ ِﺪ اﻟﺮﱠﲪَْ ِﻦ ﺑْ ِﻦ ﻳَﺰِﻳ َﺪ ﻗ
َﺎل ﻟَﻨَﺎ
َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ َﺷﺒَﺎﺑًﺎ َﻻ َِﳒ ُﺪ َﺷْﻴﺌًﺎ ﻓَـﻘ َ ﱠﱯَﻋْﺒ ُﺪ اﻟﻠﱠ ِﻪ ُﻛﻨﱠﺎ َﻣ َﻊ اﻟﻨِ ﱢ
ََﺎب َﻣ ْﻦ ا ْﺳﺘَﻄَﺎعَ اﻟْﺒَﺎءَة ِ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻳَﺎ َﻣ ْﻌ َﺸَﺮ اﻟ ﱠﺸﺒ َ ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ ُ َرﺳ
38
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, “Tujuan Pernikahan Dalam Islam”, www.almanhaj.or.id., diakses
tanggal 16 Agustus 2012.
19
ُﺼ ُﻦ ﻟِْﻠﻔَﺮِْج َوَﻣ ْﻦ َﱂْ ﻳَ ْﺴﺘَ ِﻄ ْﻊ ﻓَـ َﻌﻠَْﻴ ِﻪ ﺑِﺎﻟﺼﱠﻮِْم ﻓَِﺈﻧﱠﻪ
َ ﺼ ِﺮ َوأَ ْﺣ
َ َﺾ ﻟِْﻠﺒ
ﻓَـ ْﻠﻴَﺘَـَﺰﱠو ْج ﻓَِﺈﻧﱠﻪُ أَ َﻏ ﱡ
ٌﻟَﻪُ ِوﺟَﺎء
“Dari ‘Abd al-Raḥmān bin Yazīd berkata,’Aku masuk bersama
‘Alqamah dan al-Aswad ke rumah ‘Abdullāh, lalu berkata kepada kami
beserta Nabi SAW seorang pemuda yang tidak kami dapati sesuatu
apapun yang dipunyai. Kemudian, Rasūlullāh SAW bersabda kepada
kami,” Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian
berkemampuan untuk menikah, maka menikahlah, karena nikah itu
lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji
(kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia
shawm (puasa), karena shawm itu dapat membentengi dirinya.” (HR.
Shaḥīḥ al-Bukhārī no.4678).
3) Untuk menegakkan rumah tangga yang Islami.
Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya
thalaq (perceraian), jika suami istri sudah tidak sanggup lagi
menegakkan batas-batas Allāh, sebagaimana firman Allāh ‘Azza wa
Jalla dalam ayat berikut:
Artinya: “Thalaq (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami
dapat) menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik. Tidak
halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan
kepada mereka, kecuali keduanya (suami dan istri) khawatir tidak
mampu menjalankan hukum-hukum Allāh. Jika kamu (wali) khawatir
bahwa keduanya tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allāh,
maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan
(oleh istri) untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allāh, maka
janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa melanggar hukum-
hukum Allāh, mereka itulah orang-orang zhalim.” [Al-Baqarah : 229]
20
Yakni, keduanya sudah tidak sanggup melaksanakan syari’at Allāh
‘Azza wa Jalla. Dan dibenarkan rujuk (kembali nikah lagi) bila
keduanya sanggup menegakkan batas-batas Allāh ‘Azza wa Jalla.
Sebagaimana yang disebutkan dalam sūrah Al-Baqarah, lanjutan
ayat di atas:
21
berlangsung. Rukun menentukan sah atau tidaknya suatu perbuatan
hukum atau peristiwa hukum itu.39
Menurut jumhur ulama secara umum rukun itu ada tiga, yaitu orang yang
ber’aqad (subjek hukum), hal yang di-’aqad-kan (ma’qūd ‘alayh), dan
sighah, yaitu ‘ījāb dan qabūl.40 Demikian pula dalam perkawinan, orang
yang ber’aqad adalah calon suami dan wali calon istri, hal yang di’aqad
kan atau objek ‘aqad nikah halalnya hubungan antara suami istri secara
timbal balik41 atau kemitraan, dan sighah adalah ‘ījāb dan qabūl.
Syarat ialah hal-hal yang melekat pada masing-masing unsur yang
menjadi bagian dari suatu perbuatan hukum atau peristiwa hukum.
Akibat tidak terpenuhinya syarat adalah tidak dengan sendirinya
membatalkan perbuatan hukum atau peristiwa hukum, namun perbuatan
atau peristiwa hukum tersebut “dapat dibatalkan”.42
Menurut Jumhur Ulama rukun perkawinan ada lima dan masing-masing
rukun itu memiliki syarat-syarat tertentu. Untuk memudahkan
pembahasan, maka uraian rukun perkawinan akan disamakan dengan
uraian syarat-syarat dari uraian tersebut.43
1) Calon suami, syarat-syaratnya :
a) Beragama Islam.
b) Laki-laki.
c) Jelas orangnya.
d) Dapat memberikan persetujuan.
e) Tidak terdapat halangan perkawinan.
2) Calon istri, syarat-syaratnya :
a) Beragama Islam
b) Perempuan.
c) Jelas orangnya.
39
Neng Djubaidah. 2010. Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatat Menurut Hukum
Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam. (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2010), hlm. 90.
40
Abdul Aziz Dahlan, et.al., Ensiklopedi Hukum Islam. Jilid 5. Cet. Ke-4. (Jakarta: Ichtiar Baru van
Hoeve, 2000), hlm. 1512.
41
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam. (Yogyakarta: UII Press. Cet. Ke-9, 2000), hlm. 26.
42
Neng Djubaidah, Op.Cit., hlm. 92.
43
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia. (Jakarta: Rajawali Pers, 1997), hlm.71.
22
d) Dapat dimintai persetujuannya.
e) Tidak terdapat halangan perkawinan.
3) Wali nikah, syarat-syaratnya :
a) Laki-laki.
b) Dewasa.
c) Mempunyai hak perwalian.
d) Tidak terdapat halangan perwaliannya.
4) Saksi nikah, syarat-syaratnya :
44
Neng Djubaidah, Op.Cit., hlm. 108.
23
izinnya atau persetujuannya sebelum dilangsungkan ‘aqad nikah,
sebagaimana dimuat dalam asas persetujuan dan asas kebebasan
memilih pasangan, serta asas kesukarelaan.45
Dasar hukum saksi nikah ditemukan dalam berbagai hadis Nabi SAW .
yang menentukan bahwa saksi merupakan rukun nikah yang wajib
dipenuhi pada setiap pelaksanaan ‘aqad perkawinan berlangsung.
Hadis Rasūlullāh SAW yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dari
Imran bin Hushain dari Nabi Muhammad SAW ., bahwa “Tidak ada nikah
kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil.47
Pada prinsipnya ‘aqad nikah dapat dilakukan dalam bahasa apa pun
asalkan dapat menunjukkan kehendak pernikahan yang bersangkutan
dan dapat dipahami oleh para pihak dan para saksi.48 Jumhur ulama
sepakat bahwa perkawinan adalah sah jika dilakukan dengan ‘aqad
yang mencakup ‘ījāb dan qabūl antara calon mempelai perempuan (yang
dilaksanakan oleh walinya) dengan calon mempelai lelaki (atau
wakilnya).49
45
Ibid., hlm. 109.
46
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah. Jilid 7. terj. Moh. Thalib. (Bandung: PT. Al-Ma’arif. Cet. Ke-2, 1981),
hlm. 15.
47
Syaikh Faishal bin ‘Abdul ‘Aziz al-Mubarak, Nailul Authar. Terj. oleh A. Qadir Hasan, et.al., jilid 5.
(Surabaya: Bina Ilmu. Cet. Ke-1, 1984), hlm.2171-2172.
48
Ahmad Azhar Basyir, Op.Cit., hlm. 26.
49
Muhammad Jawad al-Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab. terj. Masykur A.B., Afif Muhammad dan
Idrus al-Kaffa. (Jakarta: Lentera Basritama. Cet. Ke-1, 1996), hlm. 309.
24
qabiltu (aku menerima) atau kata-kata radhītu (aku setuju) dari pihak
calon mempelai laki-laki atau orang yang mewakilinya.50
Proses ‘aqad nikah dengan cara pengucapak ‘ījāb dan qabūl itu
dilakukan secara lisan. Jika para pihak tidak memungkinkan untuk
melakukan ‘ījāb dan qabūl secara lisan karena sesuatu halangan
tertentu, maka ‘aqad nikah dapat dilakukan dengan menggunakan
51
isyarat.
e. Hukum Nikah
Para ahli hukum Islam berbeda pendapat tentang hukum nikah. Ada
beberapa pendapat yang menyatakan bahwa hukum nikah itu bisa wajib,
sunat, haram, mubah atau makruh.
Bagi yang sudah mampu menikah dan nafsunya sudah mendesak dan
takut terjerumus ke dalam perzinaan, maka hukumnya wajib. Orang
seperti ini wajib nikah, sebab menjauhkan diri dari yang haram itu
hukumnya wajib.
Al-Qurtuby berpendapat sebagaimana yang dikutip oleh Sayyid Sabiq
mengatakan : orang bujangan yang sudah mampu kawin dan takut
dirinya dan agamanya menjadi rusak, sedang tak ada jalan untuk
menyelamatkan diri kecuali dengan kawin, maka tak ada perselisihan
pendapat tentang wajibnya ia kawin.52
Kemudian bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan
untuk melakukan perkawinan, tapi kalau tidak kawin, tidak dikhawatirkan
untuk berbuat zina, maka hukum melakukan perkawinan bagi orang
tersebut adalah sunat. Hal ini sesuai dengan sūrah al-Nūr ayat 32.
Bagi orang yang mempunyai keinginan dan tidak mempunyai
kemampuan dan tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban dalam
rumah tangga, sehingga akan menelantarkan dirinya serta istrinya, maka
hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah haram.
50
Ibid.
51
Ahmad Azhar Basyir, Op.Cit., hlm. 27.
52
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah. Jilid 6. terj. Moh. Thalib. (Bandung: PT Al-Ma’arif. Cet. ke-2, 1981),
hlm. 18.
25
Demikian pula halnya bagi orang yang tidak mampu melakukan
hubungan kelamin, dia harus menjelaskan masalah tersebut terlebih
dahulu kepada calon istrinya agar calon istrinya itu tidak tertipu.53
Bagi orang yang lemah syahwat dan tidak mampu memberi belanja
kepada istrinya maka hukum kawin baginya adalah makruh. Bagi
seorang laki-laki yang tidak terdesak oleh alasan-alasan yang
mewajibkan atau mengharamkan dia untuk kawin maka hukum kawin
baginya adalah mubah.54
3. Latihan
4. Evaluasi
a. Jelaskan pengertian nikah menurut etimologi dan terminolog !
b. Tuliskan dan terjemahkan dalil nikah !
c. Jelaskan tujuan nikah !
d. Jelaskan rukun dan syarat nikah !
e. Menurut anda bagaimana hukum Nikah !
5. Kunci Jawaban
a. Perkawinan atau pernikahan diartikan sebagai perjanjian antara laki-laki
dan perempuan bersuami istri.
b. Dalil nikah
Rasūlullāh SAW bersabda, yang artinya:
ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ ﻋَﻠَﻴْ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ اﻟﻨﱢﻜَﺎ ُح ِﻣ ْﻦ ُﺳﻨ ِﱠﱵ ﻓَ َﻤ ْﻦ َ ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ ُ َﺎل َرﺳ َ َﺖ ﻗ ْ َﻋ ْﻦ ﻋَﺎﺋِ َﺸﺔَ ﻗَﺎﻟ
ِﱐ ُﻣﻜَﺎﺛٌِﺮ ﺑِ ُﻜ ْﻢ ْاﻷَُﻣ َﻢ َوَﻣ ْﻦ ﻛَﺎ َن ذَا ﻃَﻮٍْل ِﲏ َوﺗَـَﺰﱠو ُﺟﻮا ﻓَﺈ ﱢ ْﺲ ﻣ ﱢ
َ َﱂْ ﻳـَ ْﻌ َﻤ ْﻞ ﺑِ ُﺴﻨ ِﱠﱵ ﻓَـﻠَﻴ
ٌَﺎم ﻓَِﺈ ﱠن اﻟﺼ ْﱠﻮَم ﻟَﻪُ ِوﺟَﺎء
ِ ﺼﻴ
ﻓَـ ْﻠﻴَـْﻨ ِﻜ ْﺢ َوَﻣ ْﻦ َﱂْ َِﳚ ْﺪ ﻓَـ َﻌﻠَﻴْ ِﻪ ﺑِﺎﻟ ﱢ
“Dari ‘Ᾱ’isyah berkata,’Rasūlullāh SAW bersabda,’Nikah itu bagian dari
sunnahku. Oleh karena itu, barang siapa yang tidak mengerjakannya,
maka tidak termasuk golonganku. Dan menikahlah kamu sebab
53
Ibid., hlm. 19.
54
Djamaan Nur, Fiqih Munakahat. (Semarang: Dina Utama, 1993), hlm. 10.
26
sesungguhnya aku senang kalian umat yang paling banyak. Dan
barangsiapa mempunyai kesempatan, maka hendaklah menikah dan
barang siapa tidak mendapatkannya, maka berpuasalah sebab
sesungguhnya puasa itu penekan hawa nafsu” (HR.Ibnu Majah, dari
Aisyah ra No.1836.).
c. Tujuan nikah, antara lain;
1) Menjauhkan diri dari zina.
2) Mendapatkan keturunan.
3) Mendapatkan tenaga untuk kemajuan Islam.
4) Mewujudkan suatu masyarakat Islam.
5) Menghibur hati Rasulullah SAW .
6) Menambah jumlah umat Islam.
7) Menyambung zuriat/keturunan.
8) Menghibur hamba Allah.
d. Rukun nikah:
1) Calon suami.
2) Calon istri.
3) Wali nikah
4) Saksi nikah
5) Ijab Qabul.
e. Ulama berbeda mengenai hukum nikah. Ada yang menyebut wajib,
haram, sunnat, atau makruh berdasarkan tinjauan latar belakangnya.
C. Kegiatan Pembelajaran ke-3
1. Tujuan Pembelajaran
a. Mahasiswa mampu menjelaskan kriteria calon suami atau isteri.
b. Mahasiswa mampu mengemukakan cara meminang calon isteri
(khitbah) menurut syariat Islam
c. Mahasiswa mampu mengemukakan wanita yang haram
dinikahi.(muharramāt).
d. Mahasiswa mampu menjelaskan hak suami dan isteri.
2. Materi Pembelajaran