Anda di halaman 1dari 17

a. Jelaskanlah pengertian mu’āmalah !

b. Uraikan prinsip-prinsip mu’āmalah !


c. Jelaskan ruang lingkup pembahasan mu’āmalah !
5. Kunci Jawaban
a. Pengertian mu’amalah menurut etimologi dan terminologi.
Secara etimologis mu’āmalah artinya saling bekerja, sedangkan secara
terminologi adalah hubungan manusia dengan manusia lain dalam hal
jual-beli, syarikat, utang-piutang, dan sebagainya.
b. Prinsip-prinsip mu’āmalah.
1) Segala sesuatu adalah dibolehkan (ibāḥah) kecuali apabila ada dalil
yang melarang.
2) Transaksi dapat dilakukan dengan syarat tidak menyentuh persoalan
ribā, maysir, dan gharār.
c. Ruang lingkup mu’āmalah (mu’āmalah dan seluk beluknya).
Seluruh yang berkaitan dengan transaksi, tukar-menukat, syarikat, dan
lain-lain. Secara lengkap memuat;
1) Al-Aḥwāl al-Syakhsiyāh (hukum orang dan keluarga).
2) Al-Madāniyat (hukum benda).
3) Al-Jināyat (hukum pidana Islam).
4) Al-Qadhā wa al-Murāfa’at (hukum acara).
5) Al-Dustūriyah (hukum tata negara dan perundang-undangan).
6) Al-Dawliyah (hukum internasional).
7) Al-Iqtishādiyah wa al-Māliyah (hukum perekonomian dan moneter).
B. Kegiatan Pembelajaran ke-2
a. Tujuan Pembelajaran
a. Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian nikah menurut etimologi dan
terminologi.
b. Mahasiswa mampu menjelaskan dalil nikah.
c. Mahasiswa mampu menjelaskan tujuan nikah.
d. Mahasiswa mampu menjelaskan rukun dan syarat nikah.
e. Mahasiswa mampu menjelaskan hukum-hukum Nikah.
b. Materi Pembelajaran

11
a. Pengertian Nikah
Perkawinan atau pernikahan merupakan salah satu sunnatullāh yang
berlaku pada semua makhluk ciptaan Allāh SWT, baik pada manusia,
hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Lembaga perkawinan adalah dasar
dan asas peradaban umat manusia. Banyak sekali nash Al-Qur’an yang
berbicara tentang itu.

Nikah berasal dari bahasa Arab yang bermakna al-wathi’ dan al-
dhammu wa al-tadākhul. Dalam istilah lain juga sering disebut dengan al-
dhammu wa al-jam’u, atau ‘ibarat ‘an al-wathi’ wa al-‘aqd yang
bermakna bersetubuh, berkumpul dan ‘aqad .22 Perkawinan dalam
bahasa Indonesia, berasal dari kata kawin, yang kemudian diberi
imbuhan awalan “per” dan akhiran “an”. Istilah yang sama dengan kata
kawin ialah nikah, apabila diberi imbuhan awalan “per’ dan akhiran “an”
menjadi pernikahan. Perkawinan atau pernikahan diartikan sebagai
perjanjian antara laki-laki dan perempuan bersuami istri.23 Menurut
istilah, sebagian besar para ulama fikih memberikan definisi nikah dalam
konteks hubungan biologis berdasarkan makna etimologis.

Wahbah al-Zuhayli mendefinisikan nikah sebagai berikut: ‘aqad yang


membolehkan terjadinya al-istimta’ (persetubuhan) dengan seorang
wanita, atau melakukan wathi’ , dan berkumpul, selama wanita tersebut
bukan wanita yang diharamkan untuk dinikahi baik dengan sebab
keturunan atau sepersusuan.24

Wahbah al-Zuhayli kembali memberikan definisi nikah yang lain yaitu


:‘aqad yang telah ditetapkan oleh Syari’ agar seorang laki-laki dapat
mengambil manfaat untuk melakukan istimta’ dengan seorang wanita
atau sebaliknya.25

22
Wahbah al-Zuhayli, Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu. Juz. VII. (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), hlm.
29.
23
W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hlm. 453.
24
Loc. Cit
25
Ibid.

12
Menurut Hanabilah nikah adalah ‘aqad yang menggunakan lafaz inkāh
yang bermakna tazwīj dengan maksud mengambil manfaat untuk
bersenang-senang.26

Muhammad Abu Zahrah dalam kitabnya al-Ahwāl al-Syakhsiyyah


mendefinisikan nikah sebagai ‘aqad yang menimbulkan akibat hukum
berupa halalnya melakukan persetubuhan antara laki-laki dengan
perempuan, saling tolong-menolong serta menimbulkan hak dan
kewajiban di antara keduanya.27

Imām Taqiyuddīn dalam kitabnya Kifāyat al-Akhyār mendefinisikan nikah


sebagai ‘ibarat tentang ‘aqad yang masyhūr (dikenal) yang terdiri dari
rukun dan syarat dan yang dimaksud dengan ‘‘aqad adalah al-wathi’
(bersetubuh).28 Hal ini semakin jelas dan tegas karena menurut al-Azhari
makna asal kata nikah bagi orang Arab adalah al-wathi’
(persetubuhan).29

Perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/ jasmani tetapi unsur


batin/ ruhani juga mempunyai peranan yang penting. Membentuk
keluarga yang bahagia, rapat hubungan dengan keturunan yang juga
merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi
hak dan kewajiban orang tua.30

Menurut Sajuti Thalib, perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci


kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki
dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun-
menyantuni, kasih-mengasihi, tentram dan bahagia.31

26
‘Abd al-Rahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala Madzāhib al-Arba’ah. Juz. IV. (t.t.p.: Dar Ihya al-Turas
al-‘Arabi, 1986), hlm. 3.
27
Muhammad Abu Zahrah, Al-Ahwāl al-Syakhsiyyah. (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1957), hlm. 19.
28
Imam Taqiyuddin, Kifāyat al-Akhyār fi Hal Ghāyat al-Ikhtiyār. Juz. II. (Bandung: PT. Al-Ma’arif,
t.t.h.), hlm. 36.
29
Ibid.
30
Arso Sosroatmojo, Wasit Aulawi. Hukum Perkawinan di Indonesia. (Jakarta: Bulan Bintang, 1975),
hlm. 103.
31
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 dan Kompilasi Hukum Islam. (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hlm. 2.

13
Menurut T. Jafizham dengan mengutip pendapat para ahli dari berbagai
golongan dan bangsa menetapkan bahwa perkawinan adalah suatu
ikatan persahabatan yang erat antara jenis laki-laki dan jenis perempuan,
memperlihatkan suatu kerjasama yang baik dan teratur dalam satu
rumah tangga bahagia.32 Hazairin mengatakan bahwa inti dari sebuah
perkawinan adalah hubungan seksual. Menurutnya tidak ada nikah
(perkawinan) bila tidak ada hubungan seksual.33

Ibrahim Hosen mendefinisikan perkawinan sebagai ‘aqad yang


dengannya menjadi halal hubungan kelamin antara pria dan wanita.
Secara lebih tegas perkawinan juga dapat didefinisikan sebagai
hubungan seksual (bersetubuh).34

Tahir Mahmood memberikan definisi yang menarik tentang perkawinan,


yaitu perkawinan sebagai ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan
wanita yang masing-masing menjadi suami dan istri dalam rangka
memperoleh kebahagiaan hidup dan membangun keluarga dalam
sinaran Ilahi.35

Dari berbagai macam definisi yang diberikan oleh para ulama fikih klasik
maupun para ahli hukum Islam modern, ada satu benang merah yang
dapat ditarik sebagai sebuah konklusi untuk mendeskripsikan definisi
nikah, yaitu nikah digambarkan hanya semata-mata dalam konteks
hubungan biologis an sich. Pandangan seperti ini sangat wajar
mengingat makna nikah dalam literatur Arab berkonotasi hubungan
seksual. Satu hal yang pasti, memang harus jujur diakui bahwa nikah
merupakan satu-satunya solusi untuk menghalalkan hubungan badan
(biologis) antara seorang laki-laki dan seorang wanita.36 Nikah juga

32
T. Jafizham, Persintuhan Hukum di Indonesia dengan Hukum Perkawinan Islam. (Jakarta: PT.
Mestika, Cet. ke-2, 2006), hlm. 255.
33
Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional Indonesia. (Jakarta: Tintamas, 1961), hlm. 61.
34
Ibrahim Hosen, Fikih Perbandingan Dalam Masalah Nikah, Talak dan Rujuk. (Jakarta: Ihya
Ulumuddin, 1971), hlm. 65.
35
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries. (New Delhi: Academy of Law and Religion,
1987), hlm. 209.
36
Paling tidak ada empat tujuan perkawinan, yaitu : a) menentramkan jiwa; b) mewujudkan
(melestarikan) turunan; c) memenuhi kebutuhan biologis; d) latihan memikul tanggung jawab. Lihat M. Ali
Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah. (Jakarta: Rajawali Pers, Cet. ke-3, 1988), hlm. 2-7.

14
merupakan jawaban akan kebutuhan manusia untuk menyalurkan hasrat
seksualnya, disamping untuk mendapatkan keturunan tentunya.

b. Dasar Hukum
Banyak ayat Al-Qur’an maupun Hadis Rasūlullāh SAW yang berbicara
tentang nikah, baik itu berupa anjuran, motivasi maupun nasihat bahkan
ancaman bagi orang yang tidak mau menikah. Berikut ini beberapa ayat
Al-Qur’an maupun Hadis Rasūlullāh SAW , yang berbicara tentang
nikah.

Firman Allāh SWT dalam sūrah al-Zariyāt [51] ayat : 49:

       

Artinya: “Dan segala sesuatu kami jadikan berpasang-pasangan, supaya


kamu mengingat kebesaran Allāh SWT”.

Firman Allāh SWT dalam sūrah al-Naḥl [16] ayat: 72:

             

 

Artinya: Bagi kalian Allāh SWT menciptakan pasangan-pasangan (istri-


istri) dari jenis kalian sendiri, kemudian dari istri-istri kalian itu Dia
ciptakan bagi kalian anak cucu keturunan, dan kepada kalian Dia berikan
rezeki yang baik-baik.

Firman Allāh SWT dalam sūrah al-Rūm [30] ayat 21:

             

       

Artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia


menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya

15
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”.

Rasūlullāh SAW bersabda, yang artinya:

‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ اﻟﻨﱢﻜَﺎ ُح ِﻣ ْﻦ ُﺳﻨ ِﱠﱵ ﻓَ َﻤ ْﻦ‬ َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬ ُ ‫َﺎل َرﺳ‬ َ ‫َﺖ ﻗ‬ ْ ‫َﻋ ْﻦ ﻋَﺎﺋِ َﺸﺔَ ﻗَﺎﻟ‬
‫ِﱐ ُﻣﻜَﺎﺛٌِﺮ ﺑِ ُﻜ ْﻢ ْاﻷَُﻣ َﻢ َوَﻣ ْﻦ ﻛَﺎ َن ذَا ﻃَﻮٍْل‬ ‫ِﲏ َوﺗَـَﺰﱠو ُﺟﻮا ﻓَﺈ ﱢ‬ ‫ْﺲ ﻣ ﱢ‬
َ ‫َﱂْ ﻳـَ ْﻌ َﻤ ْﻞ ﺑِ ُﺴﻨ ِﱠﱵ ﻓَـﻠَﻴ‬
ٌ‫َﺎم ﻓَِﺈ ﱠن اﻟﺼ ْﱠﻮَم ﻟَﻪُ ِوﺟَﺎء‬
ِ ‫ﺼﻴ‬‫ﻓَـ ْﻠﻴَـْﻨ ِﻜ ْﺢ َوَﻣ ْﻦ َﱂْ َِﳚ ْﺪ ﻓَـ َﻌﻠَﻴْ ِﻪ ﺑِﺎﻟ ﱢ‬
“Dari ‘Ᾱ’isyah berkata,’Rasūlullāh SAW bersabda,’Nikah itu bagian dari
sunnahku. Oleh karena itu, barang siapa yang tidak mengerjakannya,
maka tidak termasuk golonganku. Dan menikahlah kamu sebab
sesungguhnya aku senang kalian umat yang paling banyak. Dan
barangsiapa mempunyai kesempatan, maka hendaklah menikah dan
barang siapa tidak mendapatkannya, maka berpuasalah sebab
sesungguhnya puasa itu penekan hawa nafsu” (HR.Ibnu Majah, dari
Aisyah ra No.1836.).
Pada sisi lain, Rasūlullāh SAW menekankah pernikahan kepada
pemuda-pemudi dengan sabda beliau;

‫ع ِﻣْﻨ ُﻜ ْﻢ اﻟْﺒَﺎءَةَ ﻓَـﻠْﻴَﺘَـَﺰﱠو ْج َوَﻣ ْﻦ َﱂْ ﻳَ ْﺴﺘَ ِﻄ ْﻊ ﻓَـ َﻌﻠَْﻴ ِﻪ‬


َ ‫َﺎب َﻣ ْﻦ ا ْﺳﺘَﻄَﺎ‬
ِ ‫ﻳَﺎ َﻣ ْﻌ َﺸَﺮ اﻟ ﱠﺸﺒ‬
ٌ‫ﺑِﺎﻟﺼﱠﻮِْم ﻓَِﺈﻧﱠﻪُ ﻟَﻪُ ِوﺟَﺎء‬
“Wahai pemuda-pemudi! Barangsiapa di antara kalian sanggup
menikah, maka hendaklah dia menikah. Dan barangsiapa tidak sanggup,
maka hendaklah berpuasa sebab sesungguhnya itu adalah penekan
hawa nafsu” (HR. Bukhari No. 4677).

c. Tujuan
Tujuan pernikahan menurut Islam yang sebenarnya adalah sebagai
berikut37:

1) Menjauhkan diri dari zina.

37
Waskita Adiharto, “Tujuan Pernikahan Dalam Islam”, www.cahaya-akhir-zaman.blogspot.com.,
diakses tanggal 16 Agustus 2012.

16
Allāh Taala telah mentakdirkan bahwa lelaki ada nafsu/keinginan
kepada perempuan. Perempuan juga ada nafsu dengan lelaki. Hakikat
ini tidak dapat ditolak. Semua manusia tidak dapat lari dari dorongan
alamiah itu. Oleh karena itu untuk menyelamatkan keadaan maka
tujuan menikah agar jangan sampai manusia melakukan zina yang
terkutuk.

2) Mendapatkan keturunan.

Muara sebuah perkawinan adalah mempertemukan benih kedua jenis


manusia yang akan melahirkan zuriat (keturunan), anak-anak, cucu-
cucu yang ingin dijaga, diasuh, dididik, diberi iman dan ilmu, agar
menjadi hamba-hamba Allāh yang berakhlak dan bertaqwa.

3) Mendapatkan tenaga untuk kemajuan Islam.

Dari keturunan yang didapatkan dari pernikahan, semua pasangan


suami istri menginginkan anak akan dididik menjadi seorang Islam
yang sejati dan anak itu adalah merupakan aset atau investasi bagi
kedua orang tuanya. Anak itu sendiri pula boleh menjadi harta dan
tenaga kepada Islam.

4) Mewujudkan suatu masyarakat Islam.

Alangkah indahnya kalau Islam yang maha indah itu dapat menjadi
budaya hidup sebagaimana yang pernah mengisi ruangan dunia ini di
masa yang silam, selama tiga abad dari sejak Rasūlullāh SAW . Saat
ini keadaan itu tinggal nostalgia saja, yang tinggal pada hari ini hanya
akidah dan ibadah. Itu pun tidak semua umat Islam mengerjakannya.
Mayoritas umat Islam sangat ingin keindahan Islam itu dapat
diwujudkan. Minimal dalam suasana keluarga pun jadilah. Karena
itulah pernikahan itu amat perlu karena akan melahirkan masyarakat
Islam kecil.

17
5) Menghibur hati Rasūlullāh SAW .

Seorang muslim bukan saja diperintah untuk mencari keridhaan Allāh


Taala tetapi diperintah juga untuk menghibur hati kekasih Allāh Taala
yaitu Rasūlullāh SAW , yang mana Rasūlullāh SAW sangat
berbangga dengan ramainya pengikut atau umatnya di Akhirat kelak.
Maka sebab itulah Rasūlullāh SAW menyuruh umatnya menikah.
Maksudnya: Bernikahlah kamu supaya kamu berketurunan dan
supaya kamu menjadi banyak, karena sesungguhnya aku akan
berbangga dengan umatku yang ramai di hari Kiamat. (Riwayat Al
Baihaqi).

Setiap umat Islam hendaknya apa yang menjadi kesukaan Rasul-Nya


itulah juga kesukaan mereka.

6) Menambah jumlah umat Islam

Kalaulah Rasūlullāh SAW berbangga dan bergembira dengan


banyaknya umat, maka umat Islam yang ada pada hari ini sepatutnya
juga berbangga dengan ramainya umat Islam di dunia ini. Maka untuk
memperbanyakkannya, lantaran itulah disyariatkan menikah. Jadi
tujuan menikah itu ada bermotifkan untuk menambah jumlah umat
Islam. Ada cita-cita Islam sejagat. Dibalik syariat menikah itu ada cita-
cita besar, bukan sekadar sebatas hendak melepaskan nafsu seks
seperti cita-cita kebanyakan manusia.

7) Menyambung zuriat/keturunan

Menikah itu jangan sampai putus zuriat karena seharusnya umat Islam
bangga dapat menyambung zuriat yang menerima Islam sebagai
agamanya dan dengan keturunan itulah orang kenal siapa asal-usul
sebuah keluarga.

18
8) Menghibur hamba Allāh

Tujuan-tujuan lain sebagai maksud tambahan daripada pernikahan


bahwa setiap lelaki dan perempuan yang menjadi pasangan suami
istri hendaklah meniatkan satu sama lain memberi hiburan kepada
seorang hamba Allāh Ta'ala yang inginkan hiburan, karena niat
menghiburkan orang mukmin itu mendapat pahala.

Dalam pandangan Yazin bin Abdul Qadir Jawas, tujuan perkawinan


adalah38:

1) Untuk memenuhi Tuntutan Naluri Manusia yang Asasi


Pernikahan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk
memenuhi kebutuhan ini adalah dengan ‘aqad nikah (melalui jenjang
pernikahan), bukan dengan cara yang amat kotor dan menjijikkan,
seperti cara-cara orang sekarang ini; dengan berpacaran, kumpul
kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah
menyimpang dan diharamkan oleh Islam.

2) Untuk Membentengi Akhlaq yang Luhur dan untuk Menundukkan


Pandangan.

Sasaran utama dari disyari’atkannya pernikahan dalam Islam di


antaranya adalah untuk membentengi martabat manusia dari
perbuatan kotor dan keji, yang dapat merendahkan dan merusak
martabat manusia yang luhur. Islam memandang pernikahan dan
pem-bentukan keluarga sebagai sarana efektif untuk me-melihara
pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat dari
kekacauan. Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallām bersabda:

‫َﺎل‬
َ ‫َاﻷَ ْﺳ َﻮِد َﻋﻠَﻰ َﻋْﺒ ِﺪ اﻟﻠﱠ ِﻪ ﻓَـﻘ‬
ْ ‫ْﺖ َﻣ َﻊ َﻋ ْﻠ َﻘ َﻤﺔَ و‬
ُ ‫َﺎل َد َﺧﻠ‬
َ ‫َﻋ ْﻦ َﻋﺒْ ِﺪ اﻟﺮﱠﲪَْ ِﻦ ﺑْ ِﻦ ﻳَﺰِﻳ َﺪ ﻗ‬
‫َﺎل ﻟَﻨَﺎ‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ َﺷﺒَﺎﺑًﺎ َﻻ َِﳒ ُﺪ َﺷْﻴﺌًﺎ ﻓَـﻘ‬ َ ‫ﱠﱯ‬‫َﻋْﺒ ُﺪ اﻟﻠﱠ ِﻪ ُﻛﻨﱠﺎ َﻣ َﻊ اﻟﻨِ ﱢ‬
َ‫َﺎب َﻣ ْﻦ ا ْﺳﺘَﻄَﺎعَ اﻟْﺒَﺎءَة‬ ِ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻳَﺎ َﻣ ْﻌ َﺸَﺮ اﻟ ﱠﺸﺒ‬ َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬ ُ ‫َرﺳ‬

38
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, “Tujuan Pernikahan Dalam Islam”, www.almanhaj.or.id., diakses
tanggal 16 Agustus 2012.

19
ُ‫ﺼ ُﻦ ﻟِْﻠﻔَﺮِْج َوَﻣ ْﻦ َﱂْ ﻳَ ْﺴﺘَ ِﻄ ْﻊ ﻓَـ َﻌﻠَْﻴ ِﻪ ﺑِﺎﻟﺼﱠﻮِْم ﻓَِﺈﻧﱠﻪ‬
َ ‫ﺼ ِﺮ َوأَ ْﺣ‬
َ َ‫ﺾ ﻟِْﻠﺒ‬
‫ﻓَـ ْﻠﻴَﺘَـَﺰﱠو ْج ﻓَِﺈﻧﱠﻪُ أَ َﻏ ﱡ‬
ٌ‫ﻟَﻪُ ِوﺟَﺎء‬
“Dari ‘Abd al-Raḥmān bin Yazīd berkata,’Aku masuk bersama
‘Alqamah dan al-Aswad ke rumah ‘Abdullāh, lalu berkata kepada kami
beserta Nabi SAW seorang pemuda yang tidak kami dapati sesuatu
apapun yang dipunyai. Kemudian, Rasūlullāh SAW bersabda kepada
kami,” Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian
berkemampuan untuk menikah, maka menikahlah, karena nikah itu
lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji
(kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia
shawm (puasa), karena shawm itu dapat membentengi dirinya.” (HR.
Shaḥīḥ al-Bukhārī no.4678).
3) Untuk menegakkan rumah tangga yang Islami.
Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya
thalaq (perceraian), jika suami istri sudah tidak sanggup lagi
menegakkan batas-batas Allāh, sebagaimana firman Allāh ‘Azza wa
Jalla dalam ayat berikut:

            

             

              

         

Artinya: “Thalaq (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami
dapat) menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik. Tidak
halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan
kepada mereka, kecuali keduanya (suami dan istri) khawatir tidak
mampu menjalankan hukum-hukum Allāh. Jika kamu (wali) khawatir
bahwa keduanya tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allāh,
maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan
(oleh istri) untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allāh, maka
janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa melanggar hukum-
hukum Allāh, mereka itulah orang-orang zhalim.” [Al-Baqarah : 229]

20
Yakni, keduanya sudah tidak sanggup melaksanakan syari’at Allāh
‘Azza wa Jalla. Dan dibenarkan rujuk (kembali nikah lagi) bila
keduanya sanggup menegakkan batas-batas Allāh ‘Azza wa Jalla.
Sebagaimana yang disebutkan dalam sūrah Al-Baqarah, lanjutan
ayat di atas:

              

             

   

Artinya: “Kemudian jika dia (suami) menceraikannya (setelah thalaq


yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia
menikah dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu
menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (suami pertama
dan bekas istri) untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat
akan dapat menjalankan hukum-hukum Allāh. Itulah ketentuan-
ketentuan Allāh yang diterangkan-Nya kepada orang-orang yang
berpengetahuan.” [Al-Baqarah : 230]
Jadi, tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami istri
melaksanakan syari’at Islam dalam rumah tangganya. Hukum
ditegakkannya rumah tangga berdasarkan syari’at Islam adalah wajib.
Oleh karena itu, setiap muslim dan muslimah yang ingin membina rumah
tangga yang Islami, maka ajaran Islam telah memberikan beberapa
kriteria tentang calon pasangan yang ideal, yaitu harus kafa’ah dan
shāliḥah.

d. Rukun dan Syarat-syarat


Rukun adalah unsur yang melekat pada peristiwa hukum atau perbuatan
hukum (misal ‘‘aqad perkawinan), baik dari segi para subjek hukum
maupun objek hukum yang merupakan bagian dari perbuatan atau
peristiwa hukum (‘aqad nikah) ketika peristiwa hukum tersebut

21
berlangsung. Rukun menentukan sah atau tidaknya suatu perbuatan
hukum atau peristiwa hukum itu.39
Menurut jumhur ulama secara umum rukun itu ada tiga, yaitu orang yang
ber’aqad (subjek hukum), hal yang di-’aqad-kan (ma’qūd ‘alayh), dan
sighah, yaitu ‘ījāb dan qabūl.40 Demikian pula dalam perkawinan, orang
yang ber’aqad adalah calon suami dan wali calon istri, hal yang di’aqad
kan atau objek ‘aqad nikah halalnya hubungan antara suami istri secara
timbal balik41 atau kemitraan, dan sighah adalah ‘ījāb dan qabūl.
Syarat ialah hal-hal yang melekat pada masing-masing unsur yang
menjadi bagian dari suatu perbuatan hukum atau peristiwa hukum.
Akibat tidak terpenuhinya syarat adalah tidak dengan sendirinya
membatalkan perbuatan hukum atau peristiwa hukum, namun perbuatan
atau peristiwa hukum tersebut “dapat dibatalkan”.42
Menurut Jumhur Ulama rukun perkawinan ada lima dan masing-masing
rukun itu memiliki syarat-syarat tertentu. Untuk memudahkan
pembahasan, maka uraian rukun perkawinan akan disamakan dengan
uraian syarat-syarat dari uraian tersebut.43
1) Calon suami, syarat-syaratnya :

a) Beragama Islam.
b) Laki-laki.
c) Jelas orangnya.
d) Dapat memberikan persetujuan.
e) Tidak terdapat halangan perkawinan.
2) Calon istri, syarat-syaratnya :

a) Beragama Islam
b) Perempuan.
c) Jelas orangnya.

39
Neng Djubaidah. 2010. Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatat Menurut Hukum
Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam. (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2010), hlm. 90.
40
Abdul Aziz Dahlan, et.al., Ensiklopedi Hukum Islam. Jilid 5. Cet. Ke-4. (Jakarta: Ichtiar Baru van
Hoeve, 2000), hlm. 1512.
41
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam. (Yogyakarta: UII Press. Cet. Ke-9, 2000), hlm. 26.
42
Neng Djubaidah, Op.Cit., hlm. 92.
43
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia. (Jakarta: Rajawali Pers, 1997), hlm.71.

22
d) Dapat dimintai persetujuannya.
e) Tidak terdapat halangan perkawinan.
3) Wali nikah, syarat-syaratnya :

a) Laki-laki.
b) Dewasa.
c) Mempunyai hak perwalian.
d) Tidak terdapat halangan perwaliannya.
4) Saksi nikah, syarat-syaratnya :

1) Minimal dua orang laki-laki.


2) Hadir dalam ‘ījāb dan qabūl.
3) Dapat mengerti maksud ‘aqad .
4) Islam.
5) Dewasa.
5) ‘Ījāb-Qabūl, syarat-syaratnya :

a) Adanya pernyataan mengawinkan dari wali.


b) Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai.
c) Memakai kata-kata nikah, tazwīj atau terjemahan dari kedua kata
tersebut.
d) Antara ‘ījāb dan qabūl.bersambungan.
e) Antara ‘ījāb dan qabūl.jelas maksudnya.
f) Orang yang terkait dengan ‘ījāb dan qabūl tidak sedang ihram haji
atau umrah.
g) Majelis ‘ījāb dan qabūl itu harus dihadiri minimum empat orang,
yaitu calon mempelai atau wakilnya, wali dari mempelai wanita dan
dua orang saksi.
Calon mempelai laki-laki harus dalam kondisi kerelaannya dan
persetujuannya dalam melakukan perkawinan. Hal ini terkait dengan
asas kebebasan memilih pasangan hidup dalam perkawinannya.44

Hukum perkawinan Islam telah menentukan sesuai dengan hadis


Rasūlullāh SAW ., bahwa calon mempelai perempuan harus dimintakan

44
Neng Djubaidah, Op.Cit., hlm. 108.

23
izinnya atau persetujuannya sebelum dilangsungkan ‘aqad nikah,
sebagaimana dimuat dalam asas persetujuan dan asas kebebasan
memilih pasangan, serta asas kesukarelaan.45

Demikian pula tentang berbagai ketentuan tentang kedudukan wali nikah


merupakan dasar hukum yang sangat penting dalam menentukan status
hukum perkawinan. Karena berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW
yang diriwayatkan Imam yang lima dari Abu Musa ra. dari SAW ., bahwa
beliau bersabda: Tidak nikah melainkan dengan (adanya) wali. 46

Dasar hukum saksi nikah ditemukan dalam berbagai hadis Nabi SAW .
yang menentukan bahwa saksi merupakan rukun nikah yang wajib
dipenuhi pada setiap pelaksanaan ‘aqad perkawinan berlangsung.

Hadis Rasūlullāh SAW yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dari
Imran bin Hushain dari Nabi Muhammad SAW ., bahwa “Tidak ada nikah
kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil.47

Pada prinsipnya ‘aqad nikah dapat dilakukan dalam bahasa apa pun
asalkan dapat menunjukkan kehendak pernikahan yang bersangkutan
dan dapat dipahami oleh para pihak dan para saksi.48 Jumhur ulama
sepakat bahwa perkawinan adalah sah jika dilakukan dengan ‘aqad
yang mencakup ‘ījāb dan qabūl antara calon mempelai perempuan (yang
dilaksanakan oleh walinya) dengan calon mempelai lelaki (atau
wakilnya).49

Menurut jumhur ulama, perkawinan adalah sah jika dilakukan dengan


mengucapkan kata-kata zawwajtu atau ankaḥtu (aku nikahkan) dari
pihak perempuan yang dilakukan oleh wali nikahnya, dan kata-kata

45
Ibid., hlm. 109.
46
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah. Jilid 7. terj. Moh. Thalib. (Bandung: PT. Al-Ma’arif. Cet. Ke-2, 1981),
hlm. 15.
47
Syaikh Faishal bin ‘Abdul ‘Aziz al-Mubarak, Nailul Authar. Terj. oleh A. Qadir Hasan, et.al., jilid 5.
(Surabaya: Bina Ilmu. Cet. Ke-1, 1984), hlm.2171-2172.
48
Ahmad Azhar Basyir, Op.Cit., hlm. 26.
49
Muhammad Jawad al-Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab. terj. Masykur A.B., Afif Muhammad dan
Idrus al-Kaffa. (Jakarta: Lentera Basritama. Cet. Ke-1, 1996), hlm. 309.

24
qabiltu (aku menerima) atau kata-kata radhītu (aku setuju) dari pihak
calon mempelai laki-laki atau orang yang mewakilinya.50

Proses ‘aqad nikah dengan cara pengucapak ‘ījāb dan qabūl itu
dilakukan secara lisan. Jika para pihak tidak memungkinkan untuk
melakukan ‘ījāb dan qabūl secara lisan karena sesuatu halangan
tertentu, maka ‘aqad nikah dapat dilakukan dengan menggunakan
51
isyarat.

e. Hukum Nikah
Para ahli hukum Islam berbeda pendapat tentang hukum nikah. Ada
beberapa pendapat yang menyatakan bahwa hukum nikah itu bisa wajib,
sunat, haram, mubah atau makruh.
Bagi yang sudah mampu menikah dan nafsunya sudah mendesak dan
takut terjerumus ke dalam perzinaan, maka hukumnya wajib. Orang
seperti ini wajib nikah, sebab menjauhkan diri dari yang haram itu
hukumnya wajib.
Al-Qurtuby berpendapat sebagaimana yang dikutip oleh Sayyid Sabiq
mengatakan : orang bujangan yang sudah mampu kawin dan takut
dirinya dan agamanya menjadi rusak, sedang tak ada jalan untuk
menyelamatkan diri kecuali dengan kawin, maka tak ada perselisihan
pendapat tentang wajibnya ia kawin.52
Kemudian bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan
untuk melakukan perkawinan, tapi kalau tidak kawin, tidak dikhawatirkan
untuk berbuat zina, maka hukum melakukan perkawinan bagi orang
tersebut adalah sunat. Hal ini sesuai dengan sūrah al-Nūr ayat 32.
Bagi orang yang mempunyai keinginan dan tidak mempunyai
kemampuan dan tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban dalam
rumah tangga, sehingga akan menelantarkan dirinya serta istrinya, maka
hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah haram.

50
Ibid.
51
Ahmad Azhar Basyir, Op.Cit., hlm. 27.
52
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah. Jilid 6. terj. Moh. Thalib. (Bandung: PT Al-Ma’arif. Cet. ke-2, 1981),
hlm. 18.

25
Demikian pula halnya bagi orang yang tidak mampu melakukan
hubungan kelamin, dia harus menjelaskan masalah tersebut terlebih
dahulu kepada calon istrinya agar calon istrinya itu tidak tertipu.53
Bagi orang yang lemah syahwat dan tidak mampu memberi belanja
kepada istrinya maka hukum kawin baginya adalah makruh. Bagi
seorang laki-laki yang tidak terdesak oleh alasan-alasan yang
mewajibkan atau mengharamkan dia untuk kawin maka hukum kawin
baginya adalah mubah.54
3. Latihan

Rekamlah praktek kegiatan pernikahan dan kemaslah dalam suatu video


yang dinarasikan, dan diiringi dengan musik sesuai.

4. Evaluasi
a. Jelaskan pengertian nikah menurut etimologi dan terminolog !
b. Tuliskan dan terjemahkan dalil nikah !
c. Jelaskan tujuan nikah !
d. Jelaskan rukun dan syarat nikah !
e. Menurut anda bagaimana hukum Nikah !
5. Kunci Jawaban
a. Perkawinan atau pernikahan diartikan sebagai perjanjian antara laki-laki
dan perempuan bersuami istri.
b. Dalil nikah
Rasūlullāh SAW bersabda, yang artinya:

‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ ﻋَﻠَﻴْ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ اﻟﻨﱢﻜَﺎ ُح ِﻣ ْﻦ ُﺳﻨ ِﱠﱵ ﻓَ َﻤ ْﻦ‬ َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬ ُ ‫َﺎل َرﺳ‬ َ ‫َﺖ ﻗ‬ ْ ‫َﻋ ْﻦ ﻋَﺎﺋِ َﺸﺔَ ﻗَﺎﻟ‬
‫ِﱐ ُﻣﻜَﺎﺛٌِﺮ ﺑِ ُﻜ ْﻢ ْاﻷَُﻣ َﻢ َوَﻣ ْﻦ ﻛَﺎ َن ذَا ﻃَﻮٍْل‬ ‫ِﲏ َوﺗَـَﺰﱠو ُﺟﻮا ﻓَﺈ ﱢ‬ ‫ْﺲ ﻣ ﱢ‬
َ ‫َﱂْ ﻳـَ ْﻌ َﻤ ْﻞ ﺑِ ُﺴﻨ ِﱠﱵ ﻓَـﻠَﻴ‬
ٌ‫َﺎم ﻓَِﺈ ﱠن اﻟﺼ ْﱠﻮَم ﻟَﻪُ ِوﺟَﺎء‬
ِ ‫ﺼﻴ‬
‫ﻓَـ ْﻠﻴَـْﻨ ِﻜ ْﺢ َوَﻣ ْﻦ َﱂْ َِﳚ ْﺪ ﻓَـ َﻌﻠَﻴْ ِﻪ ﺑِﺎﻟ ﱢ‬
“Dari ‘Ᾱ’isyah berkata,’Rasūlullāh SAW bersabda,’Nikah itu bagian dari
sunnahku. Oleh karena itu, barang siapa yang tidak mengerjakannya,
maka tidak termasuk golonganku. Dan menikahlah kamu sebab

53
Ibid., hlm. 19.
54
Djamaan Nur, Fiqih Munakahat. (Semarang: Dina Utama, 1993), hlm. 10.

26
sesungguhnya aku senang kalian umat yang paling banyak. Dan
barangsiapa mempunyai kesempatan, maka hendaklah menikah dan
barang siapa tidak mendapatkannya, maka berpuasalah sebab
sesungguhnya puasa itu penekan hawa nafsu” (HR.Ibnu Majah, dari
Aisyah ra No.1836.).
c. Tujuan nikah, antara lain;
1) Menjauhkan diri dari zina.
2) Mendapatkan keturunan.
3) Mendapatkan tenaga untuk kemajuan Islam.
4) Mewujudkan suatu masyarakat Islam.
5) Menghibur hati Rasulullah SAW .
6) Menambah jumlah umat Islam.
7) Menyambung zuriat/keturunan.
8) Menghibur hamba Allah.
d. Rukun nikah:
1) Calon suami.
2) Calon istri.
3) Wali nikah
4) Saksi nikah
5) Ijab Qabul.
e. Ulama berbeda mengenai hukum nikah. Ada yang menyebut wajib,
haram, sunnat, atau makruh berdasarkan tinjauan latar belakangnya.
C. Kegiatan Pembelajaran ke-3
1. Tujuan Pembelajaran
a. Mahasiswa mampu menjelaskan kriteria calon suami atau isteri.
b. Mahasiswa mampu mengemukakan cara meminang calon isteri
(khitbah) menurut syariat Islam
c. Mahasiswa mampu mengemukakan wanita yang haram
dinikahi.(muharramāt).
d. Mahasiswa mampu menjelaskan hak suami dan isteri.
2. Materi Pembelajaran

a. Kriteria Calon Suami/Istri


Kebahagiaan dan kesejahteraan hidup berumah tangga pada dasarnya
ditentukan oleh keserasian antara suami dan istri. Untuk memperoleh
27

Anda mungkin juga menyukai