Ludhmila Abrahão Hajjar, Isabela Bispo Santos da Silva Costa, Stephanie Itala Rizk, Bruno Biselli,
Brenno Rizerio Gomes, Cristina Salvadori Bittar, Gisele Queiroz de Oliveira, Juliano Pinheiro de
Almeida, Mariana Vieira de Oliveira Bello, Cibele Garzillo, Alcino Costa Leme, Moizo Elena,
Fernando Val, Marcela de Almeida Lopes, Marcus Vinícius Guimarães Lacerda, Jose Antonio
Franchini Ramires, Roberto Kalil Filho, Jean-Louis Teboul & Giovanni Landoni
Abstrak
SARS-CoV-2 merupakan agen penyebab coronavirus disease 2019 (COVID-19) dan
bertanggung jawab atas pandemi terbesar yang dihadapi umat manusia sejak
pandemi flu Spanyol pada awal abad kedua puluh. Karena tidak ada pengobatan
antivirus yang spesifik, maka pemberian pengobatan suportif yang optimal adalah
faktor yang paling relevan dalam menentukan prognosis pasien. Dalam regulasi
rumah sakit, mengidentifikasi pasien yang berisiko tinggi mengalami perburukan
klinis sangat penting untuk memastikan akses ke perawatan intensif pada waktu yang
tepat. Penatalaksanaan awal hipoksemia meliputi terapi oksigen konvensional,
oksigenasi dengan high-flow nasal canula, dan ventilasi non-invasif. Untuk pasien
yang membutuhkan ventilasi mekanis invasif, direkomendasikan menggunakan
ventilasi pelindung paru dengan volume tidal rendah. Komplikasi kardiovaskular
sering terjadi, diantaranya adalah cedera miokardium, trombotik, miokarditis, dan
syok kardiogenik. Gagal ginjal akut merupakan komplikasi yang umum dan
merupakan penanda prognosis yang buruk, dengan dampak yang signifikan pada
biaya dan alokasi sumber daya. Mengenai terapi yang menjanjikan untuk COVID-19,
obat yang paling menjanjikan hingga saat ini adalah remdesivir dan kortikosteroid
meskipun penelitian lebih lanjut mungkin diperlukan untuk memastikan
keefektifannya. Terapi lain seperti, tocilizumab, anakinra, obat anti-sitokin lain, dan
heparin sedang dalam tahapan uji klinis. Ribuan tenaga kesehatan menghadapi
skenario yang belum pernah kita lihat sebelumnya, yaitu dimana permintaan rumah
sakit melebihi kapasitas di sebagian besar negara. Sampai saat ini, kami meyakini
bahwa mengurangi jumlah pasien yang terinfeksi dan pemberian critical care support
yang dioptimalkan adalah strategi terbaik untuk meningkatkan kelangsungan hidup
pasien.
Pendahuluan
Pada tanggal 31 Desember 2019, China melaporkan serangkaian kasus gagal
pernapasan akut yang disebabkan oleh spesies baru corona virus, yaitu SARS-CoV-
2, dengan lebih dari 50 juta kasus baru dan hampir 1.260.000 kematian telah
dikonfirmasi di seluruh dunia. Di negara Brasil, 5.664.115 kasus dilaporkan dengan
162.397 kematian akibat penyakit ini pada 8 November 2020. Penyebarannya yang
cepat dan tingkat kematian yang tinggi, terutama pada kelompok yang paling rentan
seperti orang tua dan mereka yang memiliki penyakit penyerta, menjadikan pandemi
ini sebagai tantangan baru yang dihadapi oleh pengobatan modern.
Patofisiologi COVID-19 sangat kompleks, dan penyakit ini dapat
membahayakan paru-paru, jantung, otak, hati, ginjal, dan sistem koagulasi. COVID-
19 dapat mengakibatkan miokarditis, kardiomiopati, aritmia ventrikel, sindrom
koroner akut, dan syok. Peristiwa tromboemboli vena dan arteri terjadi pada 31-59%
pasien rawat inap dengan COVID-19.
Publikasi ini bertujuan untuk memberikan konsensus tentang manajemen
spesifik COVID-19 dalam perawatan intensif, mulai dari kriteria penerimaan di unit
perawatan intensif (ICU) hingga perawatan antivirus, dengan dukungan ventilasi,
hemodinamik, dan metabolisme. Kami melakukan pencarian data di PubMed,
Medrxiv, dan Embase menggunakan istilah coronavirus, COVID-19, SARS-CoV-2,
severe acute respiratory syndrome COVID-19, critically ill, dan intensive care unit
untuk studi yang diterbitkan dari 31 Desember 2019 hingga 11 Juni 2020, dan
memilih artikel yang relevan secara manual. Kami memilih artikel yang relevan
dengan pembaca kedokteran umum, memprioritaskan uji klinis acak, tinjauan
sistematis, dan pedoman praktik klinis.
Strategi ventilasi mekanis menurut fenotipe pasien ("tipe L" atau "tipe H")
Dalam kasus gagal napas yang berat, seperti yang sering terlihat pada ARDS
terkait SARS-CoV-2, hipoksemia berat dapat menyebabkan peningkatan upaya
pernapasan yang terus-menerus, dengan konsekuensi cedera paru yang diinduksi
sendiri (self-induced lung injury/P-SILI). Selain itu, faktor lain seperti kelebihan
cairan atau cedera miokard yang disebabkan oleh SARS-CoV-2 juga dapat
memperburuk kondisi melalui kongesti paru. Dengan demikian, strategi ventilasi
mekanis harus mempertimbangkan berbagai mekanisme cedera paru dan presentasi
penyakit yang berbeda—bentuk ventilasi konvensional pada ARDS tidak selalu yang
paling tepat, seperti yang dijelaskan di bawah ini.
Tipe L: disarankan untuk ventilasi pasien "tipe L", biasanya pasien dengan
kompliansi paru yang baik, volume tidal yang lebih tinggi (VT) (sekitar 7-8 mL/kg
berat badan ideal). VT yang lebih tinggi membantu menghindari reabsorpsi
atelektasis dan hiperkapnia karena terbatasnya hipoventilasi yang diinduksi VT.
Alasan di balik strategi ini adalah sebagai berikut: gambaran awal pasien ini adalah
defek vasoregulasi pada kapiler paru—refleks vasokonstriksi yang biasanya terjadi
sebagai respons terhadap hipoksemia tidak ditemukan pada pasien ini karena
perubahan endotel dan mikrotrombosis. Peningkatan FiO2 mungkin cukup pada
sebagian besar pasien yang tidak mengalami upaya pernapasan yang berlebihan,
dengan pemeliharaan NIV dengan BIPAP atau HFNC yang mengarah pada
perbaikan hipoksemia dan pembalikan ARDS yang lambat dan progresif. Namun,
jika kondisi inflamasi berlanjut, atau jika upaya ventilasi pasien berlebihan, stres
jaringan paru sekunder dapat menyebabkan P-SILI, dengan penurunan fungsi paru
yang parah. Pasien-pasien ini harus diventilasi dengan PEEP yang lebih rendah
(antara 8 dan 10 cmH2O) untuk menghindari pengalihan aliran darah menjauh dari
kapiler paru yang akan meningkatkan efek shunt. Karena hipoperfusi kapiler juga
dapat bergantung pada gravitasi, maka posisi pronasi dapat digunakan sebagai
strategi untuk meminimalkannya dan meningkatkan oksigenasi.
Tipe H: dengan perkembangan penyakit dan memburuknya edema inflamasi,
pasien dapat berkembang menjadi "tipe H". Patofisiologi perkembangan ini mungkin
merupakan hasil dari kombinasi faktor: selain lesi yang diinduksi sendiri (P-SILI),
lesi virus itu sendiri menyebabkan peradangan dan edema yang tidak terkontrol,
dengan trombogenesis lokal dan umum, pelepasan sitokin yang intens, dan kelebihan
beban ventrikel kanan. Edema paru yang dihasilkan menyerupai ARDS klasik,
dengan alveoli yang kolaps dan area normoperfusi dan hipoaerasi yang luas. Dalam
kasus yang lebih maju, strategi ventilasi mekanik harus lebih tradisional: PEEP
tinggi, VT <6 mL/kg, driving pressure <14 cmH2O, posisi pronasi, dan manuver
rekrutmen alveolar dalam kasus-kasus refrakter.
Seperti yang dinyatakan sebelumnya, kategorisasi dalam dua profil yang berbeda
bertujuan untuk memfasilitasi manajemen klinis dengan menunjukkan perlunya
pendekatan ventilasi yang berbeda. Namun, karena seringnya tumpang tindih dari
kedua jenis, individualisasi manajemen ventilasi sangat penting. Dalam kedua kasus
tersebut, pasien dengan COVID-19 yang menjalani ventilasi mekanis memiliki
waktu pemulihan rata-rata 1-3 minggu. Kemajuan menuju perbaikan klinis umumnya
lambat; oleh karena itu, sedasi berkepanjangan seringkali tidak dapat dihindari.
Nefropati COVID-19
Temuan seperti proteinuria dan hematuria dapat terjadi setelah infeksi COVID-
19, dengan beberapa individu menunjukkan tanda dan gejala AKI. Telah dibuktikan
bahwa virus RNA hadir dalam urin dan jaringan ginjal, menunjukkan bahwa ginjal
juga dapat menjadi target infeksi COVID-19 melalui invasi virus langsung di tubulus
dan interstitium ginjal.
Histopatologi ginjal diperiksa dalam serangkaian otopsi dari 26 pasien yang
meninggal karena gagal napas sekunder akibat COVID-19. Semua pasien memiliki
bukti cedera tubular akut dengan berbagai tingkat keparahan, dan sejumlah temuan
histopatologis lainnya termasuk kelompok eritrosit dan pigmen hemosiderin juga
ada. Dari sembilan sampel yang diuji untuk virus intraseluler, partikel mirip virus
corona diidentifikasi dalam 7 kasus.
Gagal ginjal akibat COVID-19 memiliki etiologi multifaktorial, dengan tiga
mekanisme utama yang terlibat: cedera sitokin, crosstalk organ, dan efek sistemik
infeksi.
Cedera sitokin
Sitokin storm melalui pelepasan IL-6/JAK2/STAT3/SOCS3 dan NF-κB
(p65)/IL-18 dapat bekerja sama untuk menginduksi AKI dan meningkatkan penanda
diagnostik terkait ginjal secara keseluruhan. McElvaney OJ et al. menunjukkan
bahwa IL-1β, IL-6, IL-8, dan sTNFR1 semuanya meningkat pada pasien COVID-19.
Pasien COVID ICU dapat dibedakan dengan jelas dari pasien stabil COVID, dan
menunjukkan tingkat IL-1β, IL-6, dan sTNFR1 yang lebih tinggi. Kontribusi
peningkatan permeabilitas vaskular dan deplesi volume, serta kardiomiopati—yang
dapat menyebabkan sindrom kardiorenal tipe I—selain aktivasi sitokin, belum
diketahui. Menghilangkan sitokin dengan terapi extracorporeal, sering dipelajari
sebagai pendekatan yang menjanjikan pada pasien dengan sepsis dan AKI, telah
diusulkan pada pasien dengan COVID-19 yang mengalami gagal ginjal akut.
Crosstalk organ
Hubungan antara cedera alveolar dan cedera tubulus telah terbukti. Sebuah studi
retrospektif yang melibatkan 357 pasien dengan ARDS tanpa penyakit ginjal atau
AKI pada presentasi melaporkan bahwa 68% pasien mengembangkan AKI.
Keseimbangan cairan positif, keparahan penyakit yang lebih besar, pasien yang lebih
tua, dan diabetes secara independen terkait dengan perkembangan AKI.
Efek sistemik
Ketidakstabilan hemodinamik yang terkait dengan rhabdomyolysis, asidosis
metabolik, dan hiperkalemia juga dapat terjadi pada pasien COVID-19 dan
berkontribusi terhadap AKI.
Pengelolaan
Indikasi untuk terapi penggantian ginjal (RRT) untuk AKI pada pasien sakit
kritis telah ditetapkan dengan baik, terlepas dari status COVID-19. Pada pasien tanpa
indikasi RRT, pengobatan konservatif meliputi: diuretik loop dosis yang tepat (oral
atau intravena) untuk kelebihan cairan dan manajemen aktif hiperkalemia dan
asidosis metabolik dengan pengikat kalium dan natrium bikarbonat. Untuk pasien
yang tidak berespons terhadap pengobatan konservatif, diindikasikan untuk
mendapatkan RRT.
Penggunaan CRRT tetap disukai di antara pasien sakit kritis dengan AKI.
Bahkan di antara pasien hemodinamik stabil yang dapat mentolerir hemodialisis
intermiten, CRRT, atau sustained low-efficiency dialysis (SLED) lebih disukai,
tergantung pada ketersediaan mesin dan staf ahli. CRRT atau SLED dapat dikelola
tanpa dukungan keperawatan 1:1, yang berpotensi membantu meminimalkan
pemborosan alat pelindung diri dan membatasi paparan di antara perawat yang
menjalani hemodialisis.
Sitrat regional adalah strategi antikoagulasi yang paling banyak digunakan
selama hemofiltrasi atau dialisis. Namun, beberapa laporan kasus menunjukkan
bahwa sirkuit trombosis selama RRT terjadi lebih sering pada pasien dengan
COVID-19 dibandingkan pada pasien lain, dan dalam kasus ini, penambahan terapi
antikoagulan dengan heparin non-fraksional dapat dipertimbangkan.
Manajemen khusus
Beberapa obat telah dipelajari untuk pengobatan SARS-CoV-2. Antivirus yang
paling banyak dipelajari dalam skenario ini adalah kombinasi lopinavir-ritonavir dan
remdesivir. Saat ini, terapi antivirus yang muncul paling menjanjikan adalah
remdesivir. Ini adalah prodrug dari analog nukleotida yang dimetabolisme secara
intraseluler menjadi analog adenosin trifosfat yang menghambat RNA polimerase
virus. Dalam penelitian sebelumnya, remdesivir terbukti memiliki aktivitas in vitro
terhadap Ebola dan beberapa coronavirus, menunjukkan khasiat profilaksis dan
terapeutik pada model nonclinical.
Remdesivir telah digunakan baru-baru ini karena kurangnya obat yang terbukti
keampuhannya. Sebuah RCT multisenter termasuk 1.063 pasien yang menerima
remdesivir atau plasebo menunjukkan bahwa penggunaan remdesivir menyebabkan
durasi tinggal di rumah sakit secara signifikan lebih pendek (11 vs. 15 hari), dan
kematian yang lebih rendah (8% vs. 11.6%). FDA telah menyetujui obat ini untuk
penggunaan mendesak pada COVID-19, obat ini diresepkan secara intravena (200
mg IV hari 1, dan 100 mg IV dari hari 2 hingga hari 10). Sebuah makalah yang
diterbitkan oleh kelompok penulis yang sama menunjukkan bahwa terapi 5 hari sama
efektifnya dengan 10 hari.
Antivirus lopinavir/ritonavir, ribavirin, atazanavir, dan favipiravir sedang diuji
dalam konteks COVID-19. Penelitian in vitro sebelumnya menyarankan bahwa
lopinavir menunjukkan aktivitas penghambatan terhadap SARS-CoV dan MERS-
CoV. Cao B dkk. menunjukkan dalam RCT dengan 199 pasien rawat inap dengan
kegagalan pernapasan bahwa lopinavir/ritonavir tidak menghasilkan manfaat klinis
di luar perawatan standar. Sebuah uji coba multisenter baru-baru ini menguji
kombinasi lopinavir/ritonavir dengan interferon beta-1b dan ribavirin, dan
menegaskan bahwa dibandingkan dengan perawatan standar, kombinasi obat-obatan
menghasilkan durasi pelepasan virus yang lebih pendek dan masa tinggal di rumah
sakit dan dalam perbaikan klinis.
Sebagai terapi tambahan dalam pengobatan COVID-19, klorokuin dan
hidroksiklorokuin telah dievaluasi dalam studi eksperimental dan klinis. Obat ini
memiliki kemampuan untuk meningkatkan pH endosomal sel dan mengurangi
replikasi SARS-CoV-2 in vitro. Namun, studi klinis awal belum mengungkapkan
manfaat klinis untuk menggunakan obat ini baik sendiri atau dalam kombinasi
dengan azitromisin. Cavalcanti dkk. dalam uji klinis acak dengan 667 pasien rawat
inap dengan dugaan atau konfirmasi COVID-19 yang menunjukkan manifestasi
ringan hingga sedang, penggunaan hidroksiklorokuin, sendiri atau dengan
azitromisin, tidak meningkatkan status klinis pada 15 hari dibandingkan dengan
perawatan standar. Demikian pula, penggunaan hydroxychloroquine belum
bermanfaat dalam mencegah perkembangan COVID-19 pada pasien setelah paparan
berisiko tinggi. Penggunaan rutin obat ini tidak dianjurkan.
Selain itu, Mercuro et al., dalam studi kohort yang melibatkan 90 pasien,
menunjukkan bahwa hidroksiklorokuin pada pasien COVID-19 dikaitkan dengan
risiko perpanjangan QTc yang tinggi, dan pengobatan bersamaan dengan azitromisin
menghasilkan perubahan QTc yang lebih besar. Kami merekomendasikan agar
dokter secara hati-hati mengevaluasi manfaat dan potensi risiko obat ini.
Penggunaan kortikosteroid mengurangi kematian pada pasien COVID-19 yang
membutuhkan bantuan pernapasan. Percobaan menunjukkan bahwa deksametason 6
mg sekali sehari selama 10 hari menghasilkan mortalitas 28 hari yang lebih rendah di
antara mereka yang menerima ventilasi mekanis invasif atau oksigen. Rejimen
steroid yang biasa diresepkan pada ARDS yang mungkin dipertimbangkan pada
COVID-19 termasuk metilprednisolon 0,5 mg/Kg intravena dua kali sehari selama 5
hari, deksametason 6 mg sekali sehari selama 10 hari atau deksametason 20 mg
sekali sehari selama 5 hari. Sebuah meta-analisis baru-baru ini mencakup 678 pasien
yang menerima steroid selama COVID-19 (hidrokortison, deksametason, atau
metilprednisolon) dan menunjukkan bahwa pemberian kortikosteroid sistemik,
dibandingkan dengan perawatan biasa atau plasebo, dikaitkan dengan mortalitas
semua penyebab yang lebih rendah selama 28 hari.
Obat imunomodulator seperti tocilizumab (antibodi reseptor IL-6 antihuman),
sarilumab (reseptor anti-IL6), anakinra (anti-IL1), reparixin (anti-IL8), interferon-α,
dan inhibitor komplemen telah dieksplorasi sebagai obat terapeutik yang potensial
untuk meningkatkan hasil pada pasien COVID-19.
Penggunaan tocilizumab telah dikaitkan dengan penurunan ventilasi mekanis
dan penurunan serum IL-6 pada pasien ini. Manfaatnya mungkin terkait dengan
fenotipe peradangan hebat, yang ditandai dengan tingginya kadar IL-6, D-dimer,
protein C-reaktif, LDH, dan feritin. Penggunaan preferensialnya harus dilakukan
melalui protokol penelitian klinis; pasien yang dirawat lebih awal di ICU dan masih
belum diintubasi mungkin yang paling diuntungkan. Dua penelitian retrospektif
menunjukkan kemanjuran tocilizumab pada COVID-19. Namun, 4 penelitian acak
tidak mengkonfirmasi kemanjuran tocilizumab pada COVID-19.
Plasma konvalesen telah digunakan untuk pengobatan penyakit menular sejak
awal abad kedua puluh dengan penurunan angka kematian dalam rangkaian kasus
dan laporan kasus selama influenza 1918, SARS 2003, dan pandemi influenza
H1N13 2009. Pada COVID-19, beberapa rangkaian kasus penggunaan plasma
konvalesen yang tidak terkontrol dilakukan, menunjukkan manfaat kelangsungan
hidup. Li dkk. menerbitkan RCT pertama plasma konvalesen pada COVID-19, tidak
menunjukkan manfaat signifikan dalam peningkatan klinis atau kematian. Namun,
penelitian ini menunjukkan kemungkinan manfaat pada subkelompok pasien yang
sakit parah. Uji klinis lebih lanjut diperlukan untuk menetapkan indikasi klinis terapi
antibodi terhadap COVID-19.
Pengobatan antitrombotik
Kegagalan pernapasan progresif adalah penyebab utama kematian dalam
pandemi COVID-19, diikuti oleh komplikasi kardiovaskular. Studi patologis yang
dilakukan pada pasien COVID-19 menunjukkan cedera endotel yang parah, terkait
dengan keberadaan virus intraseluler dan membran sel yang terganggu. Pembuluh
darah paru memiliki trombosis luas dengan mikroangiopati dan mikrotrombus
alveolar. Sebuah penelitian di Brasil dari 10 otopsi invasif minimal mengungkapkan
adanya kerusakan alveolar difus di paru-paru, dan efek sitopatik virus epitel pada
epitel alveolar dan saluran napas kecil. Sejumlah variabel trombus fibrinous kecil di
arteriol paru kecil ditemukan di area paru-paru yang rusak dan diawetkan. Tanda-
tanda pneumonia bakteri diamati pada 6 dari 10 kasus.
Pada pasien yang meninggal karena kegagalan pernapasan terkait COVID-19
atau terkait influenza, pola histologis pada paru perifer adalah kerusakan alveolar
difus dengan infiltrasi sel T. Namun, peningkatan trombogenesis adalah 9 kali lebih
umum pada pasien dengan COVID-19 dibandingkan pada pasien influenza.
COVID-19 telah digambarkan sebagai penyakit tromboinflamasi dengan
trombogenesis sebagai konsekuensi dari cedera endotel yang parah, peradangan yang
diperburuk, penekanan fibrinolisis, hilangnya antikoagulan alami, dan aktivasi
trombosit dan faktor koagulasi. Karena temuan patofisiologi ini, studi awal mulai
mencari trombosis vena dalam, trombosis arteri, dan mikrotrombosis. Data yang
tersedia tentang risiko trombotik cukup terbatas dan sebagian besar didasarkan pada
rangkaian kasus dari Cina, Belanda, dan Prancis. Studi terbaru menggambarkan
tingginya insiden trombosis vena dalam dan emboli paru yang bervariasi dari 35
hingga 78% pada pasien COVID-19.
Meskipun demikian, sebagian besar ahli setuju bahwa sinyal untuk peningkatan
risiko trombotik cukup untuk merekomendasikan profilaksis tromboemboli vena
(VTE) farmakologis pada semua pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit
selama tidak ada kontraindikasi. Apa yang masih harus dikonfirmasi adalah peran
nyata dari antikoagulasi terapeutik pada pasien ini. Ada banyak kontroversi tentang
masalah ini, sementara hasil RCT tidak tersedia. Pedoman secara khusus
menyebutkan bahwa rejimen antikoagulasi dapat dimodifikasi berdasarkan berat
badan yang ekstrem (50% peningkatan dosis jika obesitas), trombositopenia berat,
atau fungsi ginjal yang memburuk.
Salah satu kesulitan dalam menentukan kejadian sebenarnya dari trombosis
adalah bahwa akses ke tes diagnostik mungkin terbatas. Dalam sebuah laporan dari
Belanda (di mana profilaksis VTE rutin diberikan), tingkat VTE yang tinggi tercatat
di antara pasien ICU. Lebih dari sepertiga dari pasien ini, bagaimanapun, memiliki
emboli paru terbatas pada subsegmental. Dosis terapeutik harus dipertimbangkan
untuk pasien dengan COVID-19 parah dan tanda-tanda 1 koagulopati yang diinduksi
sepsis (SIC) dan/atau D-dimer tinggi (6 × lebih tinggi nilai referensi) terkait dengan
biomarker keparahan lainnya, tanpa adanya kontraindikasi antikoagulan. Ini dapat
dianggap sebagai strategi terapeutik untuk infeksi SARS-CoV-2, berdasarkan
pendapat para ahli dan beberapa studi retrospektif. Selain itu, strategi ini memerlukan
penggunaan protokol kelembagaan yang ketat yang memungkinkan pengawasan dan
intervensi cepat jika terjadi komplikasi. Gambar 4 menunjukkan algoritma yang
diusulkan untuk menilai trombogenesis pada pasien dengan COVID-19, serta saran
pengobatan. Namun, data masih belum cukup untuk mengidentifikasi aspek-aspek
penting yang relevan dengan rencana terapeutik, seperti pilihan obat terbaik,
dosisnya, dan jadwal waktu pemberian, serta durasi pengobatan.
Kesimpulan
COVID-19 adalah salah satu keadaan darurat kesehatan paling menantang yang kita
hadapi abad ini. Profesional kesehatan mengalami masa-masa yang sangat sulit,
dengan keterbatasan sumber daya dan informasi, yang bila tersedia perlu
dikonfirmasi sebelum diintegrasikan ke dalam praktik klinis. Hingga saat ini, tidak
ada pengobatan spesifik yang terbukti untuk pengelolaan COVID-19, meskipun
penelitian dengan hasil yang menjanjikan baru-baru ini muncul. Kita sudah tahu
bahwa tingkat kematian terendah terkait dengan kualitas perawatan yang lebih baik.
Diagnosis dini, penerapan terapi yang efektif, dan strategi stratifikasi klinis yang
memadai diperlukan untuk hasil yang lebih baik pada pasien COVID-19.Kami telah
mempelajari bahwa disfungsi pernapasan terkait COVID-19 memiliki karakteristik
unik yang memerlukan manajemen individual dan menyadari pentingnya mendukung
hemodinamik pasien karena risiko tinggi komplikasi kardiovaskular dan ginjal.
Durasi panjang penyakit ini menimbulkan tantangan bagi sistem kesehatan dan
profesional kesehatan. Protokol perawatan yang divalidasi sangat penting ketika
berhadapan dengan jutaan orang yang terkena dampak di berbagai negara dan di
berbagai tingkat perawatan. Sampai vaksin yang efektif tersedia secara luas, dunia
perlu beradaptasi dengan kenyataan pandemi yang telah mengubah semua paradigma
pengobatan modern.Protokol perawatan yang divalidasi sangat penting ketika
berhadapan dengan jutaan orang yang terkena dampak di berbagai negara dan di
berbagai tingkat perawatan. Sampai vaksin yang efektif tersedia secara luas, dunia
perlu beradaptasi dengan kenyataan pandemi yang telah mengubah semua paradigma
pengobatan modern.Protokol perawatan yang divalidasi sangat penting ketika
berhadapan dengan jutaan orang yang terkena dampak di berbagai negara dan di
berbagai tingkat perawatan. Sampai vaksin yang efektif tersedia secara luas, dunia
perlu beradaptasi dengan kenyataan pandemi yang telah mengubah semua paradigma
pengobatan modern.