Anda di halaman 1dari 19

Manajemen perawatan intensif pada pasien COVID-19: pendekatan praktis

Ludhmila Abrahão Hajjar, Isabela Bispo Santos da Silva Costa, Stephanie Itala Rizk, Bruno Biselli,
Brenno Rizerio Gomes, Cristina Salvadori Bittar, Gisele Queiroz de Oliveira, Juliano Pinheiro de
Almeida, Mariana Vieira de Oliveira Bello, Cibele Garzillo, Alcino Costa Leme, Moizo Elena,
Fernando Val, Marcela de Almeida Lopes, Marcus Vinícius Guimarães Lacerda, Jose Antonio
Franchini Ramires, Roberto Kalil Filho, Jean-Louis Teboul & Giovanni Landoni

Abstrak
SARS-CoV-2 merupakan agen penyebab coronavirus disease 2019 (COVID-19) dan
bertanggung jawab atas pandemi terbesar yang dihadapi umat manusia sejak
pandemi flu Spanyol pada awal abad kedua puluh. Karena tidak ada pengobatan
antivirus yang spesifik, maka pemberian pengobatan suportif yang optimal adalah
faktor yang paling relevan dalam menentukan prognosis pasien. Dalam regulasi
rumah sakit, mengidentifikasi pasien yang berisiko tinggi mengalami perburukan
klinis sangat penting untuk memastikan akses ke perawatan intensif pada waktu yang
tepat. Penatalaksanaan awal hipoksemia meliputi terapi oksigen konvensional,
oksigenasi dengan high-flow nasal canula, dan ventilasi non-invasif. Untuk pasien
yang membutuhkan ventilasi mekanis invasif, direkomendasikan menggunakan
ventilasi pelindung paru dengan volume tidal rendah. Komplikasi kardiovaskular
sering terjadi, diantaranya adalah cedera miokardium, trombotik, miokarditis, dan
syok kardiogenik. Gagal ginjal akut merupakan komplikasi yang umum dan
merupakan penanda prognosis yang buruk, dengan dampak yang signifikan pada
biaya dan alokasi sumber daya. Mengenai terapi yang menjanjikan untuk COVID-19,
obat yang paling menjanjikan hingga saat ini adalah remdesivir dan kortikosteroid
meskipun penelitian lebih lanjut mungkin diperlukan untuk memastikan
keefektifannya. Terapi lain seperti, tocilizumab, anakinra, obat anti-sitokin lain, dan
heparin sedang dalam tahapan uji klinis. Ribuan tenaga kesehatan menghadapi
skenario yang belum pernah kita lihat sebelumnya, yaitu dimana permintaan rumah
sakit melebihi kapasitas di sebagian besar negara. Sampai saat ini, kami meyakini
bahwa mengurangi jumlah pasien yang terinfeksi dan pemberian critical care support
yang dioptimalkan adalah strategi terbaik untuk meningkatkan kelangsungan hidup
pasien.
Pendahuluan
Pada tanggal 31 Desember 2019, China melaporkan serangkaian kasus gagal
pernapasan akut yang disebabkan oleh spesies baru corona virus, yaitu SARS-CoV-
2, dengan lebih dari 50 juta kasus baru dan hampir 1.260.000 kematian telah
dikonfirmasi di seluruh dunia. Di negara Brasil, 5.664.115 kasus dilaporkan dengan
162.397 kematian akibat penyakit ini pada 8 November 2020. Penyebarannya yang
cepat dan tingkat kematian yang tinggi, terutama pada kelompok yang paling rentan
seperti orang tua dan mereka yang memiliki penyakit penyerta, menjadikan pandemi
ini sebagai tantangan baru yang dihadapi oleh pengobatan modern.
Patofisiologi COVID-19 sangat kompleks, dan penyakit ini dapat
membahayakan paru-paru, jantung, otak, hati, ginjal, dan sistem koagulasi. COVID-
19 dapat mengakibatkan miokarditis, kardiomiopati, aritmia ventrikel, sindrom
koroner akut, dan syok. Peristiwa tromboemboli vena dan arteri terjadi pada 31-59%
pasien rawat inap dengan COVID-19.
Publikasi ini bertujuan untuk memberikan konsensus tentang manajemen
spesifik COVID-19 dalam perawatan intensif, mulai dari kriteria penerimaan di unit
perawatan intensif (ICU) hingga perawatan antivirus, dengan dukungan ventilasi,
hemodinamik, dan metabolisme. Kami melakukan pencarian data di PubMed,
Medrxiv, dan Embase menggunakan istilah coronavirus, COVID-19, SARS-CoV-2,
severe acute respiratory syndrome COVID-19, critically ill, dan intensive care unit
untuk studi yang diterbitkan dari 31 Desember 2019 hingga 11 Juni 2020, dan
memilih artikel yang relevan secara manual. Kami memilih artikel yang relevan
dengan pembaca kedokteran umum, memprioritaskan uji klinis acak, tinjauan
sistematis, dan pedoman praktik klinis.

Kriteria masuk ICU untuk pasien dewasa dengan COVID 19


Chinese Center for Disease Control and Prevention melaporkan bahwa, di antara
lebih dari 44.000 kasus COVID-19 yang dikonfirmasi, sekitar 81% tidak
menunjukkan gejala atau menunjukkan gejala ringan seperti batuk, demam,
kelelahan, dan mialgia. Meskipun untuk kasus ini, perawatan di rumah dan isolasi
mandiri adalah tindakan yang tepat, 14% berkembang menjadi penyakit yang parah
dan 5% kritis, masing-masing memerlukan rawat inap dan masuk ICU. Pasien
COVID-19 yang parah biasanya menunjukkan frekuensi pernapasan ≥ 30 kali napas
per menit, saturasi oksigen ≤ 93%, dan infiltrat paru > 50%, dan berisiko tinggi
mengalami perburukan klinis dan dapat menyebabkan penyakit kritis, termasuk acute
respiratory distress syndrome (ARDS). Rawat inap harus diberikan untuk pasien
yang mengalami gejala parah; namun, masuk ICU diprioritaskan untuk bentuk yang
paling parah, tergantung pada kapasitas sistem perawatan kesehatan. Terlepas dari
perbedaan budaya dan praktik di seluruh dunia, sebagian besar pusat melaporkan
bahwa sekitar 25% pasien rawat inap memerlukan perawatan intensif di ICU.
Pasien dengan bentuk penyakit yang parah harus dipantau secara ketat, karena
perkembangan yang cepat dari ARDS sedang hingga berat dapat terjadi. Gagal napas
hipoksemia akut adalah komplikasi paling umum yang terjadi pada 60-70% pasien
yang dirawat di ICU. Pasien yang berisiko tinggi mengalami ARDS adalah mereka
yang berusia lebih dari 65 tahun, dengan gejala demam tinggi (T > 39ºC), neutrofilia,
limfositopenia, peningkatan marker gagal hati dan gagal ginjal (aspartat
aminotransferase, alanine aminotransferase, kreatinin, dan urea), peningkatan protein
fase akut sebagai penanda inflamasi (protein C-reaktif sensitivitas tinggi,
prokalsitonin, dan feritin serum), dan peningkatan indikator terkait fungsi koagulasi
(protrombin time, fibrinogen, dan D-dimer).
Kriteria masuk ICU meliputi kebutuhan oksigen sama atau lebih tinggi dari 6-8
l/menit untuk mencapai saturasi oksigen perifer ≥ 90-92%, gagal napas, syok,
disfungsi organ akut, dan pasien dengan risiko tinggi mengalami perburukan klinis.
Namun, di banyak negara, karena kekurangan tempat tidur di ICU, biasanya hanya
pasien yang membutuhkan intubasi dan ventilasi mekanis invasif yang dirawat di
ICU.

Kerusakan paru, patofisiologi, dan strategi ventilasi


Patofisiologi ARDS yang diinduksi oleh COVID-19, memiliki sifat karakteristik
yang membuatnya berbeda dari penyebab ARDS lainnya: pasien menunjukkan
disfungsi endotel yang intens dengan keadaan tromboinflamasi. Beberapa
mekanisme disregulasi dalam perfusi paru ada pada COVID-19: hipoksia,
vasokonstriksi paru yang berlebihan; dan mikrotrombosis atau makrotrombosis.
Mikrotrombosis paru dan kerusakan endotel mengakibatkan ketidakcocokan V/Q
(ventilasi/perfusi), hipoksemia, dan vasodilatasi (Gbr. 1). Peningkatan biomarker
inflamasi dan trombotik dikaitkan dengan presentasi klinis yang parah dan kematian
pada pasien COVID-19. Peningkatan kadar D-dimer, IL-6, protein C-reaktif,
prokalsitonin, troponin, LDH, dan feritin terdeteksi pada pasien yang sakit parah.
Tren rawat inap bervariasi menurut usia dan dapat mencapai sekitar 20% pasien
COVID-19. Pada pasien rawat inap, dukungan ventilasi dapat bervariasi dari
kebutuhan suplementasi O2 melalui kateter hidung hingga ventilasi mekanis invasif
atau oksigenasi membran ekstrakorporeal (venovenous ECMO) pada pasien dengan
bentuk ARDS yang paling parah. Secara umum, pasien harus dipertahankan dengan
jumlah minimum O2 tambahan untuk SpO2 antara 92 dan 96%. Tanpa BGA, derajat
hipoksemia dapat diperkirakan dengan rasio SpO2/FiO2, dengan nilai ≤ 315
menunjukkan ARDS.
Ventilasi non-invasif: layanan kesehatan diperkirakan akan kelebihan beban di
sebagian besar pusat kesehatan sebagai akibat dari penyebaran pandemi COVID-19,
yang terutama menyebabkan kurangnya tempat tidur ICU dan jumlah ventilator
mekanik yang tidak mencukupi untuk pasien yang membutuhkannya. Banyak rumah
sakit telah menggunakan ventilasi non-invasif (NIV) sebagai upaya untuk mencegah
gagal napas berkembang menjadi bentuk parah yang memerlukan dukungan ventilasi
invasif. Baik European Society for Intensive Care Medicine (ESICM) dengan
Surviving Sepsis Campaign internasional: Pedoman pengelolaan orang dewasa yang
sakit kritis dengan penyakit coronavirus 2019 (COVID-19), dan National Health
Service of England (NHS-England) merekomendasikan penggunaan NIV sebagai
tindakan awal untuk gagal napas pada pasien COVID-19 (rekomendasi lemah, bukti
kualitas rendah).
Masih menjadi perdebatan manakah teknik non-invasif yang akan dijadikan
rekomendasi: perangkat NIV seperti BIPAP, atau penggunaan high-flow nasal
cannulas (HFNC). Posisi tengkurap (pronasi) pada pasien yang tidak diintubasi diuji
dalam beberapa penelitian awal. Pasien yang menoleransi lebih dari 3 jam dalam
posisi pronasi menunjukkan peningkatan oksigenasi yang substansial dari posisi
supinasi ke posisi pronasi. Namun, studi lebih lanjut diperlukan untuk memperkuat
manfaat nyata dari intervensi ini.
Ventilasi mekanik invasif
ARDS didefinisikan sebagai edema paru inflamasi dengan etiologi non-
kardiogenik, dengan pengurangan area paru yang berventilasi normal sehingga
mengakibatkan penurunan komplians pernapasan dan efek shunt. The Berlin
definitions mengusulkan kategori ARDS berdasarkan derajat hipoksemia, yaitu
ringan (PaO2 <200 mmHg/ FIO2 ≤300 mmHg), sedang (PaO2 <100 mmHg/ FIO2
≤200 mmHg), dan berat (PaO2/ FIO2 ≤100 mmHg) dan variabel untuk ARDS berat
ditentukan berdasarkan radiografi, komplians sistem pernapasan (≤40 mL/cm H2O),
positive end-expiratory pressure (≥10 cm H2O), dan volume ekspirasi terkoreksi per
menit (≥10 L/menit).
Untuk mengelola pasien ini, biasanya diterapkan maneuver rekrutmen paru
untuk membuka kembali area paru yang kolaps, seperti peningkatan positive end-
expiratory pressure (PEEP), alveolar recruitment maneuvers, dan posisi pronasi,
yang mengarah pada penurunan elastansi dan peningkatan kompliansi paru. Posisi
pronasi menyajikan manfaat potensial dari pengurangan hipoksemia berat karena
mendorong rekrutmen alveolar dan penurunan ketidaksesuaian ventilasi/perfusi.
Intervensi ini dapat dipertimbangkan pada pasien dengan PO 2/FiO2 <150, tanpa
adanya kontraindikasi.
Tujuan utama ventilasi mekanik pada pasien ini adalah untuk mempertahankan
strategi perlindungan paru-paru untuk semua pasien dengan ARDS, dengan
menargetkan volume tidal 4 sampai 8 mL/kg berat badan yang diprediksi (Predicted
Body Weight) dan tekanan permukaan kurang dari 30 cmH2O.
Sekelompok ahli berhipotesis bahwa dalam COVID, mungkin ada dua fenotipe
ARDS. Pasien sering menunjukkan komplians normal bahkan dengan adanya
hipoksemia berat, dengan ventilasi yang normal atau bahkan meningkat, dan lebih
dari setengah dari pasien ini tidak tampak dispnea. Secara radiologis, pasien tersebut
memiliki lesi ground-glass tomographic yang menunjukkan edema interstisial dan
nonalveolar, dan infiltrat ini relatif terbatas pada tahap ini. Pasien-pasien ini disebut
"tipe L" ("elastansi rendah"), dengan karakteristik utama berupa kompliansi tinggi
dan respons rendah terhadap PEEP. Pasien "tipe L" dapat berkembang menjadi
bentuk yang lebih parah yang disebut sebagai "tipe H" ("elastansi tinggi"), yang
menunjukkan kompliansi yang juga rendah dan respons yang tinggi terhadap PEEP.
Perlu digarisbawahi bahwa pembagian ini bersifat konseptual, untuk memudahkan
pemahaman tentang kondisi pernapasan, dengan tipe “H” dan “L” mewakili ujung
spektrum yang sering tumpang tindih.

Strategi ventilasi mekanis menurut fenotipe pasien ("tipe L" atau "tipe H")
Dalam kasus gagal napas yang berat, seperti yang sering terlihat pada ARDS
terkait SARS-CoV-2, hipoksemia berat dapat menyebabkan peningkatan upaya
pernapasan yang terus-menerus, dengan konsekuensi cedera paru yang diinduksi
sendiri (self-induced lung injury/P-SILI). Selain itu, faktor lain seperti kelebihan
cairan atau cedera miokard yang disebabkan oleh SARS-CoV-2 juga dapat
memperburuk kondisi melalui kongesti paru. Dengan demikian, strategi ventilasi
mekanis harus mempertimbangkan berbagai mekanisme cedera paru dan presentasi
penyakit yang berbeda—bentuk ventilasi konvensional pada ARDS tidak selalu yang
paling tepat, seperti yang dijelaskan di bawah ini.
Tipe L: disarankan untuk ventilasi pasien "tipe L", biasanya pasien dengan
kompliansi paru yang baik, volume tidal yang lebih tinggi (VT) (sekitar 7-8 mL/kg
berat badan ideal). VT yang lebih tinggi membantu menghindari reabsorpsi
atelektasis dan hiperkapnia karena terbatasnya hipoventilasi yang diinduksi VT.
Alasan di balik strategi ini adalah sebagai berikut: gambaran awal pasien ini adalah
defek vasoregulasi pada kapiler paru—refleks vasokonstriksi yang biasanya terjadi
sebagai respons terhadap hipoksemia tidak ditemukan pada pasien ini karena
perubahan endotel dan mikrotrombosis. Peningkatan FiO2 mungkin cukup pada
sebagian besar pasien yang tidak mengalami upaya pernapasan yang berlebihan,
dengan pemeliharaan NIV dengan BIPAP atau HFNC yang mengarah pada
perbaikan hipoksemia dan pembalikan ARDS yang lambat dan progresif. Namun,
jika kondisi inflamasi berlanjut, atau jika upaya ventilasi pasien berlebihan, stres
jaringan paru sekunder dapat menyebabkan P-SILI, dengan penurunan fungsi paru
yang parah. Pasien-pasien ini harus diventilasi dengan PEEP yang lebih rendah
(antara 8 dan 10 cmH2O) untuk menghindari pengalihan aliran darah menjauh dari
kapiler paru yang akan meningkatkan efek shunt. Karena hipoperfusi kapiler juga
dapat bergantung pada gravitasi, maka posisi pronasi dapat digunakan sebagai
strategi untuk meminimalkannya dan meningkatkan oksigenasi.
Tipe H: dengan perkembangan penyakit dan memburuknya edema inflamasi,
pasien dapat berkembang menjadi "tipe H". Patofisiologi perkembangan ini mungkin
merupakan hasil dari kombinasi faktor: selain lesi yang diinduksi sendiri (P-SILI),
lesi virus itu sendiri menyebabkan peradangan dan edema yang tidak terkontrol,
dengan trombogenesis lokal dan umum, pelepasan sitokin yang intens, dan kelebihan
beban ventrikel kanan. Edema paru yang dihasilkan menyerupai ARDS klasik,
dengan alveoli yang kolaps dan area normoperfusi dan hipoaerasi yang luas. Dalam
kasus yang lebih maju, strategi ventilasi mekanik harus lebih tradisional: PEEP
tinggi, VT <6 mL/kg, driving pressure <14 cmH2O, posisi pronasi, dan manuver
rekrutmen alveolar dalam kasus-kasus refrakter.
Seperti yang dinyatakan sebelumnya, kategorisasi dalam dua profil yang berbeda
bertujuan untuk memfasilitasi manajemen klinis dengan menunjukkan perlunya
pendekatan ventilasi yang berbeda. Namun, karena seringnya tumpang tindih dari
kedua jenis, individualisasi manajemen ventilasi sangat penting. Dalam kedua kasus
tersebut, pasien dengan COVID-19 yang menjalani ventilasi mekanis memiliki
waktu pemulihan rata-rata 1-3 minggu. Kemajuan menuju perbaikan klinis umumnya
lambat; oleh karena itu, sedasi berkepanjangan seringkali tidak dapat dihindari.

Gangguan kardiovaskular, patofisiologi, dan strategi pengobatan


Cedera kardiak adalah kejadian umum pada pasien dengan COVID-19.
Beberapa mekanisme yang terlibat: toksisitas virus, peradangan, trombogenesis,
cedera endotel, overstimulasi simpatik, miokarditis, hipoksemia, vasokonstriksi,
gangguan suplai/permintaan, cadangan kardiovaskular dan pernapasan yang rendah,
dan infeksi sekunder. Fenotipe yang berbeda dapat menghasilkan: cedera jantung
saja, miokarditis dengan gagal jantung, aritmia, tromboemboli vena dan arteri,
sindrom koroner akut, dan syok.
Sebuah studi baru-baru ini yang melibatkan 100 pasien dengan COVID-19 yang
menjalani ekokardiografi dalam waktu 24 jam setelah masuk ruang perawatan yang
menunjukkan bahwa temuan yang paling umum adalah dilatasi dan disfungsi
ventrikel kanan (RV) (39% pasien), diikuti oleh ventrikel kiri (LV), disfungsi
diastolik (16%) dan disfungsi sistolik LV (10%). Kejadian syok pada pasien rawat
inap dengan COVID-19 yang dikonfirmasi adalah 20–35%. Di antara 1 pasien yang
menerima IMV, sekitar 95% mungkin memerlukan dukungan vasopresor.
Tujuan utama dari manajemen syok dan ketidakstabilan hemodinamik pasien
dengan COVID-19 adalah untuk memulihkan tekanan arteri dan mengoptimalkan
curah jantung dengan tujuan akhir untuk meningkatkan atau mempertahankan perfusi
organ. Cedera paru-paru yang berat dan ventilasi mekanis juga berkontribusi
terhadap efek hemodinamik yang merusak. Infeksi virus yang luas dan ARDS yang
diinduksi oleh COVID-19 menghasilkan peradangan paru difus, konsolidasi,
trombosis mikrovaskular yang nyata, disfungsi endotel, dan vasokonstriksi. Selain
itu, hipoksemia menyebabkan peningkatan tekanan dan resistensi pembuluh darah
paru dan afterload ventrikel kanan (RV) meningkat.
Peningkatan afterload dan preload RV dapat menyebabkan dilatasi RV,
pergeseran septum ke ventrikel kiri (LV) dan kemudian penurunan pengisian LV
yang pada akhirnya menghasilkan curah jantung yang rendah dan perburukan
hemodinamik.
Cor Pulmonale Akut (ACP) adalah kejadian yang relatif umum pada pasien
COVID-19 yang berat. Pada beberapa pasien, ACP dapat menjadi hasil dari emboli
paru akut, kejadian yang sering terjadi selama COVID-19, yang harus mendapatkan
terapi khusus.
Strategi cairan konservatif biasanya direkomendasikan pada pasien dengan
ARDS. Pemberian cairan yang agresif dan hipervolemia dikaitkan dengan masa
rawat ICU yang lebih lama, ketergantungan ventilator yang berkepanjangan, dan
mortalitas yang lebih tinggi. Namun, hipovolemia dapat terjadi pada COVID-19,
terutama pada fase awal, atau bahkan pada fase selanjutnya karena sepsis yang intens
(peningkatan kebocoran kapiler dan peningkatan kapasitansi vena). Hipovolemia
yang tidak dikoreksi dapat menyebabkan hipoperfusi organ perifer dan memfasilitasi
pembentukan trombus. Dengan demikian penting untuk menilai rasio manfaat/risiko
pemberian cairan. Manfaat yang diharapkan dapat dinilai dengan kinerja tes
responsif cairan, pemberian bolus kristaloid hipotonik (Ringer laktat), dan
mengevaluasi variabel dinamis seperti indeks jantung dan integral kecepatan-waktu.
Penggunaan indeks volume tidal untuk menilai perubahan variasi tekanan nadi
selama peningkatan sementara volume tidal (misalnya, dari 6 menjadi 8 mL/kg)
adalah pilihan yang sangat baik pada pasien ARDS COVID-19. Jika tersedia,
teknologi pemantauan hemodinamik canggih seperti termodilusi transpulmoner dapat
membantu menilai rasio manfaat/risiko cairan infus.
Selain itu, depresi miokard akibat COVID-19 dapat berkembang pada setiap fase
penyakit, kadang-kadang dengan miokarditis fulminan yang mungkin terjadi pada
sekitar 1% pasien rawat inap. Deteksi dini keterlibatan miokard melalui pengukuran
troponin dan konsentrasi peptida natriuretik dan ekokardiografi dianjurkan.
Ekokardiografi point-of-care mungkin membantu dalam diagnosis syok dan dalam
penilaian non-invasif dari respons preload
Norepinefrin adalah vasopresor lini pertama pada pasien dengan ketidakstabilan
hemodinamik dan COVID-19. Pada pasien dengan ARDS, norepinefrin juga dapat
meningkatkan fungsi RV dengan memulihkan tekanan arteri rata-rata dan
meningkatkan suplai darah RV. Jika norepinefrin tidak dapat mencapai tekanan arteri
rata-rata yang memadai, vasopresin dapat ditambahkan sebagai agen vasoaktif lini
kedua untuk mencapai tekanan darah target. Vasopresin dapat digunakan sebagai
vasopresor pertama, terutama pada kasus fibrilasi atrium, hipertensi pulmonal, dan
gagal ginjal akut. Angiotensin 2 (Ang-2) juga telah berhasil digunakan dalam dalam
beberapa kasus COVID-19. Meskipun tidak ada uji coba yang pasti untuk
mendukung keunggulan Ang-2 dibandingkan vasopresor konvensional pada pasien
COVID dengan syok vasodilatasi, ada alasan fisiologis untuk menggunakan obat
tersebut. Dobutamin adalah agen inotropik yang paling banyak digunakan pada kasus
gagal jantung akut. Hal ini diindikasikan dengan adanya disfungsi jantung dan
terjadinya hipoksia jaringan setelah penyesuaian status cairan dan pemberian
norepinefrin.
Posisi prone dan inhalasi vasodilator paru selektif telah digunakan untuk pasien
dengan hipoksemia refrakter; selain itu, mungkin memiliki efek hemodinamik yang
menguntungkan khususnya dengan mengurangi afterload RV dan memulihkan fungsi
RV. Akhirnya, dalam kasus ARDS refrakter dengan atau tanpa syok kardiogenik
refrakter yang membutuhkan dosis tinggi vasoaktif, venovenous atau venoarteri
ECMO dapat dipertimbangkan untuk memulihkan oksigenasi darah dan
menstabilkan hemodinamik. Meskipun banyak pusat baru telah dibuat dan layanan
ECMO sekarang tersedia di seluruh dunia, akses ke ECMO dibatasi, terutama di
negara-negara berpenghasilan rendah. Isu yang menarik dalam manajemen ECMO
adalah bahwa infeksi yang diinduksi SARS-CoV-2 dapat dikaitkan dengan tingkat
kejadian trombotik yang lebih tinggi dari sistem ekstrakorporeal selama terapi VV
ECMO.

Gangguan ginjal, patofisiologi, dan strategi pengobatan


Meskipun kegagalan pernapasan adalah disfungsi utama yang disebabkan oleh
SARS-CoV-2, organ lain juga dapat terpengaruh, dengan gagal jantung dan ginjal
sebagai gangguan yang paling relevan. Cedera ginjal akut (AKI) hadir di 6,7%
dengan tingkat kematian setinggi 91,7% di SARS-CoV (agen penyebab SARS). Di
antara 99 pasien COVID-19 yand dirawat di ICU, Fominsky et al. menemukan
bahwa 72 (75 %) mengalami AKI dan 17 (17,7%) menerima terapi continuous renal
replacement therapy (CRRT).
Dalam studi kohort prospektif yang melibatkan 701 pasien yang didiagnosis
dengan COVID-19, penilaian fungsi ginjal saat masuk menunjukkan bahwa kreatinin
serum meningkat pada 14,4% dan urea pada 13,1% pasien. Kelainan pada jalur
koagulasi, termasuk tromboplastin parsial time yang memanjang dan D-dimer yang
tinggi, lebih sering terjadi pada pasien dengan peningkatan kreatinin serum awal.
Faktor risiko yang berhubungan dengan kematian adalah: proteinuria dalam berbagai
derajat, hematuria, peningkatan kreatinin basal, dan gagal ginjal AKIN (Acute
Kidney Injury Net) 2 atau lebih. Ada korelasi antara keparahan cedera ginjal
(stadium AKIN) dan kematian, dengan risiko kematian empat kali lipat lebih tinggi
di antara mereka yang mengalami AKIN stadium 3.

Nefropati COVID-19
Temuan seperti proteinuria dan hematuria dapat terjadi setelah infeksi COVID-
19, dengan beberapa individu menunjukkan tanda dan gejala AKI. Telah dibuktikan
bahwa virus RNA hadir dalam urin dan jaringan ginjal, menunjukkan bahwa ginjal
juga dapat menjadi target infeksi COVID-19 melalui invasi virus langsung di tubulus
dan interstitium ginjal.
Histopatologi ginjal diperiksa dalam serangkaian otopsi dari 26 pasien yang
meninggal karena gagal napas sekunder akibat COVID-19. Semua pasien memiliki
bukti cedera tubular akut dengan berbagai tingkat keparahan, dan sejumlah temuan
histopatologis lainnya termasuk kelompok eritrosit dan pigmen hemosiderin juga
ada. Dari sembilan sampel yang diuji untuk virus intraseluler, partikel mirip virus
corona diidentifikasi dalam 7 kasus.
Gagal ginjal akibat COVID-19 memiliki etiologi multifaktorial, dengan tiga
mekanisme utama yang terlibat: cedera sitokin, crosstalk organ, dan efek sistemik
infeksi.

Cedera sitokin
Sitokin storm melalui pelepasan IL-6/JAK2/STAT3/SOCS3 dan NF-κB
(p65)/IL-18 dapat bekerja sama untuk menginduksi AKI dan meningkatkan penanda
diagnostik terkait ginjal secara keseluruhan. McElvaney OJ et al. menunjukkan
bahwa IL-1β, IL-6, IL-8, dan sTNFR1 semuanya meningkat pada pasien COVID-19.
Pasien COVID ICU dapat dibedakan dengan jelas dari pasien stabil COVID, dan
menunjukkan tingkat IL-1β, IL-6, dan sTNFR1 yang lebih tinggi. Kontribusi
peningkatan permeabilitas vaskular dan deplesi volume, serta kardiomiopati—yang
dapat menyebabkan sindrom kardiorenal tipe I—selain aktivasi sitokin, belum
diketahui. Menghilangkan sitokin dengan terapi extracorporeal, sering dipelajari
sebagai pendekatan yang menjanjikan pada pasien dengan sepsis dan AKI, telah
diusulkan pada pasien dengan COVID-19 yang mengalami gagal ginjal akut.

Crosstalk organ
Hubungan antara cedera alveolar dan cedera tubulus telah terbukti. Sebuah studi
retrospektif yang melibatkan 357 pasien dengan ARDS tanpa penyakit ginjal atau
AKI pada presentasi melaporkan bahwa 68% pasien mengembangkan AKI.
Keseimbangan cairan positif, keparahan penyakit yang lebih besar, pasien yang lebih
tua, dan diabetes secara independen terkait dengan perkembangan AKI.

Efek sistemik
Ketidakstabilan hemodinamik yang terkait dengan rhabdomyolysis, asidosis
metabolik, dan hiperkalemia juga dapat terjadi pada pasien COVID-19 dan
berkontribusi terhadap AKI.
Pengelolaan
Indikasi untuk terapi penggantian ginjal (RRT) untuk AKI pada pasien sakit
kritis telah ditetapkan dengan baik, terlepas dari status COVID-19. Pada pasien tanpa
indikasi RRT, pengobatan konservatif meliputi: diuretik loop dosis yang tepat (oral
atau intravena) untuk kelebihan cairan dan manajemen aktif hiperkalemia dan
asidosis metabolik dengan pengikat kalium dan natrium bikarbonat. Untuk pasien
yang tidak berespons terhadap pengobatan konservatif, diindikasikan untuk
mendapatkan RRT.
Penggunaan CRRT tetap disukai di antara pasien sakit kritis dengan AKI.
Bahkan di antara pasien hemodinamik stabil yang dapat mentolerir hemodialisis
intermiten, CRRT, atau sustained low-efficiency dialysis (SLED) lebih disukai,
tergantung pada ketersediaan mesin dan staf ahli. CRRT atau SLED dapat dikelola
tanpa dukungan keperawatan 1:1, yang berpotensi membantu meminimalkan
pemborosan alat pelindung diri dan membatasi paparan di antara perawat yang
menjalani hemodialisis.
Sitrat regional adalah strategi antikoagulasi yang paling banyak digunakan
selama hemofiltrasi atau dialisis. Namun, beberapa laporan kasus menunjukkan
bahwa sirkuit trombosis selama RRT terjadi lebih sering pada pasien dengan
COVID-19 dibandingkan pada pasien lain, dan dalam kasus ini, penambahan terapi
antikoagulan dengan heparin non-fraksional dapat dipertimbangkan.

Gangguan metabolisme dan strategi pengobatan


Data menunjukkan bahwa diabetes, hipertensi, dan penyakit kardiovaskular
(CVD) adalah komorbiditas paling umum yang terkait dengan COVID-19, meskipun
tingkat prevalensinya bervariasi di antara berbagai penelitian. Dalam data yang
dikumpulkan dari 10 studi di Chhina, prevalensi hipertensi, diabetes, dan CVD
masing-masing adalah 21%, 11%, dan 7%.
Data terbaru menunjukkan bahwa pasien diabetes dengan COVID-19 lebih
sering dikaitkan dengan bentuk penyakit yang paling berat, bervariasi antara 14%
dan 32% dalam penelitian yang berbeda, dengan odds rasio 2,34 untuk ARDS
dibandingkan dengan pasien tanpa diabetes.
Sebuah penelitian dari Wuhan dengan 161 pasien dengan COVID-19
menunjukkan delayed viral clearance pada pasien dengan diabetes. Selain
mekanisme kerusakan kemotaksis neutrofil, dan fagositosis di mana diabetes menjadi
predisposisi infeksi secara umum, faktor spesifik lainnya yang terkait dengan SARS-
CoV-2 dapat berperan dalam peningkatan risiko dan keparahan penyakit pada pasien
diabetes, sebagai berikut:
Peningkatan ekspresi angiotensin-converting enzyme-2 (ACE2): hiperglikemia
fase akut menghasilkan peningkatan ekspresi ACE2, yang dapat memfasilitasi
masuknya sel virus; namun, hiperglikemia kronis mengurangi ekspresi ACE2, yang
menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap efek inflamasi dari virus. Selain itu,
di islet pankreas, efek SARS-CoV pada reseptor glukosa darah ACE2 dapat
menyebabkan hiperglikemia, bahkan pada pasien tanpa diabetes yang sudah ada
sebelumnya. Pada pasien dengan hiperglikemia, SARS-CoV dapat bertahan hingga 3
tahun setelah pemulihan, menunjukkan kerusakan sementara pada sel beta.
Peningkatan furin: jumlah furin, protease subtilisin/cexinfamily proprotein
convertase (PCSK), meningkat pada individu diabetes. Telah dibuktikan berperan
dalam masuknya virus ke dalam sel, bertindak sebagai fasilitator untuk replikasi
virus.
Gangguan fungsi sel T: limfositopenia ditemukan pada pasien dengan COVID-
19 dan berkorelasi dengan prognosis yang lebih buruk.
Peningkatan interleukin-6 (IL-6): Kadar IL-6 lebih tinggi pada pasien dengan
diabetes. Selain itu, ini adalah salah satu sitokin paling relevan yang diaktifkan
dalam sitokin storm pada pasien COVID-19. Dengan demikian, mungkin memainkan
peran yang lebih merusak dalam infeksi SARS-CoV-2.
Jalur potensial lain yang dapat menjelaskan korelasi antara COVID-19 dan
diabetes melibatkan enzim dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4), salah satu target utama
pengobatan farmakologis pada pasien diabetes tipe 2. DPP-4 bekerja sebagai reseptor
fungsional untuk MERS-CoV in vitro. Meskipun partisipasi langsung DPP-4 dalam
metabolisme glukosa dan insulin pada diabetes tipe 2, telah terbukti juga
meningkatkan peradangan. Namun, kemungkinan peran dalam infeksi SARS-CoV-2
dan apakah pengobatan diabetes dengan inhibitor DPP-4 dapat mengubah perjalanan
infeksi COVID-19 belum diketahui.
Kontrol glikemik
Pemantauan kadar glukosa darah merupakan faktor penting dalam fase akut dan
tindak lanjut, terutama pada mereka yang menerima terapi kortikosteroid. Sampai
saat ini, data yang tersedia tentang hubungan kadar glukosa darah dan COVID-19
masih sangat terbatas; namun, data dari infeksi SARS dan H1N1 menunjukkan
bahwa kontrol glikemik yang buruk meningkatkan risiko komplikasi dan kematian.
Dengan demikian, rekomendasi untuk pasien sakit kritis dengan COVID-19
adalah:
 Pantau glukosa darah pada pasien yang terinfeksi;
 Kontrol glikemik pada pasien yang sudah diketahui menderita diabetes;
 Indikasi liberal untuk penggunaan awal insulin intravena pada kasus berat
(ARDS dan syok), menghindari penggunaan subkutan;
 Tujuan terapi: Glukosa darah antara 72 dan 144 mg/dL atau 4–16 mmol/L;
Pada pasien usia lanjut (> 70 tahun): glukosa darah minimal 90 mg/dL atau 5
mmol/L.

Manajemen khusus
Beberapa obat telah dipelajari untuk pengobatan SARS-CoV-2. Antivirus yang
paling banyak dipelajari dalam skenario ini adalah kombinasi lopinavir-ritonavir dan
remdesivir. Saat ini, terapi antivirus yang muncul paling menjanjikan adalah
remdesivir. Ini adalah prodrug dari analog nukleotida yang dimetabolisme secara
intraseluler menjadi analog adenosin trifosfat yang menghambat RNA polimerase
virus. Dalam penelitian sebelumnya, remdesivir terbukti memiliki aktivitas in vitro
terhadap Ebola dan beberapa coronavirus, menunjukkan khasiat profilaksis dan
terapeutik pada model nonclinical.
Remdesivir telah digunakan baru-baru ini karena kurangnya obat yang terbukti
keampuhannya. Sebuah RCT multisenter termasuk 1.063 pasien yang menerima
remdesivir atau plasebo menunjukkan bahwa penggunaan remdesivir menyebabkan
durasi tinggal di rumah sakit secara signifikan lebih pendek (11 vs. 15 hari), dan
kematian yang lebih rendah (8% vs. 11.6%). FDA telah menyetujui obat ini untuk
penggunaan mendesak pada COVID-19, obat ini diresepkan secara intravena (200
mg IV hari 1, dan 100 mg IV dari hari 2 hingga hari 10). Sebuah makalah yang
diterbitkan oleh kelompok penulis yang sama menunjukkan bahwa terapi 5 hari sama
efektifnya dengan 10 hari.
Antivirus lopinavir/ritonavir, ribavirin, atazanavir, dan favipiravir sedang diuji
dalam konteks COVID-19. Penelitian in vitro sebelumnya menyarankan bahwa
lopinavir menunjukkan aktivitas penghambatan terhadap SARS-CoV dan MERS-
CoV. Cao B dkk. menunjukkan dalam RCT dengan 199 pasien rawat inap dengan
kegagalan pernapasan bahwa lopinavir/ritonavir tidak menghasilkan manfaat klinis
di luar perawatan standar. Sebuah uji coba multisenter baru-baru ini menguji
kombinasi lopinavir/ritonavir dengan interferon beta-1b dan ribavirin, dan
menegaskan bahwa dibandingkan dengan perawatan standar, kombinasi obat-obatan
menghasilkan durasi pelepasan virus yang lebih pendek dan masa tinggal di rumah
sakit dan dalam perbaikan klinis.
Sebagai terapi tambahan dalam pengobatan COVID-19, klorokuin dan
hidroksiklorokuin telah dievaluasi dalam studi eksperimental dan klinis. Obat ini
memiliki kemampuan untuk meningkatkan pH endosomal sel dan mengurangi
replikasi SARS-CoV-2 in vitro. Namun, studi klinis awal belum mengungkapkan
manfaat klinis untuk menggunakan obat ini baik sendiri atau dalam kombinasi
dengan azitromisin. Cavalcanti dkk. dalam uji klinis acak dengan 667 pasien rawat
inap dengan dugaan atau konfirmasi COVID-19 yang menunjukkan manifestasi
ringan hingga sedang, penggunaan hidroksiklorokuin, sendiri atau dengan
azitromisin, tidak meningkatkan status klinis pada 15 hari dibandingkan dengan
perawatan standar. Demikian pula, penggunaan hydroxychloroquine belum
bermanfaat dalam mencegah perkembangan COVID-19 pada pasien setelah paparan
berisiko tinggi. Penggunaan rutin obat ini tidak dianjurkan.
Selain itu, Mercuro et al., dalam studi kohort yang melibatkan 90 pasien,
menunjukkan bahwa hidroksiklorokuin pada pasien COVID-19 dikaitkan dengan
risiko perpanjangan QTc yang tinggi, dan pengobatan bersamaan dengan azitromisin
menghasilkan perubahan QTc yang lebih besar. Kami merekomendasikan agar
dokter secara hati-hati mengevaluasi manfaat dan potensi risiko obat ini.
Penggunaan kortikosteroid mengurangi kematian pada pasien COVID-19 yang
membutuhkan bantuan pernapasan. Percobaan menunjukkan bahwa deksametason 6
mg sekali sehari selama 10 hari menghasilkan mortalitas 28 hari yang lebih rendah di
antara mereka yang menerima ventilasi mekanis invasif atau oksigen. Rejimen
steroid yang biasa diresepkan pada ARDS yang mungkin dipertimbangkan pada
COVID-19 termasuk metilprednisolon 0,5 mg/Kg intravena dua kali sehari selama 5
hari, deksametason 6 mg sekali sehari selama 10 hari atau deksametason 20 mg
sekali sehari selama 5 hari. Sebuah meta-analisis baru-baru ini mencakup 678 pasien
yang menerima steroid selama COVID-19 (hidrokortison, deksametason, atau
metilprednisolon) dan menunjukkan bahwa pemberian kortikosteroid sistemik,
dibandingkan dengan perawatan biasa atau plasebo, dikaitkan dengan mortalitas
semua penyebab yang lebih rendah selama 28 hari.
Obat imunomodulator seperti tocilizumab (antibodi reseptor IL-6 antihuman),
sarilumab (reseptor anti-IL6), anakinra (anti-IL1), reparixin (anti-IL8), interferon-α,
dan inhibitor komplemen telah dieksplorasi sebagai obat terapeutik yang potensial
untuk meningkatkan hasil pada pasien COVID-19.
Penggunaan tocilizumab telah dikaitkan dengan penurunan ventilasi mekanis
dan penurunan serum IL-6 pada pasien ini. Manfaatnya mungkin terkait dengan
fenotipe peradangan hebat, yang ditandai dengan tingginya kadar IL-6, D-dimer,
protein C-reaktif, LDH, dan feritin. Penggunaan preferensialnya harus dilakukan
melalui protokol penelitian klinis; pasien yang dirawat lebih awal di ICU dan masih
belum diintubasi mungkin yang paling diuntungkan. Dua penelitian retrospektif
menunjukkan kemanjuran tocilizumab pada COVID-19. Namun, 4 penelitian acak
tidak mengkonfirmasi kemanjuran tocilizumab pada COVID-19.
Plasma konvalesen telah digunakan untuk pengobatan penyakit menular sejak
awal abad kedua puluh dengan penurunan angka kematian dalam rangkaian kasus
dan laporan kasus selama influenza 1918, SARS 2003, dan pandemi influenza
H1N13 2009. Pada COVID-19, beberapa rangkaian kasus penggunaan plasma
konvalesen yang tidak terkontrol dilakukan, menunjukkan manfaat kelangsungan
hidup. Li dkk. menerbitkan RCT pertama plasma konvalesen pada COVID-19, tidak
menunjukkan manfaat signifikan dalam peningkatan klinis atau kematian. Namun,
penelitian ini menunjukkan kemungkinan manfaat pada subkelompok pasien yang
sakit parah. Uji klinis lebih lanjut diperlukan untuk menetapkan indikasi klinis terapi
antibodi terhadap COVID-19.
Pengobatan antitrombotik
Kegagalan pernapasan progresif adalah penyebab utama kematian dalam
pandemi COVID-19, diikuti oleh komplikasi kardiovaskular. Studi patologis yang
dilakukan pada pasien COVID-19 menunjukkan cedera endotel yang parah, terkait
dengan keberadaan virus intraseluler dan membran sel yang terganggu. Pembuluh
darah paru memiliki trombosis luas dengan mikroangiopati dan mikrotrombus
alveolar. Sebuah penelitian di Brasil dari 10 otopsi invasif minimal mengungkapkan
adanya kerusakan alveolar difus di paru-paru, dan efek sitopatik virus epitel pada
epitel alveolar dan saluran napas kecil. Sejumlah variabel trombus fibrinous kecil di
arteriol paru kecil ditemukan di area paru-paru yang rusak dan diawetkan. Tanda-
tanda pneumonia bakteri diamati pada 6 dari 10 kasus.
Pada pasien yang meninggal karena kegagalan pernapasan terkait COVID-19
atau terkait influenza, pola histologis pada paru perifer adalah kerusakan alveolar
difus dengan infiltrasi sel T. Namun, peningkatan trombogenesis adalah 9 kali lebih
umum pada pasien dengan COVID-19 dibandingkan pada pasien influenza.
COVID-19 telah digambarkan sebagai penyakit tromboinflamasi dengan
trombogenesis sebagai konsekuensi dari cedera endotel yang parah, peradangan yang
diperburuk, penekanan fibrinolisis, hilangnya antikoagulan alami, dan aktivasi
trombosit dan faktor koagulasi. Karena temuan patofisiologi ini, studi awal mulai
mencari trombosis vena dalam, trombosis arteri, dan mikrotrombosis. Data yang
tersedia tentang risiko trombotik cukup terbatas dan sebagian besar didasarkan pada
rangkaian kasus dari Cina, Belanda, dan Prancis. Studi terbaru menggambarkan
tingginya insiden trombosis vena dalam dan emboli paru yang bervariasi dari 35
hingga 78% pada pasien COVID-19.
Meskipun demikian, sebagian besar ahli setuju bahwa sinyal untuk peningkatan
risiko trombotik cukup untuk merekomendasikan profilaksis tromboemboli vena
(VTE) farmakologis pada semua pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit
selama tidak ada kontraindikasi. Apa yang masih harus dikonfirmasi adalah peran
nyata dari antikoagulasi terapeutik pada pasien ini. Ada banyak kontroversi tentang
masalah ini, sementara hasil RCT tidak tersedia. Pedoman secara khusus
menyebutkan bahwa rejimen antikoagulasi dapat dimodifikasi berdasarkan berat
badan yang ekstrem (50% peningkatan dosis jika obesitas), trombositopenia berat,
atau fungsi ginjal yang memburuk.
Salah satu kesulitan dalam menentukan kejadian sebenarnya dari trombosis
adalah bahwa akses ke tes diagnostik mungkin terbatas. Dalam sebuah laporan dari
Belanda (di mana profilaksis VTE rutin diberikan), tingkat VTE yang tinggi tercatat
di antara pasien ICU. Lebih dari sepertiga dari pasien ini, bagaimanapun, memiliki
emboli paru terbatas pada subsegmental. Dosis terapeutik harus dipertimbangkan
untuk pasien dengan COVID-19 parah dan tanda-tanda 1 koagulopati yang diinduksi
sepsis (SIC) dan/atau D-dimer tinggi (6 × lebih tinggi nilai referensi) terkait dengan
biomarker keparahan lainnya, tanpa adanya kontraindikasi antikoagulan. Ini dapat
dianggap sebagai strategi terapeutik untuk infeksi SARS-CoV-2, berdasarkan
pendapat para ahli dan beberapa studi retrospektif. Selain itu, strategi ini memerlukan
penggunaan protokol kelembagaan yang ketat yang memungkinkan pengawasan dan
intervensi cepat jika terjadi komplikasi. Gambar 4 menunjukkan algoritma yang
diusulkan untuk menilai trombogenesis pada pasien dengan COVID-19, serta saran
pengobatan. Namun, data masih belum cukup untuk mengidentifikasi aspek-aspek
penting yang relevan dengan rencana terapeutik, seperti pilihan obat terbaik,
dosisnya, dan jadwal waktu pemberian, serta durasi pengobatan.

Kesimpulan
COVID-19 adalah salah satu keadaan darurat kesehatan paling menantang yang kita
hadapi abad ini. Profesional kesehatan mengalami masa-masa yang sangat sulit,
dengan keterbatasan sumber daya dan informasi, yang bila tersedia perlu
dikonfirmasi sebelum diintegrasikan ke dalam praktik klinis. Hingga saat ini, tidak
ada pengobatan spesifik yang terbukti untuk pengelolaan COVID-19, meskipun
penelitian dengan hasil yang menjanjikan baru-baru ini muncul. Kita sudah tahu
bahwa tingkat kematian terendah terkait dengan kualitas perawatan yang lebih baik.
Diagnosis dini, penerapan terapi yang efektif, dan strategi stratifikasi klinis yang
memadai diperlukan untuk hasil yang lebih baik pada pasien COVID-19.Kami telah
mempelajari bahwa disfungsi pernapasan terkait COVID-19 memiliki karakteristik
unik yang memerlukan manajemen individual dan menyadari pentingnya mendukung
hemodinamik pasien karena risiko tinggi komplikasi kardiovaskular dan ginjal.
Durasi panjang penyakit ini menimbulkan tantangan bagi sistem kesehatan dan
profesional kesehatan. Protokol perawatan yang divalidasi sangat penting ketika
berhadapan dengan jutaan orang yang terkena dampak di berbagai negara dan di
berbagai tingkat perawatan. Sampai vaksin yang efektif tersedia secara luas, dunia
perlu beradaptasi dengan kenyataan pandemi yang telah mengubah semua paradigma
pengobatan modern.Protokol perawatan yang divalidasi sangat penting ketika
berhadapan dengan jutaan orang yang terkena dampak di berbagai negara dan di
berbagai tingkat perawatan. Sampai vaksin yang efektif tersedia secara luas, dunia
perlu beradaptasi dengan kenyataan pandemi yang telah mengubah semua paradigma
pengobatan modern.Protokol perawatan yang divalidasi sangat penting ketika
berhadapan dengan jutaan orang yang terkena dampak di berbagai negara dan di
berbagai tingkat perawatan. Sampai vaksin yang efektif tersedia secara luas, dunia
perlu beradaptasi dengan kenyataan pandemi yang telah mengubah semua paradigma
pengobatan modern.

Anda mungkin juga menyukai