DISUSUN OLEH :
ATIEQ FAUZIATI 1415203018
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik
meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga penulis berterima kasih kepada Ibu
Wardah Nuroniyah, SHI, MSI selaku dosen mata kuliah Metodologi STudi Islam IAIN Syekh
Nurjati Cirebon yang telah memberikan tugas ini kepada penulis.
Makalah yang ada dihadapan pembaca ini memberikan penjelasan tentang
Ahlussunnah wal Jama’ah.
Penulis sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan kita mengenai Ahlussunnah wal Jama’ah. Penulis juga menyadari
sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna.
Oleh sebab itu, penulis berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah
yang telah penulis buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang
sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya,
sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi penulis sendiri maupun orang
yang membacanya, sebelumnya penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata
yang kurang berkenan.
Cirebon, Desember 2015
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Aqidah pada masa Nabi adalah aqidah paling bersih, yaitu aqidah islam yang
sebenaranya, karena belum tercampur oleh kepentingan apapun selain hanya karena Allah
SWT. Ini disebabkan karena Nabi adalah sebagai penafsir al-Qur’an satu-satunya, sehingga
setiap sahabat yang membutuhkan penjelasan al-Qur’an yang berkaitan dengan keyakinan
maka Nabi langsung menjelaskan maksudnya. Selain itu umat terbimbing langsung oleh
Nabi, sehingga dalam memahami agama tidak terjadi perbedaan.
Kemudian, aqidah pada masa sahabat masih sama dengan zaman Nabi, belum
membentuk sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri apalagi membentuk sebuah nama tertentu,
maupun aliran-aliran pemikiran tertentu.
Berbicara masalah aliran pemikiran dalam Islam berarti berbicara tentang ilmu kalam.
Kalam secara harfiah berarti “kata-kata”. Kaum teolog Islam berdebat dengan kata-kata
dalam mempertahankan pendapat dan pemikirannya sehingga teolog disebut sebagai
“mutakallim”, yaitu ahli debat yang pintar mengolah kata. Ilmu “kalam” juga diartikan
sebagai teologi Islam atau ushuluddin, yaitu ilmu yang membahas ajaran dasar dari agama.
Perbedaan yang muncul pertama kali dalam Islam bukanlah masalah teologi,
melainkan bidang politik. Kemudian, seiring dengan perjalanan waktu, perselisihan politik ini
meningkat menjadi persoalan teologi. Bahkan ada dua teori yang membahas latar belakang
timbulnya persoalan teologi yakni perbedaan aliran ilmu kalam. Pertama, awal tercampurnya
masalah aqidah dengan hal yang lain adalah sejak mulai dari khalifah ke-3 yakni Utsman bin
Affan terbunuh karena beberapa sahabat Nabi terlibat dalam urusan yang bersifat politis. Dan
masalah ini kian rumit ketika peristiwa tahkim terjadi pada masa pemerintahan Ali bin Abi
Thalib. Kedua, aliran ilmu kalam muncul karena hasil iterpretasi atau penafsiran terhadap al-
Qur’an maupun kajian terhadap hadits yang bersifat teologis. Diantara sekian banyak ilmu
kalam yang bermunculan ialah Syi’ah, Khawarij, Murji’ah, Qadiriyah, Jabariyah, dan
Mu’tazilah yang berakhir dengan peristiwa mihnah yang menjadi sebab awal terbentuknya
aliran Ahlussunnah wal Jama’ah.
Ahlussunnah wal Jama’ah memang “satu istilah” yang mempunyai “banyak
makna” , sehingga banyak golongan dan faksi dalam Islam yang mengklaim dirinya
adalah “Ahlussunnah wal Jama’ah”. ‘Ulama dan pemikir Islam mengatakan, bahwa
Ahlussunnah wal Jama’ah itu merupakan golongan mayoritas umat Islam di dunia sampai
sekarang, yang secara konsisten mengikuti ajaran dan amalan (sunnah) nabi dan para sahabat-
sahabatnya, serta memperjuangkan berlakunya di tengah-tengah kehidupan masyarakat Islam.
Meskipun pada mulanya Ahlussunnah wal Jama’ah itu menjadi identitas kelompok
atau golongan dalam dimensi teologis atau aqidah Islam dengan fokus masalah ushuluddin
(fundamental agama), tetapi dalam perjalanan selanjutnya tidak bisa lepas dari dimensi
keislaman lainnya, seperti Syari’ah atau Fiqhiyah, bahkan masalah budaya, politik, dan
sosial.
Melalui makalah ini nantinya akan dijelaskan beberapa hal yang berkaitan
dengan Ahlussunnah wal Jama’ah, baik tentang riwayat asal mula munculnya aliran ini,
perkembangannya, doktrin-doktrinnya dan yang terpenting adalah kepercayaannya. Semoga
makalah ini dapat memberikan gambaran dan penjelasan yang baik terhadap Ahlussunnah
wal Jama’ah.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu Ahlussunnah wal Jama’ah
2. Bagaimana riwayat asal mula munculnya Ahlussunnah wal Jama’ah?
3. Apa saja doktrin-doktrin Ahlussunnah wal Jama’ah?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah.
2. Untuk mengetahui riwayat asal mula munculnya Ahlussunnah wal Jama’ah.
3. Untuk mengetahui doktrin-doktrin Ahlussunnah wal Jama'ah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah
Kalimat Ahlussunnah wal Jama’ah, terdiri dari dua kata inti yaitu : Ahlussunnah yang
artinya : ahli mengamalkan sunnah, penganut sunnah, atau pengikut sunnah. Dan wal
Jama’ah yang artinya : dan jama’ah, maksudnya adalah jama’ah sahabat-sahabat Nabi[1].
Ahlussunnah adalah mereka yang mengikuti dengan konsisten semua jejak-langkah
yang berasal dari Nabi Muhammad SAW. Dan membelanya[2].
Dari definisi di atas jelas, bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah itu tidak hanya terdiri dari
satu kelompok aliran, tapi ada beberapa sub-aliran, ada beberapa faksi di dalamnya.
Dalam kajian ilmu kalam, istilah Ahlussunnah wal Jama’ah ini sudah banyak dipakai
sejak masa sahabat, sampai generasi-generasi berikutnya. Sumber dari istilah tersebut oleh
sebagian banyak para ahli diambil dari hadits Nabi SAW. Yang menerangkan akan
terpecahnya umat Islam menjadi 73 golongan, antara lain hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu
Majah dan At-Turmudzi, yang artinya :
“ Sesungguhnya Bani Israil terpecah menjadi 72 agama. Dan umatku akan terpecah
menjadi 73 golongan, semuanya akan binasa, kecuali satu. Para sahabat Nabi bertanya :
Siapakah yang satu itu wahai Rasulullah?, Rasulullah menjawab : Yaitu orang-orang yang
berpegang teguh pada i’tiqadku dan yang berpegang teguh pada i’tiqad yang dipegangi oleh
sahabat-sahabatku”
Menurut Ahlussunnah Allah itu satu, unik, qadim dan wujud. Dia bukan substansi,
bukan tubuh, bukan oksigen, tidak terbatasi oleh arah dan oleh ruang. Dia memiliki sifat-sifat
seperti mengetahui, hidup, berkuasa, berkehendak, mendengar, melihat dan lain-lain.
Menurutnya prinsip-prinsip bahwa Tuhan itu unik dan pada dasarnya berbeda dari sifat-sifat
makhluk dan dengan doktrin “mukhalafah”, atau perbedaan mutlak. Berdasarkan doktrin ini,
bila suatu sifat diaplikasikan kepada Tuhan, maka sifat tersebut mesti dipahami secara unik
dan jangan dipahami seperti kita memahaminya terhadap makhluk. Karena doktrin
“mukhalafah” inilah, Ahlussunnah berpendirian bahwa kita tidak boleh menyebutkan sifat
Tuhan selain daripada yang termaktub secara jelas di dalam Al-Qur’an. Sifat-sifat Tuhan
berbeda dari sifat makhluk, bukan dalam tingkatan tetapi dalam jenisnya yakni dalam
segenap hakikatnya[5].
Sedangkan bagi al-Baqillani apa yang disebut sifat Allah bukanlah sifat dalam arti
tekstual, tetapi mengandung makna hal, sesuai dengan pendapat Abu Hasyim. Sedangkan
Abu Huzail menjelaskan bahwa sifat yang dimaksud adalah zat atau esensi Tuhan.
Menurutnya arti “Tuhan Mengetahui” ialah tuhan mengetahui dengan perantara pengetahuan,
dan pengetahuan itu adalah Tuhan sendiri. Arti Tuhan mengetahui dengan esensinya, kata al-
Jubba’i ialah untuk mengetahui, tuhan tidak berhajat kepada suatu sifat dalam bentuk
pengetahuan atau keadaan mengetahui[6].
Menurut al-Ghazali, sifat-sifat Tuhan, berbeda dari esensi Tuhan, tetapi berwujud
dalam esensi itu sendiri. Uraian-uraian ini juga membawa paham banyak yang kekal, dan
untuk mengatasinya Ahlussunnah mengatakan bahwa sifat-sifat itu bukanlah Tuhan, tetapi
tidak pula lain dari Tuhan[7].
Sedangkan menurut Hamka, “membahas sifat dan dzat manusia saja sangat sulit
apalagi membahas sifat dan dzat Tuhan”. Oleh sebab itu, ia lebih menitikberatkan kajiannya
kepada manfaat praktis apa yang bisa ditarik dari pembicaraan Tuhan dan sifat-sifat-Nya.
Manfaat apa yang dapat diambil dari pendiskusian tentang Tuhan dan sifat-sifat-Nya untuk
mempertinggi kualitas iman seseorang, dan pada gilirannya akan mempertinggi pula kualitas
dan kuantitas amal sholehnya[8].
c. Tentang Keadilan Allah SWT
Menurut Mu’tazilah, barangsiapa yang mati dalam keadaan kafir atau melakukan dosa
besar maka orang itu akan kekal dalam neraka, dan barangsiapa yang mati dalam keadaan
beriman, dia pasti masuk surga untuk selama-lamanya. Kaum Mu’tazilah tidak menyebut
adanya kemungkinan pengampunan Allah dan syafaat di hari kiamat[10].
Ahlussunnah tidak sepaham dengan Mu’tazilah mengenai al-Wa’d wa al-Wa’id
tersebut. Menurut Ahlussunnah, tidak ada yang kekal dalam neraka, kecuali orang yang mati
dalam keadaan kufur. Dan Allah berkuasa untuk mengampuni orang yang dikehendaki-Nya.
Pengampunan itu masih ditambah dengan adanya syafa’at (pembelaan) dari Nabi dan para
Rasul serta para Sholihin di hari kiamat[11].
Dasar pemikiran Ahlussunnah ialah bahwa Allah SWT itu pemilik mutlak atas semua
makhluk-Nya. Dia berbuat apa saja yang dia kehendaki dan menghakimi segala sesuatu
menurut kehendak-Nya. Andaikata Allah memasukkan makhluk-Nya ke dalam surga, hal itu
bukanlah suatu ketidakadilan. Sebaliknya kalau Allah memasukkan semua makhluk-Nya ke
dalam neraka, hal itu bukanlah suatu kedzaliman, sebab yang dinamakan dzalim itu ialah
memperlakukan sesuatu yang bukan miliknya, atau meletakkan sesuatu bukan pada
tempatnya. Sedangkan Allah adalah pemilik mutlak atas segala sesuatu, sehingga tidak bisa
digambarkan timbulnya kedzaliman daripada-Nya[12].
e. Tentang Melihat Dzat Allah di Akhirat
Dalam hal ini Ahlussunnah berbeda dari paham Mu’tazilah dan para filosof dan
sejalan dengan paham umat muslim ortodoks, yang menyatakan bahwa Allah itu dapat
dilihat, tapi mereka tidak sepakat mengenai apakah Tuhan dapat ditunjukkan. Mereka
menerima prinsip filsafat bahwa apa saja yang menempati ruang atau arah haruslah memiliki
waktu, padahal Allah tidak tidak terikat dengan waktu. Pengakuan ini mengakibatkan mereka
dihantui kerumitan, sebab bila Tuhan tidak “meruang atau mewaktu” dan sesuatu yang dapat
dilihat, maka Tuhan tidak dapat dilihat, namun pendapat ini bertentangan dengan paham
mereka bahwa Tuhan dapat dilihat. Jadi untuk mengatasi kesulitan ini, mereka menyatakan
bahwa suatu benda biarpun benda itu tidak ada di depan orang yang melihatnya, mungkin
saja untuk dilihat. Ini alasan yang lemah dan ganjil sekali, sebab sangat bertentangan dengan
segenap prinsip optika[13].
Disamping itu, Ahlussunnah juga sependapat dengan kaum ortodoks,
dan Ahlussunnah menegaskan bahwa ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Nabi mengenai hal ini
harus dipahami secara kiasan. Dengan pola pikir rasional, Ahlussunnah mengemukakan
bahwa kata dan makna ayat dan hadits yang menerangkan tentang hal ini, menunjukkan
bahwa kita jangan memahaminya secara harfiah dan menafsirkannya bahwa melihat Tuhan
artinya “melihat tanda-tanda dan ganjaran-Nya atau mengetahui-Nya dengan hati”[14].
HASIL ANALISIS
Ahlussunnah menggunakan tiga metode pendekatan dalam memahami al-Qur’an,
yaitu : Pertama, bayani yakni pemikiran yang tradisional sarat dengan memahami Al-Qur’an
yang tekstual. Contohnya adalah dalam menetapkan sejumlah nama dan
sifat Allah. Ahlussunnah menetapkan nama-nama dan sifat-sifat yang telah ditetapkan oleh
Allah untuk diri-Nya sendiri, baik melalui kitab-Nya ataupun lisan Rasul-Nya, tanpa harus
merubah (menambah atau mengurangi), mengingkari, menjelaskan tentang bentuk atau
caranya, ataupun menyerupakan-Nya dengan sesuatu apapun. Berlandaskan dalil yang
artinya “Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan
menyebut asmaa-ul husnaitu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari
kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan
terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al A’raaf : 180)
Kedua, burhani atau akal yang memahami Al-Qur’an itu dengan kontekstual. Sebagai
contoh adalah Ahlussunnah dalam meyakini tentang melihat dzat Allah di akhirat. Dalilnya
berupa ayat al-Qur’an yang artinya “Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu
berseri-seri (indah). Kepada Rabb nyalah mereka melihat.” (QS al-Qiyamah : 22-23).
Ahlussunnah meyakini bahwa di surga nanti apapun bisa terjadi termasuk Allah
menampakkan dzat-Nya di hadapan hamba-Nya yang bertakwa, namun disamping itu.
Ahlussunnah juga menafsirkan ayat yang sama dengan pemahaman yang berbeda,
menggunakan metode yang Ketiga, irfani atau rasa yaitu pemahaman manusia melalui indera,
baik indera dalam (hati) maupun indera luar. Dalam hal ini yang dimaksudkan dzat Allah
dapat terlihat berupa ganjaran-Nya, nikmat-Nya, atau merasakan kedekatan dengan-Nya
melalui hati manusia itu sendiri.
Dengan demikian, penulis setuju bahwa Ahlussunnah adalah aliran kalam yang lebih
memilih netral daripada condong ke satu arah. Mudah diterima karena konsep ajarannya tidak
memaksa atau radikal. Jadi, apabila suatu kaum menyatakan perang dengan kekerasan atas
nama Ahlussunnah wal Jama’ah maka mereka bukanlah Ahlussunnah yang sebenarnya,
karena Ahlussunnah tidak mengajarkan kekerasan namun lebih santun dan terbuka dalam
berda’wah.
Pesan tersirat dari ajaran Ahlussunnah ialah berpikir maju namun tetap berlandaskan
al-Qur’an dan hadits Nabi, agar diri kita tidak dibutakan oleh dunia dengan tetap berpegang
pada syariat agama Islam. Sangat penting bagi generasi muda seperti mahasiswa untuk
menghadapi modernisasi zaman yang semakin pesat dan sarat akan tipu daya.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ahlussunnah wal jama’ah mempunyai paham : 1) Yang dihukumkan orang islam ialah
orang yang mempunyai kepercayaan hati, dibuktikan dalam bentuk perkataan dan
amaliahnya; 2) Orang islam yang berbuat dosa besar dan sampai matinya belum bertaubat,
maka diklaim sebagai mukmin yang melalukan maksiat. Hukumannya akan masuk neraka,
tetapi mempunyai harapan besar masuk surga, walaupun sudah berabad-abad lamanya; 3)
Semua perbuatan Allah mengadakan / meniadakan sesuatu itu kita tidak mengetahuinya, dan
yang mengetahui hanyalah Allah sendiri.
Semua umat islam di tanah air kita Indonesia ini adalah termasuk golongan ahlussunnah
wal jama’ah, tak ada kecualinya, karena i’tiqad dan ibadahnya semua sesuai dengan ajaran
Allah dan Rasul-Nya.
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Nilai suatu ilmu ditentukan oleh kandungan ilmu tersebut. Semakin besar nilai
manfaatnya, semakin penting ilmu tersebut untuk dipelajari. Ilmu yang paling utama
adalah ilmu yang mengenalkan kita kepada Allah SWT, Sang Pencipta. Sehingga
orang yang tidak kenal Allah SWT adalah orang yang bodoh, karena tidak ada orang
yang lebih bodoh dari pada orang yang tidak mengenal penciptanya.
Allah menciptakan manusia dengan seindah-indahnya dan selengkap- lengkapnya
bentuk dibanding dengan makhluk/ciptaan yang lain. Kemudian Allah bimbing
mereka dengan mengutus para Rasul semuanya menyerukan kepada tauhid agar
mereka berjalan sesuai dengan kehendak Sang Pencipta melalui wahyu yang
dibawa oleh Sang Rasul. Orang yang menerima disebut mukmin, orang yang
menolaknya disebut kafir serta orang yang ragu-ragu disebut munafik yang
merupakan bagian dari kekafiran.
Aqidah dalam tubuh manusia ibarat kepalanya. Maka apabila suatu umat sudah
rusak, bagian yang harus direhabilitasi adalah aqidahnya terlebih dahulu. Di sinilah
pentingnya aqidah ini, apalagi ini menyangkut kebahagiaan dan keberhasilan dunia
dan akhirat. Sebagai dasar, tauhid memiliki implikasi terhadap seluruh aspek
kehidupan keagamaan
seorang Muslim, baik ideologi, politik, sosial, budaya, pendidikan dan sebagainya.
B. TUJUAN
1. agar kita mengerti pengertian aqidah
2. supaya menegtahui ilmu-ilmu tentang aqidah
3. supaya mengetahui tujuan aqidah dalam Islam
4. suapaya kita kenal penyimpangan aqidah dan cara-
cara penanggulangannnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN AQIDAH
Aqidah berasal dari kata ‘aqd yang berarti pengikatan. ‘Aqd berarti juga janji, ikatan
(kesepakatan) antara dua orang yang mengadakan perjanjian. Aqidah secara
definisi adalah suatu keyakinan yang mengikat hati manusia dari segala keraguan.
Aqidah dalam istilah umum yaitu keimanan yang mantap dan hukum yang tegas,
yang tidak dicampur keragu- raguan terhadap orang yang mengimaninya. Ini adalah
aqidah secara umum, tanpa memandang aqidah tersebut benar atau salah. Aqidah
secara terminology adalah sesuatu yang mengharuskan hati membenarkannya,
membuat jiwa tenang, dan menjadi kepercayaan yang bersih dari kebimbangan dan
keraguan. Aqidah menurut syara’ berarti iman kepada Allah, para Malaikat-Nya,
Kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya dan kepada Hari Akhir, serta kepada qadar dan
qadha, baik takdir yang baik maupun yang buruk.
Aqidah sebagai dasar utama ajaran Islam bersumber pada Al Quran dan sunnah
Rasul. Aqidah Islam mengikat seorang Muslim sehingga ia terikat dengan segala
aturan hukum yang datang dari Islam. Oleh karena itu, menjadi seorang Muslim
berarti meyakini dan melaksanakan segala sesuatu yang diatur dalam ajaran Islam,
seluruh hidupnya didasarkan kepada ajaran Islam. Hal ini seperti yang tersebut
dalam Al Quran surat Al Baqarah ayat 208 yaitu:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam
keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya
syaitan itu musuh yang nyata bagimu.”(Q.S Al-Baqarah:208)
Juga dalam surat An-Nahl dijelaskan dala ayat 36 yaitu:
Artinya: Dan sungguhnya kami Telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk
menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu", Maka di antara
umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya
orang-orang yang Telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka
bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan
(rasul-rasul). (Q.S An-Nahl:36)
Menurut Abu Bakar Jabir al Jazairy, Aqidah adalah sejumlah kebenaran yang
dapat diterima secara umum (aksioma) oleh manusia berdasarakan akal,
wahyu dan fitrah.Kebenaran itu dipatrikan oleh manusia di dalam hati serta
diyakini kesahihan dan keberadaannya secara pasti dan ditolak segala
sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu.
B. ILMU-ILMU TENTANG AQIDAH
Iman, yaitu: sesuatu yang diyakini di dalam hati, diucapkan dengan lisan
dan diamalkan dengan anggota tubuh.
Tauhid, artinya: mengesakan Allah (Tauhidullah).
Ushuluddin, artinya: pokok-pokok agama
Fiqh, artinya: ilmu yang mempelajari tentang tatacara pelaksanaan .
C. TUJUAN AQIDAH DALAM ISLAM
Akidah Islam mempunyai banyak tujuan yang baik yang harus dipegang
teguh, yaitu :
1. Untuk mengihlaskan niat dan ibadah kepada AllahI semata. Karena
Dia adalah pencipta yang tidak ada sekutu bagiNya, maka tujuan dari
ibadah haruslah diperuntukkan hanya kepadaNya.
2. Membebaskan akal dan pikiran dari kekacauan yang timbul dari
kosongnya hati dariakidah. Karena orang yang hatinya kosong dari akidah
ini, adakalanya kosong hatinya dari setiap akidah serta menyembah materi
yang dapat di indera saja dan adakalanya terjatuh pada berbagai
kesesatan akidah dan khurafat.
3. Ketenangan jiwa dan pikiran, tidak cemas dalam jiwa dan tidak
goncang dalam pikiran. Karena akidah ini akan menghubungkan orang
mukmin dengan Penciptanya lalu rela bahwa Dia sebagai Tuhan yang
mengatur, Hakim yang membuat tasyri'. Oleh karena itu hatinya menerima
takdir-Nya, dadanya lapang untuk menyerah lalu tidak mencari pengganti
yang lain.
4. Meluruskan tujuan dan perbuatan dari penyelewengan dalam
beribadah kepada Allah dan bermuamalah dengan orang lain. Karena
diantara dasar akidah ini adalah mengimani para Rasul , dengan mengikuti
jalan mereka yang lurus dalam tujuan dan perbuatan.
5. Bersungguh-sungguh dalam segala sesuatu dengan tidak
menghilangkan kesempatan beramal baik, kecuali digunakannya dengan
mengharap pahala. Serta tidak melihat tempat dosa kecuali menjauhinya
dengan rasa takut dari siksa. Karena diantara dasar akidah ini adalah
mengimani kebangkitan serta balasan terhadap seluruh perbuatan hal ini
dijelaskan dalam surat berikut ini yang bunyinya:
Ta’ashshub (fanatik)
kepada sesuatu yang diwarisi dari bapak dan nenek moyangnya, sekalipun
hal itu batil, dan mencampakkan apa yang menyalahinya, sekalipun hal itu
benar. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 170, yang
artinya: ”Dan apabila dikatakan kepada mereka, ’ikutilah apa yang telah
diturunkan Allah ’,mereka menjawab, ’(tidak), tetapi kami hanya mengikuti
apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.’ (Apakah
mereka akan mengikuti juga ), walaupun nenek moyang mereka itu tidak
mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?”.
Taqlid Buta
Dengan mengambil pendapat manusia dalam masalah aqidah tanpa
megetahui dalilnya dan tanpa menyelidiki seberapa jauh kebenarannya.
Ghuluw (berlebihan)
Dalam mencintai para wali dan orang-orang shalih, serta mengangkat mereka
di atas derajat yang semestinya, sehingga menyakini pada diri mereka
sesuatu yang tidak mampu dilakukan kecuali oleh Allah, baik berupa
mendatangkan kemanfaatan maupun meolak kemudharatan. Juga
menjadikan para wali itu perantara antara Allah dan makhlukNya, sehingga
sampai pada tingkat penyembahan para wali tersebut dan
bukan menyembah Allah.
Ghaflah (lalai)
Terhadap perenungan ayat-ayat Allah yang terhampar di jagat raya ini (ayat-
ayat kauniyah) dan ayat-ayat Allah yang tertuang dalam kitabNya (ayat-ayat
Qura’niyah). Disamping itu, juga terbuai dengan hasil teknologi dan
kebudayaan, sampai-sampai mengira bahwa itu semua adalah hasil kreasi
manusia semata, sehingga mereka mengagung- agungkan manusia dan
menisbatkan seluruh kemajuan ini kepada jerih payah dan penemuan
manusia semata. Pada umumnya rumah tangga sekarang ini kosong
dari pengarahan yang benar menurut Islam.
Perhatian
Memberi perhatian pada pengajaran aqidah shahihah, aqidah salaf, di
berbagai jenjang pendidikan . Memberi jam pelajaran yang cukup serta
mengadakan evaluasi yang ketat dalam menyajikan materi ini.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Akidah Islam adalah prinsip utama dalam pemikiran Islami yang dapat membina
setiap individu muslim sehingga memandang alam semesta dan kehidupan dengan
kaca mata tauhid dan melahirkan konotasi-konotasi valid baginya yang
merefleksikan persfektif Islam mengenai berbagai dimensi kehidupan serta
menumbuhkan perasaan-perasaan yang murni dalam dirinya. Atas dasar ini, akidah
mencerminkan sebuah unsur kekuatan yang mampu menciptakan mu’jizat dan
merealisasikan kemenangan-kemenangan besar di zaman permulaan Islam.
Akidah memiliki peranan yang besar dalam membina akhlak setiap individu muslim
sesuai dengan prinsip-prinsip agama yang pahala dan siksa disesuaikan
dengannya, dan bukan hanya sekedar wejangan yang tidak menuntut tanggung-
jawab. Lain halnya dengan aliran-aliran pemikiran hasil rekayasa manusia biasa
yang memusnahkan perasaan diawasi oleh Allah dalam setiap gerak dan rasa
tanggung jawab di hadapan-Nya. Dengan demikian, musnahlah tuntunan-tuntunan
akhlak dari kehidupan manusia. Karena akhlak tanpa iman tidak akan pernah
teraktualkan dalam kehidupan sehari-hari.