MODUL PERKULIAHAN
Aspek Hukum
Dalam
Pembangunan
Aspek Hukum dan Perundangan
Terkait dengan Pengadaan
Barang dan Jasa Konstruksi
Abstract Kompetensi
Pendalaman mengenai aspek hukum Memahami aspek hukum dan
dan perundangan terkait dengan perundangan terkait dengan pengadaan
pengadaan barang dan jasa konstruksi barang dan jasa konstruksi
Pengantar
Dalam suatu Proyek Kerja Konstruksi yang baik, selalu ada Kontrak Kerja Konstruksi.
Seperti diatur juga dalam perundangan Indonesia yaitu dalam Undang Undang Jasa
Konstruksi no 2 Tahun 2017 Paragraf 3 Kontrak Kerja Konstruksi Pasal 46 dan Pasal 47.
Untuk kontrak yang bersifat umum dan internasional, dalam penerapannya perlu
disesuaikan lagi di masing masing wilayah/Negara. Untuk itu didalam kontrak kerja
konstruksi selalu terdapat pasal mengenai Hukum dan Bahasa Kita ambil contoh:
Dalam FIDIC Red Book, (Persyaratan Kontrak Edisi Maret 2006) Dalam Pasal 1.4
terdapat aturan megenai Hukum dan Bahasa
Kontrak harus tunduk pada hukum negara atau ketentuan hukum lain yang dinyatakan
dalam Kontrak. Bahasa yang digunakan dalam Kontrak haruslah yang dinyatakan dalam
Data Kontrak. Bahasa untuk komunikasi haruslah yang dinyatakan dalam Data Kontrak. Bila
tidak dinyatakan di sana, bahasa untuk komunikasi haruslah bahasa yang digunakan dalam
Kontrak.
Hukum Negara di Indonesia
Karena disebutkan bahwa Kontrak harus tunduk pada hukum Negara dan ketentuan
hukum lainnya dan apabila proyek yang kita kerjakan adalah proyek di Indonesia, maka
kita perlu melihat ke Hukum di Indonesia:
Hukum Perdata ; mengatur hubungan hukum antara penyedia dan pengguna sejak
penandatanganan kontrak sampai dengan berakhirnya kontrak pengadaan barang dan jasa.
Dapat didefinisikan sebagai hukum yang mengatur hubungan antara subjek hukum dengan
subjek hukum lainnya di bidang keperdataan. Keperdataan dimaksudkan adalah lalu lintas
hukum yang berhubungan antara individu dengan individu lain. Dalam perjanjian
pemborongan, hak dan kewajiban para pihak adalah pengguna barang/jasa. Pengguna
barang/jasa menerima hasil pekerjaan, yang sebelumnya sesuai dengan isi perjanjian.
Sedangkan kewajibannya adalah membayar harga dari pekerjaan yang telah dilaksanakan.
Selanjutnya Hak pihak pemborong/penyedia adalah menerima pembayaran sesuai dengan
harga kontrak dari pihak yang memborongkan pekerjaan (pengguna). Sedangkan kewajiban
penyedia adal menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan isi kontrak.
Hukum Pidana ; mengatur hubungan hukum antara penyedia dan pengguna sejak tahap
persiapan pengadaan sampai dengan selesainya kontrak pengadaan barang dan jasa.
ruang lingkup tindakan/perbuatan yang dilakukan baik pengguna barang/jasa maupun
penyedia adalah segala perbuatan atau tindakan yang melawan hukum. Artinya, bahwa
tindakan/perbuatan dalam pengadaan barang/jasa tidak sesuai dengan peraturan
perundangan mulai dari tahap persiapan sampai selesai/berakhirnya kontrak. karena hukum
pidana merupakan hukum publik, ada kewajiban negara secara langsung untuk melindungi
segala hak dan kepentingan pengguna dan penyedia barang/jasa.
Contoh titik rawan Tindak Pidana ;
Pada tahap perencanaan pengadaan, seperti adanya indikasi penggelembungan
anggaran atau mark-up, pelaksanaan pengadaan yang diarahkan, rekayasana
penyatuan dan/atau memecah-mecah.
Bilamana terjadi cidera janji terhadap kontrak, yakni tidak dipenuhinya isi kontrak,
maka mekanisme penyelesaiannya dapat ditempuh sebagaimana yang diatur dalam isi
kontrak karena kontrak berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang
memembuatnya. Hal ini juga dapat dilihat pada UUJK pada bab X yang mengatur tentang
sanksi dimana pada pasal 43 ayat (1), (2), dan (3).
Yang secara prinsip isinya sebagaimana berikut, barang siapa yang merencanakan,
melaksanakan maupun mengawasi pekerjaan konstruksi yang tidak memenuhi ketentuan
keteknikan dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan konstruksi (saat berlangsungnya
pekerjaan) atau kegagalan bangunan (setelah bangunan diserahterimakan), maka akan
dikenai sanksi pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling
banyak 5 % (lima persen) untuk pelaksanaan pekerjaan konstruksi dan 10% (sepuluh
persen) dari nilai kontrak untuk perencanaan dan pengawasan, dari pasal ini dapat dilihat
penerapan Sanksi pidana tersebut merupakan pilihan dan merupakan jalan terakhir
bilamana terjadi kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan karena ada
pilihan lain yaitu denda.
Dalam hal lain memungkin terjadinya bila tidak dipenuhinya suatu pekerjaan sesuai dengan
isi kontrak terutama merubah volume dan matrial memungkinkan terjadinya unsur Tindak
Pidana Penipuan dan Penggelapan, yaitu yang diatur dalam ;
Pasal 378 KUHP (penipuan) ;
“ Barang siapa dengan maksud untuk mengantungkan diri sendiri atau orang lain dengan
melawan hokum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat
ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakan orang lain untuk menyerahkan
sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang,
diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun”.
Pasal 372 KUHP (penggelapan) ;
“ Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki suatu benda yag seluruhnya
atau sebagian milik orang lain, yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan,
Dalam kasus pidana korupsi unsur perbuatan melawan hukum sebagaimana pasal tersebut
harus dapat dibuktikan secara hukum formil apakah tindakan seseorang dapat dikategorikan
perbuatan melawan hukum sehingga dapat memperkaya diri sendiri atau orang lain yang
dapat menyebabkan kerugian keuangan Negara dan perekonomian Negara.
Kemudian institusi yang berhak untuk menentukan kerugian Negara dapat dilihat di UU No
15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dalam Pasal 10 ayat (1) UU
BPK yang menyebutkan : BPK menilai dan atau menetapkan jumlah kerugian negara yang
diakibatkan perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan
bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga lain yang menyelenggarakan
pengelolaan keuangan negara.
Jika BPK menemukan kerugian Negara tetapi tidak ditemukan unsur pidana sebagaimana
UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU No 20 Tahun
2001, maka aparat penyidik dapat memberlakukan pasal 32 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999
yaitu : Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak
pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian
keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan
tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan
kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan.
2. Hierarki Perundang-undangan
Sesuai Undang-undang No 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, Hirarki peraturan perundang-undangan mempunyai susunan sebagai berikut :
1. Undang-undang Dasar 1945 beserta amandemennya
2. a. Undang-undang (UU)
b. Peraturan Pemerintah pengganti UU (Perpu)
3. Peraturan Pemerintah (PP)
4. Peraturan Presiden
5. Peraturan Daerah (Perda)