Anda di halaman 1dari 15

BAB II

DASAR TEORI PERENCANAAN STRUKTUR GEDUNG

2.1 Umum
Dalam menganalisis dan mendesain suatu struktur perlu ditetapkan kriteria yang dapat
digunakan sebagai ukuran maupun untuk menentukan apakah struktur tersebut dapat
diterima untuk penggunaan yang diinginkan atau untuk maksud desain tertentu. Kriteria-
kriteria yang perlu diperhatikan dalam analisis dan desain struktur diantaranya yaitu :
1. Kemampuan layan (Serviceability)
Struktur harus mampu memikul beban rancang serta aman tanpa kelebihan tegangan
pada material dan mempunyai deformasi yang masih dalam daerah yang diizinkan.
Dengan memilih ukuran serta bentuk elemen struktur dan bahan yang digunakan,
taraf tegangan pada struktur dapat ditentukan pada taraf yang dipandang masih dapat
diterima dan aman, hal ini merupakan kriteria kekuatan dan merupakan dasar yang
sangat penting. Defleksi atau deformasi besar dapat diasosiasikan dengan struktur
yang tidak aman, tetapi hal ini tidak selalu demikian. Deformasi dikontrol oleh
kekakuan struktur dan kekakuan sangat bergantung pada jenis, besar dan distribusi
bahan pada struktur.
2. Efisiensi
Kriteria ini mencakup tujuan desain struktur yang relatif lebih ekonomis. Ukuran
yang sering digunakan adalah banyak material yang diperlukan untuk memikul beban
yang diberikan dalam ruang pada kondisi dan kendala yang ditentukan.
3. Konstruksi
Tinjauan konstruksi sering juga mempengaruhi pilihan struktural dimana perakitan
elemen-elemen struktural akan efisiensi apabila materialnya mudah dibuat dan dirakit.
Syarat-syarat dalam mendesain suatu struktur diantaranya yaitu :
a. Keamanan/kekuatan
Struktur harus aman dan kuat terhadap gaya-gaya dan beban-beban yang bekerja
padanya seperti beban mati, hidup, angin dan gempa.
b. Kekakuan
Dalam perencanaan suatu gedung perlu diperhitungkan kekakuannya agar didapat
struktur yang kaku dan tidak mudah rusak saat terjadi gempa serta aman dari
faktor tekuk.
c. Stabilitas
Dalam mendesain struktur perlu juga diperhatikan kestabilannya terhadap momen-
momen yang bekerja padanya seperti momen geser dan gaya uplift.

2.1 .1 Pelat
Pelat adalah struktur planar kaku yang secara khas terbuat dari material monolit yang
tingginya kecil dibandingkan dengan dimensi-dimensi lainnya. Pelat dapat dianalisis
sebagai grid-grid menerus. Akan tetapi, kita akan mendapat manfaat lebih banyak apabila
kita meninjau pelat dengan memperhatikan bagaimana berbagai jenis pelat memberikan
momen dan gaya geser internal yang mengimbangi momen dan geser eksternal. Beban
yang umum bekerja pada pelat mempunyai sifat banyak arah dan tersebar. Sejak
digunakannya beton bertulang modern untuk pelat, hampir semua gedung menggunakan
material ini sebagai elemen pelat karena beton bertulang merupakan material yang dapat
memberikan kemungkinan dalam desain. Beton bertulang yang dicor di tempat adalah
material yang sangat berguna untuk membuat pelat karena banyak alasan. Beton
misalnya, selalu dapat dibuat bersifat 2 arah apabila ditulangi dengan benar. Pelat dapat
ditumpu diseluruh tepinya, atau hanya pada titik-titik tertentu (misalnya oleh kolom-
kolom), atau campuran antara tumpuan menerus dan titik. Kondisi tumpuan dapat
sederhana atau jepit. Adanya kemungkinan variasi kondisi tumpuan menyebabkan pelat
dapat digunakan untuk berbagai keadaan. Untuk merencanakan pelat beton bertulang
yang perlu dipertimbangkan tidak hanya pembebanan, tetapi juga ukuran dan syarat-
syarat tumpuan pada tepi. Syarat yang harus dipenuhi tidak hanya kekuatan tapi juga
kekakuannya.
Pelat selain sebagai penahan beban berlaku juga sebagai bagian pengaku lateral struktur.
Gaya dalam yang dominan adalah momen lentur, sehingga perancangan tulangannya
relatif sederhana.
Syarat-syarat untuk menentukan tebal minimum pelat (SK SNI T-15-1991-03):

 Rumus 1
fy
h ≥ Ln [ 0.8+ 1500 ] (2.1)
(36 + 9β)
 Rumus 2

fy (2.2)
 h ≥ Ln [ 0.8+ 1500 ]
36

 Rumus 3

Ln [0.8+ fy
]  (2.3)
h≥     1500

36+5β{αm-0.12[1+ β ]}
1

Dimana :
Ln : panjang bentang bersih pelat setelah dikurangi tebal balok (cm)
fy : tegangan leleh baja untuk pelat
h : tebal pelat
αm : koefisien jepit pelat
n : jumlah tepi pelat
β : Ln memanjang (cm) / Ln melintang (cm)
Selain itu pada SK SNI T–15–1991–03 Pasal 3.6.6 mengijinkan untuk menentukan
distribusi gaya dengan menggunakan koefisien momen yang dapat dilakukan dengan
mudah.
Setelah menentukan syarat-syarat batas, bentang dan tebal pelat kemudian beban-beban
dapat dihitung. Dalam SK SNI T 15–1991–03 pasal 3.2.2 untuk pelat yang sederhana
berlaku rumus :
(2.4)

WU = 1,2 WD + 1,6 WL
Menurut peraturan SK SNI T–15–1991–03 tabel 3.2.5 (b), batas lendutan maksimum
l
adalah bentang. Lendutan yang terjadi akibat beban merata (Timoshenko dkk,
480
1998) adalah :
(2.5)

. W.uH. 3b4
δ = α Ec (2.6)
D= D
dimana : 12 (1 - μ2)
δ : lendutan yang terjadi
α : koefisien lendutan

Wu : beban ultimate (kg/cm2)


μ : nilai poison rasio

D : momen akibat lentur untuk pelat (kg.cm)


Ec : modulus elastisitas beton
h : tebal pelat
b : lebar pelat

2.1 .2 Balok
Perancangan balok beton bertulang bertujuan untuk menghitung tulangan dan membuat
detail-detail konstruksi untuk menahan momen-momen lentur ultimit, gaya-gaya lintang,
dan momen-momen puntir dengan cukup kuat. Kekuatan suatu
balok lebih banyak dipengaruhi oleh tinggi dari pada lebarnya. Lebar yang sesuai
dapat sepertiga sampai setengah dari tinggi, tetapi mungkin jauh lebih kecil untuk suatu
balok tinggi, dan mungkin pula dipakai balok-balok yang lebih lebar dan rendah untuk
mempertahankan tinggi ruangan. Diusahakan agar dimensi balok jangan terlalu sempit
karena akan timbul kerusakan dalam menyediakan selimut beton dan jarak tulangan yang
memadai.
Secara umum dimensi balok diperkirakan dengan :
 H = 1. L sampai dengan 1. L dengan L = bentang pelat terpanjang (2.7)
 B = 10 1.
H sampai dengan 12
2
H dengan H = tinggi balok (2.8)
Untuk memeriksa
2 kekakuan 3 balok terhadap lendutan (δ), lendutan maksimum yang
terjadi pada tengah bentang bila balok dianggap sendi dan rol pada ujung-ujungnya
(Timoshenko dkk, 1988) adalah :
(2.9)

dimana :
4
L = panjang bentang balok δ = 5 .WU . L
E = modulus elastisitas balok 384 .EI
I = momen inersia balok
Dalam merencanakan penulangan balok harus dapat memenuhi persyaratan dibawah ini ;
B
1. > 0.3 (2.10)
H
2. bmin > 25cm (2.11)
3.  min <  <  maks (2.12)
Koefisien balok dengan pelat, αm merupakan nilai rata-rata α untuk semua balok. Untuk
mencari lebar effektif dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
beff = bW + ½. L1 + ½.L2 (2.13)
beff = bW + 8 hf + 8 hf (2.14)
beff = L / 4 (2.15)
Menurut SK SNI T–15–1991–03 untuk lebar effektif dari balok “L” ditetapkan sebesar
1 1
lebar balok ditambah dengan harga terkecil dari nilai l atau 6h, ataupun l .
12 2 1

2.1 .3 Kolom
Kolom-kolom di dalam sebuah konstruksi berfungsi meneruskan beban-beban dari balok-
balok dan pelat-pelat ke bawah sampai ke pondasi. Karenanya, kolom-kolom merupakan
bagian konstruksi tekan, meskipun mungkin harus pula menahan gaya-gaya lentur akibat
kontinuitas dari konstruksi. Perencanaan kolom memperhatikan keadaan batas tegangan
(kekuatan) dan kekakuan untuk menghindari deformasi berlebihan dan tekuk. Daktail
b
tulangan yang benar dan penutup beton yang cukup adalah penting. Perbandingan
h
dari kolom tidak boleh < dari 0.4.
Syarat untuk menentukan dimensi kolom (Kusuma dan Andriono, 1996), yaitu:

Nu
≤ 0.2 fc'
Agross
Nu (2.16)
Agross ≥
0.2 fc'

Dimana : Nu = Wu = beban ultimate yang dipikul kolom (kg)


Agross = luas kolom yang dibutuhkan (cm2)
Fc’ = mutu beton (Mpa)
Untuk batang-batang eksentrisitas yang sangat besar atau yang sangat kecil, pedoman
mengatur ketentuan-ketentuan keamanan tambahan, yang akan dikemukakan dibawah ini.
Perilaku ini bervariasi, dimulai dari apabila batang ditekan secara konsentris (P = Pn0, M =
0), pada interval dimana keruntuhan terjadi dengan hancurnya beton, melalui kondisi
seimbang dan interval dimana keruntuhan terjadi dengan melelehkan tulangan, sampai
pada kondisi ekstrim lainnya akibat momen lentur (M = Mn0, P = 0). Situasi ini dapat
dibayangkan lebih mudah apabila hasil-hasil perhitungan digambarkan secara grafis
melalui apa yang disebut diagram interaksi. Diagram –diagram interaksi seperti ini juga
merupakan alat bantu perencanaan yang sangat bermanfaat.
Momen-momen dan eksentrisitas-eksentrisitas disini dihitung terhadap pusat plastis
(untuk penampang-penampang simetris dihitung terhadap pusat geometrisnya) bukan
terhadap pusat tulangan tarik. Setiap titik pada grafik tersebut, seperti misalnya titik a,
menunjukkan sepasang harga Pn dan Mn yang menurut teori adalah kekuatan minimal
akan dapat meruntuhkan batang tersebut. Untuk tekan konsentris M = 0 grafik tersebut
mulai dari o dengan kekuatan Pn0 merupakan batang yang dibebani secara konsentris.
Bagian ob menunjukkan daerah dengan eksentrisitas yang kecil dimana keruntuhan
diawali dengan hancurnya beton. Titik b mewakili kondisi seimbang, yaitu suatu keadaan
dimana aksi serentak beban Pnb dan momen Mnb beton akan mencapai regangan batasnya
(0.003) pada saat yang sama ketika tulangan tarik mencapai tegangan lelehnya. Bagian bc
menunjukkan suatu daerah dimana keruntuhan diawali dengan melelehnya tulangan tarik.
Akhirnya, titik ujung c menunjukkan kapasitas momen Mn0 apabila bekerja lentur saja,
yaitu, apabila Pn = 0. Semua garis miring yang melalui titik awal mempunyai suatu
kemiringan yang kebalikannya merupakan eksentrisitas terhadap pusat dari kombinasi
harga-harga batas Pn dan Mn seperti yang terlihat pada gambar berikut.

Pn
o
Pno
Compression failure
Pn
a
b
Pnb Mn
Mn c tension failureMnb
Mno

Gambar 2.1:Diagram interaksi untuk tekan dengan lentur, Pn dan Mn.


Compression failure = keruntuhan tekan
Tension failure = keruntuhan tarik
Pada daerah ob yaitu daerah keruntuhan tekan, apabila beban aksial P n semakin besar
momen yang didapat dipikul oleh penampang tersebut sebelum ia mengalami keruntuhan.
Namun demikian, pada daerah bc atau daerah tarik terjadi hal sebaliknya, semakin besar
beban aksial semakin besar pula kapasitas momen dari penampang tersebut.

2.2 Beban-Beban pada Struktur


Dalam melakukan analisis desain suatu struktur, perlu ada gambaran yang jelas mengenai
perilaku dan besar beban yang bekerja pada struktur. Perencanaan bangunan konstruksi
beton bertulang pada umumnya berdasarkan pada keadaan batas atau ultimit. Analisis
struktur dikerjakan untuk berbagai kombinasi pembebanan ultimit untuk mendapatkan
gaya dalam desain berdasarkan keadaan ekstrem yang mungkin terjadi.
1. Beban Mati
Beban mati adalah beban-beban yang bekerja vertikal ke bawah pada struktur dan
mempunyai karakter yang pasti. Berat sendiri struktur adalah beban mati, seperti
misalnya penutup lantai, alat mekanis dan lain-lain. Semua metode untuk menghitung
beban mati suatu elemen didasarkan atas peninjauan berat suatu material yang terlibat
dan berdasarkan volume elemen tersebut.
2. Beban Hidup
Beban hidup adalah beban-beban yang bisa ada atau tidak ada pada struktur untuk
suatu waktu yang diberikan. Meskipun dapat berpindah-pindah, beban hidup masih
dapat dikatakan bekerja secara perlahan-lahan pada struktur. Beban penggunaan
(occupancy loads) disebut juga beban hidup, yang termasuk beban hidup adalah berat
manusia, perabot, material yang disimpan dan sebagainya. Semua beban hidup
mempunyai karakteristik dapat pindah atau bergerak dan secara khas beban ini
bekerja vertikal ke bawah, tetapi kadang-kadang dapat berarah horizontal.
3. Beban Gempa
Menurut peraturan SNI–03–1726–2002, sub bab 4.1.1. standar ini menentukan
pengaruh gempa rencana yang harus ditinjau dalam perencanaan struktur gedung
serta berbagai bagian dan peralatannya secara umum. Akibat pengaruh Gempa
Rencana, struktur gedung secara keseluruhan harus masih berdiri, walaupun sudah
berada dalam kondisi di ambang keruntuhan. Gempa Rencana ditetapkan mempunyai
perioda ulang 500 tahun, agar probabilitas terjadinya terbatas pada 10% selama umur
gedung 50% tahun.
Menurut peraturan SNI–03–1726–2002, sub bab 4.7.1 Indonesia ditetapkan terbagi
dalam 6 Wilayah, dimana Wilayah Gempa 1 adalah wilayah dengan kegempaan
paling rendah dan Wilayah Gempa 6 dengan kegempaan paling tinggi.
Data-data untuk menentukan beban gempa rencana antara lain :
1. Faktor Keutamaan (I) menurut peraturan SNI–03–1726–2002, sub bab 4.1.2
I = I1 . I2 (2.17)
Dimana :
I = Faktor Keutamaan
I1 = Faktor Keutamaan untuk menyesuaikan periode ulang gempa berkaitan dengan
penyesuaian probabilitas terjadinya gempa itu selama umur gedung.

I2 = Faktor Keutamaan untuk menyesuaikan periode ulang gempa


berkaitan dengan penyesuaian umur gedung tersebut.
I = 1,4 . 1,0 = 1,4
2. Faktor reduksi gempa (R) menurut peraturan SNI – 03 – 1726 – 2002, sub bab
4.3.3
1,6 ≤ R = μ . f1 ≤ Rm (2.18)
dimana :
R = Faktor reduksi gempa
μ = Faktor daktilitas untuk struktur gedung
f1 = Faktor kuat lebih beban beton dan bahan 1.6
Rm = Faktor reduksi gempa maksimum
3. Struktur bangunan yang akan dibangun berada di Jakarta.
Menggunakan peraturan SK SNI T–15–1991–03, berada pada wilayah gempa 3.
4. Waktu getar alami struktur gedung (T)
T = 0.06 (H)3/4 (2.19)
Dimana :
H = tinggi struktur bangunan
5. Daktilitas
Daktilitas merupakan kemampuan suatu struktur gedung untuk mengalami
simpangan pasca elastik yang besar secara berulang kali dan bolak-balik akibat
beban gempa di atas beban gempa yang menyebabkan terjadinya pelelehan
pertama, sambil mempertahankan kekuatan dan kekakuan yang cukup, sehingga
struktur gedung tersebut tetap berdiri, walaupun sudah berada dalam kondisi di
ambang keruntuhan. SK SNI T 15-1991-03 menetapkan bahwa struktur beton
bertulang dapat direncanakan dengan tingkat daktilitas 1, 2 atau 3.
a. Tingkat
daktilitas 1 (elastis)
Struktur dengan tingkat daktilitas 1 (μ = 1.0) harus direncanakan agar tetap
berperilaku elastis saat terjadi gempa kuat.
b. Tingkat
daktilitas 2 (daktilitas terbatas)
Struktur dengan tingkat daktilitas 2 atau daktilitas terbatas (μ = 1.5 - 5.0) harus
direncanakan sedemikian rupa dengan pendetailan khusus sehingga mampu
berperilaku inelastis terhadap beban siklis gempa tanpa mengalami keruntuhan
getas.
c. Tingkat
daktilitas 3 (daktilitas penuh)
Struktur dengan tingkat daktilitas 3 atau daktilitas penuh (μ = 5.3) harus
direncanakan terhadap beban siklis gempa kuat sedemikian rupa dengan
pendetailan khusus sehingga mampu menjamin terbentuknya sendi-sendi plastis
dengan kapasitas pemencaran energi yang diperlukan.

2.3 Analisis Struktur


Gedung beton bertulang berlantai banyak merupakan kombinasi dari balok, kolom, pelat
dan dinding yang dihubungkan satu sama lain untuk membentuk suatu kerangka
monolitis. Setiap bagian harus mampu menahan gaya yang bekerja padanya. Oleh karena
itu, penentuan gaya-gaya merupakan bagian yang penting di dalam proses perencanaan.
Analisis dimulai dengan menghitung seluruh beban yang dipikul oleh konstruksi,
termasuk berat sendiri konstruksi. Selanjutnya parameter-parameter penampang seperti
luas dan momen inersia dihitung. Gaya-gaya dapat dihitung dengan berbagai metode
analisis struktur statis tak tentu, baik secara manual maupun software komputer.
Dalam menganalisis struktur gedung, pada Tugas Akhir ini digunakan program komputer
ETABS. Program ini dapat memberikan bantuan dalam analisis struktur yang melibatkan
perhitungan matematis.
Beban yang diterima struktur direncanakan sebagai pembebanan vertikal gravitasi dan
pembebanan lateral gempa. Pembebanan vertikal gravitasi terdiri atas beban mati dan
beban hidup. Dengan menggunakan software ETABS ini analisis rangka struktur balok,
kolom baik normal maupun perkakuan sudah otomatis menghitung sebagai beban mati,
sehingga beban vertikal hanya berasal dari pelat. Dinding dan kaca berada di tepi-tepi
gedung. Pemodelan pada struktur 3 dimensi dalam satuan kg dan cm dengan gaya
gravitasi sebesar 9.81 m/dt2, kondisi untuk semua tumpuan adalah jepit.

2.4 Metode Analisis Perencanaan Bangunan


Metode yang digunakan dalam menganalisis perencanaan bangunan pada Tugas Akhir ini
yaitu, Analisis beban statik ekuivalen dan Analisis dinamis.
6.1 Analisis Beban Statik Ekuivalen
Setiap struktur gedung harus direncanakan dan dilaksanakan untuk menahan suatu beban
geser dasar akibat gempa dalam arah-arah yang ditentukan.
Gaya lateral direncanakan dan dilaksanakan untuk menahan suatu beban geser dasar
akibat gempa (V) dalam arah-arah yang ditentukan. Besarnya beban lateral menurut
peraturan SNI–03–1726-2002 dapat dinyatakan sebagai berikut :
C I
V = 1 Wt (2.20)
R
Dimana :
V = gaya geser horizontal total akibat gempa
R = Faktor reduksi gempa
C1 = Faktor respon gempa
I = Faktor keutamaan
Wt = Berat total bangunan termasuk beban hidup yang sesuai
Beban geser dasar nominal V harus dibagikan sepanjang tinggi struktur gedung menjadi
beban-beban gempa nominal statik ekuivalen Fi yang menangkap pada pusat massa lantai
ke-I menurut persamaan :
W Zi
Fi = n i V
(2.21)
∑Wi Z i
i =1
dimana :
Wi = berat lantai tingkat ke-I
Zi = ketinggian lantai

6.2 Analisis Dinamik


Analisis dinamik adalah untuk menentukan pembagian gaya geser tingkat akibat gerakan
tanah oleh gempa dan dapat dilakukan dengan cara analisa ragam spektrum respon atau
dengan cara analisa respon riwayat waktu.
Spektrum respon merupakan plat respon maksimum (perpindahan, kecepatan ataupun
percepatan maksimum) pada dasar sistem struktur dari fungsi beban tertentu untuk semua
kemungkinan sistem berderajat kebebasan tunggal. Absis dari spektrum adalah frekuensi
natural (periode) dari sistem dan ordinat merupakan respon maksimum. Jadi dalam
menentukan respon dari suatu grafik spektrum untuk suatu pengaruh tertentu, maka
hanya diperlukan untuk mengetahui frekuensi natural dari sistem itu.
Salah satu aspek penting dalam analisa dinamik adalah periode dan pola getar alami.
Dalam hal ini dapat dilakukan analisis modal untuk mode getaran dengan menggunakan
eigenvector. Setiap pasangan eigenvector disebut mode getar alami struktur. Mode
tersebut ditunjukkan dengan memberi nomor dari 1 sampai n sesuai jumlah yang
diinginkan yang diperoleh program. Data jumlah mode n yang akan dihitung harus
diberikan sebelum dilakukan analisis, kemudian program akan mencari mode frekuensi
tersebut. Hasil analisis ini dapat berupa frekuensi dan periode.
Untuk analisis dinamik pada software ETABS ini penulis mencoba menggambarkan
secara sederhana prosesnya. Struktur dengan jumlah bentang dan kolom tersebar dapat
diidealisasikan hubungan massa dan per, sehingga dapat dianggap :
 Massa terpusat pada bidang lantai
 Balok pada lantai, kaku tak hingga dibandingkan kolom
 Deformasi struktur tak dipengaruhi gaya aksial yang terjadi pada struktur
Dengan kondisi struktur yang terdiri dari beberapa lantai, maka keseimbangan dinamik
dengan sistem derajat kebebasan banyak. Sifat dinamis yang perlu diketahui yaitu
frekuensi natural dengan getaran tak bebas dengan damping dimana harga F  0,
sehingga :
[M] {ÿ} + [C] {ý} + [K] {y} = {F} (2.22)
Dimana : [M] : Matrik massa {ÿ} : vektor percepatan
[C] : Matrik redaman {ý} : vektor kecepatan
[K] : Matrik kekakuan {y} : vektor perpindahan

Selanjutnya Mario Paz (1996 : 181) mengatakan sebuah kolom yang bermassa seragam
dengan kedua ujungnya terjepit atau tak berotasi, konstanta kekakuannya adalah
12 EI
K (2.23)
L3
Dimana : L : tinggi kolom
E : Modulus elastisitas
Konstanta kekakuan kolom tidak digunakan dalam perhitungan ETABS, melainkan
secara otomatis sudah dihitung oleh ETABS pada saat mengimput atau memasukkan
dimensi kolom.
Kemudian dikatakan lagi, redaman yang ada pada struktur relatif kecil dan secara
praktis tidak mempengaruhi perhitungan frekuensi natural dan pola perubahan bentuk
dari sitem, jadi pengaruh redaman dapat diabaikan. Oleh sebab itu pada praktiknya untuk
struktur teredam diselesaikan dengan metode yang sama untuk sistem struktur tak
teredam (Mario Paz, 1996 : 228)
Bentuk dan penempatan dinding geser mempunyai akibat yang besar terhadap perilaku
struktural apabila dibebani secara lateral. Inti yang diletakkan asimetris terhadap bentuk
bangunan harus memikul torsi selain lentur dan geser.
Akan tetapi, rotasi dapat juga terjadi pada bangunan yang memiliki susunan dinding
geser simetris apabila angin bekerja pada fasade yang terbuat dari tekstur permukaan
yang berbeda (halus-kasarnya permukaan) atau apabila angin tidak bekerja pada titik
berat massa bangunan. (Gambar 2.6)

Gambar 2.6 : Pengaruh permukaan dan letak dinding terhadap gaya lateral
Perlawanan yang optimal terhadap torsi diperoleh pada penampang inti tertutup. Akan
tetapi, ketika menganalisis perlawanan terhadap torsi, kekakuan torsi harus dikurangi
apabila terdapat bukaan jendela dan bukaan lainnya karena menurunnya kekakuan
dinding akibat perlubangan tersebut. Belahan dinding yang mempunyai bukaan besar
untuk memuat sistem mekanikal dan elektris mungkin tidak dapat menahan beban
demikian.
Apabila resultan dari gaya- gaya lateral melalui titik berat dari kekakuan relatif

bangunan, maka yang dihasilkan hanyalah reaksi translasi. Kasus yang paling jelas

adalah pada bangunan dinding geser murni. Pada bangunan dinding geser rangka kaku,

sebagai perkiraan awal dianggap bahwa geser akan dipikul seluruhnya oleh inti karena

kekakuannya jauh melebihi kekakuan lateral rangka.

Apabila susunan dinding geser itu adalah asimetris, maka resultan gaya lateral tidak

melalui titik berat kekakuan bangunan. Yang terjadi adalah rotasi dari dinding geser
ditambah dengan translasi. Penyebaran tegangan tergantung pada bentuk sistem dinding

geser.

8.2 Sistem Perbesaran Kolom Sudut serta Balok Lantai Atas dan Bawah

Penggunaan perkakuan tambahan berupa perbesaran kolom sudut serta balok lantai atas

dan bawah sangat bermanfaat untuk meningkatkan faktor kekakuan pada sepanjang

rangka. Selain mampu memperkecil terjadinya lendutan juga dapat mereduksi momen-

momen dalamnya, sehingga momennya mengecil dibandingkan dengan tanpa diberi

perkakuan. Dari gedung berlantai 10 yang dianalisis dengan cara statis ekivalen, pada

bangunan yang bertapak bujur sangkar perkakuan yang ada mampu memperkecil

lendutan yang terjadi. Sedangkan pada bangunan bertapak persegi panjang, perkakuan

hanya efektif pada arah memendek (Maya Kumala Sari,1991).

Pada gedung berbentuk persegi panjang sistem perkakuan tambahan ini menimbulkan

efek yang agak berbeda dengan gedung berbentuk bujur sangkar. Sistem perkakuan

hanya mampu memperkecil goyangan pada lantai ke-1 dan ke-2. Sedangkan mulai lantai

ke-3 dan seterusnya ke atas, goyangan yang terjadi lebih besar dibandingkan dengan

tanpa diberi perkakuan.

Perkakuan pada struktur gedung membawa pengaruh pada momen yang dihasilkan oleh

balok dan kolom. Pada lantai teratas terjadi peningkatan momen yang besar hampir pada

semua baloknya, terlebih pada balok sepanjang sisi gedung yang diberi perkakuan, hal ini

terjadi hingga lantai ke-1.

Berdasarkan distribusi momen akibat beban vertikal dan beban lateral, sistem perkakuan

untuk gedung berbentuk bujur sangkar diperoleh momen tumpuan (negatif) yang
bertambah besar dan momen lapangan (positif) yang relatif lebih kecil. Sedangkan pada

kolom, peningkatan momen hanya terjadi pada kolom-kolom sudutnya. Selebihnya

momen pada kolom lainnya mengecil akibat pengaruh distribusi momen.

Pengaruh perkakuan pada redistribusi momen gedung berbentuk persegi panjang tidak

jauh berbeda dengan gedung berbentuk bujur sangkar.

Gambar 2.7 : Sistem perkakuan vertikal dengan perbesaran kolom serta balok

lantai dan bawah (Sari, 1999)

Pada Tugas Akhir ini perhitungan struktur atas dengan sistem perkakuan vertikal dinding

geser. Pemilihan dinding geser ini diharapkan cukup efektif untuk bangunan-bangunan

yang memuat ruang lift atau tangga.

2.7 Tulangan
Baja dalam beton bertulang berfungsi memikul tegangan tarik, sedangkan beton sendiri

berfungsi untuk memikul tegangan tekan. Dengan demikian, pada suatu gelagar beton

bertulang, beton berfungsi memikul gaya tekan batang-batang baja yang dipasang

longitudinal diletakkan di dekat permukaan tarik untuk memikul gaya tarik, dan sering

kali batang-batang baja tambahan diletakkan sedemikian rupa sehingga dapat memikul

timbulnya tegangan tarik yang disebabkan oleh gaya geser pada badan gelagar. Supaya

pemakaian tulangan bisa berjalan dengan efektif, harus diusahakan agar tulangan dan

beton dapat mengalami deformasi bersama-sama, yaitu agar terdapat ikatan yang cukup

kuat diantara kedua material tersebut untuk memastikan tidak terjadinya gerakan relatif

(atau slip) dari tulangan dengan beton yang ada disekelilingnya.

Dalam perencanaan, dikenal tulangan yang bersifat Balance Reinforced (tulangan

berimbang) artinya tulangan leleh pada saat yang bersamaan dengan hancur beton. Ada

dua kondisi dalam perencanaan yaitu kondisi Over Reinforced dan Under Reinforced.

Berikut akan diuraikan perbedaan mengenai keduanya.

1. Over Reinforced

 Tulangan banyak

 Momen nominal (Mn) besar

 Garis netral besar

 Tulangan belum leleh saat beton hancur

 Keruntuhan tekan

 Keruntuhan tiba-tiba

 Brittle failure

2. Under reinforced
 Tulangan sedikit

 Momen nominal (Mn) kecil

 Garis netral kecil

 Tulangan sudah leleh saat beton hancur

 Keruntuhan tarik

 Keruntuhan perlahan (didahului oleh lendutan yang besar dan retak-retak)

 Dactile failure

Karena sifat dari over reinforced yang runtuhnya tiba-tiba, perancangan tidak boleh

mencapai over reinforced. Perancangan harus selalu under reinforced.

Banyaknya tulangan ditunjukkan oleh luas penampang tulangan (As)

As
= (2.29)
b d

Dimana : ρ : angka tulangan (tanpa dimensi)

As : luas tulangan

ρb : angka tulangan pada keadaan berimbang (balanced)

ρ > ρb : over reinforced

ρ < ρb : under reinforced

Dalam perancangan : ρ ≤0.75 ρb

1
 b = 0.85 fc'  (2.30)
f y + 6000

Kapasitas momen akan meningkat dengan semakin banyaknya tulangan, tetapi tulangan

yang makin banyak menyebabkan penampang tersebut menjadi over reinforced. Dalam

perancangan, penampang dengan kapasitas besar tapi tetap under reinfoced. Solusinya
adalah penampang dengan tulangan rangkap (ada yang diatas (tekan) dan ada di bawah

(tarik)).

Anda mungkin juga menyukai