Anda di halaman 1dari 38

BAB 1

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Rumah sakit sebagai salah satu saran pelayanan kesehatan pada


hakekatnya bertujuan untuk mewujudkan derajad kesehatan yang optimal
bagi masyarakat. Menurut Undang- undang nomor 44 tahun 2009 (dalam
Ratman 2014:519) tentang rumah sakit, ditulisakan bawahwa rumah sakit
adalah institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat dengan karakteristik
tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan kesehatan,
kemajuan teknologi, dan kehidupan sosial ekonomi masyarakatsehingga
harus tetap mampu meningkatakan pelayanan yang lebih bermutu dan
terjangkau oleh masyarakat, agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi –
tingginya.

Isu patient safety merupakan salah satu isu utama dalam pelayanan
kesehatan. Para pengambil kebijakan, pemberi pelayanan kesehatan, dan
konsumen menempatkan keaman sebagai prioritas utama pelayanan. Patient
safety perlu secara teratur dipantau, dikur, dan diperbaiki. Salah satu konsep
utama adalah dengan pengenalan risiko yang dapat dicegah. serbagai risiko
akibat tindakan medik dapat terjadi sebagai bagian dari pelayanan kepada
pasien. Identifikasi dan masalah tersebut merupakan bagian utaa dari
pelaksanan konsep patien safety menurut Mudayana 2015:145.

Keselamatan pasien (Patient Safety) merupakan sesuatu yang jauh lebih


penting dari pada sekedar efisiensi pelayanan. Perilaku perawat dengan
kemampuan perawat sangat berperan penting dalam pelaksaan keselamatan
pasien. Perilaku yang tidak aman, lupa, kurang perhatian/motivasi,
kecerobohan, tidak teliti dan kemampuan yang tidak memperdulikan dan
menjaga keselamatan pasien berisiko untuk terjadinya kesalahan dan
mengakibatkan cedera pada pasein, berupa Near Miss (Kejadian nyaris
cedera/KNC) atau Adverse Event (kejadian tidak diharapakan/KTD)
selanjutnya pengurangan kesalahan dapat dicapai dengan memodifikasi
perilaku. Perawat harus melibatkan kognitif, afektif dan tindakan yang
mengutamakan keselamatan pasien. Menurut World Health Organization
(WHO), 2014 : 2, keselamatan pasien merupakan masalah kesehatan
masyarakat global yang serius. Di Eropa mengalami pasien dengan resiko
infeksi 83,5 % dan bukti kesalahan medis menunjukkan 50-72,3%. Di
kumpulkan angka-angka penelitian rumah sakit di berbagai Negara, di
temukan KTD dengan Rentang 3,2 – 16,6 %.

Patient safety pada keperawatan anak merupakan upaya pencegahan injuri


pada anak yang disebabkan langsung oleh pemberi pelayanan kesehatan itu
sendiri. Lebih dari 10 tahun terakhir, patient safety menjadi prioritas utama
dalam sistem pelayanan kesehatan. Tenaga kesehatan termasuk perawat
memiliki tanggung jawab terhadap pengobatan dan perawatan anak selama
berada di rumah sakit termasuk patient safety. Salah satu cara untuk
meningkatkan patient safety pada anak adalah penggunaan teknologi
informasi dalam keperawatan menurut WHO 2011 (dalam Parulian).

Data Patient Safety tentang Kejadian Nyaris Cedera (KNC) dan Kejadian
Tak Diharapkan (KTD) di Indonesia masih jarang, namun dipihak lain terjadi
peningkatan tuduhan “Malpraktek” yang belum tentu sesuai dengan
pembuktian akhir. Insiden penanggaran Patient Safety 28,3 % dilakukan oleh
Perawat.

Menurut Bawelle (dalam Lombogia 2016) secara keseluruhan program


patient safety, karena walapun sudah pernah mengikuti sosialisasi, tetapi
masih ada pasien cedera, resiko jatuh, resiko salah pengobatan, pendelegasian
yang tidak akurat saat ofogan pasien yang mengakibatkan keselamatan pasien
menjadi kurang maksimal.

Bronkiolitis adalah suatu peradangan pada bronkiolus yang disebabkan


oleh virus. Bronkiolitis memiliki manifestasi klinis yaitu: sering bersin dan
banyak sekret atau lendir, demam ringan, cuping hidung, sesak nafas, batuk-
batuk, dan lain-lain menurut Suriadi & Yulianni 2006:35.

Bronkiolitis merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan


mortalitas pada bayi. Pasien bronkiolitis akut berat mempunyai risiko
mengalami mengiberulang atau asma. Sekitar 23% bayi dengan riwayat
bronkiolitis berkembang menjadi asma pada usia 3 tahun. Bayi yang dirawat
dengan bronkiolitis pun mempunyai kecendrungan mengalami penurunan
fungsi paru pada usia 7 tahun. Kematian akibat bronkiolitis pada bayi sekitar
2/100.000 bayi Menurut Wijaya 2014:95.

1.2 Tujuan

1.2.1 Tujuan umum

Untuk Memberikan Gambaran Tentang Manajemen Patient Safety Pada


Anak Di Rumah Sakit.

1.2.2 Tujuan khusus

1. Untuk mengetahui pengertian dari keselamatan pasien (Patient


Safety).

2. Untuk mengetahui pengertian dari keselamatan pasien khusus pada


anak.

3. Untuk mengetahui standar keselamatan pasien rumah sakit.

4. Untuk mengetahui standar keselamatan pasien rumah sakit khusus


pada anak.

1.3 Manfaat

1. Manfaat bagi Masyarakat


a) Masyarakat dapat mengetahui dan memahami konsep tentang
Keselamatan pasien, baik keselamatan pasien secara umum atau
khusus.

b) Memberikan informasi tentang pelayanan keselamatan pasien yang


ada di rumah sakit.

2. Manfaat bagi Mahasiswa

a) Mahasiswa dapat memahami tentang konsep keselamatan pasien.

b) Meningkatan informasi seputar keselamatan pasien di rumah sakit

c) Mahasiswa dapat mengembangkan keterampilan membaca yang


efektif.

3. Manfaat bagi Instirusi

Manfaat untuk institusi dapat meningkatan referensi dan kerjasama anatara


pihak kampus dengan pihak rumah sakit.
BAB 2

2.1 Konsep pasien safety

2.1.1 Menurut penjelasan pasal 43 UU kesehatan No.36 tahun 2009 yang


dimaksud dengan keselamatan pasien (Patient Safety) adalah proses dalam
suatu rumh sakit yang memberikan pelayanan kepada pasien secara aman
termasuk didalamnya pengkajian mengenai resiko, identifikasi,
menajemen resiko terhadap pasien, pelaporan dan analisis insiden,
kemampuan untuk belajar dan menindaklanjuti inseden, dan menerpkan
solusi untuk mengurangi serta meminimalisir timbulnya risiko. Yang
dimaksud dengan insiden keselamatan pasien adadah keselamatan medis
(Medical Errors), kejadian yang tidak diharapakan (Adverse event), dan
nyaris terjadi (Near Miss).

Menurut IOM (dalam Cahyono 2008:118) keselamatan pasien


didefinisikan sebagai layanan yang tidak mencedarai atau merugikan
pasien (Safety is defined as freedom from accidental injury). Dengan
demikian, layanan yang mengandung unsur kesalahan namun tidak
mencederai atau merugikan pasien (Mencederai fisik, finansial) atau
nyaris cedera masih dapat ditolerir. Meskipun definisi keselamatan pasien
sangat sederhana jika dipandang dari sudut pasien (pasien tidak cedera),
namun implementasinya dala rangka mencapai keselamatan pasien
tidaklah sesederahana definisinya.

2.1.2 Langkah menujuh Keselamatan pasien, menurut Undang – undang RI


nomor 11 tahun 2017: 42

1. Membangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien. Ciptakan


budaya adil dan terbuka
2. Memimpin dan mendukung staf. Tegakkan focus yang kuat dan jelas
tentang keselamatan pasien diseluruh fasilitas pelayanan kesehatan
anda.
3. Mengintegrasikan aktivitas pengelolaan risiko. Bangun sistem dan
proses untuk mengelola risiko dan mengidentifikasi kemungkinan
terjadinya kesalahan
4. Mengembangkan sistem pelaporan. Pastikan staf anda mudah untuk
melaporkan insiden secara internal (lokal) maupun eksternal (nasional)
5. Melibatkan dan berkomunikasi dengan pasien. Kembangkan cara-cara
berkomunikasi cara terbuka dan mendengarkan pasien
6. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien. Dorong
staf untuk menggunakan analisa akar masalah guna pembelajaran
tentang bagaimana dan mengapa terjadi insiden
7. Mencegah cidera melalui implementasi sistem keselamatan pasien
pembelajaran lewat perubahan-perubahan didalam praktek, proses atau
sistem. Untuk sistem yang sangat kompleks seperti fasilitas pelayanan
kesehatan untuk mencapai hal-hal diatas dibutuhkan perubahan budaya
dan komitmen yang tinggi bagi seluruh staf dalam waktu yang cukup
lama.

2.1.3 Pelayanan yang bermutu dan aman bagi pelanggan (Pasien) saling
berkaitan dan tidak dapat dipisah-pisahkan. IOM menetapkan 6 tujuan
yang ingin diapai pada abad 21, yaitu keselamatan pasien (Safety),
Efisiensi (Effiecient), efektif (Effective), tepat waktu (Timeliness),
berorientasi pada pasien (Pastient Centered), dan keadilan (Equity)
menurut Flynn (dalam Cahyono 2008:118).

1. Safety. Keselamatan pasien didefinisikan sebagai layanan yang tidak


mencedarai atau merugikan pasien (Safety is defined as freedom from
accidental injury). Dengan demikian, layanan yang mengandung
unsur kesalahan namun tidak mencederai atau merugikan pasien
(Mencederai fisik, finansial) atau nyaris cedera masih dapat ditolerir.
Meskipun definisi keselamatan pasien sangat sederhana jika
dipandang dari sudut pasien (pasien tidak cedera), namun
implementasinya dala rangka mencapai keselamatan pasien tidaklah
sesederahana definisinya.

2. Effective. Effective diartikan mengerjakan pekerjaan yang benar


(doing the right things). Secara tekhnis definisi efektif lebih mudah
dipahami bila dikaitkan dengan penerapan klinis, yaitu efektivitas
klinis. Uji klinis randomisasi (randomized controlled trial, RCT)
adalah kunci penelitian efektivitas klinis, jadi pengertian efektif
diidentik dengan standar yang telah ditentukan atau standar terkini.
Standar yang dianggap benar dan terkini adalah hasil penelitian yang
bersifat RCT (paling baik).

3. Efisiensi. Dalam manajemen modern memberikan arti kata efisien,


yakni mengerjakan pekerjaan dengan benar (doing things right).
Sistem pelayanan kesehatan dituntut untuk lebih efisien. pelayanan
yang efesien berarti menghindari segala pemborosan dalam
penyediaan alat, mengurangi masa rawat inap, serta mengurangi
pemeriksaan diagnostik dan terapi yang tidak perlu.

4. Patient coenterdness. Pelayanan yang berfokus pada pasien bukan


konsep yang baru, namun nilai-nilai telah diabaikan oleh para dokter.
Kecendrungan yang terjadi saat berorientasi pada tekhnologi
(technology contered), yang berpusat pada dokter (doctor contered)
berpusat pada rumah sakit (hospital centered) dan berpusat pada
penyakit (disease centered). Nilai-nilai pasien seperti harapan,
perasaan, keinginan dan kecemasan yang muncul selama interaksi
pasien dengan dokter sering diabaikan.

5. Equitty. Pentingnya keadilan distributif yakni perlakuan yang sama


bagi kasus-kasus yang sama. Memperlakukan satu kelas pasien secara
berbeda-beda dengan alasan perbedaan umur, letak tempat tinggal,
pendapatan, agama, dan sebagainya tidak bisa diterima. Alasan
tersebut tidak relevan dan melanggar prinsip keadilan.

2.1.4 Konsep Penetapa Tarif Dalam Manajemen Rumah Sakit

Tarif adalah nilai suatu jasa pelayanan yang ditetapkan drngan ukuran
sejumlah uang berdasarkan pertimbangan bahwa dengan nilai uang
tersebut sebuah rumah sakit bersedia memberikan jasa pada pasien. Tarif
rumah sakit merupakan aspek yang sangat diperhatikan oleh rumah sakit
swasta juga oleh rumah sakit milik pemerintah.

Pada sistem ekonomi yang berbasis pada keseimbangan pasar, jelas


bahwa subsidi pemerintah tidak dilakukan atau terbatas pada masyarakat
miskin. Akibatnya, tarif dibiarkan sesuai dengan permintaan pasar. Akan
tetapi, hal ini dapat menyebabkan terjadinya ketidak adilan yaitu
masyarakat miskin sulit mendapatkan pelayanan rumah sakit, sehingga
subsidi perlu diberikan karena keadaan ini sangat penting pada proses
penetapan tarif rumah sakit pemerintah.

Menurut UU no 44 tahun 2009 tentang pembiayaan:

1) Pembiayaan rumah sakit dapat bersumber dari penerimaan rumah


sakit, anggaran pemerintah, subsidi pemerintah, anggaran pemeritah
daerah, subsidi pemerintahan daerah atau sumber lain yang tidak
mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.

2) Ketentuan lebih lanjut mengenai subsidi atau bantuan pemerintah dan


pemerintah daerah sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan peratuan pemerintah.

Undang – undang no 44 tahun 2009 tentang rumah sakit dan undang-


udang no 36 tahun 2009 tentang kesehatan, mewajibaan rumah sakit
untuk menguamakan penyelamatan nyata pasien dan tidak boleh meminta
uang muka. “Semua rumah sakit, baik yang sudah bekerja sama dengan
BPJS kesehatan atau belum, wajib memberikan pelayanan gawat darurat
pada pasien yang membutuhkan. Peserta BPJS kesehatan tersebut tidak
boleh ditagih biaya, karena sebenarnya RS dapat menagihkan pelayanan
kegawatdaruratan pasien JKN tadi kepada BPJS kesehatan.

Berdasarkan undang – undang rumah sakit, pemerintah dapat


memberikan sanksi berupa teguran lisan, teguran tertulis sehingga
pencabutan izin rumah sakit apabila terbukti dapat kelalaian. Untuk
memberikan sanksi tersebut, perlu dilakukan penelusuran mendalam atas
kejadian atau dilakukan audit medis.

2.1.5 Orang terlibat dalam pasient safety

Dalam kegiatan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit dilaksanakan oleh


banyak personil Rumah Sakit baik tenaga medis, tenanga pennjuang
medis, tenaga keperawatan dan tenanga kesehatan lain yang melakukan
berbagai macam prosedurpemeriksaan, berbagai macam tingkatan,
prosedur pemberian obat-obatan serta kegiatan lain yang tujuannya untuk
upaya kesembuhan pasien.

Menurut Depkes (dalam Lombogia 2016:7) keselamatan pasien rumah


sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebh
aman. Dan salah satu tujuan pentingnya adalah mencegah dan mengurangi
terjadinya insiden keselamatan pasien. Perilaku perawat yang tidak
menjaga keselamatan aka berkonstribusi terhadap situasi yang cepat
memburuk gagal mengenali apa yang terjadi dan mengabaikan informasi
klinik penting yang terjadi pada pasien dapat mengancam keselamatan
pasien.

Perawat dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien harus


menerapkan keselamatan pasien. Terawatt harus melibatkan kognitif,
afektif, dan tindakan yang mengutamakan keselamatan pasien. Perawat
dalam memberikan asuhan keperawatan harus penuh dengan kepedulian.
Persepsi terawatt untuk menjaga keselamatan pasien sangat berperan
penting dalam pencegahan, pengendalian, dan peningkatan keselamatan
pasien menurut Choo dkk (dalam Lombogia (2016:5).

Perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien mengacu pada


standar keselamatan pasien mengacu pada standar keselamatan pasien
mengacu pada standar keselamatan pasien Joint Commission International
(JCI) dan berdasarkan permenkes No 1691/menkes/per/VII/2011 yang
paling relevan terkait dengan mutu pelayanan rumah sakit yakni
International Patient safety Goals yang meliputi 6 sasaran, salah satunya
identify patient correctly (Kemenkes, 2011).

Bronkiolitis merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan


mortalitas pada bayi. Pasien bronkiolitis akut berat mempunyai risiko
mengalami mengiberulang atau asma. Sekitar 23% bayi dengan riwayat
bronkiolitis berkembang menjadi asma pada usia 3 tahun. Bayi yang
dirawat dengan bronkiolitis pun mempunyai kecendrungan mengalami
penurunan fungsi paru pada usia 7 tahun. Kematian akibat bronkiolitis
pada bayi sekitar 2/100.000 bayi Menurut Wijaya 2014:95.

Episode pertama serangan, yang biasanya paling berat, terjadi paling


sering pada bayi usia 2 sampai 6 bulan. Kejadian bronkiolitis dapat trjadi
pada buln pertama kehidupan dan episode berulang akan terjadi di tahun
kedua kehiupan oleh virus yang sama menurut Junawanto, dkk 2016 : 427.

Bronkiolitis akut adalah peradangan pada bronkiolus yang di tandai oleh


sesak nafas, mengi, dan hiperinflasi paru. Bronkiolitis akut merupakan
infeksi respiratork akut bagian bawah (IRA-B) yang sering pada bayi.
Sekitar 20% anak pernah mengalami satu episode IRA-B dengan mengi
tahun pertama.

Brokiolitis akut merupakan salah satu penyebab utama rawat inap pada
bayi. Ngka kejadian rawat inap IRA-B tiap tahun berkisar antara 3000
sampai 50.000 – 80.000 bayi. Di Amerika Serikat angka awat inap
meningkat secara dramatis (239%) dari tahun 1980 ke tahun 1996. Di
Amerika Serikat 120.000 bayi dirawat dengan bronkiolitis pertahun
menurut Wijaya 2014 : 95.

Bronkiolitis Kronis adalah suau kondisi peningkatan pembengkakan dan


lendir (dahak dan spatum) produksi dalam tabung pernapasan (saluran
udara).

Bronkiolitis Kronis didefinisikan sebagai batuk produktif persitem selama


palig sedikit 3 bulan berturut-turut pada paling sedikit 2 tahun berturut-
turut menurut Robin 2007: 21. (blm)

2.2 Patient safety dalam Keperawatan Anak

Anak merupakan masa dimana oragan-organ tubuhnya belum berfungsi


secara optimal senhingga anak lebih rentan terhdapat penyakit.

Ketika anak menjadi pasien, orang tua menyakini bahwa tenaga kesehatan
akan melakukan hal terbaik untuk mengatasi masalah kesehatan yang dialami.
Oleh karena itu tenaga kesehatan memiliki tanggung jawab terhadap
pengobatan dan perawatan pasien termasuk keamanan pasien selama berada
dirumah sakit atau yang dikenal dengan pattient safety. Patient safety
didefinisikan sebagai kebebasan dari trauma atau injuri yang terjadi secara
kebetulan yang dapat disebabkan oleh perawatan medis, seperti rasa sakit atau
kematian akibat kesalahan pemberian obat, salah pasien dan infeksi
nasokomial menurut Miller (dalam Zubaidah 2011:1) Istilah patient safety
bukan hanya berfokus pada strategi pencegahan kecelakaan seperti
penggunaan sabuk pengaman dan helm, akan tetapi konsep patient safety pada
keperawatan anak merupakan upaya pencegahan injuri pada anak yang
disebabkan langsung oleh pemberi pelayanan kesehatan itu sendiri menurut
Miller (dalam Zubaidah 2011:1).
Untuk mencapai asuhan keperawatan anak yang berkualitas, ada beberapa
prinsip yang harus dipegang untuk menciptakan keamanan pada bayi dan
anak. Ada 4 hal yang dapat mempengaruhi sefety pada pelayanan kesehatan
yang antara lain: leadrship, sistem pelaporan, problem solving, dan standar
perilaku yang jelas.

a. Leadership

Pemimpin memegang peranan penting terhadap perubahan. Tanpa adanya


kepemimpinan, perubahan tidak akan tercapai. Pemimpian bertanggung
jawab terhadap keamanan pasien. Mengembangkan pemahaman bahwa
faktor manusia terhadap dampak budaya pada keamanan pasien, penerapan
ilmu safety, dan pemahaman terhadap dampak budaya pada keamanan
pasien, merupakan kunci yang harus dipegang oleh pemimpin suatu
organisasi kesehatan (Napier dan Knox, 2006). Pemimpin hendaknya
menempatkan safety sebagai perioritas dalam organisasi.

b. Sistem pelaporan

Sistem pelaporan insiden tradisional menggunakan pendekatan person


(system approach) yang menekankan pada keterlibatan individu dalam
suatu kejadian. Pengumpulan data didasarkan pada analisa kasus per kasus
daripada mencari pola sistem secara luas. Lucian leape dalam Napier
(2006) menjelaskan bahwa kesuksesan sistem pelaporan hendaknya
merupakan laporan tanpa hukuman, kerahasiaan, dan independen dengan
analisa ahli dan adanya feddback yang teratur. Oleh karena itu diperlukan
pelaporan yang berorientasi pada sistem (Napier,2006).

c. Problem solving

Salah satu faktor yang penting dalam penyelesaian masalah adalah


melibatkan staf yang paling terlibat dapat masalah. Pemberi pelayanan
keperawatan yang secara langsung berhadapan degan pasien dapat
mengindentifikasi resiko selama mereka melakukan asuhan keperawatan.
Oleh karena itu dengan melibatkan mereka dalam upaya mengidentifikasi
dan menyelesaikan permasalahan safety, menjadikan mereka
bertanggungjawab terhadap diri sendiri, teman sejawat dan organisasi.

Dirumah sakit dan klinik anak minnesota, telah dibentuk tim safety action
yang didesain untuk melibatkan pemberi pelayanan langsung kepada
pasien dalam action perubahan. Tiap tim dibentuk sesuai kebutuhan dari
setiap ruangan.

d. Standar perilaku yang jelas

Standar perilaku didefinisikan sebagai saling menghargai, komunikasi


terbuka dan tanggung jawab untuk mengembangkan praktik dan kebijakan
penting yang memegang peranan penting dalam kejelasan issue,
komunikasi terhadap hasil yang tidak dapat diantisipasi dan partisipasi
dalam analisis kejadian. Kebijakan yang mendukung konsistensi dalam
praktik perlu dilakukan secara tertulis.

2.3 Kondisi Patologis dan mengancam keselamatan Bronkiolitis

2.3.1 Pendahulua

Bronkiolitis adalah infeksi saluran napas kecil atau bronkiolus yang


disebabkan oleh virus, biasnya dialami lebih berat pada bayi dan ditandai
dengan obstruksi saluran napas dan mengi. Penyebab paling sering adlaah
Respiratory Syncytial Virus (RSV). Episode mengi dapat terjadi beberapa
bulan setelah serangan Bronkiolitis.

Episode pertama serangan, yang biasanya paling berat, terjadi palng sering
pada bayi usia 2 sampai 6 bulan. Kejadian bronkiolitis dapat terjadi pada
bulan pertama kehidupan dan episode berulang akan terjadi di tahun kedua
kehidupan oleh virus yang sama.
2.3.2 Epidemiologi dan etiologi

Bronkiolitis umumnya disebut sebagai Diasease Of Infancy, umunya


mengenai bayi dengan insidens pucak pada usia 2 sampai 6 bulan; lebih
dari 80% kasus terjadi pada tahun pertama kehidupan.

Di AS kejadian bronkiolitis lebih sering terjadi pada anak laki-laki, pada


anak yang tidak diberi ASI dan tinggal di lingkungan padat penduduk.
Risiko lebih tinggi pada anak dari ibu usia muda atau ibu yang merokok
selama kehamilan.

Etiologi utama epidemi bronkiolitis adalah RVS. Sekitar 75,000 – 125,000


anak di bawah 1 tahun dirawat di Amerika Serikat akibat Infeksi RSV
setiap tahun. Infeksi saluran napas bawah disebabkan oleh RVS pada 22,4
dari 100 anak pada tahun pertama kehidupan. Dari semua infeksi RSV
pada anak di bawah 12 bulan, sepertiga kasus diikuti penyait saluran napas
bawah. Meskipun tngkat serangan RSV menurun seiring dengan
bertambahnya usia, frekuensi infeksi saluran napas bawah pada anak
terinfeksi RSV tidak berkurang hingga usia 4 tahun.

Frekuensi Kejadian berdasarkan kelompok umur

Angen Penyebab
0-2 2-5 tahun 5-9 tahun 9-15
tahun tahun

Respiratory Syncytial Virus ++++ +++ ++ ++

Adenovirus ++ ++ + 0

Parainfluenza viruses ++ ++ ++ ++

Rhinoviruses + ++ sampai +++ ++ sampai +++ +++

Metapneumovirus ++ + + 0
Mycoplasma pneumonia + ++ +++ ++++

+++ = sangat sering. +++ = sering. ++ = kadang-kadang, + = tidak umum, 0 = tidak diketahui

2.3.3 Patofisiologis

Bronkiolotis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas bagian atas


yang disebabkan virus, parainfeluenza, dan bakteri. Bronkiolitis akut
ditandai obstruksi bronkiolus yang disebabkan oleh edema, penimbunan
lendir, serta debris-debris seluler. Proses patologis yang terjadi akan
mengganggu pertukaran gas normal di dalam paru alveolus akan
mengakibatkan terjadinya hipoksemia dini.

2.3.4 Diagnosa

Gejala pada anak dengan bronkiolitis antara lain mengi (yang tidak
membaik dengan tiga dosis bronkodilator kerja cepat), ekspirasi
memanjang, hiperinflasi dinding dada, hipersonor pada perkusi, retraksi
dinding dada, crackles atau ronki pada auskultasi, sulit makan, menyusu
atau minum.

Klinisi harus dapat menegakan diagnosis bronkiolitis dan menilai drajat


keparahan berdasarkan riwayat penyakit serta pemeriksaan klinis;
pemeriksaan laboratorium dan radiologis tidak harus rutin dilakukan. Di
samping itu, faktor risiko penyakit lain perlu diperhatikan, seperti usia
kurang dari 12 minggu, riwayat prematuritas, penyakit jantung-paru yang
mendasari, serta imunodefisiensi.

2.3.5 Diagnosis Banding

Diagnosis banding utama bronkioloitis pada anak adalah asma. Kedua


penyakit ini sulit dibedakan pada episode pertama, namun adanya kejadian
mengi berulang, tidak adanya gejala prodromal infeksi virus, dan adanya
riwayat keluarga dengan asma dan atopi dapat membantu menegakkan
diagnosis asma.

Beberapa penyakit-penyakit lain harus dibedakan dari bronkioloitis.


Kelainan anatomi seperti cincin vaskuler dapat menyebabkan obstruksi
saluran napas dan gangguan inpirasi ataupun ekspirasi. Benda asing harus
dipertimbangkan sebagai diagnosis banding. Penyebab mengi lain yang
sering pada bayi muda adalah Gastroesophageal Reflux Disease (GERD).
Pneumonia bakterialis harus dibedakan dengan bronkiolitis karena terkait
dengan pebedaan tatalaksana, walaupun pada pneumonia jarang sekali
ditemukan mengi.

Infeksi Respiratory Syncytial virus (RSV)


human Metapneumonivius,
Prainfluenza, Adenovirus, Influenza,
Rhinovirus, Bocaviru, Chlamydia
Trachomatis, Tuberculosis,
Histoplasmosis, Papilomatosis

Asma Transient wheezer, persistent wheerzer,


Late Onset wheezer.

Kelainan Anatomi Abnormalitas saluran napas sentral


(Malacia laring, trakea, dan/atau
bronki, trakeoesofageal fisula,
laryngeal cleft).

Kompresi saluran napas (tumor, beda


asing)

Anomali saluran napas intrinsik


(hemangioma saluran napas,
malformasi cystic adenomatoid, kista
bronchial atau paru, emfisema lobar
kongential, benda asing, penyakit
jantung kongential)

Imunoefisiensi (Imunoglobulin
Adeficiency, Defisiensi β-cell, AIDS,
bronkiektasis)

Kelainan Mucociliary Clearance Fibrosis kistik, diskinesia silier primer,


bronkiektasis

Sindroma aspirasi Gastroesofageal faring

Lainnya Displasia bronkopulmoner, bronkiolitis


obliterans, gagal jantung, anafilaksis,
luka bakar.

2.3.6 Tataklasana

1. Oksigenasi

Pemberian oksigen dilakukan pada semua anak dengan mengi dan


distres pernapasan berat, metode yang direkomendasikan adalah
dengan nasal prongs, kateter nasal, atau kateter nasofaringeal dengan
kadar oksigen 30-40%. Apabila tidak ada oksigen, anak harus
ditempatkan dalam ruangan dengan kelembapan udara tinggi,
sebaiknya dengan uap dingin (mist tent) ntuk mencairkan sekret di
tempat peradangan. Terapi oksigen diteruskan sampai tanda hipoksia
hilang. Penggunaan kateter nasal ˃2 L/menit dengan maksimal 8-10
L/menit dapat menurunkan kebutuhan rawat di Paediatrics Intensive
Care Unit (PICU). Penggunaan keteter nasal serupa efektifnya dengan
nasal CPAP bahkan mengurangi kebutuhan obat sedasi.
Pemberian obat suplemental pada anak dengan bronkiolitis perlu
memperhatika gejala klinis serta saturasi oksigen anak, karena
tujuannya adalah untuk pemenuhan kebutuhan oksigen anak yang
terganggu akibat obstruksi yang mengganggu perfusi ventilasi paru.
Transient Oxygen Desaturation pada anak umum terjadi saat anak
tertidur, durasinya ˂6 detik, sedangkan hipoksia pada kejadian
bronkiolitis cenderung terjadi dalam hitungan jam sampai hari.

2. Cairan
pemberian cairan sangat penting untuk koreksi asidosis metabolik dan
respiratorik yang mungkin timbul dan mencegah dehidrasi akibat
keluarnya cairan melalui mekanisme penguapan tubuh (evaporsi)
karena pola pernapasan cepat dan kesulitan minum. Jika tidak terjadi
dehidrasi, dapat diberikan cairan rumatan, bisa melalui intervena
maupun nasogastrik. Pemberian cairan melalui lambung dapat
menyebabkan aspirasi, dapat memperberat sasak, akibat tekanan
diafragma ke paru oleh lambung yag terisi cairan. Pemberian cairan
melalui jalur nasogastrik atau intravena perlu pada anak bronkiolitis
yang tidak dapat dihidrasi oral.

3. Bronkodilator dan kortikosteroid

Albuterol dan epinefrin, serta kortikosteroid sistemik tidak harus


diberikan. Bebrapa penelitian meta-analisis dan systematic reviews di
Amerika menemukan bahwa bronkodilator dapat meredakan geala
klinis, namun tidak mempengaruhi penyembuhan penyakit, kebutuhan
rawat inap, ataupun lama perawatan, sehigga dapat disimpulkan tidak
ada keuntungannya, sedagkan efek samping takikardia dan tremor
dapat lebih merugikan.

Sebuah penelitian randomized controlled trial di Eropa pada tahun


2009 menunjukan bahwa nebulisasi epinefrin dan deksametason oral
pada anak dengan bronkiolitis dapat mengurangi kebutuhan rawat inap,
lama perwatan di rumah sakit, dan durasi penyakit.

Nebulisasi hypertonic saline dapat diberikan pada anak yang dirawat.


Nebulisasi ini bermanfaat meningkatkan kerja mukosilia saluran napas
untuk membersihkan lendir dan debris-debris seluler yang terdapat
pada saluran pernapasan.

4. Antivirus

Ribavirin adalah obat antivirus bersifat virus statik. Penggunaannya


masih kontroversial baik efektivitas maupun keamanannya. The
American Academy Of Pediatrics merekomendasikan penggunaan
ribavirin pada keadaan yang diperkirakan akan menjadi lebih berat
seperti pada penderita bronkiolitis dengan kelainan jantung, fibrosis
kistik, penyakit paru kronik, imunodefisiensi, dan pada bayi-bayi
premtur. Ribavirin dapat menurunkan angka morbiditas dan mortilitas
penderita bronkiolitis dengan penyakit jantung jika diberikan sejak
awal. Penggunaan ribavirin biasanya dengan cara nebulizer aerosol
dengan dosis 20 mg/ml diberikan dalam 12-18 am per hari selama 7
hari.

5. Antibiotik

Anti-bakterial tidak perlu karena sebagian besar kasus disebabkan oleh


virus, kecuali bila dicurigai ada infeksi tambahan. Terapi antibiotik
sering digunakan berlebihan karena khawatir terhadap infeksi bakteri
yang tidak terdeteksi, padahal hal ini justru akan meningkatkan infeksi
sekunder oleh kuman yang resisten terhadap antibiotik tersebut;
sehingga penggunaannya diusahakan hanya bedasarkan indikasi.
Pemberian antibiotik dapat dipertimbangkan untuk anak dengan
bronkiolitis yang membutuhkan intubasi dan ventilasi mekanik untuk
mencegah gagal napas. Antibiotik yang dipakai biasanya yang
berspetrum luas, namun untuk Mycoplasma pneumoniae diatasi dengan
eritromisin.

6. Fisioterapi

Fisiotrapi dada pada anak bronkiolitis dengan teknik ataupun perkusi


(5 trials) atau teknik pernapasan pasif tidak lebih baik selain
pengurangan durasi pemberian terapi oksigen. Penghisapan sekret
daerah nasofaring untuk meredakan sementara kongesti nasal atau
obstruksi saluran napas atas, namun sebuah studi retrospektif
menyatakan deep suctioning berhubungan dengan durasi rawat inap
lebih lama pada anak usia 2-12 bulan.

2.3.7 Indikasi rawat di ruang intensif

a. Gagal mempertahankan saturasi oksigen >92% dengan terapi oksigen.

b. Perburukan status pernafasan, ditandai dengan peningkatan distres


napas/atau kelelahan.

c. Apnea berulang.

2.3.8 Faktor resiko bronkiolitis berat

a. Usia

b. Bayi usia muda dengan bronkiolitis mempunya risiko lebih tinggi


untuk mendapat perawatan rumah sakit.

c. Prematuris

d. Bayi lahir prematur kemungkinan menderita RSV-associated


hospitallization lebih tinggi dari pada bayi cukup bulan.

e. Kelainan jantung bawaan

f. Chanic Lung disease of prematurity


g. Orangtua perokok

h. Jumlah saudara/berada di tempat penitipan

i. Sosioekonomi rendah

2.4 Strategi manajemen patient safety untuk mencegah dan mengatasi masalah

Kasus kelalaian rumah sakit yang mengakibatkan hilangnya nyawa pasien


kembali berulang. Kali ini terjadi pada seorang bayi bernama Tiara debora
Simanjorang. Pihak keluarga tak bisa membayar penuh uang deposit
perawatan Pediatric Intensive Care Unit (PICU) sehingga rumah sakit
menolaknya. Nyawa Debora melayang ketika dirujuk ke RS lain.

Bayi berusia empat bulan itu didua meninggal kataran telat mndapatkan
perawatan. Mulainya pasien dibawa orangtuanya ke IGD Mitra Keluarga
Kalideres pada 3 September 2017 pukul 03.40 WIB. Kondisi tubuhnya
tampak membiru, napas tersengal, badannya panas, dan sudah tak sadarkan
diri.

Sebelumnya, ia diketahui memiki penyakit jatung bawaan dengan riwayat


prematur. Setelah pertolongan pertama diberikan di IGD, Debora disarankan
dirawat di PICU dengan biaya mencapai Rp 19,8 juta. Orangtuanya
mengajuan keringanan, karena hanya membawa uang sebesar Rp5 juta.
Namun, keringanan hanya diberikan Rp 11 juta saja. Maka, bayi Debora di
rujuk ke RS bermitra BPJS, tapi nyawanya tak dapat ditolong.

Ruang PICU adalah Pediatric Intensive Care Unit yang mana unit
perawatan yang merawat pasien anak dengan keadaan gawat atau berat yang
sewaktu-waktu dapat meninggl, dan mempunyai harapan untuk sembuh
apabila dirawat secara intensif. Tujuannya adalah untuk memberkan
pelayanan perawatan yang optimal untuk bayi dimana keadaannya sewaktu-
waktu dapat meninggal.
Tanda kegawatdaruratan Bila terdapat kegawatdaruratan berikut
tindakan seegera, panggil bantuan, ambil darah untuk pemeriksaan
laboratorium kegawatdaruratan (hemoglobin, leukosit, hematokrit, hitungan
jenis, gula darah, malaria untuk daerah endemis).

Kata triase (triage) berarti memilih. Jadi triase adalah proses skining secara
cepat terhadap semua anak sakit segera setelah tiba di rumah sakit untuk
mengidentifikasi ke dalam salah satu kategori berikut:

a) Dengan tanda kegawatdaruratan (EMERGENCY SIGNS):


Memerlukan penanganan kegawatdaruratan segera.

b) Degan tanda prioritas (PRIORITY SIGNS): harus diberikan


prioritas dalam antrian untuk segera mendapatkan pemeriksaan dan
pengobatan tanda ada ketelambatan.

c) Tanpa tanda kegawatdaruratan maupun prioritas: merupakan kasus


NON-URGENT sehingga dapat menunggu sesuai gilirannya untuk
mendapatkan pemeriksaan dan pengobatan.

BAB 3

TINJAUAN KASUS

3.1 Kematian Bayi Debora di RS Mitra Keluarga

Henny Silalahi masih berat mengenang perjuangannya bersama suaminya,


Rudianto Simanjorang, yang mati-matian menyelamatkan Tiara Debora
Simanjorang. Mereka harus merelakan putri bungsunya, terkapar tak
bernyawa di ruang IGD RS Mitra Keluarga Kalideres Jakarta Barat, Mimggu
(3/9)

“Kalaupun saya datang kayak orang gembel, atau kalaupun saya gembel,
harusnya kalian (pihak rumah sakit) menghargai anak saya. Nyawa dong
didahulukan, “ujar Henny saat ditemui wartawan dirumahnya di Jalan Benda,
Tangerang, Sabtu (9/9).

Hati Henny terlanjur pilu. Suasana duka masih menyelimuti saat kumparan
(kumparan.com) menyambangi rumahnya. Dengan sabar, mereka kembali
menceritakan kronologi bayi mungilnya yang ‘membeku’ perlahan, hingga
pelukan terakhir Henny untuk Debora itu masih dirasakannya.

Sambil berkaca-kaca, Henny menyebut kegagalan perjuangannya lantaran


pihak rumah sakit yang tidak bersedia menangani Debora dengan sigap. Hal
itu, kata Henny, dikarenakan uang muka yang harus dibayarkan terlebih
dahulu sebesar Rp 19,8 juta.

Kisah Debora diunggah oleh seseorang bernama Birgaldo Sinaga di akun


Facebooknya. Henny mengaku sudah menceritakan semua kisahnya kepada
Birgaldo.

“Semua yang dituliskan Bapak Birgaldo itu benar cerita tentang anak saya,
silahkan kutip dari sana. Saya masih shock belum bisa bicara banyak. “kata
Hnny.

Kejadian ini bermula pada Minggu dini hari pukul 02.30 WIB. Debora sesak
nafas. Nafasnya tersengal dan batuk-batuk berdahak.

Bantal Debora selalu basah. Henny mengganti bantal itu untuk ketiga kalinya.
Namun Henny merasa ada yang janggal pada kondisi kesehatan putrinya.
“tapi saya lihat dia punya bantal itu basah, “ujar Henny.
Henny segera membangunkan suaminya. Mereka memutuskan membawa
bayinya segera kerumah sakit terdekat : RS Mitra Keluarga Kalideres.

Henny tak peduli dengan daster yang ia kenakan menembus dinginnya malam
saat mengendarai motor bersama Rudi. Di perjalanan, Henny terus mendekap
Debora, memastikan putrinya tidak terkena angin.

Sesampainya dirumah sakit, Iren, dokter yang sedang berjaga saat itu,
melakukan tindakan pertolongan pertama untuk Debora. Suhu tubuh Debora
dicek, dahaknya diencerkan dengan diberikan penguapan.

Hasil diagnosis Dokter Iren menyebutkan bahwa Debora harus segera dibawa
ke Ruang Picu (Pediatric Intensive Care Unit). “Dokternya bilang, ‘Bu harus
ya, harus ke PICU’ kata dia gitu, “terang Henny.

Masalah lain pun terjadi. Sebelum Debora masuk ke ruang PICU, Henny dan
Rudi diharuskan membayar uang muka sebesar Rp 19,8 juta. Rudi bergegas
pulang, mengambil uang di ATM sebesar Rp 5juta. Dia berpikir, pihak rumah
sakit dapat mengerti keadaan keluarganya dalam keadaan darurat.

Mereka sempat memberikan kartu BPJS kepada pihak rumah sakit sebagai
jaminannya. Namun, kata Henny, pihak rumah sakit menolaknya, dengan
dalih belum bekerja sama dengan pemerintah untuk penanganan pasien BPJS.

Segala macam cara dilakukan Henny, Dia menyuruh Rudi untuk menelpon
sanak saudara agar dapat memberikan bantuan.

Henny juga berusaha untuk menelepon rekan-rekannya, meminta referensi


rumah sakit mana saja yang menerima pasien BPJS dan terdapat ruang PICU
didalamnya. Debora sempat ingin dilarikan ke RS Koja hingga akhirnya,
Henny melihat monitor denyut jantung Debora berhenti berdetak. Henny dan
Rudi menangis histeris, tidak percaya nyawa putrinya tertolong secepat dan
semudah itu.
Dalam website resminya, pihak RS Mitra Keluarga Kalideres memberikan
pernyataan mengenai kematian Debora. Pihak rumah sakit mengklaim sudah
memberi tindakan penyelamatan nyawa (life saving) berupa penyedotan
lendir, pemasangan selang ke lambung dan intubasi (pasang selang napas).
Lalu, melakukan bagging atau pemompaan oksigen dengan menggunakan
tangan melalui selang napas, infuse, obat suntikan dan diberikan pengencer
dahak (nebulizer). Pemeriksaan laboratorium dan radiologi juga sempat ingin
dilakukan.

Pihak RS Mitra Keluarga dalam pernyataannya, juga sudah meminta orang


tua pasien untuk merujuk Debora ke rumah sakit yang menerima pasien
BPJS. Namun sebelum dirujuk kondisi Debora memburuk.

Henny juga tak terima, ketika RS Mitra keluarga memberikan keterangan pers
ke wartawan. Salah satu poinya, bahwa anaknya mengalami kekurangan gizi.

“Anak saya enggak kurang gizi, anak saya premature”, tegasnya.

Henny menduga keterangan kurang gizi itu untuk menggambarkan seolah dia
tak merawat anaknya. Henny menegaskan, dia memiliki catatan medis
anaknya sebagai bukti. Jika RS Mitra Keluarga Kalideres benar-benar
terbukti menolak Debora, tentu akan bertentangan dengan Undang-undang
Republik Indonesia nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan.

Dipasal 32 ayat 1 disebutkan, “dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan


kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan
kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan
terlebih dahulu.”

Dalam kasus Debora, pasien mengalami kondisi kritis dan harus segera
dimasukan ke ruang PICU. Dalam pasal 36 ayat 2 disebutkan, “Dalam
keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun
swasta dilarang menolak pasien dan/ atau meminta uang muka. Tidak hanya
itu, pada pasal 23 ayat 4 juga menyerukan hal serupa. “Selama memberikan
pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang
mengutamakan kepentingan yang bernilai materi.”

Dalam pasal 5 ayat (1) juga diatur tentang hak pasien untuk mendapat akses
kesehatan. “setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses
atas sumber daya dibidang kesehatan.”

Henny sudah melaporkan kasus mereka ke Gubernur DKI Jakarta Djarot


Saiful Hidayat. Dia mengadukan masalah pelayanan yang dialaminya ke
Balai kota.

“Saya hari jumat kemarin sudah laporkan ke Pak Djarot melalui staf
beliau,”kata Henny.

Salah satu staf Djarot yang menerima laporan Henny, mengatakan akan
memeriksa pengaduan mereka. Bila rumah sakit melakukan kesalahan, maka
pemprov DKI akan mengambil tindakan.

“Dia bilang, ibu, ini kami akan periksa kalau memang terlihat atau terdapat
ada yang miss atau ada masalag kami akan lakukan peringatan,”ujar Henny.

Henny mengatakan dia memang warga Tangerang, tetapi kejadian ini berada
di Jakarta Barat wilayah Djarot memimpin. Dia berharap aduannya bisa
ditindaklanjuti.

“Kejadian itu dibawah wewenang pak Djarot, pengaduan saya sebagai warga
dengan pelayanan mereka,”ujarnya.

3.1 Orang yang terlibat dalam kasus ini

1. Keluarga Debora

2. Pihak rumah sakit

3. Pihak BPJS
3.2 Kasus kelalaian rumah sakit yang mengakibatkan hilangnya nyawa pasien
kembali berulang. Kali ini terjadi pada seorang bayi bernama Tiara debora
Simanjorang. Pihak keluarga tak bisa membayar penuh uang deposit
perawatan Pediatric Intensive Care Unit (PICU) sehingga rumah sakit
menolaknya. Nyawa Debora melayang ketika dirujuk ke RS lain.

3.3 Menteri kesehatan RI pada tahun 2005 (dalam parulian 2011:3)


mencanangkan gerakan nasional kesalamata pasien (patient saftey) dirumah
sakit. Saat ini, berbagai rumah sakit sudah mulai menerapkan sistem
informasi rumah sakit berbasis komputer untuk mendukung pelayanan
kesehatan yang tersedia, peran penting teknologi informasi juga tidak lepas
potensinya mencegah medical error.

Penyabab terjadinya kesalahan atau Error di rumah sakit, yaitu karena


kesalahan individual tenanga kesehatan, tetapi kesalahan inividual tersebut
tidak akan terjadi jika dilakukan tindakan pencegahan dengan cara pembuatan
sistem pelayanan yang baik oleh manajeman. Teknologi informasi dapat
berperan dalam mencegah kejadian medical error melalaui 3 mekanisme
yaitu pencegahan Adverse event, memberikan respont cepat segera setelah
terjadinya Adverse event dan melacak serta menyediaan umpan balik
mengenai Adverse event yaitu:

a. Pencegahan adverse event

Hasil penilitian klinis memutuhkan waktu yang lama (Rata-rata 17 tahun)


samapai di terapan dalam praktik sehari-hari. Penyediaan fasilitas teknologi
informasi akan medorong penyebarluasan informasi dengan cepat sehngga
para tenaga kesehatan dapat dengan cepat mengakses perkembangan ilmu
pengetahuan kesehatan terbaru serta menggunakannya (Evedence based
practice).

Pencegahan adverse event yang lebih nyata adalah penerpan sistem yang
pendukung keputusan yang di tengrasikan dengan sistem informasi klinik.
Berbagai Evedence based practice mampu memberikan alert kepada tenaga
kesehatan secara cepat pada situasi kritis yang kadang membahayakan
keselamatan pasien. Pada kondisi tersebut, informasi yang lengkap sangat
pentng dalam pengambilakn keputusan, contoh : nilai laboratorium abnormal,
kecenderungan vital Sign, kontra indikasi pengobatan maupun kegagalan
prosedur tertentu. Pencegahan adverse event juga dapat dilakukan melalui
pengebangan berbagai aplikasi yang memungkinkan pemberian obat sera
dosis yang akurat. Penggunakaan Barcode serta Barcode Reader untuk
kemasan obat akan mencegah kesalahan pengambilan obat.

b. Memberikan respont cepat setelah terjadinya adverse event

Sistem informasi klinik yang akan mampu memberiksn umpan balik secara
cepat jika terjadi kesalahan atau adverse event. Contoh yang menarik adalah
pengalaman menarikan obat rofecoxib (keluaran merck) saat FDA
mengeluarkan berita mengenai penarikan obat tersebut, salah satu rumah sakit
di AS dengan cepat mengidentifikasi seluruh pasien yang medapat terapi obat
tersebut, kemuadian memberitahukan secara tertulis Maupun elektronik
mengenai perhentian obat tersebut dan memberikan saran untuk kembali ke
rumah sakit agar mendapakan obat pengganti. Keberadaan teknologi
membuat semua surat yang ditujukan 11 ribuan pasien terkirim pada sehari
kemudian sehingga dalam waktu 7 jam dokter yang mengguankan sistem
informasi klinik pun tidak akan menemukan daftar obat tersebut dalam daftar
peresepan, karena sudah langsng dikeluarkan dari database obat.

c. Melacak dan menyediakan umpan balik secara cepat

Teknologi database dan pemrograman memungkin pengolahan data pasien


dalam ukuran terra byte secara cepat. Metode datawarehouse data mining
memungkinka komputer mendekteksi pola-pola tertentu dan mencurigakan
dari data klinis pasien. Metode tersebut membuat pasien tidak memerlukan
operator untuk melakukan analisis, terapi komputer yang memberikan hasil
analisis dan interpretasi tersebut oleh karena itu, istilah rekam kesehatan
elektronik menjadi kata kunci. Ketika data rekam medis pasien, obat protokol
klinik, aset rumah sakit di integrasikan dalam suatu database elektronik
rumah sakit membuat pasien mendapatan terapi yang tepat.

3.4 Penyeselaian Kasus

3.5 Konsep pelayanan kegawatdaruratan pada pediatri

Riwayat kesehatan

Dapatkan riwayat kesehatan dengan cepat sementara mengevaluasi anak dan


melakukan intervensi penyalmatan jiwa. Pada awalnya, riwayat singkat
diperlukan yang diikuti dengan riwayat yang lebih menyelurh setelah anak
distabilkan. Tentukan mekanisme cedera anak atau penjelasan pemberi
asuhan tentang kejadian yang menyebabkan situasi kedaruratan.

Pemeriksaan Dan Intervensi Fisik

Dalam keadaan kedaruratan, lakukan pengkajian kardiopulmonal dan lakukan


intervensi dengan segera jika perubahan diketahui. Pada saat riwayat sigkat
sedang dikaji, mulai pengkajian kardiopulmonal yang cepat. Sebagian besar
henti jantung pediatrik, terutama berkaitan dengan jalan napas dan
pernapasan serta biasanya hanya bersifat sekunder terhadap jantung.
Pernapasan yang disokong dapat menjadi segala yang diperlukan jika anak
memiliki nadi yang kuat dan adekuat. Selalu lakukan pengkajian dan
pengkajian dalam urutan tersebut.

Evaluasi Dan Manajemen Jalan Napas

Kaji kepatenan jalan napas, posisikan jalan napas dalam cara yang
mendorong aliran udara yang baik. Jika sekresi mengobstruksi jalan napas,
isap jalan napas untuk mengeluarkannya. Jika anak tidak sadarkan diri atau
baru saja mengalami cedera, buka jalan napas menggunakan perasat angkat
dagu dongak kepala (head tilt-chin lift).
Penghitungan cairan rumatan intravena berdasarkancontoh berat badan

Berat badan <10 kg 100ml per kg berat badan = #


ml untuk 24 jam

Contoh: seorang anak memiliki


berat badan 7,4 kg.

7,4 x 100 = 740 ml (kebutuhan


harian)

740/24 = 30,8 atau 31 ml/jam

Berat badan 11-20 kg 100 ml per kg berat badan untuk


10 kg pertama + 50 ml/kg untuk
10 kg berikutnya = # mluntuk
24 jam

Contoh : seorang anak memiliki


berat badan 16 kg.

(10 x 100 = 1000) tambah (6 x


50 = 300) total = 1300 ml
(kebutuhan harian) 1300/24 =
54 ml/jam

Berat badan >20 kg 100 ml/kg untuk 10 kg pertama


+ 50 ml/kg untuk 10 kg
berikutnya + 20 ml/kg untuk
setiap kg >20kg = # ml untu 24
jam

Contoh: seorang anak memiliki


berat badan 30 kg.

(10 x 100 = 1000) tambah (10 x


50 = 500) tambah (10 x 20 =
200) total = 1700 ml (kebutuhan
harian)

1700/24 = 70,8 atau 71 ml/jam

Evaluasi dan manajemen pernapasan

Setelah membuka jalan napas, putar kepala anda dan letakan telinga anda di atas
mulut anak untuk menentukan pernapasan spontan. Perhatikan untuk melihat
apakah dada anak naik, dengarkan untuk pengeluaran udara, dan perhatikan jika
anda merasa udara keluar dari hidung atau mulut anak. Jika anak tidak bernapas,
mulai penyelamatan pernapasan. Jika tidak, hitung laju pernapasan. Observasi
warna anak. Perhatikan kedalaman pernapasan, kenaikan dada, keadekuatan aliran
udara di seluruh lapang paru, dan adanya bunyi tambahan. Valuasi untuk
peningkatan kerja pernapasan dan penggunaan otot aksesori. Ketika tanda gawat
napas diketahui, dengan segera beri anak oksigen 100% dan pasang oksimeter
nadi untuk memantau kadar saturasi oksigen. Untuk ana yang mendapat oksigen
100% dan tidak membaik dengan pemosisian ulang, mulai ventilasi terbantu
dengan peralatan bag-valve-mask (BVM).

Evaluasi Dan Manajemen Sirkulasi

Selanjutnya, lakukan evaluasi sirkulasi, perhatikan denyut jantung, kualitas nadi


dan perfusi, warna kulit dan suhu, tekanan darah, ritme jantung, dan tingkat
kesadaran. Tentukan denyut jantung via auskultasi langsung atau palpasi nadi
sentral.
Tekanan darah minimum yang dapat ditrima pada anak yang mengalami
kedaruratan adalah tekanan darah sistolik 70 + (2 kali usia dalam tahun).
Misalnya, seorang anak berusia 4 tahun seharusnya memiliki tekanan darah
sistolik minimal 78:70 + (2 x 4) = 78. Pasang pemantau jantung pada anak untuk
mengevaluasi ritme jantung.

Jika pengkajian mengungkapkan bahwa anak tersebut tidak memiliki


denyut jantung (nadi) meskipun intervensi pernapasan adekuat, mulai kompresi
jantung. Kompresi dada berkualitas tinggi dengan laju dan kedalaman yang
adekuat sangat penting (Kleinman et al., 2010).

Jika sirkulasi atau perfusi terganggu, resusitasi cairan diperlukan. Dengan


segera, dapatkan akses IV dengan lubang besar dan berikan cairan isotonik secara
cepat. Berikan 20 mL/kg salin normal (normal saline, NS) atau Ringer laktat
(RL)bdalam bolus IV (jika bayi berusia kurang dari satu bulan, berikan 10
mL/kg). Batasi akses perifer pada anak yang mengalami perubahan perfusi hingga
tiga kali upaya atau selama 90 detik, kemudian bantu pemasangan jarum
intraoseus untuk pemberian cairan.

Komponen Pemeriksaan Fisik Tambahan

Dengan segera, lakukan evaluasi sensorium pada anak yang lebih tua, jika anak
adalah bayi, evaluasi minatnya terhadap lingkungan dan respons terhadap orang
tua bayi. Bayi yang tidak tertarik terhadap lingkungan atau tampak tidak mampu
mengenali orang tuanya merupakan penyebab kekhawatiran. Evaluasi kepala
anak. Pada bayi atau todler yang masih muda, palpasi fontanel anterior untuk
menentukan apakah fontenel normal (lembut dan datar), tertekan, atau penuh.
Berikutnya, kaji pembukaan mata dan reaktifitas pupil.

Evaluasi untuk pergerakan ekstremitas spontan. Glasgow Coma Scale Pediatric


juga dapat digunakan untuk mengevaluasi status neorologi pada anak-anak (AAP,
2010). Lepaskan pakaian anak dan periksa kulit secara menyeluruh untuk memar,
lesi atau ruam. Perhatikan deformitas ekstremitas atau distensi abdomen yang
nyata. Tentukan derajat nyeri. Jika anak tersebut sadar dan dapat berbicara,
gunakan skala pengkajian nyeri yang sesuai usia untuk menetukan derajat nyeri
anak. Jika anak berada dalam keadaan sedasi atau tidak sadarkan diri, kaji nyeri
dengan skala standar.

Pemeriksaan Laboratorium Dan Diagnostik

Uji laboratorium dapat membantu membedakan penyebab kedaruratan atau


masalah tembahan yang perlu ditangani. Uji ini dapat meliputi hal berikut:

1. Analisis gas darah (AGD), diambil awalnya selanjutnya secara serial untuk
mengkaji perubahan.

2. Kadar elektrolit dan glukosa

3. Hitung darah perifer lengkap (DPL).

4. Kultur darah

5. Urinalisis

6. Panel toksikologi

7. Laju endap darah (LED), protein C-reaktif (CRP)

8. Kultur urine dan cairan spinal

9. Untuk korban truma: amilase, enzim hati, dan golongan darah serta silang
padan

10. Radiografi, pemindaian CT, atau magnetiv resonance imaging (MRI)

Intervensi Keperawatan Tambahan

Lakukan resusitasi jantung paru jika perlu. Bantu dengan defibrilasi atau
kardioversi tersinkronisasi jika perlu. Untuk defibrilasi gunakan 2 joule/kg
pada awalnya, tingkatkan hingga 4 juole/ kg jika perlu. Eneri untuk
kardioversi diberkan pada 0,5 hingga 1 juole/kg. Gunakan perekat
Broselow atau seprai darurat individual anak untuk menentukan ukuran
peralatan dan dosis obat. Obat biasanya digunakan pada situasi henti
jantung pediatrik yang didiskusikan.

BAB 4

4.1 Kesimpulan

Patient safety pada keperawatan anak merupakan upaya pencegahan injuri


pada anak yang disebabkan langsung oleh pemberi pelayanan kesehatan
itu sendiri. Lebih dari 10 tahun terakhir, patient safety menjadi prioritas
utama dalam sistem pelayanan kesehatan. Tenaga kesehatan termasuk
perawat memiliki tanggung jawab terhadap pengobatan dan perawatan
anak selama berada di rumah sakit termasuk patient safety. Salah satu cara
untuk meningkatkan patient safety pada anak adalah penggunaan teknologi
informasi dalam keperawatan menurut WHO 2011 (dalam Parulian).
Keselamatan pasien (Patient Safety) merupakan sesuatu yang jauh lebih
penting dari pada sekedar efisiensi pelayanan. Perilaku perawat dengan
kemampuan perawat sangat berperan penting dalam pelaksaan
keselamatan pasien. Perilaku yang tidak aman, lupa, kurang
perhatian/motivasi, kecerobohan, tidak teliti dan kemampuan yang tidak
memperdulikan dan menjaga keselamatan pasien berisiko untuk terjadinya
kesalahan dan mengakibatkan cedera pada pasein, berupa Near Miss
(Kejadian nyaris cedera/KNC) atau Adverse Event (kejadian tidak
diharapakan/KTD) selanjutnya pengurangan kesalahan dapat dicapai
dengan memodifikasi perilaku.

Bronkiolitis adalah infeksi saluran napas kecil atau bronkiolus yang


disebabkan oleh virus, biasnya dialami lebih berat pada bayi dan ditandai
dengan obstruksi saluran napas dan mengi. Penyebab paling sering adlaah
Respiratory Syncytial Virus (RSV). Episode mengi dapat terjadi beberapa
bulan setelah serangan Bronkiolitis.

Kasus kelalaian rumah sakit yang mengakibatkan hilangnya nyawa pasien


kembali berulang. Kali ini terjadi pada seorang bayi bernama Tiara debora
Simanjorang. Pihak keluarga tak bisa membayar penuh uang deposit
perawatan Pediatric Intensive Care Unit (PICU) sehingga rumah sakit
menolaknya. Nyawa Debora melayang ketika dirujuk ke RS lain.

4.2 Saran

Demikian sedikit infomasi dari kami selaku penulis makalah ini. Tentu
masih banyak sekali kekurangan yang jauh dari sempurna, maka dari itu
kritik dan saran yang membangun masih sangat kami butuhkan demi
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini. Ucapayan
terimahkasih layaknya patas kami persembahakan bagi para pembaca.
Terakhir, ucapan maaf yang sebesar-besarnya perlu kami ucapakan jika
dalam penulisa ini kami banyak melantarkan kata – kata yang kurang
berkesan.
DAFTAR PUSTAKA

Junawanto, Irwan, dkk. 2016. Diagnosis Dan Penanganan Terkini Bronkiolitis


Pada Anak. CDK-241/vol.43 no.6.

Cahyono, J.B, S.B. 2008. Membangun Budaya Keselamatan Pasien Dlam Praktik
Kedokteran. Kanisius: Yogyakarta.

Zubaidah. 2011. Peran Sistem Informasi Manajemen Keperawatan Terhadap


Patient Safety Dalam Keperawatan Anak.

Mudayana, A.A. 2015. Pelaksaaan Patient Safety Oleh Perawat Di RS PKU


Muhammadiyah Yogyakarta. Jurnal kesehatan “Smodra Ilmu” Vol.06 No 02.

Wijaya, S. 2014. Pedoman Diagnosa Bronkiolitis Akut. JIMKI Vol 2 No 2.

Lombogia, A, dkk. 2016. Hubungan Perilaku Dengan Kemampuan Perawat


Dalam Melaksanakan Keselamatan Pasien (Patien Safety) Di Ruang Akut
Instalasi Gawat Darurat RSUP Prof. DR. R. D Kandou Manado. E-jurnal
keperawatan (e-Kp) vol 4 no.2.

Ratman, M.F, dkk. 2014. Pelaksanaan Sistem Keselamatan Pasien (Patient


Safety) Di RSU Bahkti Asih Kota Tangerang Tahun 2014. Pendidikan, Gelombang
2.
Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 44 Taahun 2009 Tentang Rumah
Sakit.

Peraturan Menteri Republik Indonesia Nomor 11 Taahun 2017 Tentang


Keselamatan Pasien.

Anda mungkin juga menyukai