Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah negara kesatuan yang penuh dengan keragaman.


Indonesia terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku
bangsa, agama dan kepercayaan, dll. Namun Indonesia mampu mepersatukan
bebragai keragaman itu sesuai dengan semboyan bangsa Indonesia “Bhineka
Tunggal Ika” , yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
Keragaman budaya atau “cultural diversity” adalah kepercayaan yang
ada di bumi Indonesia. Keragaman budaya di Indonesia adalah sesuatu yang
tidak dapat dipungkiri keberadaannya. Dalam konteks pemahaman
masyarakat majemuk, selain kebudayaan kelompok sukubangsa, masyarakat
Indonesia juga terdiri dari berbagai kebudayaan daerah bersifat kewilayahan
yang merupakan pertemuan dari berbagai kebudayaan kelompok suku bangsa
yang ada didaerah tersebut. Dengan jumlah penduduk 200 juta orang dimana
mereka tinggal tersebar dipulau- pulau di Indonesia. Mereka juga mendiami
dalam wilayah dengan kondisi geografis yang bervariasi. Mulai dari
pegunungan, tepian hutan, pesisir, dataran rendah, pedesaan, hingga
perkotaan. Hal ini juga berkaitan dengan tingkat peradaban kelompok-
kelompok suku bangsa dan masyarakat di Indonesia yang berbeda.
Pertemuan-pertemuan dengan kebudayaan luar juga mempengaruhi
proses asimilasi kebudayaan yang ada di Indonesia sehingga menambah
ragamnya jenis kebudayaan yang ada di Indonesia. Kemudian juga
berkembang dan meluasnya agama-agama besar di Indonesi juga ikut
mendukung perkembangan kebudayaan Indonesia sehingga mencerminkan
kebudayaan agama tertentu. Bisa dikatakan bahwa Indonesia adalah salah
satu negara dengan tingkat keaneragaman budaya atau tingkat
heterogenitasnya yang tinggi. Tidak saja keanekaragaman budaya kelompok
suku bangsa namun juga keanekaragaman budaya dalam konteks peradaban,
tradsional hingga ke modern, dan kewilayahan. Dengan keanekaragaman

1
kebudayaannya Indonesia dapat dikatakan mempunyai keunggulan
dibandingkan dengan negara lainnya.
Sejarah membuktikan bahwa kebudayaan di Indonesia mampu hidup
secara berdampingan, saling mengisi, dan ataupun berjalan secara paralel.
Misalnya kebudayaan kraton atau kerajaan yang berdiri sejalan secara paralel
dengan kebudayaan berburu meramu kelompok masyarakat tertentu. Dalam
konteks kekinian dapat kita temui bagaimana kebudayaan masyarakat urban
dapat berjalan paralel dengan kebudayaan rural atau pedesaan, bahkan dengan
kebudayaan berburu meramu yang hidup jauh terpencil. Hubungan-hubungan
antar kebudayaan tersebut dapat berjalan terjalin dalam bingkai ”Bhinneka
Tunggal Ika” , dimana bisa kita maknai bahwa konteks keanekaragamannya
bukan hanya mengacu kepada keanekaragaman kelompok sukubangsa semata
namun kepada konteks kebudayaan. Didasari pula bahwa dengan jumlah
kelompok sukubangsa kurang lebih 700’an sukubangsa di seluruh nusantara,
dengan berbagai tipe kelompok masyarakat yang beragam, serta keragaman
agamanya, pakaian adat, rumah adat kesenian adat bahkan makanan yang
dimakan pun beraneka ragam.
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk yang memiliki
karakteristi yang unik ini dapat dilihat dari budaya gotong royong, teposliro,
budaya menghormati orang tua (cium tangan), dan lain sebagainyaa.
Bhinneka Tunggal Ika seperti kita pahami sebagai motto Negara, yang
diangkat dari penggalan kitab Sutasoma karya besar Mpu Tantular pada
jaman Kerajaan Majapahit (abad 14) secara harfiah diartikan sebagai bercerai
berai tetapi satu (berbeda-beda tetapi tetap satu jua). Motto ini digunakan
sebagai ilustrasi dari jati diri bangsa Indonesia yang secara natural, dan
sosial-kultural dibangun diatas keanekaragaman.
Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan bangsa yang tercantum dan
menjadi bagian dari lambang negara Indonesia, yaitu Garuda Pancasila.
Sebagai semboyan bangsa, artinya Bhinneka Tunggal Ika adalah pembentuk
karakter dan jati diri bangsa. Bhinneka Tunggal Ika sebagai pembentuk
karakter dan jati diri bangsa ini tak lepas dari campur tangan para pendiri

2
bangsa yang mengerti benar bahwa Indonesia yang pluralistik memiliki
kebutuhan akan sebuah unsur pengikat dan jati diri bersama.
Bhinneka Tunggal Ika pada dasarnya merupakan gambaran dari
kesatuan geopolitik dan geobudaya di Indonesia, yang artinya terdapat
keberagaman dalam agama, ide, ideologis, suku bangsa dan bahasa.
Kebhinekaan Indonesia itu bukan sekedar mitos, tetapi realita yang
ada di depan mata kita. Harus kita sadari bahwa pola pikir dan budaya orang
Jawa itu berbeda dengan orang Minang, Papua, Dayak, Sunda dan lainnya.
Elite pemimpin yang berasal dari kota-kota besar dan metropolitan bisa jadi
memandang Indonesia secara global akan tetapi elite pemimpin nasional dari
budaya lokal tertentu memandang Indonesia berdasarkan jiwa, perasaan dan
kebiasaan lokalnya. Ini saja menunjukkan kalau cara pandang kita tentang
Indonesia berbeda. Jadi tanpa kemauan untuk menerima dan menghargai
kebhinekaan maka sulit untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.
Apa yang dilakukan oleh pendahulu bangsa ini dengan membangun
kesadaran kebangsaan atau nasionalisme merupakan upaya untuk menjaga
loyalitas dan pengabdian terhadap bangsa.
Selama ini sifat nasionalisme kita kurang operasional atau hanya
berhenti pada tataran konsep dan slogan politik. Nasionalisme bisa berfungsi
sebagai pemersatu beragam suku, tetapi perlu secara operasional sehingga
mampu memenuhi kebutuhan objektif setiap warga dalam suatu negara-
bangsa. Tradisi dari suatu bangsa yang gagal memenuhi fungsi pemenuhan
kebutuhan hidup objektif akan kehilangan peran sebagai peneguh
nasionalisme. Saat ini diperlukan tafsir baru nasionalisme sebagai kesadaran
kolektif di tengah pola kehidupan baru yang mengglobal dan terbuka. Batas-
batas fisik negara-bangsa yang terus mencair menyebabkan kesatuan negara
kepulauan seperti Indonesia sangat rentan terhadap serapan budaya global
yang tidak seluruhnya sesuai tradisi negeri ini. Disamping itu realisasi
otonomi daerah yang kurang tepat akan memperlemah nilai dan kesadaran
kolektif kebangsaan di bawah payung nasionalisme.

3
Di samping itu bangsa Indonesia relatif berhasil membentuk identitas
nasional. Beberapa bentukidentitas bangsa Indonesia adalah sebagai berikut:
1.  Bahasa Nasional atau persatuan, bahasa Indonesia.
2. Dasar filsafat Negara yaitu pancasila.
3. Lagu kebangsaan Indonesia Raya.
4. Lambang Negara Garuda Pancasila.
5. Semboyan negara Bhinneka Tunggal Ika
6.  Bendera Negara Sang Merah Putih.
7. Konstitusi Negara yaitu UUD 1945.
8. Bentuk Negara kesatuan Republik Indonesia.
9.  Konsep Wawasan Nusantara.
10. Kebudayaan daerah yang diterima sebagai kebudayaan nasional.
Dari ke-10 identitas bangsa Indonesia tersebut akan dibahas salah satu
yaitu mengenai semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang merupaka semboyan
pemersatu bangsa Indonesia.
UUD Republik Indonesia menyatakan dengan tegas tentang realitas
multikultural Bangsa Indonesia. Kenyataan tersebut dilukiskan di dalam
lambang negara “Bhinneka Tunggal Ika.” Kebhinnekaan masyarakat dan
bangsa Indonesia diakui bahkan dijadikan sebagai dasar perjuangan nasional
permulaan abad ke-20. Untuk itu integrasi nasional bangsa Indonesia pun
harus diwujudkan di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk karena
masyarakat yang majemuk merupakan salah satu potensi sumber konflik yang
menyebabkan disintegrasi bangsa. Agar identitas bangsa Indonesia di mata
dunia terkenal dengan bangsa yang majemuk tetapi satu dalam
keanekaragaman (suku, bahasa, agama, dll, yang berbeda-beda) semboyan
Bhinneka Tunggal Ika harus diwujudkan.

4
B. Kerangka Teori

PANCASILA DALAM KONTEKS BHINEKA


TUNGGAL IKA

SEJARAH
BHINEKA TUNGGAL IKA

PENETAPAN LAMBANG BHINEKA


TUNGGAL IKA SEBAGAI PILAR
BANGSA INDONESIA

PENERAPAN BHINEKA TUNGGAL


IKA

IMPLEMENTASI BHINEKA
TUNGGAL IKA DAN CITA-CITA
LUHUR BANGSA INDONESIA

IMPLEMENTASI BHINEKA
TUNGGAL IKA DAN CITA-CITA
LUHUR BANGSA INDONESIA

Mengakomodasi sifat Tidak mencari


Perilaku inklusif
pluralistik menangnya sendiri

Musyawarah untuk Dilandasi rasa kasih Toleran dalam


mencapai mufakat sayang dan rela perbedaan
berkorban.

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Bhineka Tunggal Ika

Awalnya, semboyan yang dijadikan semboyan resmi Negara


Indonesia sangat panjang, yaitu Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharmma
Mangrwa. Semboyan Bhineka Tunggal Ika dikenal untuk pertama kalinya
pada masa Majapahit era kepemimpinan Wisnuwardhana. Perumusan
semboyan Bhineka Tunggal Ika ini dilakukan oleh Mpu Tantular dalam kitab
Sutasoma.
Perumusan semboyan ini pada dasarnya merupakan pernyataan kreatif
dalam usaha mengatasi keanekaragaman kepercayaan dan keagamaan. Hal itu
dilakukan sehubungan usaha bina Negara kerajaan Majapahit saat itu.
Semboyan Negara Indonesia ini telah memberikan nilai-nilai inspiratif
terhadap sistem pemerintahan pada masa kemerdekaan. Bhineka Tunggal Ika
pun telah menumbuhkan semangat persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Dalam kitab Sutasoma, definisi Bhineka Tunggal Ika lebih ditekankan
pada perbedaan dalam hal kepercayaan dan keanekaragaman agama yang ada
di kalangan masyarakat Majapahit. Namun, sebagai semboyan Negara
Kesatuan Republik Indonesia, konsep Bhineka Tungggal Ika bukan hanya
perbedaan agama dan kepercayaan menjadi fokus, tapi pengertiannya lebih
luas. Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan Negara memiliki cakupan lebih
luas, seperti perbedaan suku, bangsa, budaya (adat istiadat), beda pulau, dan
tentunya agama dan kepercayaan yang menuju persatuan dan kesatuan
Nusantara.
Jika diuraikan kata per kata, Bhineka berarti Berbeda, Tunggal berarti
Satu, dan Ika berarti Itu. Jadi, dapat disimpulkan bahwa walaupun berbeda-
beda, tapi pada hakekatnya satu. Dengan kata lain, seluruh perbedaan yang
ada di Indonesia menuju tujuan yang satu atau sama, yaitu bangsa dan Negara
Indonesia.

6
Berbicara mengenai lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia,
lambang Garuda Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika ditetapkan
secara resmi menjadi bagian dari Negara Indonesia melalui Peraturan
Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 pada 17 Oktober 1951 dan di-Undang-kan
pada 28 Oktober 1951 sebagai Lambang Negara. Usaha pada masa Majapahit
maupun pada masa pemerintahan Indonesia berlandaskan pada pandangan
yang sama, yaitu pendangan mengenai semangat rasa persatuan, kesatuan dan
kebersamaan sebagai modal dasar untuk menegakkan Negara.
Sementara itu, semboyan “Tan Hana Darma Mangrwa dipakai sebagai
motto lambang Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas). Makna dari
semboyan itu adalah “Tidak ada kebenaran yang bermuka dua”. Namun,
Lemhanas kemudian mengubah semboyan tersebut mejadi yang lebih praktis
dan ringkas, yaitu “Bertahan karena benar”. Makna “Tidak ada kebenaran
bermuka dua” sebenarnya memiliki pengertian agar hendaknya manusia
senantiasa berpegangan dan berlandaskan pada kebenaran yang satu.
Semboyan Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Darma Mangrwa adalaha
ungkapan yang meamaknai kebenaran aneka unsur kepercayaan pada
Majapahit. Tidak hanya Siwa dan Budha, tapi juga seajumlah aliran (sekte)
yang sejak awal telah dikenal lebih duku sebagian besar anggota masyarakat
Majapahit yang memiliki sifat majemuk.
Sehubungan dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika, cikal bakal dari
Singasari, yakni pada masa Wisnuwardhana sang dhinarmeng ring Jajaghu
(candi Jago), semboyan tersebut dan Candi Jago disempurnakan pada masa
Kerajaan Majapahit. Oleh karena itu, kedua simbol tersebut lebih dikenal
sebagai hasil peradaban masa Kerajaan Majapahit.
Dari segi agama dan kepercayaan, masyarakat Majapahit merupakan
masyarakat yang majemuk. Selain adanya beberapa aliran agama dan
kepercayaan yang berdiri sendiri, muncul juga gejala sinkretisme yang sangat
menonjol antara Siwa dan Budha serta pemujaan terhadap roh leluhur.
Namun, kepercayaan pribumi tetap bertahan. Bahkan, kepercayaan pribumi
memiliki peranan tertinggi dan terbanyak di kalangan mayoritas masyarakat.

7
Pada saat itu, masyarakat majapahiat tebagi menjadi beberapa
golongan. Pertama, golongan orang-orang Islam yang datang dari barat dan
menetap di Majapahit. Kedua, golongan orang-orang China yang mayoritas
beasal dari Canton, Chang-chou, dan Fukien yang kemudian bermukin di
daerah Majapahit.
Namun, banyak dari mereka masuk agama Islam dan ikut menyiarkan
agama Islam. Ketiga, golongan penduduk pribumi. Penduduk pribumi ini jika
berjalan tidak menggunakan alas kaki, rambutnya disanggul di atas kepala.
Penduduk pribumi sepenuhnya percaya pada roh-roh leluhur.

B. Penetapan Lambang Bhineka Tunggal Ika sebagai Pilar Bangsa


Indonesia

Semboyan Bhinneka Tunggal Ika diungkapkan pertama kali oleh Mpu


Tantular, pujangga agung kerajaan Majapahit yang hidup pada masa
pemerintahan Raja Hayamwuruk, di abad ke empatbelas (1350-1389). Sesanti
tersebut terdapat dalam karyanya; kakawin Sutasoma yang berbunyi “Bhinna
ika tunggal ika, tan hana dharma mangrwa, “ yang artinya “Berbeda-beda
itu, satu itu, tak ada pengabdian yang mendua.” Semboyan yang kemudian
dijadikan prinsip dalam kehidupan dalam pemerintahan kerajaan Majapahit
itu untuk mengantisipasi adanya keaneka-ragaman agama yang dipeluk oleh
rakyat Majapahit pada waktu itu. Meskipun mereka berbeda agama tetapi
mereka tetap satu dalam pengabdian.
Pada tahun 1951, sekitar 600 tahun setelah pertama kali semboyan
Bhinneka Tunggal Ika yang diungkap oleh Mpu Tantular, ditetapkan oleh
pemerintah Indonesia sebagai semboyan resmi Negara Republik Indonesia
dengan Peraturan Pemerintah No.66 tahun 1951. Peraturan Pemerintah
tersebut menentukan bahwa sejak 17 Agustus 1950, Bhinneka Tunggal Ika
ditetapkan sebagai seboyan yang terdapat dalam Lambang Negara Republik
Indonesia, “Garuda Pancasila.” Kata “bhinna ika,” kemudian dirangkai
menjadi satu kata “bhinneka”. Pada perubahan UUD 1945 yang kedua,
Bhinneka Tunggal Ika dikukuhkan sebagai semboyan resmi yang terdapat

8
dalam Lambang Negara, dan tercantum dalam pasal 36a UUD 1945 yang
menyebutkan :”Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan
semboyan Bhinneka Tunggal Ika”. Dengan demikian, Bhinneka Tunggal
Ika merupakan semboyan yang merupakan kesepakatan bangsa, yang
ditetapkan dalam UUDnya. Oleh karena itu untuk dapat dijadikan acuan
secara tepat dalam hidup berbangsa dan bernegara, makna Bhinneka Tunggal
Ika perlu difahami secara tepat dan benar untuk selanjutnya difahami
bagaimana cara untuk mengimplementasikan secara tepat dan benar pula.
Bhinneka Tunggal Ika berisi konsep pluralistik dan multikulturalistik
dalam kehidupan yang terikat dalam suatu kesatuan. Prinsip pluralistik dan
multikulturalistik adalah asas yang mengakui adanya kemajemukan bangsa
dilihat dari segi agama, keyakinan, suku bangsa, adat budaya, keadaan
daerah, dan ras. Kemajemukan tersebut dihormati dan dihargai serta 
didudukkan dalam suatu prinsip yang dapat mengikat keanekaragaman
tersebut dalam kesatuan yang kokoh. Kemajemukan bukan dikembangkan
dan didorong menjadi faktor pemecah bangsa, tetapi merupakan kekuatan
yang dimiliki oleh  masing-masing komponen bangsa, untuk selanjutnya
diikat secara sinerjik menjadi kekuatan yang luar biasa untuk dimanfaatkan
dalam menghadapi segala tantangan dan persoalan bangsa.
Suatu masyarakat yang tertutup atau eksklusif sehingga tidak
memungkinkan terjadinya perkembangan tidak mungkin menghadapi arus
globalisasi yang demikian deras dan kuatnya, serta dalam menghadapi
keanekaragaman budaya bangsa. Sifat terbuka yang terarah merupakan syarat
bagi berkembangnya masyarakat modern. Sehingga keterbukaan dan berdiri
sama tinggi serta duduk sama rendah, memungkinkan terbentuknya
masyarakat yang pluralistik secara ko-eksistensi, saling hormat menghormati,
tidak merasa dirinya yang paling benar dan tidak memaksakan kehendak yang
menjadi keyakinannya kepada pihak lain. Segala peraturan perundang-
undangan khususnya peraturan daerah harus mampu mengakomodasi
masyarakat yang pluralistik dan multikutural, dengan tetap berpegang teguh
pada dasar negara Pancasila dan UUD 1945. Suatu peraturan perundang-

9
undangan, utamanya peraturan daerah yang memberi peluang terjadinya
perpecahan bangsa, atau yang semata-mata untuk mengakomodasi
kepentingan unsur bangsa harus dihindari. Suatu contoh persyaratan untuk
jabatan daerah harus dari putra daerah, menggambarkan sempitnya kesadaran
nasional yang semata-mata untuk memenuhi aspirasi kedaerahan, yang akan
mengundang terjadinya perpecahan. Hal ini tidak mencerminkan penerapan
prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Dengan menerapkan nilai-nilai tersebut secara
konsisten akan terwujud masyarakat yang damai, aman, tertib, teratur,
sehingga kesejahteraan dan keadilan akan terwujud.

C. Penerapan Bhineka Tunggal Ika

Pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an masyarakat


multikultural/majemuk sebagai pilar nasionalisme, sekaligus untuk memberi
wacana dan sumbang saran kepada semua pihak, terutama para pelaksana dan
penentu kebijakan diberbagai instansi tekait, agar dapat dijadikan tambahan
acuan dalam menentukan peraturan berkaitan dengan aktualisasi pemahaman
nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an oleh masyarakat multikultural sebagai
pilar nasionalisme yang kokoh dan trengginas dalam menghadapi perubahan
globalKalimat yang terpampang pada pita putih yang tercengkeram oleh kaki
burung garuda, lambang negara Indonesia yaitu BHINNEKA TUNGGAL
IKA memiliki makna yang menggambarkan keragaman yang dimiliki bangsa
Indonesia, meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya merupakan satu
kesatuan Indonesia.
Bhinneka tunggal ika yang berarti berbeda tetapi satu, bila ditengok
dari asal usul kalimatnya yang tertuang dalam syair kitab sutasoma adalah
penggambaran dari dua ajaran atau keyakinan yang berbeda kala itu, namun
pada dasarnya memiliki satu kesamaan tujuan.
Empu Tantular sebagai pencetus kalimat yang tertuang itu tentunya
memahami benar arti dan makna yang tersimpan di dalamnya. Walaupun
kalimat itu merupakan bentuk pernyataan beliau dari suatu keadaan yang
sedang dialami, namun kenyataannya dapat diterapkan dan diterima hingga

10
saat sekarang ini. Dan memang seperti itulah seorang yang populis, berani
menyampaikan sesuatu yang belum pernah diperdengarkan sebelumnya dan
menyampaikan dengan bahasa yang populer, yaitu bahasa yang bisa diterima
saat itu, saat ini dan suatu saat yang akan datang.
Hanya orang bijaklah yang mampu menyampaikan kata-katanya
dengan bahasa yang dapat dipahami atau dimengerti oleh masing-masing
pendengar atau pembacanya sesuai tingkat pemahamannya masing-masing.
Sangat beragam juga bila kita dapat mengartikan bhinneka tunggal ika
dalam perwujudan sehari-hari. Bhinneka tunggal ika dalam kehidupan sehari-
hari seringkali ditemui, namun untuk memahaminya terkadang masih terasa
sulit, apalagi mengakuinya. Ada ungkapan yang menyatakan “perbedaan
adalah rahmat” dan inipun terkadang menjadi bahan perdebatan.
Matahari dan bulan itu berbeda akan tetapi saling menerangi bumi,
siang dan malam itu berbeda tetapi saling melengkapi hari, laki-laki dan
perempuan beda tapi saling mengisi dalam kehidupan, salah dan benar, baik
dan buruk yang Tuhan ciptakan tentu tidak dapat disangkal, lalu mengapa
Tuhan ciptakan itu semua? Apabila perbedaan itu seharusnya tidak perlu ada,
apakah kemudian kita berpikir bagaimana sebaiknya Tuhan? Mengakui
perbedaan terkadang terasa sulit seperti halnya mengakui kebenaran orang
lain daripada melihat sisi salahnya. Tangan dan kaki, telinga dan mata, yang
kanan dan kiri memiliki bentuk dan fungsi yang berbeda tetapi saling
menyempurnakan bentuk manusia itu secara utuh. Ketika dalam satu keluarga
yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anaknya masing-masing memiliki
perbedaan pendapat apakah itu tidak boleh? dan apabila si anak memiliki
keinginan yang bertentangan dengan orang tuanya apakah kemudian
menjadikan terputusnya hubungan darah? Kemudian apabila alam semesta
yang beraneka ragam ini tercipta karena adanya hubungan Tuhan dengan
ciptaan-Nya, apakah akan menjadikan putusnya hubungan, apabila ciptaan
tidak mengakui penciptanya? Perbedaan adalah kenyataan yang tidak bisa
terelakan lagi, mulai dalam diri sendiri, keluarga, masyarakat, negara atau
dunia.

11
Jika kita perhatikan malam yang digantikan siang, ini berjalan selaras
tidak saling mendahului tentu terasa sempurna hari yang terlewati, oleh
karena keselarasan itu maka dalam pertemuan malam dengan siang terlahir
fajar yang indah, begitu pula siang yang digantikan malam tercipta senja yang
penuh misteri, hal itu terwujud karena adanya keselarasan alam yang berbeda
tetapi bersatu menciptakan hari.Lalu bagaimana dengan perbedaan diantara
kita, apakah bisa berjalan selaras agar tercipta kedamaian?
Para pendiri bangsa Indonesia terdahulu tentu memiliki harapan yang
sangat besar dengan menjadikan kalimat “BHINNEKA TUNGGAL IKA” ini
sebagai simbolis Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan memahami
arti dan makna yang terkandung didalamnya serta dengan mewujudkan dalam
kehidupan sehari-hari mulai dari diri sendiri, berharap bangsa ini berjalan
dengan selaras dan tumbuh menjadi bangsa yang besar.
Bangsa Indonesia menjadikan Pancasila  sebagai landasan ideologi
yang berjiwa persatuan dan kesatuan wilayah dengan tetap menghargai serta
menghormati ke-Bhinneka Tunggal Ika-an (persatuan dalam perbedaan)
untuk setiap aspek kehidupan nasional guna mencapai tujuan nasional.
Artinya, sudah menjadi hal yang tidak dapat dinafikan bahwa masyarakat
Indonesia itu jamak, plural, dan daerah yang beragam, terdiri dari berbagai
macam suku, bahasa, adat-istiadat dan kebiasaan, agama, kepercayaan 
kekayaan yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Oleh karena itu
nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an harus diwujudkan dan
diaktualisasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Implementasinya dalam kehidupan nasional adalah, memahami kemajemukan
sosial dan budaya atau multikulturalisme sebagai dasar untuk membangun
kehidupan bermasyarakat, bernegara dan berbangsa. Pemahaman terhadap
nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an dimaksud adalah menerapkan atau
melaksanakan nilai-nilai Ke-Bhinneka Tunggal Ika-an dalam kehidupan
sehari-hari, baik secara individu, kelompok masyarakat, dan bahkan secara
nasional, mencakup kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya, serta
pertahanan nasional di seluruh lapisan masyarakat yang jumlahnya besar

12
(sekitar 230 juta jiwa) dan beragam, sehingga tercipta stabilitas nasional yang
kondusif untuk pembangunan masyarakat sejahtera, adil-makmur dan merata.
Sepanjang era reformasi Indonesia menampilkan banyak kesaksian
peristiwa yang menunjukkan perubahan kehidupan warga, baik secara
individu atau kelompok, dalam berkehidupan kemasyarakatan, kehidupan
berkenegaraan, dan kehidupan berkebangsaan  Faktor utama mendorong
terjadinya proses perubahan tersebut adalah  pemahaman nilai-nilai ke-
Bhinneka Tunggal Ika-an, baik oleh rakyat, dan bahkan pemimpin atau
penguasa mengindikasikan gejala memudar. Kondisi ini dapat dilihat dari
kecenderungan terjadinya konflik antar individu, kelompok masyarakat yang
berbeda agama, ras, suku/etnik, budaya, dan berbeda kepentingan, serta
rendahnya moral penguasa seperti banyaknya kepala daerah dan anggota
dewan yang terjerat hukum akibat korupsi.
Berkaitan dengan pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka Tungal Ika-an
yang syarat dengan integrasi nasional dalam masyarakat multikultural,  nilai-
nilai budaya bangsa sebagai keutuhan, kesatuan, dan persatuan negara bangsa
harus tetap dipelihara sebagai pilar nasionalisme. Jika hal ini tidak wujud,
apakah persatuan dan kesatuan bangsa itu akan lenyap tanpa bekas, atau akan
tetap kokoh dan mampu bertahan dalam terpaan nilai-nilai global yang
menantang kesatuan negara bangsa (union state) Indonesia? Bagamanakah
mengaktualisasikan pemahaman nilai-nilai ke Bhinnekatunggal Ikaan  Hal 
inilah yang menjadi permasalahan  dalam kajian ini agar terwujud dan
terpelihara secara langgeng integrasi sebagai pilar nasionalisme
Ada beberapa cara untuk menjadikan Bhinneka Tunggal Ika lebih
membumi dalam pribadi masyarakat yang heterogen ini, salah satunya yaitu
dengan identitas sosial mutual differentiation model dari Brewer & Gaertner
(2003) yang diterapkan pada diri setiap Individu dalam bangsa ini. Mutual
differentiation model adalah suatu model dimana seseorang atau kelompok
tertentu yang mempertahankan identitas asal (kesukuan atau daerah) namun
secara bersamaan kesemua kelompok tersebut juga memiliki suatu tujuan
bersama yang pada akhirnya mempersatukan mereka semua.

13
Model ini akan memunculkan identitas ganda yang bersifat hirarkis,
dengan artian seseorang tidak akan melepaskan identitas asalnya dan
memiliki suatu identitas bersama yang lebih tinggi nilainya. Sebagai contoh
seseorang tidak melupakan asalnya sebagai orang Minang, namun memiliki
suatu kesatuan bersama yang lebih diutamakan yaitu sebagai rakyat
Indonesia. Dengan demikian identitas kesukuan atau daerah lebih rendah nilai
dan keutamaannya daripada identitas nasional, Sesuai dengan makna
Bhinneka Tunggal Ika itu sendiri, dimana persatuan adalah harga mati.
Pada masa kepemimpinan Ir.Soekarno, beliau pernah melakukan
usaha mempersatukan seluruh bangsa dengan jargon “Ganyang Malaysia”,
“Amerika kita Seterika”, “Jepang kita Panggang”, dan “Inggris kita Linggis”
dimana pada kesempatan tersebut beliau menebar propaganda bahwa setiap
warga negara Indonesia memiliki musuh bersama yaitu Malaysia, Jepang,
Amerika dan Inggris.
Dengan adanya Ultimate Goal maka persatuan akan semakin kuat
dikarenakan tumbuhnya perasaan senasib-sepenanggungan dalam masyarakat
sebangsa dan setanah air. Perasaan, semangat dan tujuan seperti itulah yang
akan membuat masyarakat heterogen menjadi bersatu, membentuk suatu
identitas sosial nasional yang lebih kuat daripada kepentingan kelompok,
golongan dan pribadi.
Dengan mengakui perbedaan dan menghormati perbedaan itu sendiri
ditambah kuatnya mempertahankan ikrar satu nusa, satu bangsa dan satu
bahasa merupakan suatu model identitas sosial yang sangat baik dalam
bangsa ini. Sehingga terjalin kerjasama antar semua golongan tanpa pernah
menyinggung perbedaan karena memiliki suatu tujuan utama dan kebanggaan
bersama atas persatuan bangsa.
Toleransi dalam konteks kehidupan berbangsa adalah sikap
menghargai satu sama lain, melarang adanya dikriminasi dan ketidak-adilan
dari kelompok mayoritas terhadap minoritas, baik secara suku, budaya dan
agama dengan tujuan untuk mewujudkan cita-cita luhur bersama.

14
Selain masalah kebangsaan, tantangan kedepan pada masa mendatang
dari bangsa ini adalah menghadapi era globalisasi ekonomi, kapitalisme yang
menggurita, imperialis, orientalis, penyusupan paham-paham menyimpang
dari pihak luar, serta dari dalam negeri sendiri seperti pengkhianatan,
fundamentalis dan ‘barisan sakit hati’ yang bertujuan memperkeruh keadaan,
menyulut konflik dan kesenjangan sehingga terjadi aksi-aksi dengan hasil
keadaan yang menjauhkan kita dari jalur pencapaian cita-cita luhur.

D. Implementasi Bhineka Tunggal Ika dan Cita-Cita Luhur Bangsa


Indonesia

Untuk dapat mengimplementasikan Bhinneka Tunggal Ika dalam


kehidupan berbangsa dan bernegara dipandang perlu untuk memahami secara
mendalam prinsip-prinsip yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika.
Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut :
1.  Dalam rangka membentuk kesatuan dari keaneka ragaman tidak terjadi
pembentukan konsep baru dari keanekaragaman konsep-konsep yang
terdapat pada unsur-unsur atau komponen bangsa. Suatu contoh di negara
tercinta ini terdapat begitu aneka ragam agama dan kepercayaan. Dengan
ke-tunggalan Bhinneka Tunggal Ika tidak dimaksudkan untuk membentuk
agama baru. Setiap agama diakui seperti apa adanya, namun dalam
kehidupan beragama di Indonesia dicari common denominator, yakni
prinsip-prinsip yang ditemui dari setiap agama yag memiliki kesamaan,
dan common denominator ini yang kita pegang sebagai ke-tunggalan,
untuk kemudian dipergunakan sebagai acuan dalam hidup berbangsa dan
bernegara. Demikian pula halnya dengan adat budaya daerah, tetap diakui
eksistensinya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berwawasan kebangsaan. Faham Bhinneka Tunggal Ika, yang oleh Ir
Sujamto disebut sebagai faham Tantularisme, bukan faham sinkretisme,
yang mencoba untuk mengembangkan konsep baru dari unsur asli dengan
unsur yang datang dari luar.

15
2.  Bhinneka Tunggal Ika tidak bersifat sektarian dan eksklusif; hal ini
bermakna bahwa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak
dibenarkan merasa dirinya yang paling benar, paling hebat, dan tidak
mengakui harkat dan martabat pihak lain. Pandangan sektarian dan
eksklusif ini akan memicu terbentuknya keakuan yang berlebihan dengan
tidak atau kurang memperhitungkan pihak lain, memupuk kecurigaan,
kecemburuan, dan persaingan yang tidak sehat. Bhinneka Tunggal Ika
bersifat inklusif. Golongan mayoritas dalam hidup berbangsa dan
bernegara tidak memaksakan kehendaknya pada golongan minoritas.
3. Bhinneka Tunggal Ika tidak bersifat formalistis yang hanya menunjukkan
perilaku semu. Bhinneka Tunggal Ika dilandasi oleh sikap saling percaya
mempercayai, saling hormat menghormati, saling cinta mencintai dan
rukun. Hanya dengan cara demikian maka keanekaragaman ini dapat
dipersatukan.
4.  Bhinneka Tunggal Ika bersifat konvergen tidak divergen, yang bermakna
perbedaan yang terjadi dalam keanekaragaman tidak untuk dibesar-
besarkan, tetapi dicari titik temu,  dalam bentuk kesepakatan bersama. Hal
ini akan terwujud apabila dilandasi oleh sikap toleran, non sektarian,
inklusif, akomodatif, dan rukun.
5. Prinsip atau asas pluralistik dan multikultural Bhinneka Tunggal Ika
mendukung nilai:
a. inklusif, tidak bersifat eksklusif,
b. terbuka,
c. ko-eksistensi damai dan kebersamaan,
d.  kesetaraan,
e. tidak merasa yang paling benar,
f. toleransi,
g. musyawarah disertai dengan penghargaan terhadap pihak lain yang
berbeda.
Setelah kita fahami beberapa prinsip yang terkandung dalam Bhinneka
Tunggal Ika, maka langkah selanjutnya adalah bagaimana prinsip-prinsip

16
Bhinneka Tunggal Ika ini diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
1. Perilaku inklusif. 
Dalam kehidupan bersama yang menerapkan semboyan Bhinneka
Tunggal Ika memandang bahwa dirinya, baik itu sebagai individu atau
kelompok masyarakat merasa dirinya hanya merupakan sebagian dari
kesatuan dari masyarakat yang lebih luas. Betapa besar dan penting
kelompoknya dalam kehidupan bersama, tidak memandang rendah dan
menyepelekan kelompok yang lain. Masing-masing memiliki peran yang
tidak dapat diabaikan, dan bermakna bagi kehidupan bersama.
2. Mengakomodasi sifat pluralistik. 
Bangsa Indonesia sangat pluralistik ditinjau dari keragaman agama
yang dipeluk oleh masyarakat, aneka adat budaya yang berkembang di
daerah, suku bangsa dengan bahasanya masing-masing, dan menempati
ribuan pulau yang tiada jarang terpisah demikian jauh pulau yang satu dari
pulau yang lain. Tanpa memahami makna pluralistik dan bagaimana cara
mewujudkan persatuan dalam keanekaragaman secara tepat, dengan
mudah terjadi disintegrasi bangsa. Sifat toleran, saling hormat
menghormati, mendudukkan masing-masing pihak sesuai dengan peran,
harkat dan martabatnya secara tepat, tidak memandang remeh pada pihak
lain, apalagi menghapus eksistensi kelompok dari kehidupan bersama,
merupakan syarat bagi lestarinya negara-bangsa Indonesia. Kerukunan
hidup perlu dikembangkan dengan sepatutnya. Suatu contoh sebelum
terjadi reformasi, di Ambon berlaku suatu pola kehidupan bersama yang
disebut pela gandong, suatu pola kehidupan masyarakat yang tidak
melandaskan diri pada agama, tetapi semata-mata pada kehidupan bersama
pada wilayah tertentu. Pemeluk berbagai agama berlangsung sangat rukun,
bantu membantu dalam kegiatan yang tidak bersifat ritual keagamaan.
Mereka tidak membedakan suku-suku yang berdiam di wilayah tersebut,
dan sebagainya. Sayangnya dengan terjadinya reformasi yang mengusung

17
kebebasan, pola kehidupan masyarakat yang demikian ideal ini telah
tergerus arus reformasi.
3. Tidak mencari menangnya sendiri. 
Menghormati pendapat pihak lain, dengan tidak beranggapan
bahwa pendapatnya sendiri yang paling benar, dirinya atau kelompoknya
yang paling hebat perlu diatur dalam menerapkan Bhinneka Tunggal Ika.
Dapat menerima dan memberi pendapat merupakan hal yang harus
berkembang dalam kehidupan yang beragam. Perbedaan ini tidak untuk
dibesar-besarkan, tetapi dicari titik temu. Bukan dikembangkan divergensi,
tetapi yang harus diusahakan adalah terwujudnya konvergensi dari
berbagai keanekaragaman. Untuk itu perlu dikembangkan musyawarah
untuk mencapai mufakat.
4. Musyawarah untuk mencapai mufakat.
Dalam rangka membentuk kesatuan dalam keanekaragaman
diterapkan pendekatan “musyawa-rah untuk mencapai mufakat.” Bukan
pendapat sendiri yang harus dijadikan kesepakatan bersama,
tetapi common denominator, yakni inti kesamaan yang dipilih sebagai
kesepakatan bersama. Hal ini hanya akan tercapai dengan proses
musyawarah untuk mencapai mufakat. Dengan cara ini segala gagasan
yang timbul diakomodasi dalam kesepa-katan. Tidak ada yang menang
tidak ada yang kalah. Inilah yang biasa disebut sebagai win win solution.
5. Dilandasi rasa kasih sayang dan rela berkorban.
Dalam menerapkan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara perlu dilandasi oleh rasa kasih sayang. Saling
curiga mencurigai harus dibuang jauh-jauh. Saling percaya mempercayai
harus dikembangkan, iri hati, dengki harus dibuang dari kamus Bhinneka
Tunggal Ika. Hal ini akan berlangsung apabila pelaksanaan Bhnneka
Tunggal Ika menerap-kan adagium “leladi sesamining dumadi, sepi ing
pamrih, rame ing gawe, jer basuki mowo beyo.” Eksistensi kita di dunia
adalah untuk memberikan pelayanan kepada pihak lain, dilandasi oleh
tanpa pamrih pribadi dan golongan, disertai dengan pengorbanan. Tanpa

18
pengorbanan, sekurang-kurangnya mengurangi kepentingan dan pamrih
pribadi, kesatuan tidak mungkin terwujud.
6. Toleran dalam perbedaan.
Setiap penduduk Indonesia harus memandang bahwa perbedaan
tradisi, bahasa, dan adat-istiadat antara satu etnis dengan etnis lain sebagai,
antara satu agama dengan agama lain, sebagai aset bangsa yang harus
dihargai dan dilestarikan. Pandangan semacam ini akan menumbuhkan
rasa saling menghormati, menyuburkan semangat kerukunan, serta
menyuburkan jiwa toleransi dalam diri setiap individu.
Bila setiap warga negara memahami makna Bhinneka Tunggal Ika,
meyakini akan ketepatannya bagi landasan kehidupan berbangsa dan
bernegara, serta mau dan mampu mengimplementasikan secara tepat dan
benar, Negara Indonesia akan tetap kokoh dan bersatu selamanya.
Bhineka Tunggal Ika pada era Glablisasi saat ini, Indonesia pada
saat ini banyak mengalami kemunduran persatuan dan kesatuan.
Penyebabnya adalah adanya ketimpangan sosial, kesenjangan ekonomi,
belum stabilnya kondisi politik pemerintahan di Indonesia menjadikan
rakyat tumbuh menjadi rakyat yang apatis terhadap pemerintah. Dampak
buruk globalisasi yang membawa kebudayaan-kebudayaan baru
menjadikan komposisi kebudayaan masyarakat Indonesia menjadi lebih
kompleks atau rumit. Karena banyaknya kebudayaan baru yang datang dan
diterima begitu saja, menyebabkan terjadinya penyimpangan kebudayaan
di masyarakat. Belum lagi masalah klasik yang sepele namun berdampak
serius seperti perbedaan suku, agama, ras dan antar golongan yang
semakin memecah belah kesatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Melihat
kondisi seperti ini tentu kita semua tidak boleh pesimis dan patah
semangat, Semboyan negara Bhinneka Tunggal Ika yang berarti berbeda-
beda tetapi tetap satu jua, selamanya akan tetap relevan untuk mengiringi
kehidupan bernegara di negeri yang multikultural ini, karena komposisi
kehidupan rakyat Indonesia akan terus beragam sampai kapanpun.
Ketimpangan sosial, kesenjangan ekonomi, perbedaan suku, agama, ras

19
dan antar golongan di antara kita janganlah dijadikan pembeda.
Perkembangan jaman yang cepat dan masuknya budaya baru biarkanlah
berlalu, karena pada dasarnya kita semua satu, satu bangsa, Bangsa
Indonesia. Satu tanah air, Tanah air Indonesia. Satu bahasa, bahasa
Indonesia. Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda namun tetap satu jua. Jaya
Indonesia !

20
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Pemahaman nilai-nilai Bhinneka-Tunggal Ika dalam masyarakat


Indonesia dapat wujud secara integral dengan kerjasama seluruh komponen
bangsa, baik oleh pemerintah selaku penyelenggara negara maupun setiap
insan pribadi warga. Peningkatan sosialisasi aktualisasi pemahaman nilai-
nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an harus dilakukan melalui tindakan nyata
dalam kehidupan keseharian seluruh kompenen warga dalam rangka
memperkuat integrasi nasional, karena Indonesia dengan keberagaman
budaya, suku/etnik, bahasa, agama, kondisi geografis, dan strata sosial yang
berbeda. Indonesia dengan gambaran masyarakat majemuk yang terdiri dari
suku-suku bangsa yang berada di bawah kekuasaan sebuah sistem nasional,
termasuk di dalamnya pemerintah yang menjalankan proses pembangunan
masyarakat harus bersinergis untuk bersama-sama dengan rakyat tanpa
membedakan keberagaman budaya, bahasa, agama, suku/etnik, dan bahkan
strata sosial, mewujudkan cita-cita bangsa sesuai dengan komitmen bersama,
berlandaskan nilai-nilai yang terkandung dalam ke-Bhinneka Tungal Ika-an
yang termaktub dalam Pancasila.  Ciri kemajemukan masyarakat Indonesia
yang terintegrasi secara nasional adalah sangat penting sebagai kekayaan dan
merupakan potensi yang dapat dikembangkan sehingga dapat dimanfaatkan
dalam sistem komunikasi sebagai acuan utama bagi menunjukkan  jati diri
bangsa Indonesia sebagai nasionalisme
Peningkatan pemahaman terhadap kemajemukan sosial budaya
sebagai pencitraan dari budaya bangsa Indonesia yang semakin dewasa
merupakan upaya membangun citra diri didasarkan aktualisasi pemahaman
nilai-nilai ke-Bhinneka-an yang dimiliki, dapat menjadi investasi yang
diandalkan pada pelaksanaan pembangunan nasional sebagai salah satu pilar
demokrasi. Untuk itu diharapkan tindakan nyata oleh pemerintah agar
memaknai  pentingnya kondisi kemajemukan yang terintegrasi secara

21
nasional melalui wawasan kebangsaan di era globalisasi saat ini untuk
menjaga kedaulatan NKRI. Untuk merealisasikan harapan ini, masyarakat
dan segenap komponen bangsa harus lebih dewasa dalam mengaktualisasikan
pemahaman nila-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an dalam mewujudkan
integrasi nasional di negara yang dikenal dengan kemajemukannya
berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 demi pencapaian tujuan nasional.

22
DAFTAR PUSTAKA

https://coretanandrea.wordpress.com/2013/11/03/323/
https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5711982/sejarah-semboyan-bhinneka-
tunggal-ika-yang-pertama-kali-diungkapkan-mpu-tantular

23

Anda mungkin juga menyukai