Anda di halaman 1dari 44

MAKALAH

“AKAD TIJARAH DALAM PERBANKAN SYARIAH”


Disusun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah : Hukum Bisnis Syariah & Hukum Siber 2
Dosen Pengampu : Aneta Rakhmawati, S. ST, M, H

Disusun Oleh Kelompok 5:


1. Akmal Muhammad Firjatullah D030420005
2. Eka Yunisa Putri D030420009
3. Jihan Indah Pitriani D030420013
4. Muhamad Yoga Aditya D030420016
5. Muhammad Akmal Nurdin D030420017
6. Tasya Oktavia Putri D030420029

KELAS 3 A
JURUSAN AKUNTANSI
PRODI D4 AKUNTANSI LEMBAGA KEUANGAN
SYARIAH
POLITEKNIK NEGERI BANJARMASIN
2021
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb.
Syukur Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT. Atas
segala nikmat dan karunia-Nya.Shalawat dan salam yang tak lupa
pula kita panjatkan kepada junjungan kita Rasulullah Muhammad
SAW yang telah membawa kita dari zaman kegelapan / jahiliyah
ke zaman yang terang benderang sekarang ini.
Akhirnya kami dapat menyelesaikan makalah dengan
segala upaya yang telah kami lakukan dengan maksimal maka
makalah ini dapat diselesaikan. Adapun judul makalah ini adalah
“AKAD TIJARAH DALAM PERBANKAN SYARIAH” Akhir
kata kami berharap apa yang kami tulis ini dapat bermamfaat bagi
pembaca dan terkhusus bagi kami untuk digunakan sebagai
pembelajaran dalam membuatkan karya-karya baru yang lainnya.
Semoga Allah SWT senantiasa tetap memberikan petunjuk dan
bimbinganNya kepada kami menuju jalan lurus yang penuh dengan
Ridha-Nya. Amin Ya Rabbal Alamin. Wassalamualaikum Wr.Wb.

Pulang Pisau, 12 Oktober 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..................................................................................................i
KATA PENGANTAR...............................................................................................ii
DAFTAR ISI..............................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................1
A. Latar Belakang..................................................................................................1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................2
C. Tujuan Penelitian .............................................................................................2
D. Manfaat Penelitian............................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN ..........................................................................................4


A. Musyarakah....................................................................................................4
1. Pengertian Musyarakah......................................................................4
2. Pengertian Musyarakah Wujuh..........................................................5
3. Pengertian Musyarakah ‘Inan............................................................5
4. Pengertian Musyarakah Abdan..........................................................6
5. Pengertian Musyarakah Muwafadhah................................................6
6. Pengertian Musyarakah Mudharabah.................................................7
7. Landasan Hukum Musyarakah...........................................................9
8. Rukun Dan Syarat Musyarakah.........................................................9
9. Skema Musyarakah Dalam Perbankan...............................................11
B. Muzara’ah......................................................................................................12
1. Pengertian Muzara’ah........................................................................12
2. Landasan Hukum Muzara’ah.............................................................13
3. Rukun Dan Syarat Muzara’ah............................................................15
4. Skema Muzara’ah Dalam Perbankan Syariah....................................19
C. Musaqah.........................................................................................................20
1. Pengertian Musaqah...........................................................................20
2. Landasan Hukum Musaqah................................................................22
3. Rukun Dan Syarat Musaqah...............................................................24
4. Skema Musaqah.................................................................................26

iii
D. Mukharabah....................................................................................................28
1. Pengertian Mukharabah.....................................................................28
2. Landasan Hukum Mukharabah..........................................................29
3. Rukun Dan Syarat Mukharabah.........................................................31
4. Skema Mukharabah Dalam Perbankan..............................................33

BAB III KESIMPULAN............................................................................................34


A. Kesimpulan.......................................................................................................34

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................36

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Musyarakah adalah produk pembiayaan pada Bank Syariah yang berbasis
kemitraan. Pada pembiayaan Musyarakah, kedua belah pihak bersepakat untuk
menanamkan modal dalam jangka waktu tertentu. Adapun pembagian hasil
keuntungan berdasarkan pada hasil dari usaha yang dikelola dari usaha tersebut,
dan prosentasenya sesuai dengan kesepakatan yang telah tertuang dalam akad.
Akad merupakan keterikatan antara penawaran dan penerimaan
kepemilikan. Begitu pentingnya akad, sehingga apabila terjadi permasalahan
dikemudian hari maka yang menjadi acuan penyelesaian masalah berpedoman
kepada Akad yang telah dibuat. Karena itu dalam pembuatan akad harus benar-
benar dimengerti apa yang tertulis dan tertuang dalam akad tersebut, tidak
langsung menandatangani akad tanpa memahami apa isi yang terkandung didalam
akad tersebut. Karena bila akad telah ditandatangani, itu artinya pihak yang
menandatangani sudah setuju dengan apa yang tertuang dalam akad tersebut.
Menurut Sutan Remy Sjahdenini, Musyarakah adalah produk finansial
syariah yang berbasis kemitraan. Pada metode pembiayaan Musyarakah, bank dan
calon nasabah bersepakat untuk bergabung dalam suatu kemitraan dalam jangka
waktu tertentu. Kedua belah pihak menempatkan modal untuk membiayai suatu
proyek dan bersepakat untuk membagi keuntungan bersih secara proporsional
yang ditentukan diawal. Secara etimologis, musyarakah adalah penggabungan,
percampuran atau syarikat. Musyarakah berarti kerjasama kemitraan atau dalam
bahasa Inggris disebut partnership. Adapun secara terminologis, musyarakah
adalah kerjasama usaha antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu,
dimana masingmasing pihak memberikan kontribusi dengan kesepakatan bahwa
keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Menurut pendapat dari Khotibul Umam, Musyarakah adalah penanaman
dana dari pemilik dana/ modal untuk mencampurkan dana/modal mereka pada
suatu usaha tertentu, dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang

1
telah disepakati sebelumnya, sedangkan kerugian ditanggung semua pemilik
dana / modal berdasarkan bagian dana/ modalnya masing-masing.

B. Rumusan Makalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis perlu merumuskan
beberapa hal yang menjadi masalah pokok dalam makalah ini adalah sebagai
berikut :
1. Apa Pengertian Musyarakah, Muzara’ah, Musaqah, dan Mukharabah ?
2. Apa Landasan Hukum Akad Musyarakah, Muzara’ah, Musaqah, dan
Mukharabah ?
3. Apa Rukun dan Syarat Musyarakah, Muzara’ah, Musaqah, dan
Mukharabah ?
4. Bagaimana Skema dalam Akad Musyarakah, Muzara’ah, Musaqah, dan
Mukharabah ?

C. Tujuan
Berdasarkan apa yang telah dipaparkan pada latar belakang maka yang
menjadi tujuan pembahasan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk Mengetahui Pengertian Musyarakah, Muzara’ah, Musaqah, dan
Mukharabah
2. Untuk Mengetahui Landasan Hukum Akad Musyarakah, Muzara’ah,
Musaqah, dan Mukharabah
3. Untuk Mengetahui Rukun dan Syarat Musyarakah, Muzara’ah, Musaqah,
dan Mukharabah
4. Untuk Mengetahui Skema Musyarakah, Muzara’ah, Musaqah, dan
Mukharabah

2
D. Manfaat
1. Masyarakat
Hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi bagi masyarakat
tentang Akad Tijarah’ Dalam perbankan Syariah
2. Peneliti
Peneliti dapat memperoleh wawasan berkaitan dengan Akad
Tijarah’ Dalam perbankan Syariah
3. Institusi pendidikan
Diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai
referensi tentang Akad Tijarah’ Dalam perbankan Syariah

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Musyarakah

1. Pengertian Musyarakah
Musyarakah adalah kerja sama antara dua pihak atau lebih dalam sebuah
usaha untuk menggabungkan modal dan menjalankan usaha bersama dalam suatu
kemitraan dengan pembagian keuntungan sesuai kesepakatan dan kerugian
berdasarkan porsi kontribusi modal. Secara etimologis, musyarakah berarti
penggabungan, pencampuran, atau serikat. Musyarakah secara bahasa diambil dari
bahasa Arab yang berarti mencampur. Dalam hal ini mencampur satu modal
dengan modal yang lain sehingga tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Kata
syirkah dalam bahasa Arab berasal dari kata syarika (fi’il madhi), yashruku (fi’il
mudhari’) syarikan/syirkatan/syarikatan (masdar/kata dasar) artinya menjadi
sekutu atau syarikat (kamus al Munawir) Menurut arti asli bahasa Arab, syirkah
berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sehingga tidak boleh dibedakan lagi
satu bagian dengan bagian lainnya, (An-Nabhani).
Dalam musyarakah, dua pihak atau lebih (termasuk bank dan lembaga
keuangan beserta nasabahnya) dapat mengumpulkan modal lalu kemudian
membentuk suatu perusahaan sebagai badan hukum. Setiap pihak yang terlibat
memiliki bagian secara proporsional sesuai kontribusi modal yang mereka berikan
dan memiliki hak mengawasi (voting right) perusahaan sesuai proporsinya
masing-masing.
Dalam dunia perbankan, musyarakah merupakan akad kerja sama antara bank dan
nasabahnya dalam pembiayaan usaha dengan ketentuan pembagian keuntungan
dan risiko sesuai kesepakatan.

4
2. Pengertian Musyarakah Wujuh
Syirkah wujuh merupakan kerjasama usaha antara dua belah pihak atau
lebih yang masing-masing pihak memberikan kontribusi kerja (amal). Disebut
syirkah wujuh karena para pihak yang akan melakukan syirkah ini memiliki
reputasi baik dan juga keahlian dalam berbisnis.
Para pihak ini membeli barang dengan cara pembayaran kredit/tunda
kepada pemilik barang, kemudian menjual kembali secara tunai. Mereka dapat
melakukan hal tersebut, karena mempunyai reputasi baik sehingga mereka
dipercaya baik oleh pemilik barang tersebut, maupun masyakat ataupun calon
pembeli. Terkadang para pihak itu juga memperoleh 100% modal dari shahibul
maal.

3. Pengertian Musyarakah ‘Inan


Syirkah al-‘inân adalah kontak antara dua orang atau lebih,
setiap orang memberikan suatu porsi dari modal dan partisipasi
dalam kerja semua pihak berbagi dalam keuntungan dan kerugian
sebagaimana disepakati oleh mereka, namun porsi masing masing
pihak (baik dalam kontribusi modal kerja maupun bagi hasil) tidak
harus sama atau identik, tapi sesuai dengan kesepakatan mereka.
Mazhab Hanafi dan Hambali mengizinkan praktik ini dengan
memilih salah satu alternative berikut:
a) Keuntungan yang dapat dibagi sesuai dengan kontribusi modal yang diberikan
oleh masing masing pihak.
b) Keuntungan bisa dibagi secara sama, walaupun kontribusi modal masing-
masing berbeda.
c) Keuntungan bisa dibagi tidak sama tapi kontribusi dana yang diberikan sama.
Maliki dan Syafi’i menerima jenis akad musyârakah ini
dengan syarat, keuntungan dan kerugian dibagi secara proposional
sesuai distribusi dana yang ditanamkan. Musyârakah jenis ini yang
diaplikasikan dalam perbankan syariah. Syirkah al-‘inân ini para
pihak berserikat mencampurkan modal dalam jumlah yang tidak
sama. Misal : Rp X dicampur dengan Rp Y.

5
4. Pengertian Musyarakah Abdan
Adalah kontrak kerjasama dua orang seprofesi untuk
menerima pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan dari
pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan dari pekerjaan
itu, misalnya, kerjasama dua orang arsitek untuk menggarap
sebuah proyek. Mazhab Hanafi, Maliki dan Hanbali setuju dan
membolehkan. Disini terjadi pencampuran jasa, keahlian /
ketrampilan dari pihak yang Aberserikat.

5. Pengertian Musyarakah Muwafadhah


Syirkah mufawadhah adalah syirkah antara 2 pihak atau lebih yang
menggabungkan semua jenis syirkah di atas (syirkah inan, 'abdan, mudharabah
dan wujuh). Syirkah mufawadhah ini dapat diartikan sebagai serikat untuk
melakukan suatu negosiasi, dalam hal ini tentunya untuk melakukan sesuatu
pekerjaan atau urusan, yang dalam istilah sehari-hari sering digunakan istilah
partner kerja atau grup.
Dalam serikat ini pada dasarnya bukan dalam bentuk permodalan, tetapi
lebih ditekankan kepada keahlian. Menurut para ahli hukum Islam serikat ini
mempunyai syarat-syarat sebagai berikut:
a) Modal masing-masing sama
b) Mempunyai wewenang bertindak yang sama
c) Mempunyai agama yang sama
d) Bahwa masing-masing menjadi penjamin, dan tidak dibenarkan salah satu
diantaranya memiliki wewenang yang lebih dari yang lain.
Jika syarat-syarat diatas terpenuhi, maka serikat dinyatakan
sah, dan konsekuensinya masing-masing partner menjadi wakil
partner yang lainya dan sekaligus sebagai penjamin, dan segala
perjanjian yang dilakukanya dengan pihak asing (diluar partner)
akan dimintakan pertanggungjawabanya oleh partner yang lainya.
Ulama‟ Hanafi dan Maliki memperbolehkan syirkah jenis ini tetapi

6
memberikan banyak batasan terhadapnya. Yang paling penting
dalam perserikatan ini, baik modal, kerja, keuntungan maupun
kerugian, mempunyai hak dan konsekuensinya masing-masing
partner menjadi wakil partner yang lainya dan sekaligus sebagai
penjamin, dan segala perjanjian yang dilakukanya dengan pihak
asing (diluar partner) akan dimintakan pertanggungjawabanya oleh
partner yang lainya.
Ulama‟ Hanafi dan Maliki memperbolehkan syirkah jenis
ini tetapi memberikan banyak batasan terhadapnya. Yang paling
penting dalam perserikatan ini, baik modal, kerja, keuntungan
maupun kerugian, mempunyai hak dan kewajiban yang sama.
Sementara menurut ulama Syafi‟iyah dan Hanabilah tidak
membolehkan akad seperti ini, karena sulit untuk menetapkan
prinsip kesamaan modal, kerja, dan keuntungan dalam perserikatan
ini. Imam Syafi‟i berkata: perserikatan mufawadah adalah batil,
kecuali pihak yang berserikat memahami makna mufawadhah
dengan arti mencampurkan harta dan pekerjaan lalu membagi
keuntungan, maka ini tidak mengapa.
Apabila beberapa pihak mengadakan perserikatan
mufawadhah dan mempersyaratkan bahwa makna mufawadhah
adalah seperti diatas, maka perserikatanya sah. Akan tetapi bila
yang mereka maksudkan dengan mufawadhah adalah pihak yang
berserikat dalam segala hal yang nmereka dapatkan melalui cara
apapun, baik dengan sebab harta ataupun yang lainya, maka
perserikatan tidak dapat dibenarkan.
Syirkah mufawadhah dalam pengertian ini, menurut An-
Nabhani adalah boleh. Sebab, setiap jenis syirkah yang sah ketika
berdiri sendiri ,maka sah pula ketika digabungkan dengan syirkah
lainnya. (An-Nabhani, 1990: 156)
Keuntungan yang diperoleh siabgi sesuai dengan kesepakatan
Kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkahnya diantaranya:

7
- Ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal, jika berupa syirkah
inan
- Ditanggung pemodal saja, jika berupa syirkah mudharabah
- Ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan
yang dimiliki, jika berupa syirkah wujuh.

6. Pengertian Musyarakah Mudharabah


Istilah mudharabah berasal dari kata 'dharaba'. Arti
harfiyahnya adalah memukul. Sehingga bentuk 'mudharabah'
berarti saling memukul. Namun tentunya bukan itu makna kata
mudharabah yang dimaksud dalam pengertian ini. Sebenarnya kata
'dharaba' dalam bahasa Arab tidak semata-mata berarti memukul,
juga bisa berarti melakukan perjalanan. Sebagaimana disebutkan di
dalam Al-Quran: (Allah mengetahui bahwa akan ada di antara
kamu) orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian
karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di
jalan Allah (QS. Al-Muzzammil: 20)
Lalu apa hubungannya kata dharaba yang berarti berjalan di muka bumi dengan
transaksi mudharabah dalam masalah perdagangan?
Jawabnya adalah bahwa isitlah dharaba fil ardhi (berjalan di
muka bumi) di masa lalu bagi orang Arab adalah bepergian untuk
berniaga atau berdagang. Jadi mudharabah bisa berarti kerjsama
untuk berdagang, di mana satu pihak memiliki modal dan pihak
lain yang menjalankan usaha dagang itu.
Syirkah Mudharabah Atau juga sering disebut dengan
istilah Syirkah Qiradh. Syirkah mudharabah mengharuskan ada dua
pihak, yaitu pihak pemilik modal (shahibul maal) dan pihak
pengelola (mudhorib). Pihak pemodal menyerahkan modalnya
dengan akad wakalah kepada seseorang sebagai pengelola untuk
dikelola dan dikembangkan menjadi sebuah usaha yang
menghasilkan keuntungan (profit).

8
Keuntungan dari usaha akan dibagi sesuai dengan
kesepakatan, dan manakala terjadi kerugian bukan karena
kesalahan manajemen (kelalaian), maka kerugian ditanggung oleh
pihak pemodal. Hal ini karena hukum akad wakalah menetapkan
hukum orang yang menjadi wakil tidak bisa menanggung kerugian,
sebagaimana diriwayatkan oleh Ali r.a. yang berkata:
“Pungutan itu tergantung pada kekayaan. Sedangkan laba tergantung pada apa
yang mereka sepakati bersama” [Abdurrazak, dalam kitab Al-Jami’].
Secara manajemen, pihak pengelola wajib melakukan
pengelolaan secara baik, amanah dan profesional, sedangkan pihak
pemodal tidak diperbolehkanikut mengelola/ bekerja bersama
pengelolanya. Pengelola berhak untuk memilih dan membentuk
tim kerjanya (teamwork) tanpa harus seizin pemodal, demikian
pula dalam pengambilan kebijakan dan langkah-langkah
opersioanal perusahaan.

7. Landasan Hukum Musyarakah


Musyarakah merupakan akad yang diperbolehkan berdasarkan Alqur'an,
sunnah, dan ijma ulama.
a. Al-Qur’an
Musyarakah dalam Alqur'an disebutkan dalam surat Shaad ayat 24, yang
berbunyi:
"Dari sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian
mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal yang shaleh; dan amat sedikitlah mereka ini"
(Q.S Shaad:24).
b. Al-Hadits
Musyarakah dalam Al-Hadist seperti yang diriwayatkan oleh Abu Daud
dari Abu Hurairah, yaitu:

9
"Nabi SAW bersabda, sesungguhnya Allah SWT berfirman, Aku adalah yang
ketiga pada dua orang yang bersekutu, selama salah seorang dari keduanya tidak
mengkhianati temanya, Aku akan keluar dari persekutuan tersebut apabila salah
seorang menghianatinya".
c. Ijma
Musyarakah menurut ijma ulama disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam
kitabnya Al-Mughni, disebutkan :
"Kaum mulismin telah berkonsensus terhadap legitimasi Musyarakah secara
global walaupun terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa elemen darinya".

8. Rukun dan Syarat Musyarakah


a. Syarat Musyarakah
Menurut Anshori (2010), syarat-syarat musyarakah adalah sebagai berikut:
1. Tidak ada bentuk khusus kontrak, berakad dianggap sah jika diucapkan secara
verbal/tertulis, kontrak dicatat dalam tulisan dan disaksikan.
2. Mitra harus kompeten dalam memberikan/diberikan kekuasaan perwalian.
3. Modal harus uang tunai, emas, perak yang nilainya sama, dapat terdiri dari aset
perdagangan, hak yang tidak terlihat (misalnya lisensi, hak paten dan sebagainya).
4. Partisipasi para mitra dalam pekerjaan adalah sebuah hukum dasar dan tidak
diperbolehkan bagi salah satu dari mereka untuk mencantumkan tidak ikut
sertanya mitra lainnya. Namun porsi melaksanakan pekerjaan tidak perlu harus
sama, demikian pula dengan bagian keuntungan yang diterima.
b. Rukun Musyarakah
Para ulama memperselisihkan mengenai rukun syirkah, menurut ulama
Hanafiyah rukun syirkah ada dua yaitu ijab dan qabul. Sebab ijab qabul (akad)
yang menentukan adanya syirkah. Adapun mengenai dua orang yang berakad dan
harta berada di luar pembahasan akad seperti dalam akad jual beli (Al-Jaziri,
1990: 71). Dan Jumhur ulama menyepakati bahwa akad merupakan salah satu hal
yang harus dilakukan dalam syirkah. Adapun rukun syirkah menurut para ulama
meliputi :

10
1. Sighat (Ijab dan Qabul). Adapun syarat sah dan tidaknya akad syirkah
tergantung pada sesuatu yang di transaksikan dan juga kalimat akad hendaklah
mengandung arti izin buat membelanjakan barang syirkah dari peseronya.
2. Al-‘Aqidain (subjek perikatan). Syarat menjadi anggota perserikatan yaitu: a)
orang yang berakal, b) baligh, c) merdeka atau tidak dalam paksaan. Disyaratkan
pula bahwa seorang mitra diharuskan berkompeten dalam memberikan atau
memberikan kekuasaan perwakilan, dikarenakan dalam musyarakah mitra kerja
juga berarti mewakilkan harta untuk diusahakan (Tim Pengembangan Perbankan
Syariah, 2001: 182).
3. Mahallul Aqd (objek perikatan). Objek perikatan bisa dilihat meliputi modal
maupun kerjanya. Mengenai modal yang disertakan dalam suatu perserikatan
hendaklah berupa: a) modal yang diberikan harus uang tunai, emas, perak, atau
yang nilainya sama, b) modal yang dapat terdiri dari aset perdagangan, c) modal
yang disertakan oleh masing-masing pesero dijadikan satu, yaitu menjadi harta
perseroan, dan tidak dipersoalkan lagi dari mana asal-usul modal itu (Pasaribu
1996: 74).

9. Skema Musyarakah Dalam Perbankan


Ketentuan umum pembiayaan musyarakah sebagai berikut.
1. Semua modal disatukan untuk dijadikan modal proyek usaha dan dikelola
bersama-sama. Setiap pemilik modal berhak turut serta dalam menentukan
kebijakan usaha yang dijalankan oleh pelaksana proyek.
2. Biaya yang timbul dalam pelaksanaan proyek dan jangka waktu proyek harus
diketahui bersama. Keuntungan dibagi sesuai porsi kesepakatan sedangkan
kerugian dibagi sesuai dengan porsi kontribusi modal.
3. Proyek yang akan dijalankan harus disebutkan dalam akad. Setelah proyek
selesai nasabah harus mengembalikan dana bersama bagi hasil yang telah
disepakati untuk bank.
4. Secara umum, skema musyarakah digambarkan sebagai berikut.

11
Dari gambar Bank Syariah
Nasabah Parsial : skema diatas dapat dipahami
Parsial
bahwa bank syariah dengan nasabah menggunakan akad
Asset Value Pembiayaan
musyarakah, yakni berserikat dalam hal modal.
Proyek atau usaha hanya dijalankan oleh pihak
perusahaan, sehingga pengerjaan proyek itu juga diperhitungkan sebagai dasar
PROYEK USAHA
pertimbangan dalam menetapkan porsi bagi hasil. Namun demikian, bank juga
berhak ikut terlibat dalam manajemen proyek untuk mengontrol fluktuasi
keuntungan dan kerugian yang dialami oleh nasabah dalam menjalankan
usahanya. KEUNTUNGAN

B. Muzara’ah
Bagi Hasil Keuntungan sesuai porsi
kontribusi modal (nisbah)
1. Pengertian Muzara’ah
Muzara’ah adalah kerjasama antara pemilik lahan dengan
penggarap dan benihnya dari pemilik lahan, sedangkan
mukhabarah adalah kerjasama antara pemilik lahan dengan
penggarap dan benihnya dari penggerap. Demikian halnya kerja
sama antara pemilik lahan pertanian dan penggarap lahan pertanian
dengan memakai sistem bagi hasil yang dilakukan oleh masyarakat
Kabupaten Sidrap.

12
Sistem kerjasama ini disyaratkan agar sesama manusia
saling tolong-menolong dengan adanya keuntungan bersama dan
tidak saling merugikan antara satu dengan yang lainnya. Dalam
melaksanakan suatu pekerjaan, pekerja berhak mendapatkan
imbalan atau upah sesuai dengan usaha dan kerjanya. Sebagai
mana perintah Allah swt, untuk berbuat adil dan berbuat baik
kepada sesamanya, maka barang siapa yang tidak meletakkan
sesuatu pada tempatnya adalah suatu perbuatan
penganiayaan/zalim.
Oleh karena itu, praktik pelaksanaan perjanjian bagi hasil
dalam pengelolaan lahan pertanian harus dikerjakan berdasarkan
ketentuan-ketentuan yang sudah di gariskan dalam Islam. Suatu
ciri khusus bagi hasil adalah adanya pihak yang hanya memiliki
lahan pertanian dan adanya pihak yang hanya menggarap lahan
pertanian tersebut.
Suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri dalam suatu
masyarakat, terkadang ada pemilik lahan pertanian yang tidak
mempunyai kemahiran dalam mengelolahnya sendiri, mereka
memiliki lahan pertanian karena dijadikan sebagai investasi
semata, disisi lain ada masyarakat yang sudah tidak memiliki lahan
pertanian tetapi mahir dalam mengelolah lahan pertanian, sehingga
kedua belah pihak ini mengadakan suatu kerja sama.
Islam membolehkan kerja sama seperti ini sebagai upaya
untuk memanfaatkan sumber daya manusia dan sumber daya alam
yang terbengkalai. Sifat dari sistem bagi hasil mirip dengan sistem
kerjasama yaitu pemilik tanah dan petani ibarat dua orang yang
berpasangan tidak terdapat pelanggaran hak-hak berbagai pihak,
tidak juga timbul rasa takut akan penindasan atau perbuatan yang
melampaui batas yang dilakukan oleh pemilik tanah tersebut
terhadap mitra, karena keduanya terkait dalam perjanjian
pengelolahan. Inilah sebabnya mengapa bentuk-bentuk pengolahan

13
yang dilakukan dengan sistem seperti ini meminimalkan
pelanggaran atas hak orang lain.
Bagi hasil merupakan usaha yang mulia apabila dalam
pelaksanaannya selalu mengutamakan prinsip keadilan, kejujuran
dan tidak saling merugikan satu sama lain, misalnya dalam
pembagian hasil pemilik lahan hanya memberikan sebagian
hasilnya saja kepada penggarap dan tidak sesuai dengan
kesepakatan berdua. Pembagian hasil yang seperti ini tidak sesuai
dengan prinsip keadilan dan tentu saja sangat merugikan pihak
penggarap. Perbuatan seperti ini merupakan suatu perbuatan yang
sewenang-wenang dan mau menang sendiri serta termasuk
perbuatan yang sangat tercela.

2. Landasan Hukum Muzara’ah


Dalam Al-Quran Muzara”ah terdapat pada ayat Al-Quran
surah Zuhruf ayat 32 yang berbunyi :
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu?
Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam
kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka
atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka
dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu
lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”
Muzara’ah hukumnya diperselisihkan oleh para fuqah.
Imam Abu Hanifah dan Imam Asy-Syafi’i tidak membolehkannya.
Akan tetapi, sebagian Syafi’iyah membolehkannya, dengan alasan
kebutuhan (hajah). Mereka beralasan dengan hadis Nabi:
Yang berbunyi : Berkata Rafi’ bin Khadij: “Diantara
Anshar yang paling banyak mempunyai tanah adalah kami, maka
kami persewakan, sebagian tanah untuk kami dan sebagian tanah
untuk mereka yang mengerjakannya, kadang sebagian tanah itu
berhasil baik dan yang lain tidak berhasil, maka oleh karenanya

14
Rasulullah saw., melarang paroan dengan cara demikian (HR.
Bukhari).
Serta ada juga dasar hukum akad muzara’ah terdapat dalam
beberapa hadits, diantaranya yaitu :
a. Hadits yang dririwayatkan oleh Imam Bukhori dari Abdillah :
Yang berbunyi : “ Dari Abdullah r.a berkata : Rasulullah telah memeberikan tanah
kepada orang yahudi kahibar untuk dikelola dan ia mendapatkan bagian (upah)
dari apa yang dihasilkan daripadanya.”
b. Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori Muslim dari Ibnu Abbas R.A. :
Yang berbunyi : “Sesungguhnya Nabi SAW. Menyatakan : tidak mengharamkan
berMuzara’ah, bahkan beliau menyuruhnya, supaya sebagian menyayangi
sebagian yang lain, dengan katanya ; barangsiapa memiliki tanah, maka hendaklah
ditanaminya atau diberikan faedahnya kepada saudaranya, jika ia tidak mau, maka
boleh ditahan saja tanah itu”.
c. Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Al-Nasa’i dari Rafi’ RA dari
Nabi SAW., beliau bersabda :
Yang berbunyi : “Yang boleh bercocok tanam hanya tiga macam orang ; laki-laki
yang ada tanah, maka dialah yang berhak menanamnya dan laki-laki yang diserahi
manfaat tanah, maka dialah yang menanaminya, dan laki-laki yang menyewa
tanah dengan mas atau perak”.
Menurut ulama mazhab Sebagai berikut :
1. Menurut Imam Syafi’I, muzara’ah (mengerjakan tanah orang dengan
memperoleh sebagian dari hasilnya), sedang bibit (biji) yang dipergunakan
kepunyaan pemilik tanah, tidak dibolehkan, karena tidak sah menyewakan tanah
dengan hasil yang diperoleh dari padanya. Sebagian ulama’ mazhab Syafi’iyah
membolehkan, sama dengan musaqah (orang upahan).
2. Ulama-ulama Hanafiyah berkata : muzara’ah pada syara’ ialah suatu akad
tentang pekerjaan di atas tanah oleh seseorang dengan pemberian sebagian hasil,
baik dengan cara menyewakan tanah dengan sebagian hasil, ataupun yang
empunya tanah mengupahkan yang bekerja dengan pembagian hasil. Kata Abu
Hanifah dan Muhammad : Boleh.

15
3. Ulama-ulama Malikiyah berkata : muzara’ah pada syara’ ialah : suatu akad
yang batal, kalau tanah dari salah seorang sedang bibit dan alat dari orang lain.
Muzara’ah yang dibolehkan ialah : berdasarkan upah.
4. Ulama-ulama Hanbaliyah berkata : muzara’ah ialah : orang yang mempunyai
tanah yang dipakai untuk bercocok tanam memberikannya kepada seseorang yang
akan mengerjakan serta memberikan kepadanya bibit, atas dasar diberikan
kepadanya sebagian hasil bumi itu, sepertiga atau seperdua dengan tidak
ditentukan banyak sukatan.
Ijma’ ulama’
- Para sahabat telah sepakat atas jaiznya muzara’ah [Y 5/343, 344 F5/8 N 5/274
(dari Al Bukhary)]
- Muzara’ah atas bagian merata dari hasil tanah, misalnbya 1/3nya, 1/2nya, atau
1/6nya atau bagian apapun yang disebutkan dari jumlah keseluruhan sampai
waktu yang diketahui, jaiz hukumnya - menurut ijmak yang meyakinkan dan
dipastikan.

3. Rukun dan Syarat Muzara’ah


Menurut Hanafiah rukun muzara’ah ialah akad, yaitu ijab
dan qabul, yaitu berupa pernyataan pemilik tanah, “saya serahkan
tanah ini kepada Anda untuk di garap dengan imbalan separuh dari
hasilnya”, dan pernyataan penggarap “Saya terima saya setuju”.
Sedangkan menurut jumhur ulama, sebagai dalam akad-akad yang
lain, rukun muzara’ah ada tiga yaitu:
1. Aqid, yaitu pemilik tanah dan penggarap.
2. Maq’qud ‘alaih atau objek akad, yaitu manfaat tanah dan pekerjaan penggarap.
3. Ijab dan qabul.
Menurut Hanabilah, dalam akad muzara’ah tidak
diperlukan qabul dengan perkataan, melainkan cukup dengan
penggarapan secara langsung atas tanah. Dengan demikian,
qabulnya dengan perbuatan. Adapun syarat-syarat muzara’ah
diantaranya:

16
1. Syarat yang menyangkut orang yang berakad: keduanya harus sudah baliq dan
berakal.
2. Syarat yang menyangkut benih yang akan ditanami harus jelas, sehingga benih
yang akan ditanam harus jelas, sehingga benih yang akan ditanam itu jelas dan
akan menghasilkan.
3. Syarat yang menyangkut tanah pertanian sebagai berikut: Menurut adat
dikalangan para petani, tanah itu boleh digarap dan menghasilkan. Jika tanah itu
tanah tandus dan kering sehingga tidak memungkinkan untuk dijadikan tanah
pertanian, maka akad muzaraah tidak sah. Batas-batas tanah itu jelas. Tanah itu
diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk digarap. Apabila disyaratkan bahwa
pemilik tanah ikut mengelolah petani itu maka akad muzara’ah tidak sah.
4. Syarat-syarat yang menyangkut dengan hasil panen sebagai berikut: Pembagian
hasil panen bagi masing-masing pihak harus jelas. Hasil itu benar-benar milik
bersama orang yang berakad tanpa boleh ada pengkhususan. Pembagian hasil
panen itu ditentukan: setengah, sepertiga, atau seperempat, sejak dari awal akad,
sehingga tidak timbul perselisihan di kemudian hari, dan penentuannya tidak
boleh berdasarkan jumlah tertentu secara mutlak, seperti satu kwintal untuk
pekerja, atau satu karung, karena kemungkinan seluruh hasil panen jauh di bawah
itu atau dapat juga jauh melampaui jumlah itu. Syarat yang menyangkut jangka
waktu juga harus dijelaskan dalam akad sejak semula, karena akad muzara’ah
mengandung makna akad al-ijarah (sewa-menyewah atau upah-mengupah)
dengan imbalan sebagian hasil panen. Oleh sebab itu, jangka waktunya harus
jelas. Untuk penentuan jangka waktu ini biasanya disesuaikan dengan adat
setempat.
5. Untuk objek akad, jumhur ulama yang membolehkan muzara’ah, mensyaratkan
juga harus jelas, baik berupa jasa petani, sehingga benih yang akan ditanam
datangnya dari pemilik tanah, maupun pemanfaatan tanah, sehingga benihnya dari
petani.
Adapun rukun dan syarat muzara’ah dalam kompilasi
hukum ekonomi syariah pada bab ke IX bagian pertama
diantaranya.

17
1. Pasal 255: Rukun muzara’ah adalah: Pemilik lahan, Penggarap, Lahan yang
digarap, dan Akad.
2. Pasal 256: Pemilik lahan harus menyerahkan lahan yang akan digarap kepada
pihak yang akan menggarap.
3. Pasal 257: Penggarap wajib memiliki keterampilan bertani dan bersedia
menggarap lahan yang diterimanya.
4. Pasal 258 : Penggarap wajib memberikan keuntungan kepada pemilik lahan bila
pengelolaan yang dilakukannya menghasilkan keuntungan.
5. Pasal 259: Akad muzara’ah dapat dilakukan secara mutlak dan/atau terbatas.
Jenis benih yang akan ditanam dalam muzara’ah terbatas harus dinyatakan secara
pasti dalam akad, dan diketahui oleh penggarap. Penggarap bebas memilih jenis
benih tanaman untuk ditanam dalam akad muzara’ah yang mutlak. Penggarap
wajib memerhatikan dan mempertimbangkan kondisi lahan, keadaan cuaca, serta
cara yang memungkinkan untuk mengatasinya menjelang musim tanam.
6. Pasal 260: penggarap wajib menjelaskan perkiraan hasil panen kepada pemilik
lahan dalam akad muzara’ah mutlak.
7. Pasal 261: penggarap dan pemilik lahan dapat melakukan kesepakatan
mengenai pembagian hasil pertanian yang akan diterima oleh masing-masing
pihak.
8. Pasal 262: Penyimpanan yang dilakukan penggarap dalam akad muzara’ah,
dapat mengakibatkan batalnya akad itu. Seluruh hasil panenyang dilakukan oleh
penggarap yang melakukan pelanggaran sebagaimana dalam Ayat (1), menjadi
milik pemilik lahan. Dalam hal terjadi keadaan separti pada Ayat (2), pemilik
lahan dianjurkan untuk memberi imbalan atas kerja yang telah dilakukan
penggarap.
9. Pasal 263: Penggarap berhak melanjutkan akad muzara’ah apabila tanamannya
belum layak di panen, meskipun pemilik lahan telah meninggal dunia. Ahli waris
pemilik lahan wajib melanjutkan kerja sama muzara’ah yang dilakukan oleh pihak
yang meniggal, sebelum tanaman pihak penggarap bisa dipanen.
10. Pasal 264: Hak penggarp lahan dapat dipindahkan dengan cara diwariskan bila
penggarap meninggal dunia, sampai tanamannya bisa dipanen. Ahli waris

18
penggarap berhak untuk meneruskan atau membatalkan akad muzara’ah yang
dilakukan oleh pihak yang meninggal.
11. Pasal 265: Akad muzara’ah berakhir apabila waktu yang disepakati telah
berakhir. Muzara’ah terkadang berakhir karena telah terwujudnya maksud dan
tujuan akad, misalnya tanaman telah selesai dipanen. Akan tetapi, terkadang akad
muzara’ah berakhir sebelum terwujudnya tujuan muzara’ah, karena sebab-sebab
berikut: Masa perjanjian muzara’ah telah habis. Meninggalnya salah satu pihak,
baik meninggalnya sebelum dimulainya penggarapan maupun sesudahnya, baik
buahnya sudah bisa dipanen atau belum. Pendapat ini dikemukakan oleh Hanafiah
dan Hanabilah. Akan tetapi menurut Malikiyah dan Syafi’iyah, muzara’ah tidak
berakhir karena meninggalnya salah satu pihak yang melakukan akad. Jika salah
satu dari pihak meninggal dunia atau gila, berdasarkan pendapat yang
mengkatagorikannya sebagai transaksi yang mengikat, maka ahli waris atau
walinya yang menggantikan posisinya. Tidak mampu bekerja. Dalam hal ini,
pemilik lahan boleh memperkerjakan orang lain yang menggantikannya dan upah
menjadi haknya karena ia mengerjakan pekerjaan. Adanya udzur atau alasan, baik
dari pihak pemilik tanah maupun dari pihak penggarap. Diantara udzur atau alasan
tersebut adalah sebagai berikut. Pemilik tanah mempunyai utang yang besar dan
mendesak, sehingga tanah yang sedang digarap oleh penggarap harus dijual
kepada pihak lain dan tidak ada harta yang lain selain tanah tersebut. Timbulnya
udzur (alasan) dari pihak penggarap, misalnya sakit atau bapergian untuk kegiatan
usaha, atau jihad fi sabilillah, sehingga ia tidak bisa mengelola (penggarap) tanah
tersebut.
Menurut Abu Yusuf dan Muhammad bentuk muzara’ah ada
empat macam, tiga hukumnya sah dan yang satu hukumnya batal
atau fasid. Bentuk-bentuk tersebut adalah sebagai berikut:
1. Tanah dan bibit (benih) dari satu pihak, sedangkan pekerjaan dan alat-alat
untuk bercocok tanam dari pihak lain. Dalam bentuk yang pertama ini muzara’ah
hukumnya dibolehkan, dan status pemilik tanah sebagai penyewa terhadap tenaga
penggarap dan benih dari pemilik tanah, sedangkan alat ikut kepada penggarap.
2. Tanah disediakan oleh suatu pihak, sedangkan alat, benih, dan tenaga
(pekerjaan) dan pihak lain. Dalam bentuk yang kedua ini, muzara’ah juga

19
hukumnya dibolehkan, dan status penggarap sebagai penyewa atas tanah dengan
imbalan sebagai hasilnya.
3. Tanah, alat dan benih disediakan oleh satu pihak (pemilik), sedangkan tenaga
(pekerjaan) dari pihak lain (penggarap). Dalam bentuk yang ketiga ini, muzara’ah
hukumnya di bolehkan, dan status pemilik tanah sebagai penyewa terhadap
penggarap dengan imbalan sebagai hasilnya.
4. Tanah dan alat disediakan oleh suatu pihak (pemilik), sedangkan benih dan
pekerjaan dari pihak lain (penggarap). Dalam bentuk yang keempat ini, menurut
Zhahir riwayat, muzaraah menjadi fasid. Hal ini dikarenakan ada ikatan akad, itu
dianggap sebagai menyewa tanah maka disyaratkannya alat cocok tanam dari
pemilik tanah menyebabkan sewa-menyewa menjadi fasid, sebab tidak mungkin
alat ikut pada tanah karena keduanya berbeda manfaatnya. Demikian pula apabila
akadnya dianggap menyewa tenaga penggarap maka disyaratkannya benih harus
dari penggarap, menyebabkan ijarah menjadi fasid, sebab benih tidak ikut kepada
amil (penggarap) melainkan kepada pemilik.

4. Skema muzara’ah dalam perbankan syariah


Peningkatan layanan bank kepada sektor pertanian dengan
cara memperluas jaringan melalui kerjasama dengan berbagai
instansi-instansi keuangan mikro. Kerj asama pembi ayaan
berbentuk linkage program dengan lembaga keuangan mikro
syariah, seperti BMT , BPRS, dan pegadaian. Perluasan jaringan
juga bisa dilakukan dengan Office Channelling. Optimalisasi peran
office channelling di harapkan mampu mengatasi keterbatasan
jaringan dan infrastruktur perbankan syariah sehingga akses para
petani terhadap bank syariah bisa terpenuhi. Keempat,
mengembangkan produk Muzaraah sebagai salah satu instrumen
dalam pembiayaan sektor pertanian. Ini karena akad muzaraah
sangat mungkin dilakukaninovasi sebagai model pembi ayaan yang
applicable. Menurut beberapa ulama fikih kontemporer, akad muza
raah bisa dikemba ngkan menjadi 70 macam model pembiayaan
pada sektor pertanian yang semuanya di perbolehkan dalam

20
pandangan syariat. Jika perbankan syariah dapat memainkan
peranannya dengan optimal, bukan mustahil suatu saat sektor
pertanian akan menjadi tulang punggung per ekonomian

Indonesia.

Bagi Hasil Sesuai Dengan Perjanjian

Bank Syariah Pengelolaan

Lahan Pertanian
Penyedia Modal (Lahan, Benih, Pengelolaan Keahlian,
Pupuk, Pestisida, dll) Tenaga, Waktu

Hasil Pertanian

C. Musaqah

1. Pengertian Musaqah
Secara sederhana Musaqah diartikan dengan kerjasama
dalam perawatan tanaman dengan imbalan bagian dari hasil yang
diperoleh dari tanaman tersebut.28 Menurut Amir Syarifuddin,
yang dimaksud dengan tanaman dalam muamalah ini adalah
tanaman tua, atau tanaman keras yang berbuah untuk
mengharapkan buahnya. Perawatan disini mencakup mengairi
(inilah arti sebenarnya musaqah) menyiangi, merawat dan usaha
lain yang berkenaan dengan buahnya.
Musaqah diambil dari kata al-saqa, yaitu seseorang bekerja
pada pohon tamar, anggur (mengurusnya), atau pohon-pohon yang
lainnya supaya mendatangkan kemaslahatan dan mendapatkan
bagian tertentu dari hasil yang diurus sebagai imbalan.

21
Musaqah adalah bentuk yang lebih sederhana dari
muzara‟ah dimana si penggarap hanya bertanggung jawab atas
penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan, si penggarap
berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen.
Secara umum musaqah adalah salah satu bentuk kerja sama
antara pemilik lahan dan penggarap di mana penggarap bertugas
untuk merawat tanaman saja. Adapun keduanya tetap melakukan
bagi hasil sesuai kesepakatan dalam akad.
Para ulama fiqih seperti Abdurrahman al-Jaziri sebagaimana
dikutip dari buku Fiqih Muamalat karya Abd. Rahman Ghazaly
mendefinisikan musaqah sebagai akad untuk pemeliharaan pohon
kurma, tanaman (pertanian), dan yang lainnya dengan syarat-syarat
tertentu. Sementara itu, ulama Syafi'iyah mengatakan musaqah
adalah mempekerjakan petani penggarap untuk menggarap kurma
atau pohon anggur saja dengan cara mengairi dan merawatnya.
Hasil kurma atau anggur itu dibagi bersama antara pemilik dan
petani yang menggarap.
Kerja sama dalam bentuk musaqah ini berbeda dengan
mempekerjakan tukang kebun untuk merawat tanaman. Hal ini
karena hasil yang diterima berupa upah dengan ukuran yang telah
pasti.
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa musaqah hukumnya
boleh atau mubah. Hal ini mengacu pada salah satu hadits nabi
SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim.
Dari Ibnu Umar, sesungguhnya Nabi Muhammad SAW
telah memberikan kebun beliau kepada penduduk Khaibar agar
dipelihara oleh mereka dengan perjanjian: mereka akan
memperoleh dari penghasilannya, baik dari buah-buahan maupun
hasil tanamannya (HR. Muslim).
Secara etimologi, al-musaqah berarti transaksi dalam
pengairan, yang oleh penduduk Madinah disebut dengan al-
mu‟amalah. Secara terminologis fiqh, al-musaqah didefinisikan

22
oleh para ulama fiqh dengan : “penyerahan sebidang kebun pada
petani untuk digarap dan dirawat dengan ketentuan bahwa petani
mendapatkan bagian dari hasil kebun itu”. Musaqah, didefinisikan
oleh para ulama, sebagaimana dikemukakan oleh Abdurrahman al-
Jaziri, sebagai berikut:
“Akad untuk pemeliharaan pohon kurma, tanaman (pertanian), dan hal lainnya,
dengan syarat-syarat tertentu”.
Menurut Malikiyah, musaqah ialah:
“sesuatu yang tumbuh ditanah”.
Menurut Malikiyah, sesuatu yang tumbuh ditanah terbagi menjadi lima macam,
yaitu sebagai berikut :
a. Pohon-pohon tersebut berakar kuat (tetap) dan berbuah. Buah itu dipetik serta
pohon tersebut tetap ada dengan waktu yang lama, misalnya pohon anggur dan
zaitun.
b. Pohon-pohon tersebut berakar tetap, tetapi tidak berbuah, seperti pohon kayu
keras, karet dan jati.
c. Pohon-pohon tersebut tidak berakar kuat, tetapi berbuah dan dapat dipetik
seperti padi.
d. Pohon-pohon yang tidak berakar kuat dan tidak ada buahnya yang dapat
dipetik, tetapi memiliki kembang yang bermanfaat, seperti bunga mawar.
e. Pohon-pohon yang diambil manfaatnya, bukan buahnya, seperti tanaman hias
yang ditanam dihalaman rumah dan ditempat lainnya.

Sedangkan menurut ulama Syafi‟iyah mendifinisikan


dengan :
“mempekerjakan petani penggarap untuk menggarap kurma atau pohon anggur
saja dengan cara mengairi dan merawatnya dan hasil kurma atau anggur itu dibagi
bersama antara pemilik dengan petani penggarap.
Menurut ulama Hanabilah, musaqah mencakup dua
masalah berikut ini:

23
a. Pemilik menyerahkan tanah yang sudah ditanami, seperti pohon anggur, kurma
dan yang lainnya. Baginya, ada buah yang dapat dimakan sebagai bagian tertentu
dari buah pohon tersebut, seperti sepertiga atau setengahnya.
b. Seseorang menyerahkan tanah dan pohon, pohon tersebut belum ditanamkan,
maksudnya supaya pohon tersebut ditanam pada tanahnya, yang menanam akan
memperoleh bagian tertentu dari buah pohon yang ditanamnya, yang kedua ini
disebut munashabah mugharasah karena pemilik menyerahkan tanah dan pohon-
pohon untuk ditanamkannya.
Dengan demikian, akad al-musaqah adalah sebuah bentuk kerjasama pemilik
kebun dengan petani penggarap dengan tujuan agar kebun itu dipelihara dan
dirawat sehingga memberikan hasil yang maksimal. Kemudian segala sesuatu
yang dihasilkan pihak kedua berupa buah adalah merupakan hak bersama antara
pemilik dan penggarap sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat.

2. Landasan Hukum Musaqah


Dasar hukum musaqah yang bersumber dari al-Qur‟an
diantaranya adalah : Q.S. al-Maidah (5): 2
Artinya:”...Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran...”.
Dalam ayat tersebut Allah SWT memerintahkan pada setiap orang orang yang
beriman untuk memenuhi janji-janji yang telah diikrarkan, baik janji prasetya
hamba kepada Allah SWT maupun janji yang dibuat antara manusia seperti yang
bertalian dengan perdagangan perkawinan dan sebagainya, selama janji itu tidak
melanggar syariat Allah.
Selain itu, dijelaskan dalam Q.S al-Baqarah (2): 282
Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di
antara kamu menuliskannya dengan benar...”
Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah SWT memerintahkan kepada hambanya
dimuka bumi yang melakukan kegiatan usaha kerjasama diantara kamu,
hendaklah dilakukan secara tertulis dan tidak dilakukan secara lisan agar terhindar

24
dari hal-hal yang bisa merugikan dalam suatu kerjasama. Adapun kaitannya
dengan jangka waktu kerjasama ini yaitu dijelaskan juga dalam Q.S al-Qashash
(28): 28 sebagai berikut:
Artinya : “ Dia (Musa) berkata: "Itulah (perjanjian) antara aku dan kamu. mana
saja dari kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, Maka tidak ada
tuntutan tambahan atas diriku (lagi)...”. Selain ayat diatas, asas hukum musaqah
ialah sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ibnu Amr.r.a.,
bahwa Rasulullah Saw. Bersabda:
“Memberikan tanah Khaibar dengan bagian separoh dari penghasilan, baik buah-
buahan maupun pertanian (tanaman). Pada riwayat lain dinyatakan bahwa Rasul
menyerahkan tanah Khaibar itu kepada Yahudi, untuk diolah dan modal dari
hartanya, penghasilan separohnya untuk Nabi.”
Dalam menentukan keabsahan akad musaqah dari segi
syara‟, terdapat perbedaan pendapat ulama fiqh. Imam Abu
Hanifah dan Zufair ibn Huzail berpendirian bahwa akad al-
musaqah dengan ketentuan petani penggarap mendapatkan
sebagian hasil kerjasama ini adalah tidak sah, karena al-musaqah
seperti ini termasuk mengupah seseorang dengan imbalan sebagian
hasil yang akan dipanen dari kebun itu. Hal ini menurut mereka
termasuk kedalam larangan Rasul saw. Dalam sabdanya yang
berbunyi: Siapa yang memiliki sebidang tanah, hendaklah ia
jadikan dan oleh sebagai tanah pertanian dan jangan diupahkan
dengan imbalan sepertiga atau seperempat (dari hasil yang akan
dipanen) dan jangan pula dengan imbalan itu dengan imbalan
sejumlah makan tertentu. (HR al-Bukhari dan Muslim dari Rafi‟
ibn Khudajj) Jumhur ulama fiqh, termasuk Abu Yusuf dan
Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani, kedua tokoh fiqh Hanafi,
berpendirian bahwa akad al-musaqah dibolehkan. Alasan
kebolehan akad al-musaqah, menurut mereka, adalah sebuah hadis
dari Abdullah ibn Umar yang menyatakan bahwa: Bahwa
Rasulullah saw. melakukan kerjasama perkebunan dengan
penduduk khaibar dengan ketentuan bahwa mereka mendapatkan

25
sebagian sebagian dari hasil kebun atau pertanian itu (HR al-
Jama‟ah) Disamping kedua hadis diatas, kebolehan al-musaqah
jika didasarkan atas ijma‟ (kesepakatan para ulama fiqh), karena
sudut mereka merupakan suatu transaksi yang amat dibutuhkan
oleh umat untuk memenuhi keperluan hidup mereka.
Alasan lain yang mereka kemukakan adalah bahwa
sebagian pemilik tanah perkebunan tidak mampu atau tidak
mempunyai kesempatan untuk mengolah sendiri perkebunannya.

3. Rukun dan Syarat Musaqah


Kerjasama dalam bentuk musaqah ini berbeda dengan
mengupah tukang kebun untuk merawat tanaman, karena hasil
yang diterimanya adalah upah yang telah pasti ukurannya dan
bukan dari hasilnya yang belum tentu. Sebagai kerjasama yang
timbul dari kehendak bersama, maka kerjasama ini memerlukan
suatu perjanjian atau akad dengan cara dan bentuk yang sama-sama
diketahui dapat menunjukkan telah terjadi kerjasama secara
sukarela (suka sama suka).
Terdapat beberapa perbedaan dikalangan ulama fiqh
terhadap rukun-rukun musaqah. Ulama Hanafiyah berpendirian
bahwa yang menjadi rukun dalam akad adalah ijab dari pemilik
tanah perkebunan dan qabul dari petani penggarap, dan pekerjaan
dari pihak petani penggarap.Sedangkan rukun-rukun musaqah
menurut ulama Syafi‟iyah ada lima berikut ini.
a. Shigat, yang dilakukan kadang-kadang dengan jelas (sharih) dan dengan
samaran (kinayah). Disyaratkan shigat dengan lafazh dan tidak cukup dengan
perbuatan saja.
b. Dua orang atau pihak yang berakad (al-„aqidani), disyaratkan bagi orang-orang
berakad dengan ahli (mampu) untuk mengelola akad, seperti baligh, berakal, dan
tidak berada dibawah pengampuan.
c. Kebun dan semua pohon yang berbuah, semua pohon yang berbuah boleh
diparokan (bagi hasil), baik yang berbuah tahunan (satu kali dalam setahun)

26
maupun yang buahnya hanya satu kali kemudian mati, seperti padi, jagung, dan
yang lainnya.
d. Masa kerja, hendaklah ditentukan lama waktu yang akan dikerjakan, seperti
satu tahun atau sekurang-kurangnya menurut kebiasaan. Dalam waktu tersebut
tanaman atau pohon yang diurus sudah berbuah, juga yang harus ditentukan ialah
pekerjaan yang harus dilakukan oleh tukang kebun, seperti menyiram, memotongi
cabang-cabang pohon yang akan menghambat kesuburan buah, atau
mengawinkannya.
e. Buah, hendaklah ditentukan bagian masing-masing (yang punya kebun dan
bekerja dikebun), seperti seperdua, sepertiga, seperempat, atau ukuran yang
lainnya.
Rukun Musaqah:
Manurut Jumhur ulama fiqh dari kalangan Malikiyah,
Syafi'iyah, dan Hanabilah rukun musaqah terdiri dari lima hal
sebagai berikut:
1. Dua orang/ pihak yang melakukan transaksi
2. Tanah yang dijadikan objek musaqah
3. Jenis usaha yang akan dilakukan petani penggarap
4. Ketentuan mengenai pembagian hasil musaqah
5. Shighat (ungkapan) ijab dan kabul
Sementara itu, ulama Hanafiyah berpendapat bahwa yang
menjadi rukun dalam akad musaqah adalah ijab dari pemilik tanah
perkebunan, kabul dari petani penggarap, dan pekerjaan dari pihak
penggarap.
Syarat Musaqah:
1. Kedua belah pihak yang melakukan transaksi musaqah harus dewasa (akil
balig) dan berakal.
2. Objek musaqah harus terdiri dari pepohonan yang mempunyai buah seperti
kurma, anggur, dan terong. Namun, ulama dari kalangan Hanafiyah mengatakan
musaqah juga berlaku untuk pepohonan yang tidak berbuah jika hal itu
dibutuhkan oleh masyarakat.

27
Sementara itu, ulama Malikiyah berpendapat bahwa objek musaqah berupa
tanaman keras dan palawija dengan syarat akad musaqah dilakukan sebelum buah
layak panen, tenggang waktu jelas, akad dilakukan setelah tanaman tumbuh, dan
pemilik kebun tidak mampu mengolah dan memelihara tanaman tersebut.
3. Tanah diserahkan sepenuhnya kepada petani penggarap setelah berlangsungnya
akad. Pemilik tanah tidak ada campur tangan setelahnya.
4. Hasil panen merupakan hak bersama. Adapun pembagian disesuaikan dengan
kesepakatan yang telah dibuat di awal.
5. Lamanya perjanjian harus jelas.
Lantas, kapan akad musaqah akan berakhir? Para ulama
fiqih berpendapat bahwa musaqah akan berakhir apabila:
1. Tenggang waktu yang disepakati dalam akad telah habis.
2. Salah satu pihak meninggal dunia.
3. Ada uzur yang membuat salah satu pihak tidak boleh melanjutkan akad.
Adapun uzur yang dimaksud seperti mencuri hasil tanaman dan sakit yang
memungkinkan penggarap tidak bisa bekerja.
Namun demikian, merujuk pada pendapat ulama Malikiyah,
apabila salah satu pihak meninggal dunia, maka akad musaqah
boleh diwarisi dan tidak boleh dibatalkan hanya karena ada uzur
dari pihak petani.

4. Skema Akad Musaqah

Perjanjian Bagi Hasil

Pemilik Kebun Pengelola Kebun

Lahan Perkebunan

Hasil Panen

28
Penjelasan :
Musaqah merupakan bentuk yang lebih sederhana dari
muzara’ah. Dimana penggarap hanya bertanggung jawab atas
penyiraman dan pemeliharaan tanaman. Sebagai imbalannya,
penggarap berhak mendapatkan nisbah tertentu dari hasil panen
sesuai kesepakatan dalam akad.
Dalam akad musaqah, pemilik kebun mengamanahkan kebunnya kepada
pengelola kebun untuk dikelola (penyiraman dan pemeliharaan) karena si pemilik
kebun ada sesuatu halangan yang menyebabkan ia tidak bisa memelihara
kebunnya, misalnya karena ada kesibukan bekerja atau sebagainya. Sehingga, ia
menyerahkan kebunnya untuk dikelola oleh pengelola kebun. Dalam hal ini,
pemilik kebun menyediakan kebun, biaya pemeliharaan, nafaqah tanaman seperti
pupuk, pestisida dan sejenisnya sedangakan pengelola kebun menyediakan waktu
dan tenaganya untuk melakukan tugas dan tanggung jawabnya yang berhubungan
dengan tanaman, seperti menyirami, mengawinkan, menjaga. Apabila kebun
sudah membuahkan hasil, maka terjadilah bagi hasil antara pemilik dan pengelola
yang jumlahnya menurut kesepakatan bersama dan perjanjian itu disebutkan
dalam akad.

29
D. Mukharabah

1. Pengertian Mukharabah
Secara bahasa, mukhabarah memiliki pengertian “tanah gembur” atau
“lunak”. Menurut istilah, mukhabarah memiliki arti mengerjakan tanah milik
orang lain, baik itu seperti sawah atau ladang dengan adanya pembagian hasil di
antara para pihak (boleh seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya
pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakan (pengelola).
Menurut Ulama Syafi’iyah, mukhabarah adalah mengelola tanah di atas sesuatu
yang dihasilkannya dan benihnya berasal dari pengelola.
Adapun pengertian lain dari mukhabarah menuru para ahli yakni:
1. Menurut dhahir nash, Al-Syafi’i berpendapat bahwa mukhabarah ialah
menggarap tanah dengan apa yang dikeluarkan dari tanah tersebut.
2. Syaikh Ibrahim al-Bajuri berpendapat bahwa mukhabarah ialah sesungguhnya
pemilik hanya menyerahkan tanah kepada pekerja dan modal dari pengelola.
Mengenai hubungan antara mukhabarah dan muzara’ah,
Imam Bukhari merupakan salah seorang ulama yang berpandangan
bahwa keduanya (muzara’ah dan mukhabarah) adalah satu makna,
hal ini berdasarkan hadits berikut: “... seandainya engkau mau
meninggalkan mukhabarah, karena sesungguhnya mereka mengaku
bahwa Nabi saw. melarangnya.”
Penggalan hadits di atas dalam pengertian ini tidak dimaksudkan untuk
pelarangan dilakukannya mukhabarah. Melainkan untuk menjelaskan bahwa
pembahasan mengenai mukhabarah ini sangat erat kaitannya dengan muzara’ah.
Sehingga apabila selanjutnya dipertanyakan mengenai ketentuan yang berlaku di
dalam mukhabarah, maka hal tersebut akan sering dikaitkan dan dibandingkan

30
dengan muzar’ah. Sebab, keduanya merupakan satu makna, di mana mukhabarah
itu sendiri muncul karena adanya muzara’ah. Hal lainnya yang menjadi alasan
mengapa mukhabarah sering dikaitkan dengan muzara’ah adalah karena dalam
praktiknya, mukhabarah dilakukan oleh dua orang yang sepakat untuk bekerja
sama dalam pengelolaan lahan. Salah satu pihak adalah pemilik lahan, dan
satunya lagi berperan sebagai pengelola.
Perbedaannya hanya terdapat di pengadaan benih yang hendak ditanam.
At-Tirmidzi turut meriwayatkan hadits di atas dari Amr bin Dinar, dengan ُTَُ َ‫زا َر َع َح‬
lafadz ْ َ‫ )ز ْم َت اى ٘ ْ تَ َى‬seandainya engkau meninggalkan muzara’ah). Hal ini
kembali diperkuat oleh Ibn Al-Arabi yang merupakan seorang ahli bahasa,
“Bahwasanya, makna asal kata mukhabarah adalah memberikan Khaibar.”
Dari beberapa penjelasan mengenai makna mukhabrah di atas, dapat
dilihat ada banyak pemaknaan terhadap mukhabarah, namun pada dasarnya
menuju ke satu arah yang sama. Berdasarkan hal tersebut, dapat diambil
kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan mukhabarah adalah suatu kegiatan
kerja sama antara pemilik lahan dan pengelola dalam menggarap suatu lahan baik
itu pertanian maupun perkebunan agar menjadi produktif/menghasilkan.
Spesifikasi untuk membedakan mukhabarah dengan akad kerja sama lainnya
dalam perkebunan dapat dilihat dari pengadaan bibit dan kinerja pengelola yang
lebih aktif dibandingkan pemilik lahan. Jika dalam muzara’ah pengadaan bibit
dilakukan oleh pemilik lahan, maka dalam mukhabarah, benih atau bibit yang
akan ditanami disediakan oleh pihak pengelola. Pihak pengelola sendiri tidak
hanya bertugas untuk menyediakan benih saja, namun juga turut mengurus segala
keperluan dalam penggarapan lahan tersebut, seperti pengadaan pupuk dan
pembersihan lahan. Adapun pembagian hasilnya akan dibagi setelah masa panen
dengan perbandingan sesuai kesepakatan kedua belah pihak.

2. Landasan Hukum Mukharabah


1. Dalam Al-Qur’an
Dasar hukum mukhabarah yang bersumber dari Al- Qur’an diantaranya
adalah: Q.S Al-Zukhruf Ayat 3 :

31
Artinya: “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah
menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan
Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa
derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan
rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”
Ayat tersebut menegaskan bahwa penganugrahan rahmat Allah, apalagi
pemberian wahyu, semata-mata adalah wewenang Allah, bukan manusia, apakah
mereka yang musyrik, durhaka, dan bodoh itu yang dari saat ke saat dan secara
bersinambuga membagi-bagi rahmat tuhanpemelihara dan pelimpah rahmat
bagimu, wahai nabi yang agung, tidak kami telah membagi melalui penetapa
hukum-hukum kami tetap kan atara mereka serta berdasar kebijaksanaan kami
baik yang bersifat umum maupun khusus kami telah membagi-bagi sarana
kehidupan dalam kehidupan dunia karena mereka tidak dapat melakukannya
sendiri dan kami telah meningkatkan sebagian mereka dalam harta benda, ilmu,
kekuatan, dan lain-lain atas sebagian yang lain peninggian beberapa derajat agar
sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain sehingga mereka
dapat tolong menolong dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Adapun dalam ayat lain dalam Al-Qur’an yakni dalam QS. Al- Waqi’ah
ayat 63-64
Artinya: Maka Terangkanlah kepadaku tentang yang kamu tanam.Kamukah yang
menumbuhkannya atau kamikah yang menumbuhkannya.
Dalam ayat diatas menjelaskan tentang, beritahukanlah kepadaku tentang
tanaman yang kamu tanam, apakah kamu yang menumbuhkan ataukah kami yang
menumbuhkannya, maksudnya, apakah kamu yang membuatnya menjadi tanama
yang tumbuh atakah kami yang menjadikannya begitu.
2. Dalam Hadist
Serta ada juga dasar hukum akad mukhabarah terdapat dalam beberapa
hadist, diantaranya yaitu:
a. Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits yang menjadi dasar hukum
diperbolehkannya melakukan mukhabarah, yaitu:
Yang berbunyi: “Dari Thawus r.a bahwa ia suka bermukhabarah. Umar r.a
berkata: Lalu aku katakan kepadanya, ya Abu Abdurrahman, kalau engkau

32
tinggalkan mukhabarah ini, nanti mereka mengatakan bahwa Nabi saw telah
melarang mukhabarah. Lantas Thawus berkata: Hai Umar, telah menceritakan
kepadaku orang yang sungguh-sungguh mengetahui akan hal itu, yaitu Ibnu
Abbas bahwa Nabi saw tidak melarang mukhabarah itu, hanya beliau berkata:
seseorang memberi manfaat kepada saudaranya lebih baik daripada ia mengambil
manfaat dari saudaranya itu dengan upah tertentu”. (HR. Muslim)
Hadits di atas menjelaskan mengenai adanya praktik mukhabarah yang
dilakukan oleh sahabat Rasulullah. Berdasarkan apa yang mereka lakukan
tersebut, dapat kita lihat bahwa Rasulullah sama sekali tidak melarang
dilakukannya mukhabarah, karena sebagaimana yang kita ketahui, bahwa semua
jenis muamalah itu diperbolehkan, hingga ada dalil yang melarangnya. Oleh
karena itu, hukum melakukan mukhabarah sendiri adalah boleh (mubah), dengan
cacatan apa yang dilakukan tersebut dapat memberikan manfaat yang baik kepada
sesama atau berlandaskan keinginan untuk menolong tanpa adanya tujuan lain
dengan maksud menipu atau merugikan.
b. Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, Ibn Majah dan Ahmad:
Yang berbunyi: Dari Anas r.a berkata: “Suatu ketika Rasulullah saw. Lewat pada
semua kaum yang melakukan penyerbukan bakal kurma. Rasulullah saw.
bersabda: Andaikan engkau biarkan saja, niscaya akan menjadi kurma yang
bagus.” Anas berkata: “Setelah mereka mengikuti perintah Rasulullah saw. untuk
tidak melakukan penyerbukan, ternyata menjadi buah kurma yang bongkeng.”
Kemudian Rasulullah saw. lewat dan menanyakan: “Ada apa dengan kurma
kamu?” Mereka mengatakan: “Hal ini terjadi karena kami mengikuti perintah
engkau.” Rasulullah saw. bersabda: “Kalian lebih mengetahui terhadap urusan
dunia kalian.” (HR. Muslim, Ibn Majah dan Ahmad)

3. Rukun dan Syarat Mukharabah


Adapun rukun mukhabarah menurut jumhur ulama, antara lain:
1. Aqid, yaitu orang yang melakukan kesepakatan dengan jumlah yang terdiri atas
dua orang atau lebih.
2. Ma’qud alaih, merupakan benda-benda (objek) yang diakadkan.
3. Maudhu al-aqd, adalah tujuan pokok dari diadakannya akad.

33
4. Shighat al-aqd, yang terdiri dari ijab dan qabul.
Adapun yang menjadi rukun dari mukhabarah, ulama Hanabilah
mengemukakan pendapat bahwa mukhabarah tidak memerlukan qabul secara
lafazh, tetapi cukup dengan mengerjakan tanah atau lahan. Hal ini sudah dianggap
qabul. Menurut ulama Hanafiah, rukun mukhabarah adalah akad, yaitu adanya
ijab dan qabul antara pemilik lahan dan pengelola.
Adapun secara rinci, ulama Hanafiah mengklasifikasikan
rukun mukhabarah menjadi 4, antara lain:
1) Tanah;
2) Perbuatan pekerja;
3) Modal;
4) Alat-alat untuk menanam.
Sedangkan menurut ulama Malikiah, muzara’ah diharuskan
menaburkan benih di atas lahan yang telah disediakan. Namun
apabila itu mukhabarah, maka benih yang akan ditaburkan tersebut
berasal dari pengelola. Berikut adalah rukun mukhabarah yang
dikemukakan oleh jumhur ulama, yaitu:
1. Pemilik lahan;
2. Petani penggarap (pengelola);
3. Objek muzara‟ah/mukhabarah, yaitu antara manfaat lahan dan hasil kerja
pengelola;
4. Ijab (ungkapan penyerahan mencari lahan untuk diolah dari pengelola).
Adapun syarat-syarat mukhabarah menurut jumhur ulama,
yaitu sebagai berikut:
1. Para pihak yang berakad (pemilik tanah dan penggarap). Kedua pihak ini
diisyaratkan haruslah orang yang baligh dan berakal sehat.
2. Objek yang dijadikan tujuan akad (lahan pertanian), diisyaratkan agar tempat
tersebut layak untuk ditanami dan dapat menghasilkan serta tempat tersebut sudah
ditetapkan secara pasti atau jelas status hukumnya.
3. Hasil yang ditetapkan harus jelas dan pembagiannya ditentukan saat akad dan
telah disetujui oleh kedua belah pihak.

34
4. Adanya shighat (ijab kabul), yaitu ungkapan khusus yang menunjukkan adanya
akad.

4. Skema Mukharabah Dalam Perbankan


Secara umum, mukhabarah dapat digambarkan dala skema sebagai berikut:

Pengelola menyediakan Pembagian hasil


Pemilik keuntungan di
memberikan lahan bibit dan mengurus
lahan selama jangka antara pihak setelah
kepada pengelola panen
waktu yang disepakati

Para pihak boleh Akad berakhir


Akad berakhir
melanjutkan kerja setelah masa
setelah jangka waktu
sama jika saling kontrak selesai
yang ditentukan
sepakat

Penjelasan dari skema diatas adalah sebagai berikut: Lahan kepada pemilik

Perjanjian bagi hasil pengelolaan tanah pertanian dilakukan oleh kedua


belah pihak yaitu pihak pemilik lahan dan petani penggarap (pengelola) atas
sebuah lahan pertanian, dimana pihak pertama (pemilik lahan) menyediakan lahan
untuk selanjutnya diserahkan kepada pihak kedua (petani penggarap) untuk
digarap dengan menyediakan bibit, pupuk, keahliannya, waktu, tenaga yang
dimilikinya oleh petani penggarap, dengan persentase pembagian hasil dari lahan
tersebut pada waktu panen sesuai dengan kesepakatan keduanya.

35
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
A. Musyarakah adalah produk pembiayaan pada Bank Syariah yang
berbasis kemitraan. Begitu pentingnya akad, sehingga apabila terjadi
permasalahan dikemudian hari maka yang menjadi acuan penyelesaian masalah
berpedoman kepada Akad yang telah dibuat. Karena bila akad telah
ditandatangani, itu artinya pihak yang menandatangani sudah setuju dengan apa
yang tertuang dalam akad tersebut.
B. Syirkah wujuh merupakan kerjasama usaha antara dua belah pihak atau
lebih yang masing-masing pihak memberikan kontribusi kerja (amal). Para pihak
ini membeli barang dengan cara pembayaran kredit/tunda kepada pemilik barang,
kemudian menjual kembali secara tunai. Terkadang para pihak itu juga
memperoleh 100% modal dari shahibul maal.
C. Syirkah al-‘inân adalah kontak antara dua orang atau lebih, setiap orang
memberikan suatu porsi dari modal dan partisipasi dalam kerja semua pihak
berbagi dalam keuntungan dan kerugian sebagaimana disepakati oleh mereka,
namun porsi masing masing pihak (baik dalam kontribusi modal kerja maupun
bagi hasil) tidak harus sama atau identik, tapi sesuai dengan kesepakatan mereka.
Musyârakah jenis ini yang diaplikasikan dalam perbankan syariah. Syirkah
al-‘inân ini para pihak berserikat mencampurkan modal dalam jumlah yang tidak
sama.
D. Musyarakah Abdan adalah kontrak kerjasama dua orang seprofesi untuk
menerima pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan dari pekerjaan secara
bersama dan berbagi keuntungan dari pekerjaan itu, misalnya, kerjasama dua
orang arsitek untuk menggarap sebuah proyek.
E. Syirkah mufawadhah adalah syirkah antara 2 pihak atau lebih yang
menggabungkan semua jenis syirkah di atas (syirkah inan, 'abdan, mudharabah
dan wujuh). Syirkah mufawadhah ini dapat diartikan sebagai serikat untuk
melakukan suatu negosiasi, dalam hal ini tentunya untuk melakukan sesuatu

36
pekerjaan atau urusan, yang dalam istilah sehari-hari sering digunakan istilah
partner kerja atau grup.
F. Istilah mudharabah berasal dari kata 'dharaba'. Arti harfiyahnya adalah
memukul. Sehingga bentuk 'mudharabah' berarti saling memukul. Namun
tentunya bukan itu makna kata mudharabah yang dimaksud dalam pengertian ini.
Sebenarnya kata 'dharaba' dalam bahasa Arab tidak semata-mata berarti memukul,
juga bisa berarti melakukan perjalanan.
G. Muzara’ah adalah kerjasama antara pemilik lahan dengan penggarap
dan benihnya dari pemilik lahan, sedangkan mukhabarah adalah kerjasama antara
pemilik lahan dengan penggarap dan benihnya dari penggerap.
H. Secara sederhana Musaqah diartikan dengan kerjasama dalam
perawatan tanaman dengan imbalan bagian dari hasil yang diperoleh dari tanaman
tersebut.
I. Secara bahasa, mukhabarah memiliki pengertian “tanah gembur” atau
“lunak”. Menurut istilah, mukhabarah memiliki arti mengerjakan tanah milik
orang lain, baik itu seperti sawah atau ladang dengan adanya pembagian hasil di
antara para pihak (boleh seperdua, sepertiga atau seperempat).

37
DAFTAR PUSTAKA

- Kamus Tokopedia. (2009). Tokopedia KamusKeuangan : Musyarakah.


Diakses pada 12 Oktober 2021, https://kamus.tokopedia.com/m/musyarakah
- Riadi, Muchlisin. (2020). Musyarakah (Pengertian, Hukum, Rukun, Syarat,
Jenis dan Ketentuan Pembiayaan). Diakses pada 12 Oktober 2021,
KajianPustaka.com
- Anshori, Abdul Ghofar. (2010). Hukum perjanjian Islam di Indonesia
(konsep, regulasi, dan implementasi). Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press.
- Dhulfa, Uti Indana. (2020). ANALISIS PELAKSANAAN PEMBIAYAAN
MUSYARAKAH PADA BANK SYARIAH (STUDI DI BANK SYARIAH
MANDIRI KC. ACEH). (Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh,
2020. Diakses dari https://repository.ar raniry.ac.id/id/eprint/12993/1/Uti
%20Indana%20Dhulfa%2C%20170603276%2C%20FEBI%2C%20PS%2C
%20082279291452.pdfFretty. (2021). Pengertian Syirkah : Jenis, Dalil,
Rukun dan Syarat. Diakses pada 12 Oktober 2021, Dosenpintar.com
- Maruta, H. (n.d.). AKAD MUDHARABAH, MUSYARAKAH, DAN
MURABAHAH SERTA APLIKASI DALAM MASYARAKAT.
- Musfiroh, M. F. (2016). MUSYÂRAKAH DALAM EKONOMI ISLAM .
APLIKASI MUSYÂRAKAH DALAM FIQIH DAN PERBANKAN SYARIAH, 4-
5.
- Sa’diyah, M. (2014). MUSYARAKAH DALAM FIQIH DAN
PERBANKAN SYARIAH .
- https://arsippkuliah.blogspot.com/2017/03/makalah-syirkah.html
- https://umma.id/article/share/id/1006/283574
- https://www.slideshare.net/EncepBahauddin/10-h-u-ku-m-s-y-i-r-k-a-h-1
- http://repository.radenintan.ac.id/1588/3/BAB_II.pdf
- Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam, penerjamah: Soeroyo dan
Nastangih, edisi Lisensi (Yogyakarta: Dana Bhakti, 1995), h.265.

38
- Abu al Fadhl Jamaluddin Ibn Mandzur, Lisan al Lisan Tahzib Lisan al ‘Arab,
Beirut: Dar al Kutub al 'Ilmiyah, 1993, Cet. ke-1, Juz ke-2
- Abdul Rahman Ghazaly dkk, fiqh muamalat. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2010.
- Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar dkk, Ensiklopedi Fiqih Muama
- Wahban Zuhaili, Al-Fiqhi al-Islamiy wa Adillatuh (Juz 5; Damaskus: Dar-
Fikri, 1986), h. 615.
- (HR. Bukhari) Imam Abu Husain, Muslim Ibn Hajjaji, Shahih Muslim, Juz
III (Beirut Dar alKutub al-Ilmiah, 1413h. 1992 m) h. 1173.
- Abdul Rahman Ghazaly dkk, fiqh muamalat (cet.I; Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2010), h.116-117.
- Fauzan, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (Cet.I; Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2010), h.76-79.
- Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar dkk, Ensiklopedi Fiqih Muamalah
dalam Pandangan Empat Mazhab (cet.I, Yogyakarta: Maktabah al-Hanif,
2009), h. 310.
- Wahyu, A. Rio Makkulau, 2019. “Sistem Penggarapan Lahan Pertanian
Masyarakat: Perspektif Ekonomi Islam” dalam Al-Azhar Jornal Of Islamic
Economics volume 1 (hlm. 1-15). Parepare : Program studi ekonomi
syariah,sekolah tinggi agama islam ( STAI ) Al-Azhar Gowa
- Agama, RI Depertemen. 2015. “ TINJAUN UMUM TENTANG AKAD
MUZARA’AH,
“https://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/1785/3/082411052_Bab2.pdf,
diakses pada 12 Oktober 2021 pukul 09.28
- https://news.detik.com/berita/d-5574584/apa-itu-musaqah-begini-akad-rukun-
dan-syaratnya/2
- Jurnal uinsby http://digilib.uinsby.ac.id/920/5/Bab%202.pdf
- Maulizar. (2019). Implementasi Nilai-Nilai Ekonomi Islam Dalam Aktivitas
Mawah di Gampong Krueng Batu Kecamatan Kluet Utara Kabupaten Aceh
Selatan. Skirpsi. Banda Aceh: Universitas Islam Negeri Ar-Raniry.
- Nurul Faridah, S. (2017). Implementasi Akad Mukhabarah Pada Pengelolaan
Perkebunan Kopi Di Kalangan Masyarakat Kecamatan Kute Panang

39
Kabupaten Aceh Tengah. Skripsi. Banda Aceh: Universitas Islam Negeri Ar-
Raniry.
- Wahyu, A. R. (2019). Sistem Penggarapan Lahan Pertanian Masyarakat:
Perspektif Ekonomi Islam. Al-Azhar Journal of Islamic Economics, 1 (1): 2-
15.

40

Anda mungkin juga menyukai