Dosen Pembimbing :
Disusun Oleh :
B. ETIOLOGI
Sementara penyebab kolitis ulseratif tetap belum diketahui, gambaran
tertentu penyakit ini telah menunjukan beberapa kemungkinan penting. Hal
ini meliputi faktor familial atau genetik, infeksi, imunologik dan psikogenik
(Glickman RM, 2000).
1. Faktor familial/ genetik
Penyakit ini lebih sering dijumpai pada orang kulit putih
dibandingkan orang kulit hitam atau cina, dan insidensinya meningkat
(3 sampai 6 kali lipat) pada orang Yahudi dibandingkan dengan non
Yahudi. Hal ini menunjukan bahwa dapat ada predisposisi genetik
terhadap perkembangan penyakit ini (Glickman RM, 2000).
Penyakit ini lebih sering dijumpai pada orang kulit putih daripada
orang kulit hitam dan orang kulit kuning. (Ariestine, 2008) Saudara
pada pohon faktor tingkat pertama dari pasien kolitis ulseratif memiliki
faktor terkenanya IBD 4-20 kali lebih sering dengan absolut faktor
risiko sekitar 7%. Kembar monozigot memiliki tingkat risiko lebih
besar daripada kembar dizigot, terutama untuk penyakit Crohn. Akan
tetapi, faktor genetik lebih berperan pada penyakit Crohn
daripada kolitis ulseratif (Daniel K. Podolsky, 2002).
2. Faktor infeksi
Sifat radang kronik penyakit ini telah mendukung suatu pencarian
terus menerus untuk kemungkinan penyebab infeksi. Disamping
banyak usaha untuk menemukan agen bakteri, jamur, virus, belum
ada yang sedemikian jauh diisolasi. Laporan awal isolat varian dinding
sel Pseudomonas atau agen lain yang dapat ditularkan yang dapat
menghadirkan efek sitopatik pada kultur jaringan masih harus
dikonfirmasi (Glickman RM, 2000).
3. Faktor imunologik
Teori bahwa mekanisme imun dapat terlibat didasarkan pada
konsep bahwa manifestasi ekstraintestinal yang dapat menyertai
kelainan ini (misalnya artritis, perikolangitis) dapat mewakili
fenomena autoimun dan bahwa zat terapeutik tersebut, seperti
glukokortikoid atau azatioprin, dapat menunjukkan efek mereka
melalui mekanisme imunosupresif. Pada 60-70% pasien dengan kolitis
ulseratif, ditemukan adanya p-ANCA (perinuclear anti-neutrophilic
cytoplasmic antibodies). Walaupun p-ANCA tidak terlibat dalam
patogenesis penyakit kolitis ulseratif, namun ia dikaitkan dengan alel
HLA-DR2, di mana pasien dengan p-ANCA negatif lebih cenderung
menjadi HLADR4 positif. (Glickman RM, 2000)
4. Faktor psikologik
Gambaran psikologis pasien penyakit radang usus juga telah
ditekankan. Tidak lazim bahwa penyakit ini pada mula terjadinya, atau
berkembang, sehubungan dengan adanya stres psikologis mayor
misalnya kehilangan seorang anggota keluarganya. Telah
dikatakan bahwa pasien penyakit radang usus memiliki kepribadian
yang khas yang membuat mereka menjadi rentan terhadap stres
emosi yang sebaliknya dapat merangsang atau mengeksaserbasi
gejalanya (Glickman RM, 2000).
5. Faktor lingkungan
Ada hubungan terbalik antara operasi apendiktomi dan penyakit
kolitis ulseratif berdasarkan analisis bahwa insiden penyakit kolitis
ulseratif menurun secara signifikan pada pasien yang menjalani
operasi apendiktomi pada dekade ke-3. Beberapa penelitian sekarang
menunjukkan penurunan risiko penyakit kolitis ulseratif di antara
perokok dibandingkan dengan yang bukan perokok. Analisis meta
menunjukkan risiko penyakit kolitis ulseratif pada perokok sebanyak
40% dibandingkan dengan yang bukan perokok (Glickman RM, 2000).
Ada bukti aktivasi imun pada IBD, dengan infiltrasi lamina propria oleh
limfosit, makrofag, dan sel-sel lain, meskipun antigen pencetusnya
belum jelas. Virus dan bakteri telah diperkirakan sebagai pencetus, namun
sedikit yang mendukung adanya infeksi spesifik yang menjadi
penyebab IBD (Price, 2005).
Secara umum diakui bahwa imun respon cell mediated terlibat dalam
patogenesis IBD. Akan tetapi belum jelas secara pasti apakan respon imun
yang terjadi dikarenakan oleh defek intrinsik (aktivasi konstitutif atau
kegagalan meknisme down regulation) atau stimulasi terus-menerus
sehingga terjadi perubahan perlindungan mukosa epitel. Penyakit kolitis
ulseratif ditandai oleh respon limfosit CD4+ dengan sel T-helper tipe 2.
Respon ini lebih dicirikan dengan mengeluarkan transforming growth factor
β (TGF- β) dan interleukin-5 (IL-5) tanpa mengeluarkan IL-4. Terjadi
penurunan jumlah supresor sel T (Th3 atau Tr1). Penurunan ini akan
mengurangi aktivasi down regulation sitokin IL-10 dan TGF- β. (Daniel K.
Podolsky, 2002).
c. Pankolitis
Pankolitis telah menyebar sepanjang fleksura splenik. Klasifikasi ini
akan dicirikan dengan adanya hematokezia dan diare yang bisa disertai
nyeri dan kram perut; demam, adan atau menurunnya berat badan
dengan inflamasi persisten. Terdapat pula hilangnya gambaran haustra
normal dengan pemendekan generalisata dan tubularisasi kolon.
Pada tingkat yang lebih berat mukosa dapat menjadi nodular dengan
pseudopoliyp.
F. GAMBARAN KLINIS
Gejala klinis yang paling dominan pada penderita kolitis ulseratif
adalah sakit pada perut dan diarrhea yang disertai pendarahan. Di
samping itu dapat juga dijumpai anemia, kelelahan (mudah lelah),
kehilangan berat badan, pendarahan pada rektum, kehilangan nafsu
makan, kehilangan cairan tubuh dan gizi, lesi pada kulit dan radang sendi,
pertumbuhan yang terganggu, terutama anak-anak. Hanya sebagian
pasien yang terdiagnosa dengan kolitis ulseratif yang mempunyai gejala,
yang lain kadang-kadang menderita demam, diarrhea dengan
perdarahan, nausea, rasa nyeri pada perut yang hebat (Judge TA, 2009).
Gejala kolitis ulseratif biasanya nonspesifik seperti distensi abdomen
atau nyeri sepanjang kolon. Gejala utama kolitis ulseratif adalah nyeri
abdomen yang disertai diare berdarah (disebut melena) dengan garis-garis
lendir di sekelilingnya. Nyeri perut ini akan berkurang setelah defekasi
dilakukan. Namun seiring penyakit ini berkembang, gejala konstipasi akan
muncul (Ariestine, 2008).
Pada tingkat ringan gejala yang dirasakan pasien adalah kotoran
yang semakin encer, kram perut, dan diare. Penyakit ini akan berkembang
dari ringan ke berat yang ditandai dengan adanya gejala : penurunan berat
badan, kelelahan, dan penurunan nafsu makan. Penurunan nafsu makan ini
akan disertai dengan defisiensi nutrisi, terdapat lendir pada kotoran,
perdarahan peranal berat, demam, dan anemia. (Kathleen and Julie, 2003)
Pada kasus berat seringkali disertai dengan demam dan penurunan berat
badan. Dapat juga terlihat gejala berat demam, takikardia, dan hipotensi
postural (Ariestine, 2008).
Gejala ekstrakolon yang dapat terjadi, sebagai berikut (Ariestine, 2008):
a. Penyakit okular (iritis, uveitis, episkleritis)
b. Penyakit kulit (eritema nodosum, pioderma, gangrenosum)
c. Atralgia/ artritis (periferal dan aksial artropati)
d. Kolangitis sklerosing
Ada pun organ yang terlibat pada kolitis ulseratif seperti pada gambar
5 dibawah ini. (Judge TA, 2009)
Demam Tidak tinggi pada kasus Tidak tinggi pada kasus berat
berat
G. PENATALAKSANAAN
Karena kolitis ulserativa tidak dapat disembuhkan dengan
pengobatan, tujuan pengobatan dengan obat adalah untuk 1)
menginduksi remisi, 2)
mempertahankan remisi, 3) meminimalkan efek samping pengobatan, 4)
meningkatkan kualitas hidup, dan 5) meminimalkan risiko kanker (Marc D,
2011).
Pengobatan kolitis ulseratif dilakukan dengan pemberian obat-obatan
yang secara luas atau selektif efektif dalam mengontrol keakutan
penykit dan menghambat remisi gejala dalam jangka waktu yang lama.
Pengobatan kolitis ulseratif juga menerapkan prinsip stepladder :
menggunakan regimen yang lebih poten hanya diberikan pada pasien yang
gagal berespon dengan pengobatan sebelumnya. Terdapat beberapa
regiimen obat yang digunakan, yaitu (Daniel K. Podolsky, 2002).
Adapun Algoritma rencana terapeutik kolitis ulseratif di pelayanan
kesehatan lini pertama dijelaskan pada gambar 7. Obat-obat kolitis
ulserativa meliputi .( Djojoningrat dkk, 2011)
1. Agen anti-inflamasi seperti senyawa 5-ASA, kortikosteroid sistemik,
kortikosteroid topikal, dan
2. Immunomodulators
Distal Luas
azatioprin atau
merkapropurin oral
Infliximab IV
Infliximab IV
azatioprin atau
merkapropurin oral
b. Kortikosteroid Sistemik
Kortikosteroid ( Prednisone , prednisolone, hidrokortison, dll) telah
digunakan selama bertahun-tahun dalam pengobatan pasien dengan
penyakit Crohn sedang sampai parah dan kolitis ulseratif atau yang gagal
untuk merespon dosis optimal 5-ASA. Berbeda dengan senyawa
5-ASA, kortikosteroid tidak memerlukan kontak langsung dengan jaringan
usus yang meradang untuk menjadi efektif. Kortikosteroid oral adalah agen
anti peradangan yang kuat seluruh tubuh. Akibatnya, mereka digunakan
dalam mengobati enteritis. ( Djojoningrat dkk, 2011)
Pada pasien kritis, kortikosteroid intravena (seperti hydrocortisone)
dapat diberikan di rumah sakit. Kortikosteroid lebih cepat bertindak daripada
senyawa 5-ASA. Pasien sering mengalami perbaikan dalam gejala
mereka dalam beberapa hari setelah pemberian kortikosteroid dimulai.
(Adam,2010)
Rencana bertindak diawali dengan : (a) memilih obat: secara
konvensional, prednison, metilprednisolon atau steroid enema masih menjadi
pilihan yang sering karena murah dan mudah dijangkau. Preparat
Budesonide dipakai untuk memperoleh tujuan konsentrasi steroid yang
tinggi pada dinding usus, dengan efek sistemik (dan efek sampingnya) yang
rendah, khususnya pada pengobatan IBD di daerah ileum terminalis dan
colon ascendens baik dalam bentuk preparat oral lepas lambat ataupun
enema. (b) mempertimbangkan dosis. Dosis rata – rata yang banyak
digunakan untuk mencapai fase remisi adalah setara dengan 40 – 60 mg
prednison atau setara dengan prednisolon dengan dosis 0,5 – 1,0 mg/KgBB.
Tindakan terapi kemudian tappering off dose setelah remisi yang tercapai
dalam waktu 8-12 minggu. ( Djojoningrat dkk, 2011)
c. Immunomodulators
Immunomodulators adalah obat-obat yang melemahkan sistem
kekebalan tubuh. Pada pasien dengan penyakit Crohn dan kolitis ulceratif,
bagaimanapun, sistem kekebalan tubuh secara abnormal dan kronis
diaktifkan. Immunomodulators mengurangi peradangan jaringan dengan
mengurangi populasi sel kekebalan tubuh dan / atau dengan mengganggu
produksi protein yang mempromosikan aktivasi kekebalan dan peradangan.
Contoh Immunomodulators termasuk azathioprine, 6-mercaptopurine (6-
MP), siklosporin, dan methotrexate. ( Djojoningrat dkk, 2011)
Azathioprine atau metabolit aktifnya 6-MP, memerlukan waktu
pemberian 2-3 bulan sebelum memperlihatkan efek terapeutiknya. Umumnya
sebagai introduktor/ substituensi pada kasus kasus steroid dependent
atau refrakter. Umumnya dosis initial 50 mg sampai tercapai efikasi
substitusi, kemudian dinaikan bertahap 2,5 mg/kgbb untuk Azathioprine atau
1,5 mg/kgbb untuk 6-MP. Efek samping yang sering timbul adalah nausea
dan dispepsia, leukopenia, limfoma, hepatitis, dan pankreatitis. (
Djojoningrat dkk, 2011)
e. Antibiotik
Antibiotik masih digunakan secara terbatas pada pasien kolitis
ulseratif karena perbedaan mekanisme kerja dalam mempengaruhi flora
usus. Obat yang biasa digunakan adalah metronidazol. Metronidazole
dapat digantikan oleh siprofloksasin dan klaritromisin (Daniel K.
Podolsky, 2002).
f. Pembedahan
Kolitis toksik merupakan suatu keadaan gawat darurat. Segera
setelah terditeksi atau bila terjadi ancaman megakolon toksik, semua obat
anti- diare dihentikan, penderita dipuasakan, selang dimasukan ke dalam
lambung atau usus kecil dan semua cairan, makanan dan obat-obatan
diberikan melalui pembuluh darah ( Djojoningrat dkk, 2011).
Pasien diawasi dengan ketat untuk menghindari adanya
peritonitis atau perforasi. Bila tindakan ini tidak berhasil memperbaiki
kondisi pasien dalam 24-48 jam, segera dilakukan pembedahan,
dimana semua atau hampir sebagian besar usus besar diangkat (Adam,
2010).
Jika didiagnosis kanker atau adanya perubahan pre-kanker pada usus
besar, maka pembedahan dilakukan bukan berdasarkan kedaruratan.
Pembedahan non-darurat juga dilakukan karena adanya penyempitan dari
usus besar atau adanya gangguan pertumbuhan pada anak-anak. Alasan
paling umum dari pembedahan adalah penyakit menahun yang tidak
sembuh-sembuh, sehingga membuat penderita tergantung kepada
kortikosteroid dosis tinggi. Pengangkatan seluruh usus besar dan rektum,
secara permanen akan menyembuhkan kolitis ulserativa. (
Djojoningrat dkk, 2011).
Penderita hidup dengan ileostomi (hubungan antara bagian
terendah usus kecil dengan lubang di dinding perut) dan kantong
ileostomi.
Prosedur pilihan lainnya adalah anastomosa ileo-anal, dimana usus
besar dan sebagian besar rektum diangkat, dan sebuah reservoir dibuat
dari usus kecil dan ditempatkan pada rektum yang tersisa, tepat diatas
anus. (Marc D, 2011)
H. KOMPLIKASI
1. Perdarahan, merupakan komplikasi yang sering menyebabkan
anemia karena kekurangan zat besi.Pada 10% penderita, serangan
pertama sering menjadi berat, dengan perdarahan yang hebat, perforasi
atau penyebaran infeksi. (Marc D, 2011)
2. Kolitis Toksik, terjadi kerusakan pada seluruh ketebalan dinding usus.
Kerusakan ini menyebabkan terjadinya ileus, dimana pergerakan
dinding usus terhenti, sehingga isi usus tidak terdorong di dalam
salurannnya. Perut tampak menggelembung. Usus besar
kehilangan ketegangan ototnya dan akhirnya mengalami pelebaran.
Rontgen perut akan menunjukkan adanya gas di bagian usus yang
lumpuh. Jika usus besar sangat melebar, keadaannya disebut
megakolon toksik. Penderita tampak sakit berat dengan demam yang
sangat tinggi. Perut terasa nyeri dan jumlah sel darah putih meningkat.
Jika perlukaan ini menyebabkan timbulnya lubang di usus (perforasi),
maka resiko kematian akan meningkat. (Marc D, 2011)
3. Kanker Kolon (Kanker Usus Besar). Resiko kanker usus besar
meningkat pada orang yang menderita kolitis ulserativa yang lama
dan berat. Resiko tertinggi adalah bila seluruh usus besar terkena
dan penderita telah mengidap penyakit ini selama lebih dari 10 tahun,
tanpa menghiraukan seberapa aktif penyakitnya. Dianjurkan untuk
melakukan pemeriksaan kolonoskopi (pemeriksaan usus besar)
secara teratur, terutama pada penderita resiko tinggi terkena kanker,
selama periode bebas gejala. Setiap tahunnya, 1% kasus akan menjadi
kanker. Bila diagnosis kanker ditemukan pada stadium awal, kebanyakan
penderita akan bertahan hidup. (Marc D, 2011)
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN ANAK DENGAN DIAGNOSA
MEDIS KOLITIS
A. Anamnesa
1. Identitas Klien
Mencakup identitas klien yaitu nama, umur, jenis kelamin, suku bangsa,
agama, pendidikan, pekerjaan, status pekawinan, alamat, dan tanggal masuk
rumah sakit. Identitas penanggung jawab yaitu nama, umur, jenis kelamin,
pendidikan, pekerjaan, agama, alamat, suku bangsa, hubungan dengan
penderita/pasien.
2. Keluhan Utama
Pada anamnesis keluhan utama yang lazim didapatkan adalah nyeri
abdomen, diare, tenesmus intermiten, dan perdarahan rektal. Keluhan nyeri
biasanya bersifat kronis, yaitu berupa nyeri kram pada kuadran
periumbilikal kiri bawah. Kondisi rasa sakit bisa mendahului diare dan
mungkin sebagian pasien melaporkan perasaan nyaman setelah BAB.
Diare biasanya disertai darah. Pasien melaporkan mengeluarkan fases cair
10-20 kali sehari. Pasien juga mengeluh saat BAB seperti ada yang
menghalangi.
3. Riwayat Kesehatan
Sekarang
Pada pengkajian riwayat penyakit sekarang, kondisi ringan karena karena
kolitis ulseratif adalah penyakit mukosa yang terbatas pada kolon, gejala yang
paling umum adalah pendarahan anus, diare, dan sakit perut. Pada kondisi
kolitis ulseratif berat terjadi pada sekitar 100% dari pasien, didapat keluhan
lainnya yang menyertai, seperti peningkatan suhu tubuh, mual, muntah,
anoreksia, perasaan lemah, dan penurunan nafsu makan. Pasien dengan
kolitis yang paras dapat mengalami komplikasi yang mengancam nyawa,
termasuk pendarahan parah, mengkolon toksik, atau perforasi usus.
B. Pengkajian
1. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan
umum
b. Vital sign, meliputi
Tekanan darah : Dalam batas normal (120/80 mmHg)
Nadi : Takikardia atau diatas normal (> 100 x/menit)
3. Endoskopi
Biopsi sampel (H & E noda) yang ditandai limfositik infiltrasi (biru /ungu)
dari mukosa usus dan pembentuk distorsi dari
kriptus.
Sebuah sampel tinja juga dapat menunjukkan sel-sel darah putih, yang
menunjukkan kolitis ulserativa atau penyakit radang. Di samping itu,
sampel tinja memungkinkan dokter untuk mendeteksi perdarahan atau
infeksi di usus atau dubur yang disebabkan oleh bakteri, virus, atau
parasit.
C. Analisa Data
Persepsi nyeri
DS :
Klien mengeluh Intake nutrisi kurang
3 Intoleransi
lemah aktivitas
Klien tidak kuat Metabolisme glukosa
sehubungan
lagi berdiri terganggu
- dengan
keletihan.
Pembentukan ATP dan
DO : ADP terganggu
Wajah klien
tampak pucat Energi berkurang dan
Klien tampak terjadi kelemahan otot
keletihan
- Klien diantar Aktivitas terganggu
perawat ke
kamar mandi
Aktivitas klien
dibantu keluarga
dan perawat
4 DS : Koping penerimaan Kurang
- Klien penyakit yang kurang pengetahuan
mengatakan tidak baik mengenai
tahu proses dan
tentang Tidak tahu riwayat penatalaksanaan
penyakitnya penyakit penyakitnya.
D. Perencanaan
Ditandai dengan:
Tujuan:
Intervensi:
Ditandai dengan:
- Penurunan berat badan, penurunan lemak subkutan/massa
otot, tonus otot buruk
- Bunyi usus hiperaktif
- Konjungtiva dan membran mukosa pucat
- Nafsu makan kurang, mual, muntah
Intervensi:
Ditandai dengan:
Tujuan:
Intervensi:
a. Observasi dan catat frekuensi defekasi konsistensi
karakteristik, jumlah dan faktor pencetus.
Rasional: membantu membedakan penyakit individu
dan mengkaji berat dan episode.
b. Mulai lagi memasukkan cairan peroral secara
bertahap.
Rasional: memberikan istirahat colon dan menghilangkan atau
menurunkan rangsang makanan / cairan, maka kembali secara
bertahap mencegah kram dan diare berulang.
c. Identifikasi makanan dan cairan yang mencetuskan
diare misalnya: bumbu-bumbu, produk susu.
Rasional: menghindari iritan, meningkatnya istirahat usus.
d. Observasi demam, takikardi, letargi, leukositosis,
penurunan protan serum.
Rasional: tanda bahwa toksik megakolon oleh perforasi dan
peritonitis akan terjadi/telah terjadi memerlukan intervensi medik
segera.
e. Kolaborasi untuk pemberian obat seperti: Antikolinergik, atropine,
belladonna.
Rasional: menurunkan motilitas GI yang menurunkan sekresi
digestik.
E. IMPLEMENTASI
Implementasi dilakukan sesuai dengan jumlah intervensi yang
ada.
F. EVALUASI
DAFTAR PUSTAKA
Arisetine, Dina Aprilia. (2008). Kolitis Ulseratif Ditinjau dari Aspek Etiologi,
Klinik dan Patogenesa. Universitas Sumatera Utara - Fakultas
Kedokteran Medan.
Glickman RM. (2000). Penyakit Radang Usus (Kolitis Ulseratif dan penyakit
Crohn). Dalam: Asdie AH, editor. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit
Dalam. Volume 4. Edisi ke-13. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;
hal. 1577-91.
Hopkins, John. (2013). Gastroenterology and Hepatology Medicine. Colitis
Ulcerative. (http://www.hopkins-gi.org)
Jugde TA, Lichtenstein GR. Inflammatory Bowel Disease. In: Friedman SL,
McQuaid KR, Grendell JH, editors. (2009). Current Diagnosis and
Treatment in Gastroenterology. 2nd ed. International ed.: McGraw-Hill.
pp. 108-30.