Makalah Patologi - Sle

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 14

SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOUS

( SLE )

DISUSUN OLEH :
WANDA ALFIANI SYIFA
204201516059 / RA.1

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS NASIONAL
JAKARTA SELATAN
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, berkat rahmatnya kita selalu dalam keadaan
sehat rohani dan jasmani. Shalawat serta salam tercurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW, karna beliau telah membawa kita dari zaman kegelapan menuju
Zaman yang terang benderang ini. Saya menyadari bahwa dalam penyusunan
makalah ini dengan judul “ Systemic Lupus Erythematous ( SLE ) ” ini tidak lepas
dari dukungan berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini kami
menyampaikan terima kasih pada :
1. Allah SWT, karena Berkat dan Rahmat Hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan
tugas makalah Patologi ini dengan baik walaupun masih banyak kekurangan.
2. Ayah dan ibu selaku orang tua yang telah mendukung, membimbing dan
mendoakan saya.
3. dr Cholisah Suralaga, M.Kes. Selaku dosen pengampu mata kuliah Patologi
yang telah membimbing saya dan memberikan materi kuliah sehingga saya
dapat menyelesaikan tugas makalah ini.
4. Teman - teman sekelas yang selalu bekerja sama dalam menganalisa dan
mengobservasi objek yang akan dijadikan makalah, semoga kerjasama ini bisa
membuat dampak yang baik kepada pembaca.
Saya menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih ada kekurangan,
baik dari segi materi maupun penulisan, untuk itu kritik dan saran saya harapkan
agar laporan ini menjadi lebih baik.

Jakarta, 28 April 2021

Wanda Alfiani Syifa

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................1
DAFTAR ISI.......................................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................3
A. Latar Belakang.........................................................................................................3
B. Rumusan Masalah....................................................................................................3
C. Tujuan Penulisan.....................................................................................................3
D. Manfaat....................................................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................4
A. Definisi....................................................................................................................4
B. Epidemiologi...........................................................................................................4
C. Etiologi dan Patogenesis..........................................................................................5
D. Diagnosis.................................................................................................................7
E. Prognosis.................................................................................................................9
F. Komplikasi...............................................................................................................9
G. Pengobatan...............................................................................................................10

BAB III PENUTUP.............................................................................................................11


A. Kesimpulan..............................................................................................................11
B. Saran........................................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................13

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun multisistem
kronik dengan spektrum manifestasi yang luas dan mempengaruhi setiap organ atau
sistem di dalam tubuh (Isbagio dkk, 2009; Jakes dkk, 2012).
Penyakit ini merupakan salah satu penyakit reumatik autoimun yang
memerlukan perhatian khusus baik dalam mengenali tampilan klinis penyakitnya
hingga pengelolaannya. Pada penyakit ini, organ dan sel mengalami kerusakan yang
pada awalnya dimediasi oleh antibodi yang berikatan dengan jaringan dan kompleks
imun (Harrison dkk. 2012; Saigal dkk, 2011).

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu penyakit Systemic Lupus Erythematous (SLE)?
2. Apa penyebab terjadinya penyakit SLE?
3. Faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya SLE?
4. Apa saja komplikasi dari SLE?
5. Bagaimana pengobatan SLE?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui apa itu Systemic Lupus Erythematous (SLE)?
2. Mengetahui faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya SLE
3. Mengetahui apa saja komplikasi dari penyakit SLE
4. Mengetahui bagaimana cara pengobatan untuk penderita SLE

D. Manfaat
Menambah pengetahuan tentang penyakit autoimun atau Systemic Lupus
Erythematous.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun multisistem
kronik dengan spektrum manifestasi yang luas dan mempengaruhi setiap organ atau
sistem di dalam tubuh (Isbagio dkk, 2009; Jakes dkk, 2012).

Penyakit ini merupakan salah satu penyakit reumatik autoimun yang


memerlukan perhatian khusus baik dalam mengenali tampilan klinis penyakitnya
hingga pengelolaannya. Pada penyakit ini, organ dan sel mengalami kerusakan yang
pada awalnya dimediasi oleh antibodi yang berikatan dengan jaringan dan kompleks
imun (Harrison dkk. 2012; Saigal dkk, 2011).

B. Epidemiologi

Prevalensi SLE di berbagai negara sangat bervariasi antara 2,9/100.000 –


400/100.000 (Isbagio dkk, 2009). Prevalensi SLE di Amerika sebesar 10-400 per
100.000 tergantung pada ras dan jender (Harrison dkk, 2012). Menurut
Perhimpunan Reumatologi Indonesia, belum terdapat data epidemiologi SLE yang
mencakup semua wilayah Indonesia. Data tahun 2002 di RSUP Cipto
Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4% kasus SLE dari total kunjungan
pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam, sementara di RS Hasan Sadikin
Bandung terdapat 291 Pasien SLE atau 10.5% dari total pasien yang berobat ke
poliklinik reumatologi selama tahun 2010-2013.

Penyakit ini dapat ditemukan pada semua usia, tetapi paling banyak pada usia
15-40 tahun (masa reproduksi). Kedua jender dapat diserang oleh penyakit ini,
dimana predominansi lebih menonjol pada perempuan di usia reproduktif
Danchenko, 2006; Isbagio, 2009). Juga mengenai semua ras walau lebih banyak
terlihat pada perempuan di Asia, atau mereka yang berkulit hitam di Amerika.

4
Frekuensi pada wanita dibandingkan dengan frekuensi pada pria berkisar antara
(5,5-9) : 1. Faktor ekonomi dan geografi tidak mempengaruhi distribusi penyakit ini
(Isbagio dkk, 2009).

C. Etiologi dan Patogenesis


1. Faktor Genetik

Faktor genetik diduga memiliki peran dalam patogenesis SLE, meskipun


penyebab spesifik SLE belum diketahui. Dugaan ini diperkuat oleh adanya
peningkatan frekuensi SLE pada keluarga penderita SLE dibandingkan dengan
kontrol sehat, peningkatan prevalensi SLE pada kelompok etnik tertentu, dan
kejadian SLE yang lebih tinggi pada kembar monozigotik (25%) dibandingkan
dengan kembar dizigotik (3%). Banyak gen yang berpengaruh terhadap kepekaan
penyakit. Diperkirakan paling sedikit ada empat susceptibility genes yang terlibat
dalam perkembangan penyakit (Isbagio dkk, 2009).

Faktor genetik yang paling banyak diteliti kontribusinya terhadap kejadian SLE
pada manusia adalah gen dari major histocompatibility complex (MHC). Studi
terhadap human leukocyte antigen (HLA) menunjukkan bahwa HLA-A1, HLA-B8,
dan HLA-DR3 lebih sering ditemukan pada penderita SLE dibandingkan dengan
populasi umumnya. HLA kelas II berhubungan dengan adanya antibodi tertentu.
Gen HLA kelas III, khususnya yang mengkode komponen C2 dan C4, memberikan
risiko SLE pada kelompok etnik tertentu. Selain itu, terdapat gen non-MHC
polimorfik yang dilaporkan berhubungan dengan SLE. (Isbagio dkk, 2009)

5
2. Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan yang berperan terhadap terjadinya SLE yaitu agen infeksi
seperti virus Epstein-Bar yang diduga dapat menginduksi renspon spesifik melalui
kemiripan molekular (molecular mimicri) dan gangguan terhadap regulasi imun,
faktor nutrisi atau diet yang mempengaruhi produksi mediator inflamasi,
toksin/obat-obatan yang dapat memodifikasi respon seluler dan imunogenisitas dari
self antigen; dan agen fisik atau kimia seperti sinar ultraviolet (UV) yang dapat
menyebabkan inflamasi, memicu apoptosis sel dan menyebabkan kerusakan
jaringan (Isbagio dkk, 2009). Paparan sinar UV merupakan faktor lingkungan yang
paling jelas yang dapat mengeksaserbasi SLE (Bertsias dkk, 2012).

3. Faktor Hormonal

Adanya peranan faktor hormonal pada SLE dapat ditunjukkan dengan prevalensi
penyakit yang lebih banyak pada perempuan dan serangan pertama kali SLE jarang
terjadi pada usia prepubertas dan setelah menopause. Estrogen yang berlebihan
dengan aktivitas hormon androgen yang tidak adekuat pada laki-laki maupun
perempuan, mungkin bertanggungjawab terhadap perubahan respon imun. Prolaktin
(PRL) diketahui menstimulasi respon imun humoral dan selular, yang diduga
berperan dalam patogenesis SLE yaitu sel limfosit T, sel natural killer (NK),
makrofag, neutrofil, sel hemopoietik CD34+ dan sel dendritic presentasi antigen.
Hormon dari sel lemak yang diduga berperan dalam patogenesis SLE adalah leptin
(Isbagio dkk, 2009).

6
4. Patogenesis

Respon imun terhadap antigen nuklear endogen merupakan karakteristik dari


SLE. Pada SLE terjadi reaksi hipersensitivitas tipe III yang melibatkan kompleks
imun. Peningkatan jumlah apoptosis-related asam nukleat endogen menstimulasi
produksi TNF-α dan memicu autoimunitas dengan merusak selftolerance melalui
aktivasi antigen-presenting cells (APC). Ketika proses ini diinisiasi, imun reaktan
seperti kompleks imun mengalami amplifikasi dan terjadilah respon inflamasi yang
berkelanjutan. Pembentukan kompleks antigenantibodi di sirkulasi diikuti dengan
deposisi kompleks imun di berbagai jaringan akan menginisiasi reaksi inflamasi
pada lokasi deposisi kompleks imun. (Bertsias dkk, 2012; Kumar dkk, 2010).

Pada orang yang sehat, kompleks imun dibersihkan oleh fragmen crystallizable
(Fc) dan complement receptor (CR). Kegagalan pembersihan kompleks imun
menyebabkan deposisi. Kerusakan jaringan dimulai dengan adanya sel inflamasi,
intermediet oksigen reaktif, produksi sitokin pro-inflamasi, dan modulasi kaskade
koagulasi (Bertsias dkk, 2012).

D. Diagnosis

Diagnosis lupus eritematosis sistemik atau systemic lupus eritematosus (SLE)


membutuhkan kombinasi presentasi klinis yang mendukung dan adanya paling tidak
bukti imunologis yang relevan.

7
Anamnesis

Keluhan akibat SLE dapat sangat beragam, dari yang ringan hingga yang berat.
Pasien dapat datang dengan berbagai keluhan tidak spesifik seperti:

1. Gejala awal seperti kelelahan, demam, nyeri sendi, penurunan berat badan
2. Kulit : malar rash, fotosensitif dan lesi discoid
3. Muskuloskeletal : nyeri sendi, kekakuan sendi, nyeri otot, nekrosis avascular
4. Neuropsikiatri : kejang, psikosis
5. Ginjal : bengkak akibat gagal ginjal akut atau kronik
6. Paru : sesak karena efusi pleura, hipertensi pulmonal, pneumonitis)
7. Jantung : sesak atau nyeri dada akibat pericarditis atau miokarditis
8. Gastrointestinal : mual, muntah, nyeri perut
9. Hematologi : pucat akibat anemia, trombositopenia, leukopenia

Selain itu apabila ditemuka trias demam, nyeri sendi dan ruam pada wanita usia
produktif maka perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut ke arah SLE. Pada saat
anamnesis apabila memang ditemukan adanya gejala SLE maka perlu ditanyakan
mengenai riwayat keluarga dengan penyakit autoimun.

Pemeriksaan Fisik

Karena manifestasinya yang sangat bervariasi, pemeriksaan fisik pada pasien


dengan kecurigaan SLE perlu dilakukan secara lengkap dari ujung kaki hingga
ujung kepala. Dalam penegakkan diagnosis, terdapat beberapa kriteria yang
digunakan. Salah satu yang paling lama dan paling sering digunakan adalah kriteria
klasifikasi American College of Rheumatology (ACR) modifikasi tahun 1997.[10]
Berdasarkan kriteria ini, pasien dinyatakan menderita SLE apabila memiliki 4 dari
11 kriteria (Tabel 1). Kriteria klasifikasi ACR modifikasi tahun 1997 ini memiliki
sensitivitas 86% dan spesifisitas 94%.

8
E. Prognosis

Prognosis pasien dengan lupus eritematosis sistemik atau systemic lupus


eritematosus (SLE) sangat bervariasi sesuai dengan patofisiologi dan perjalanan
penyakitnya, reaksi imun akibat SLE dapat menyebabkan komplikasi berupa
kerusakan berbagai organ dari mulai yang ringan seperi sendi dan kulit hingga organ
yang vital seperti jantung, paru-paru dan otak.

F. Komplikasi

SLE dapat menyerang semua organ di tubuh sehingga dapat menimbulkan


berbagai komplikasi, di antaranya:

1. Urologi : lupus nefritis, gagal ginjal


2. Neurologi : gangguan memori, gangguan bahasa, gangguan kognitif
3. Kardiovaskuler : anemia, vaskulitis, perikarditis, infark miokard akut
4. Respirasi : pleuritis, efusi pleura, pneumonia
5. Muskuloskeletal : osteoporosis, fraktur, avaskular nekrosis tulang
6. Infeksi akibat penggunaan steroid

9
G. Pengobatan SLE

SLE tidak bisa disembuhkan, pengobatan dilakukan untuk mengurangi tingkat


gejala serta mencegah kerusakan organ pada pengidap SLE. Bahkan, beberapa
dekade lalu penyakit ini dipandang sebagai penyakit terminal (tdak memiliki
harapan sembuh) yang bisa berujung pada kematian.

Ketakutan ini disebabkan oleh banyaknya pengidap pada saat itu yang
meninggal dunia akibat komplikasi dalam kurun waktu 10 tahun setelah didiagnosis
mengidap SLE. Namun, kini obat-obatan untuk SLE terus berkembang, sehingga
dapat membantu hampir semua pengidapnya bisa hidup normal, atau setidaknya
mendekati tahap normal. Selain itu, bantuan dan dukungan dari keluarga, teman,
serta staf medis juga berperan penting dalam membantu para pengidap SLE dalam
menghadapi penyakit ini.

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sampai saat ini pengobatan untuk Systemic Lupus Erythematosus masih terus
diteliti, tetapi dengan berkembangnya teknologi biologi molekuler tidak tertutup
harapan ditemukannya terapi yang lebih efektif dan lebih aman untuk penyakit
Systemic Lupus Erithematosus (SLE), walaupun penelitian masih dilakukan, hasil
yang menakjubkan dari terapi yang mengkhususkan pada sel B dan signaling
pathways yang terlibat pada interaksi sel B dan sel T menyarankan bahwa
pendekatan ini dapat menjadi terobosan baru dalam pengobatan penyakit-penyakit
otoimun.
Pengobatan imunologik terhadap penyakit Systemic Lupus Erythematosus
dengan terapi sel target mengutamakan penggunaan antibodi monoklonal dengan
sasaran sel-sel B lewat protein permukaan sel (khususnya CD20 tetapi juga CD22);
merupakan salah satu pengobatan yang terbaru. Dengan adanya terapi tersebut
harapan hidup penderita SLE dapat lebih ditingkatkan.
Meskipun masih dalam penelitian, hasil dari pengobatan SLE menggunakan
rituximab terbukti efektif. Bila dikombinasikan dengan obat-obatan yang tepat,
rituximab dapat mengurangi gejala-gejala penyakit yang timbul dan akhirnya
seluruh otoantibodi, yang memiliki peranan penting pada SLE, hilang sehingga
penderita dapat menghentikan pengobatan.

B. Saran
Meskipun hasil dari terapi sel target dengan penggunaan Rituximab sudah
menunjukkan hasil yang baik, tetapi penelitian lebih jauh mengenai terapi sel target
masih sangat diperlukan, karena terapi ini masih bisa terus berkembang sehingga
dapat memberikan hasil yang bukan saja untuk terapi tetapi sebagai cara untuk
mencegah penyakit tersebut. Timbulnya terapi-terapi yang baru tidak tertutup

11
kemungkinan untuk terapi sel target bergabung dengan terapi yang lain sehingga
dapat menghasikan terapi yang lebih efektif daripada sebelumnya.

Adanya penelitian lebih lanjut mengenai terapi SLE dengan rituximab perlu
dilakukan sehingga dapat diperoleh hasil yang lebih pasti dari terapi tersebut.

12
DAFTAR PUSTAKA

Anggraini, N. S. (2016). Lupus Eritematosus Sistemik. J Medula Unila.

Judha, M., & Setiawan, D. I. (2015). Apa dan Bagaimana Penyakit Lupus?
(Sistemik Lupus Eritematosus). Yogyakarta: Gosyen Publising.

Rahman A, Isenberg D.A. (2008). Systemic Lupus Erythematosus. N Engl J Med.

Wallace, D. J., & dkk. (2016). Systemic lupus erythematosus and


primaryfibromyalgia can be distinguished by testing for cell-bound complement
activation products. Lupus Science & Medicine.

13

Anda mungkin juga menyukai