Anda di halaman 1dari 6

Penyesalanku

Hai, perkenalkan nama saya adalah Musdalifah. ZA. Saya adalah guru di sekolah dan
juga merangkap guru di rumah. Saat ini saya mengajar siswa kelas I di SDI Macanda Kecamatan
Sombaopu Kabupaten Gowa. Jumlah siswa yang saya ajar di tahun ajaran 2020/2021 adalah 20
siswa dengan sistem pembelajaran 3 hari tatap muka di mesjid Zarindah dengan jadwal senin,
rabu, dan jum’at dan 3 hari pembelajaran daring dengan jadwal selasa, kamis, dan sabtu. Saya
juga harus membimbing 2 anak saya belajar di rumah yang full daring. Anak pertama saya saat
ini duduk di bangku SD Kelas IV, sedangkan anak kedua saya duduk di bangku SD kelas II.
Yang saya herankan sampai saat ini, mengapa yah banyak guru lebih sabar mengajar siswanya
yang jumlahnya puluhan dengan karakter yang berbeda-beda dibandingkan mengajarkan
anaknya sendiri di rumah? Ini pengalaman pribadi saya tetapi saya juga sudah survei ke beberapa
teman yang profesinya sama dengan saya, mereka juga mengatakan “Kesabaran ketika saya
mengajar anaknya orang sangatlah tebal tetapi jika saya mengajar anak saya sendiri
kesabaran saya menjadi menipis”.
Nah, ceritaku kali ini saya fokuskan ke anak kedua saya. Saya mengangkat kisah anak
kedua saya karena kisahnya sangat berkesan buat saya dan menjadi pelajaran buat orang tua di
luar sana agar tidak melakukan hal yang sama. Betul kata pepatah jika penyesalan itu datangnya
tidak pernah di awal, tetapi selalu di belakang. Andai waktu bisa diulang, ingin rasanya kuulang
waktu itu dan memperbaiki kesalahanku dulu. Namanya Muh Nurfathan. H, biasa dipanggil
Fathan. Anak kedua dari 3 bersaudara. Fathan lahir pada tanggal 27 Februari 2013 di kamar
neneknya dengan berat hanya 2,1. Selama saya mengandung dan melahirkannya, saya dalam
keadaan yang sangat stres berat karena saat itu banyak masalah yang harus saya hadapi dan
selesaikan sehingga di kala itu saya tidak memperhatikan asupan makanan yang saya konsumsi
di kala hamil dan asupan makanan yang harus dikonsumsi oleh bayi kecilku. Pertumbuhan
Fathan serba lambat. Dia bisa jalan nanti di usia 1,8 tahun. Bisa bicara kata (itupun tidak jelas) di
usia 2,5 tahun, dan hingga saat ini di usianya yang sudah 7 tahun 9 bulan dia belum mampu
mengucapkan kalimat panjang (Maksimal 2 kata saja itupun belum jelas sekali), dan masih
memakai popok.
Penyesalanku yang pertama adalah lambatnya saya membawa anak saya periksa ke
dokter anak dan juga psikolog karena kala itu biaya masih minim (Usaha saya terpuruk sehingga
perekonomian saya menjadi jungkir balik). Penyesalan kedua adalah kesibukan saya dari pagi,
siang, sampai malam mencari uang untuk membayar banyak hutang sehingga tidak ada waktu
untuk saya melihat dan mendampingi tumbuh kembangnya Fathan yang kala itu seharusnya
diberi perhatian lebih karena Fathan kategori anak inklusi. Penyesalan ketiga ketika anak saya
tidak saya masukkan ke jenjang TK seperti kakaknya dan penyesalan keempatku ketika Fathan
akan memasuki masa sekolah SD. Gara-gara saya mengambil keputusan yang salah sehingga
mempengaruhi perkembangan sikap, pengetahuan, dan keterampilan Fathan hingga saat ini. Pada
Juni 2019, saya sudah mengalami kebimbangan di manakah akan saya sekolahkan Fathan kelak.
Apakah di sekolah negeri, swasta, atau SLB. Tanpa berkonsultasi di psikolog anak, akhirnya
saya daftarkan Fathan di SLB di dekat rumah setelah berkonsultasi dengan beberapa teman saya,
salah satunya guru PAUD. Dulu saya memutuskan SLB karena menurut saya guru-guru di sana
sudah berpengalaman mendidik dan membimbing anak yang berkebutuhan khusus dan inklusi
seperti anak saya. Di hari pertama sekolah, Fathan sangat antusias datang ke sekolahnya. Hari itu
masih aman terkendali karena teman-temanya yang lain belum ada yang datang. Namun di hari
kedua, masalah itu mulai muncul. Setelah melihat kondisi teman barunya, dia langsung menangis
dan mau pulang. Hari ketiga hingga mencapai dua minggu, ayahnya dan orang yang ada di
rumah tidak ada yang berhasil membujuknya untuk kembali ke sekolah. Akhirnya kuputuskan
Fathan pindah sekolah di sekolahku. Kubujuk dia untuk kembali ke sekolah. Kukatakan
kepadanya kalau bukan sekolah yang dulu lagi tetapi sekolah baru yaitu sekolahnya mama tetapi
dia sudah tidak mau lagi. Mungkin anak saya Fathan sudah trauma, menganggap bahwa semua
siswa yang ada di sekolah itu sama. Semenjak duduk di kelas 1, kedatangannya baru 3 kali saja
itupun dengan cara saya berkilah kalau akan ke Mall, makanya dia mau ikut asalkan dia tetap
baju biasa. Namun sampai di sekolah, dia kembali menangis mau pulang dan yang dilakukannya
hanya berdiri dan bermain di pekarangan sekolah.
Parahnya saya sebagai orang tua, seharusnya saya meluangkan waktu yang lebih banyak
untuk membimbing, mendidik, dan mengajarkan pelajaran dasar ke Fathan tetapi saya tetap
sibuk, sibuk, dan sibuk mencari uang. Itulah ada istilah yang saya sematkan untuk diri saya
“Saya punya banyak waktu untuk mengajarkan ilmu ke semua peserta didik saya, tetapi saya
hanya punya waktu sedikit bahkan tidak ada sama sekali untuk membimbing darah daging saya
sendiri”. Saya marah, sedih, dan kecewa dengan diri saya sendiri. Bayangkan sebagian besar
murid saya di semester 1 tahun ajaran 2019/2020 yang merupakan teman kelasnya sudah bisa
membaca lancar, mengenal huruf A-Z, menulis namanya sendiri, dan mengenal angka 1 - 50
sedangkan Fathan sampai sekarang belum bisa menyebut angka 1 – 10 dengan benar padahal
gurunya sama yaitu saya sendiri. Alhamdulillah, masalahku yang dulu sudah mulai teratasi dan
perekonomianku juga semakin membaik. Sekarang kuputuskan untuk berhenti, semua private
belajar yang saya lakukan setiap pulang mengajar saya hentikan karena saya benar-benar mau
fokus membimbing dan mendidik Fathan. Mungkin saya termasuk terlambat, tetapi lebih baik
ada niat daripada tidak sama sekali.
Pesan moral yang ingin saya sampaikan adalah sesungguhnya harta yang paling
berharga di dunia ini adalah keluarga maka perbanyaklah waktu kita untuk berkumpul dengan
mereka terutama anak-anak kita. Keberhasilan pendidikan seorang anak bukan menjadi tanggung
jawab gurunya semata, tetapi tetap harus ada kerjasama aktif orang tua di rumah. Sesungguhnya,
cara terbaik untuk mendidik anak adalah melalui kepribadian terbaik dari orang tuanya karena
anak akan mencontoh banyak hal dari orang tuanya. Ingatlah selalu bahwa pendidikan diawali
dari keluarga karena keluarga adalah tempat pertama bagi pembentukan dan pendidikan anak.
Hikmah Dibalik Perubahan (Keluar Dari Zona Nyaman)

Assalamu Alaikum wr.wb...


Dulu, saya adalah guru zaman old. Maksudnya???? Dari awal saya terangkat di tahun 2009
hingga pertengahan tahun 2016, saya adalah guru yang tidak mau keluar dari zona nyaman. Bagi
saya, cukup saya mengajar sesuai dengan RPP saja (Itupun RPP hasil download yang dicopy
paste kemudian diedit) dan media pembelajaran yang saya gunakan yang ada saja di buku
(difotocopi perbesar lalu diwarnai kemudian dilem di karton dan nantinya dipasang di papan
tulis) bahkan saya juga sering tidak menggunakan media sama sekali. Metode yang saya gunakan
dikala itu hanya metode ceramah dan tanya jawab saja (Wah, pasti kalian sudah bisa
membayangkan betapa membosankannya suasana belajar di kelas saya karena menggunakan
metode yang sangat monoton).
Tidak ada dibenak saya untuk membuat media pembelajaran inovatif atau menggunakan
media alternatif lain karena menurut saya dikala itu sangat membuang waktu, tenaga, pikiran,
dan tentu saja mengeluarkan biaya (Pikiran yang sangat picik dan tidak boleh ditiru yah). Media
yang biasa saja saya hindari, apalagi media yang berbasis IT sudah pasti tambah saya hindari
karena dulu saya masih Gaptek. HP Android saja di tahun 2016 saya belum punya. Saat saya
menulis cerita ini, saya baru menyadari betapa dzalimnya saya dikala itu dan jujur sekarang saya
sangat malu. Mungkin ini terjadi karena saya belum mencintai pekerjaan saya sehingga
mengajarpun seolah-olah tidak ikhlas. Cukup datang, mengajar, lalu pulang. Namun, tidak ada
kata terlambat untuk berubah kan? Dan saya percaya itu.
Kejadian apa yang membuat saya berubah??? Benar kata pepatah, dibalik sebuah peristiwa
pasti ada hikmah di dalamnya. Pada akhir tahun 2016, saya dan teman mengajar saya di SDI
Kalebajeng mendapatkan undangan untuk ikut seleksi TOT Guru Pembelajar. Awalnya saya
tidak percaya mengingat kemampuan saya yang sangat terbatas (Jarang sekali ikut pelatihan,
seminar, atau sejenisnya bahkan pelatihan yang injak hotel pun di kala itu tidak pernah). Di
pelatihan inilah yang membuat saya sangat tersentil, membuat saya sadar betapa kakunya saya
mengajar selama ini. Baru 2 hari ikut pelatihan ini dan berbaur dengan mereka membuat pola
pikir saya semakin berubah, yang tadinya pikiran saya tertutup kabut pekat lambat laun mulai
terbuka. Yah, teman kelas saya kala itu semuanya hebat-hebat. Dikala mereka menceritakan
kisah mereka selama mengajar mulai dari apa yang mereka akan lakukan sebelum mengajar, apa
yang telah mereka lakukan saat ini, dan apa yang akan mereka lakukan setelahnya (Dalam hati
saya “Wow, mereka sangat luar biasa karena mereka betul-betul membuat suatu perencanaan
yang matang, mencarikan solusi tentang apa yang akan mereka hadapi dikala action, bahkan
mereka sudah memikirkan langkah-langkah revisi untuk kegiatan selanjutnya). Sedangkan
saya???? Dalam hati segera kulafalkan istigfar berkali-kali. Perasaan saya saat itu sangat
berkecamuk (Sedih, malu, marah, dan kecewa pada diri sendiri. Kemana saja saya selama ini?)
Pelatihan TOT Guru pembelajar yang awalnya saya ikuti setengah hati akhirnya menjadi
sangat semangat. Benar kata pepatah “Jika kita bergaul dengan orang yang berilmu, maka kita
akan tertular ilmunya dan jika kita bergaul dengan orang yang pelit maka kita akan tertular
pelitnya. Maka hendaklah kita pandai-pandai dalam memilih teman”. Singkat cerita, sejak lulus
menjadi TOT Guru Pembelajar dan mulai beraksi di lapangan, mulailah saya mencari jati diri
saya yang sempat tersesat. Saya mulai mau belajar dan mulai membuat media pembelajaran
sederhana. Media yang pertama saya buat adalah stick and glass. Di awal tahun 2017, saya
kembali membuat media pembelajaran dengan judul “Toserba 2”, kemudian media ketiga yang
bernama “Pocket Alpokat”, metode yang saya gunakan di kelaspun sudah mulai variatif. Karena
saya mengajar di kelas 1 SD, maka saya lebih ke arah bermain sambil belajar apalagi di
Kabupaten Gowa ada program yang namanya IMTAQ Indonesia sehingga semakin membuat
semangat saya dalam membuat suatu media pembelajaran semakin menggebu-gebu (Meskipun
media yang saya buat masih sangat sederhana dan belum bisa disandingkan dengan milik guru
hebat di luar sana tetapi paling tidak saya berhasil menantang diri saya sendiri karena
sesungguhnya musuh terbesar manusia adalah dirinya sendiri).
Saya juga mulai mengikuti pelatihan atau ikut suatu seleksi tanpa harus ditunjuk. Di tahun
2017, saya mulai menulis sebuah buku bacaan sederhana yang berjudul “Bubur Ayam” dan saya
juga memberanikan mengajukan diri sendiri untuk mengikuti seleksi PBG dan alhamdulillah
saya lulus dan menjadi bagian dari PBG hingga saat ini. Di PBGlah, pengetahuan dan
keterampilan saya semakin terasah. Berkat bergabung di PBG, saya sudah tahu mengoperasikan
Google Classroom, Google Form, Membuat kuis melalui Quizziz, kahoot, plickers, dan
sejenisnya, membuat video pembelajaran melalui aplikasi Easy Sktech dan masih banyak ilmu
lainnya yang saya dapatkan setelah berusaha keluar dari zona zaman ini (Setidaknya ada
perubahan sikap, pengetahuan, dan keterampilan dari tahun ke tahun dan itu masih harus terus
diasah dan dikembangkan lagi).
Media yang saya buat di akhir tahun 2019 adalah Punggawa.. Apa itu Punggawa? Apakah
ini berkaitan dengan mantan bupati Gowa sebelum pak Adnan? Jawabannya TIDAK. Media
Punggawa ini tidak berunsur politik. Punggawa merupakan akronim dari Permainan Ular
Tangga Berwawasan Luas. Media punggawa adalah media keempat yang saya buat setelah
keluar dari zona zaman. Ketika peserta didik atau guru-guru memainkan media Punggawa, saya
selalu dokumentasikan dan share di sosmed. Tujuannya untuk menjadi motivasi buat guru-guru
lainnya, tidak ada maksud lain. Ternyata postingan di sosmed itu juga membawa berkah
tersendiri buat keluarga kecil saya, ada beberapa orang yang berniat membelinya padahal jujur
saya membuat media itu bukan untuk diperjual belikan, semata-mata buat anak saya di rumah
dan buat peserta didik saya di sekolah. Tetapi rezki itu sudah ketentuan Allah, Alhamdulillah
hingga saat ini sudah ada 8 orang yang sudah membelinya padahal saya tidak promosikan dan
tawarkan dagangan media kepada siapapun itu. Mungkin sudah rezkinya, hobiku yang hanya
iseng-iseng ternyata menghasilkan rupiah yang halal.
Kisah ini saya angkat sebagai sebuah cerita karena memang sangat memberi kesan berarti
buat saya. Dari guru zaman Old berusaha menjadi guru zaman Now. Seperti yang dikatakan oleh
Dr. Ayatullah bahwa “Tidak ada batasan untuk apa yang bisa kamu capai, kecuali batasan yang
kamu tempatkan pada pemikiranmu sendiri”. Sesungguhnya nasib seseorang bisa diubah selama
orang itu mau berusaha untuk mengubah nasibnya ke arah yang lebih baik. Dari kisahku ini, saya
hanya ingin mengatakan pada para pembaca “1) Cintailah pekerjaanmu karena dengan cinta kita
akan selalu ikhlas melaksanakannya dan tidak akan merasa terbebani, 2) Tidak ada kata
terlambat untuk berubah dan belajar tidaklah mengenal usia, 3) Janganlah menyerah sebelum
berusaha, dan 4) Untuk para guru, berilah yang terbaik buat peserta didik-peserta didik kalian
karena merekalah ladang pahala kalian (Bisa jadi salah satu di antara mereka yang membuka
jalan kita ke surga atau malah yang menarik kita ke neraka. Ini tergantung dari cara kita
memperlakukan mereka makanya ayo kita keluar dari zona nyaman).
Pembelajaran Tatap Muka vs Daring

Assalamu Alaikum wr.wb...


Manusia hanya mampu berencana, tetapi Allahlah yang maha penentu segalanya.
Manusia biasa seperti kita tidak akan pernah mampu memprediksi apa yang akan terjadi di masa
yang akan datang. Yang bisa kita lakukan saat ini adalah selalu berusaha melakukan yang terbaik
dan selalu memperbaiki diri menjadi manusia yang lebih baik lagi agar kita tidak menyesal di
kemudian hari. Siapa yang akan menduga, jika proses pembelajaran yang tadinya dilakukan
secara tatap muka di sekolah tiba-tiba saja mendadak diubah menjadi pembelajaran jarak jauh
(PJJ) yang lebih dikenal dengan istilah daring di rumah? Tidak ada yang pernah menduganya,
termasuk saya. Musibah itu tiba-tiba saja datang tanpa diundang. Musibah seluruh dunia karena
sebagian besar negara juga mendapatkannya, bukan hanya di negara kita tercinta yaitu Indonesia.
Musibah itu adalah Virus Corona. Saya berdoa dengan khusuk agar musibah itu tidak sampai ke
negara kita yang tercinta ini. Namun, ternyata harapan tidak sesuai dengan kenyataan. Virus
Corona ternyata juga mampir di Indonesia di awal tahun 2020.
Apakah profesi guru juga terkena imbas dari pandemi virus corona??? Tentu saja profesi
kami terkena imbasnya. Banyak guru yang tidak siap mengajarkan materi ke peserta didik lewat
daring. Kami bingung harus menggunakan teknik apa agar materi yang kami ajarkan mudah
dipahami dan dimengerti oleh peserta didik di rumah karena fakta di lapangan “mengajarkan
anak secara tatap muka saja belum tentu mereka langsung pahami, apalagi diajarkan hanya lewat
Online”. Kami bingung karena tiba-tiba saja dihadapkan pada sesuatu yang tidak pernah kami
duga. Andai kita tahu akan begini, maka kita sudah mempersiapkan diri dari awal. Di sinilah kita
akan melihat 2 tipe guru. Tipe pertama adalah guru yang sudah menyiapkan payung sebelum
hujan (Tipe ini dari sebelum pandemi, mereka selalu belajar tentang berbagai jenis aplikasi yang
bisa digunakan saat mengajar baik itu aplikasi yang bisa digunakan secara offline maupun
online. Tipe guru seperti ini akan siap mengajar di berbagai macam situasi pembelajaran karena
mereka sudah siap dari awal. Mereka selalu haus dengan ilmu baru). Tipe kedua adalah guru
yang tiba masa tiba akal (Tipe ini cenderung masa bodoh. Mereka tidak mau keluar dari zona
nyaman. Baginya, cukup saja mengajar sesuai dengan buku tanpa harus menguasai aplikasi atau
menguasai IT yang menurut mereka sangat ribet dan belum tentu akan digunakan nantinya. Tipe
seperti inilah yang akan paling panik dan khawatir ketika dihadapkan pada situasi pembelajaran
seperti sekarang ini.
Sebelum pandemi tiba di ibu pertiwi, proses belajar mengajar di kelasku berjalan secara
kondusif. Semua media pembelajaran yang saya buat sendiri rutin saya gunakan di dalam kelas.
Alhamdulillah, media pembelajaran itu sangat efektif dalam meningkatkan nilai sikap,
pengetahuan, dan keterampilan peserta didik yang saya ajar. Ada dua media pembelajaran yang
paling sering saya gunakan di saat pembelajaran tatap muka di kelas yaitu stick and glass dan
media pakarena.. Media pembelajaran stick and glass fokus ke pelajaran matematika dasar kelas
1 SD materi penjumlahan dan pengurangan. Media ini bisa dikatakan setiap hari saya gunakan.
Saya biasanya menggunakan media ini 5 menit sebelum belajar, 5 menit sebelum jam istirahat,
dan 10 menit sebelum pulang. Media Pakarena saya gunakan untuk mengajarkan mengajarkan
mereka huruf dan kata melalui permainan menyusun huruf sehingga seiring dengan waktu
mereka bisa membaca lancar. Media pakarena juga saya gunakan kepada peserta didik saya
ketika akan mengajarkan matematika tentang materi mengurutkan bilangan mulai dari yang
terkecil ke terbesar atau sebaliknya.
Pada bulan Maret 2020 (Awal dimulainya pembelajaran daring), belum ada orang tua
siswa yang mengeluh atau mereka masih enjoy dengan perubahan yang terjadi. Saat itu, saya
hanya menggunakan aplikasi WA dalam menjelaskan materi (Buat list absen dengan
mencantumkan hari, tanggal dan tahunnya, menjelaskan materi dengan menggunakan voice note
atau kiriman video, dan pemberian tugas). Namun di bulan April 2020, sudah ada beberapa
orang tua siswa yang mengeluh. Mereka tidak sanggup menjadi guru dadakan apalagi kata
mereka kalau anak-anak mereka cenderung tidak mau mendengarkan dan mengerjakan tugas
yang diberikan kalau bukan gurunya sendiri yang menjelaskan dan memberikan langsung
tugasnya. Dalam hati saya berkata “Baru anaknya sendiri saja yang mereka ajar sudah mengeluh,
bagaimana guru yang mengajar lebih dari 10 bahkan ada yang mengajar 40 siswa/kelas dengan
karakter yang berbeda-beda pula”.
Di saat itu (Maret – Juni 2020), peserta didik yang aktif mengisi absen dan mengikuti
pembelajaran hanyalah 15 orang dari 29 siswa. Itupun yang 15 orang kadang timbul tenggelam.
Setelah saya telusuri ternyata sebagian orang tua siswa tidak memiliki HP, ada yang memiliki
HP tapi bukan HP android, ada yang memiliki HP tapi tidak punya kuota, dan ada yang memiliki
HP tapi orang tuanya kerja sampai sore dan nanti pada malan hari baru bisa memperlihatkan
tugas yang diberikan kepada anaknya (Itupun kalau orang tuanya tidak capek sepulang kerja).
Belum lagi peserta didik yang tinggal di dataran tinggi atau daerah terpencil, meskipun
seandainya ada yang memiliki HP Android tetapi belum tentu juga jarigan mendukung. Yah
itulah beberapa kendala umum pembelajaran daring selama pandemi covid 19.
Singkat cerita, peserta didik yang terdaftar di tahun ajaran 2019/2020 akhirnya naik ke
jenjang berikutnya dengan disertai beberapa PR buat para guru. 3 bulan mengajarkan daring full
ke peserta didik, cukup membuat kami mengetahui kelebihan dan kekurangannya. Saya kala itu
menyimpulkan kalau calon murid saya yang akan terdaftar sebagai peserta didik baru kelas I di
tahun ajaran 2020/2021 tidak cocok menggunakan daring full. Saya butuh pembelajaran tatap
muka untuk melakukan deteksi dini terlebih dahulu agar saya bisa mengambil tindakan yang
efektif untuk mengatasi kelemahan atau kendala yang dihadapi oleh peserta didik baru saya.
Alhamdulillah, memasuki tahun ajaran baru diadakan rapat lewat Zoom yang diikuti oleh ibu
kabid SD, pengawas, kepala sekolah, dan guru dari berbagai kecamatan. Salah satu hasil rapat itu
dikatakan “Boleh belajar tatap muka asalkan lokasinya tidak di sekolah, jumlah siswa dibatasi
maksimal 5 orang/sift, tidak memakai seragam sekolah saat pembelajaran tatap muka, tetap
mengikuti protokol kesehatan, dan durasi belajar maksimal 2 jam saja”.
Dari hasil rapat di atas, kuputuskan untuk melakukan proses pembelajaran tatap muka
daring (3 hari daring dan 3 hari tatap muka). Namun sebelumnya, saya tetap mengadakan rapat
dengan orang tua siswa apakah mereka setuju atau tidak. Dari hasil rapat diputuskan bahwa
jadwal tatap muka adalah senin, rabu, dan jum’at sedangkan jadwal daringnya adalah selasa,
kamis, sabtu. Alhamdulillah semua orang tua/wali siswa yang hadir di saat itu semunya sepakat
karena kelas 1 itu memang harusnya tatap muka saja tetapi juga tidak bisa full karena ada
anjuran dari kepala sekolah kalau harus diselang seling. Hasil mengajar 3 tatap muka dan 3
daring selama bulan Juli – Oktober 2020 menurut saya tetap tidak memuaskan. Mengapa?
Karena kemajuan peserta didik saya tidak seperti kakak kelasnya terdahulu yang sudah naik ke
kelas 2. Di bulan Agustus saja, jumlah kehadiran peserta didik yang datang tatap muka semakin
berkurang. Yang isi absen daring juga makin hari makin berkurang. Progres belajar anak juga
kurang memuaskan padahal setiap tatap muka di mesjid saya selalu bimbing mereka. Saya juga
selalu tekankan kepada para orang tua agar tetap membantu para guru untuk membimbing
anaknya belajar di rumah apalagi sudah dibekali buku membaca secara gratis bahkan peserta
didik saya yang tidak ada peningkatannya hingga saat ini sudah saya japri pribadi tetapi jawaban
orang tua sungguh mencengangkan, katanya “Kalau saya ibu yang ajarki, tidak mauki. Itu anak
malah marah-marah”, sayapun menjawab “Mungkin percobaan pertama, kedua, dan ketiga masih
gagalki bujukki anakta sendiri ibu tetapi belum tentu percobaan keempat hasilnya sama. Siapa
tahu di percobaan yang kesekian kalinya malah berhasilmaki bujukki anakta. Satuji ini anakta
kita hadapi ibu, bukanji 20 orang”. Yah itulah resiko menjadi guru, jika anaknya pintar yang
dipuji adalah orang tuanya tetapi jika anaknya tidak pintar maka yang disalahkan adalah
gurunya. Saya berharap pandemi ini segera berlalu karena saya merindukan proses belajar
mengajar yang menggunakan media pembelajaran dengan cara bermain sambil belajar.
Saya mengangkat kisah ini karena kasus belajar tatap muka vs daring hingga saat ini masih
menjadi perdebatan bukan hanya di kalangan sesama guru saja, tetapi juga di antara para orang
tua, dan masyarakat sekitar. Sebagian besar siswa menginginkaan anak mereka diajar daring agar
mereka tidak terkena virus covid 19 dan sebagian lagi menginginkan anak mereka diajar tatap
muka karena jauh lebih dipahami anak mereka dibanding daring dan tentunya untuk mencegah
penyakit darting (darah tinggi) pada diri orang tua peserta didik. Cerita ini penting bagi saya
dengan harapan agar yang membacanya bisa memberikan masukan positif berupa saran atau
solusi buat saya agar kelemahan yang ada di pembelajaran daring selama pandemi bisa ditangani
dengan bijak, tanpa ada yang merasa dirugikan. Nilai moral yang ingin saya sampaikan bahwa
musibah ini akan berlalu, maka saat ini marilah kita bersabar menghadapinya. Keberhasilan
pendidikan seorang peserta didik tidak hanya menjadi tanggung jawab gurunya semata, tetapi
tetap harus ada andil dan peran aktif para orang tua di rumah. Mulai sekarang, marilah guru dan
para orang tua duduk bersama untuk mencari solusi terbaik mengatasi masalah pembelajaran saat
ini, bukan malah saling menyalahkan apalagi sampai menyalahkan gurunya yang sudah berusaha
memberi yang terbaik dari yang terbaik. Sekali lagi, kesempurnaan hanyalah milik Allah Swt
dan kekurangan hanyalah milik manusia seperti guru.

Anda mungkin juga menyukai