Hai, perkenalkan nama saya adalah Musdalifah. ZA. Saya adalah guru di sekolah dan
juga merangkap guru di rumah. Saat ini saya mengajar siswa kelas I di SDI Macanda Kecamatan
Sombaopu Kabupaten Gowa. Jumlah siswa yang saya ajar di tahun ajaran 2020/2021 adalah 20
siswa dengan sistem pembelajaran 3 hari tatap muka di mesjid Zarindah dengan jadwal senin,
rabu, dan jum’at dan 3 hari pembelajaran daring dengan jadwal selasa, kamis, dan sabtu. Saya
juga harus membimbing 2 anak saya belajar di rumah yang full daring. Anak pertama saya saat
ini duduk di bangku SD Kelas IV, sedangkan anak kedua saya duduk di bangku SD kelas II.
Yang saya herankan sampai saat ini, mengapa yah banyak guru lebih sabar mengajar siswanya
yang jumlahnya puluhan dengan karakter yang berbeda-beda dibandingkan mengajarkan
anaknya sendiri di rumah? Ini pengalaman pribadi saya tetapi saya juga sudah survei ke beberapa
teman yang profesinya sama dengan saya, mereka juga mengatakan “Kesabaran ketika saya
mengajar anaknya orang sangatlah tebal tetapi jika saya mengajar anak saya sendiri
kesabaran saya menjadi menipis”.
Nah, ceritaku kali ini saya fokuskan ke anak kedua saya. Saya mengangkat kisah anak
kedua saya karena kisahnya sangat berkesan buat saya dan menjadi pelajaran buat orang tua di
luar sana agar tidak melakukan hal yang sama. Betul kata pepatah jika penyesalan itu datangnya
tidak pernah di awal, tetapi selalu di belakang. Andai waktu bisa diulang, ingin rasanya kuulang
waktu itu dan memperbaiki kesalahanku dulu. Namanya Muh Nurfathan. H, biasa dipanggil
Fathan. Anak kedua dari 3 bersaudara. Fathan lahir pada tanggal 27 Februari 2013 di kamar
neneknya dengan berat hanya 2,1. Selama saya mengandung dan melahirkannya, saya dalam
keadaan yang sangat stres berat karena saat itu banyak masalah yang harus saya hadapi dan
selesaikan sehingga di kala itu saya tidak memperhatikan asupan makanan yang saya konsumsi
di kala hamil dan asupan makanan yang harus dikonsumsi oleh bayi kecilku. Pertumbuhan
Fathan serba lambat. Dia bisa jalan nanti di usia 1,8 tahun. Bisa bicara kata (itupun tidak jelas) di
usia 2,5 tahun, dan hingga saat ini di usianya yang sudah 7 tahun 9 bulan dia belum mampu
mengucapkan kalimat panjang (Maksimal 2 kata saja itupun belum jelas sekali), dan masih
memakai popok.
Penyesalanku yang pertama adalah lambatnya saya membawa anak saya periksa ke
dokter anak dan juga psikolog karena kala itu biaya masih minim (Usaha saya terpuruk sehingga
perekonomian saya menjadi jungkir balik). Penyesalan kedua adalah kesibukan saya dari pagi,
siang, sampai malam mencari uang untuk membayar banyak hutang sehingga tidak ada waktu
untuk saya melihat dan mendampingi tumbuh kembangnya Fathan yang kala itu seharusnya
diberi perhatian lebih karena Fathan kategori anak inklusi. Penyesalan ketiga ketika anak saya
tidak saya masukkan ke jenjang TK seperti kakaknya dan penyesalan keempatku ketika Fathan
akan memasuki masa sekolah SD. Gara-gara saya mengambil keputusan yang salah sehingga
mempengaruhi perkembangan sikap, pengetahuan, dan keterampilan Fathan hingga saat ini. Pada
Juni 2019, saya sudah mengalami kebimbangan di manakah akan saya sekolahkan Fathan kelak.
Apakah di sekolah negeri, swasta, atau SLB. Tanpa berkonsultasi di psikolog anak, akhirnya
saya daftarkan Fathan di SLB di dekat rumah setelah berkonsultasi dengan beberapa teman saya,
salah satunya guru PAUD. Dulu saya memutuskan SLB karena menurut saya guru-guru di sana
sudah berpengalaman mendidik dan membimbing anak yang berkebutuhan khusus dan inklusi
seperti anak saya. Di hari pertama sekolah, Fathan sangat antusias datang ke sekolahnya. Hari itu
masih aman terkendali karena teman-temanya yang lain belum ada yang datang. Namun di hari
kedua, masalah itu mulai muncul. Setelah melihat kondisi teman barunya, dia langsung menangis
dan mau pulang. Hari ketiga hingga mencapai dua minggu, ayahnya dan orang yang ada di
rumah tidak ada yang berhasil membujuknya untuk kembali ke sekolah. Akhirnya kuputuskan
Fathan pindah sekolah di sekolahku. Kubujuk dia untuk kembali ke sekolah. Kukatakan
kepadanya kalau bukan sekolah yang dulu lagi tetapi sekolah baru yaitu sekolahnya mama tetapi
dia sudah tidak mau lagi. Mungkin anak saya Fathan sudah trauma, menganggap bahwa semua
siswa yang ada di sekolah itu sama. Semenjak duduk di kelas 1, kedatangannya baru 3 kali saja
itupun dengan cara saya berkilah kalau akan ke Mall, makanya dia mau ikut asalkan dia tetap
baju biasa. Namun sampai di sekolah, dia kembali menangis mau pulang dan yang dilakukannya
hanya berdiri dan bermain di pekarangan sekolah.
Parahnya saya sebagai orang tua, seharusnya saya meluangkan waktu yang lebih banyak
untuk membimbing, mendidik, dan mengajarkan pelajaran dasar ke Fathan tetapi saya tetap
sibuk, sibuk, dan sibuk mencari uang. Itulah ada istilah yang saya sematkan untuk diri saya
“Saya punya banyak waktu untuk mengajarkan ilmu ke semua peserta didik saya, tetapi saya
hanya punya waktu sedikit bahkan tidak ada sama sekali untuk membimbing darah daging saya
sendiri”. Saya marah, sedih, dan kecewa dengan diri saya sendiri. Bayangkan sebagian besar
murid saya di semester 1 tahun ajaran 2019/2020 yang merupakan teman kelasnya sudah bisa
membaca lancar, mengenal huruf A-Z, menulis namanya sendiri, dan mengenal angka 1 - 50
sedangkan Fathan sampai sekarang belum bisa menyebut angka 1 – 10 dengan benar padahal
gurunya sama yaitu saya sendiri. Alhamdulillah, masalahku yang dulu sudah mulai teratasi dan
perekonomianku juga semakin membaik. Sekarang kuputuskan untuk berhenti, semua private
belajar yang saya lakukan setiap pulang mengajar saya hentikan karena saya benar-benar mau
fokus membimbing dan mendidik Fathan. Mungkin saya termasuk terlambat, tetapi lebih baik
ada niat daripada tidak sama sekali.
Pesan moral yang ingin saya sampaikan adalah sesungguhnya harta yang paling
berharga di dunia ini adalah keluarga maka perbanyaklah waktu kita untuk berkumpul dengan
mereka terutama anak-anak kita. Keberhasilan pendidikan seorang anak bukan menjadi tanggung
jawab gurunya semata, tetapi tetap harus ada kerjasama aktif orang tua di rumah. Sesungguhnya,
cara terbaik untuk mendidik anak adalah melalui kepribadian terbaik dari orang tuanya karena
anak akan mencontoh banyak hal dari orang tuanya. Ingatlah selalu bahwa pendidikan diawali
dari keluarga karena keluarga adalah tempat pertama bagi pembentukan dan pendidikan anak.
Hikmah Dibalik Perubahan (Keluar Dari Zona Nyaman)