Anda di halaman 1dari 15

Hikmah Dibalik Perubahan (Keluar Dari Zona Nyaman)

Assalamu Alaikum wr.wb...


Hai, perkenalkan nama saya Musdalifah. ZA. Saya adalah salah satu guru di
Kabupaten Gowa. Pada tahun 2009, saya lulus ASN dan ditempatkan di SDI Kalebajeng
Kec. Bajeng. Karena domisili saya di Sungguminasa Kec. SombaOpu, saya berusaha
mengurus mutasi kerja ke Kec. SombaOpu dan alhamdulillah atas izin Allah Swt pada
bulan Oktober 2018 apa yang saya ikhtiarkan sejak beberapa tahun terakhir ini dijabah dan
akhirnya saya berhasil mutasi kerja di SDI Macanda dengan jalur bertukaran karena
kebetulan guru di sana domisilinya di Limbung sehingga urusan mutasi kerja ini berjalan
sangat lancar atau bebas hambatan seperti jalan tol hehehe...
Dulu, saya adalah guru zaman old. Maksudnya???? Dari awal saya terangkat di tahun
2009 hingga pertengahan tahun 2016, saya adalah guru yang tidak mau keluar dari zona
nyaman. Bagi saya, cukup saya mengajar sesuai dengan RPP saja (Itupun RPP hasil
download yang dicopy paste kemudian diedit) dan media pembelajaran yang saya gunakan
yang ada saja di buku (difotocopi perbesar lalu diwarnai kemudian dilem di karton dan
nantinya dipasang di papan tulis) bahkan saya juga sering tidak menggunakan media sama
sekali. Metode yang saya gunakan dikala itu hanya metode ceramah dan tanya jawab saja
(Wah, pasti kalian sudah bisa membayangkan betapa membosankannya suasana belajar di
kelas saya karena menggunakan metode yang sangat monoton).
Tidak ada dibenak saya untuk membuat media pembelajaran inovatif atau
menggunakan media alternatif lain karena menurut saya dikala itu sangat membuang
waktu, tenaga, pikiran, dan tentu saja mengeluarkan biaya (Pikiran yang sangat picik dan
tidak boleh ditiru yah). Media yang biasa saja saya hindari, apalagi media yang berbasis IT
sudah pasti tambah saya hindari karena dulu saya masih Gaptek. HP Android saja di tahun
2016 saya belum punya. Saat saya menulis cerita ini, saya baru menyadari betapa
dzalimnya saya dikala itu dan jujur sekarang saya sangat malu. Mungkin ini terjadi karena
saya belum mencintai pekerjaan saya sehingga mengajarpun seolah-olah tidak ikhlas.
Cukup datang, mengajar, lalu pulang. Namun, tidak ada kata terlambat untuk berubah kan?
Dan saya percaya itu. Akhir tahun 2016, sedikit demi sedikit saya mulai keluar dari zona
zaman itu. Kekhilafan saya selama ini, sedikit demi sedikit mulai saya sadari dan mulai
saya perbaiki. Setidaknya, saya sudah bertekad untuk berubah. Mulai saya tanamkan rasa
cinta terhadap profesi saya sebagai seorang guru hingga akhirnya rasa ikhlas itu mulai
tertanam disanubari. Profesi guru kujalani bukan karena tanggung jawab semata, tetapi
mulai saya tanamkan rasa cinta terhadap profesi itu sendiri dan rasa cinta kepada semua
peserta didikku.
Kejadian apa yang membuat saya berubah??? Benar kata pepatah, dibalik sebuah
peristiwa pasti ada hikmah di dalamnya. Pada akhir tahun 2016, saya dan teman mengajar
saya di SDI Kalebajeng mendapatkan undangan untuk ikut seleksi TOT Guru Pembelajar.
Awalnya saya tidak percaya mengingat kemampuan saya yang sangat terbatas (Jarang
sekali ikut pelatihan, seminar, atau sejenisnya bahkan pelatihan yang injak hotel pun di kala
itu tidak pernah) tapi nama kami berdua memang ada dan 2 hari kemudian dikala saya
mendapatkan info itu, kami sudah harus masuk pelatihannya di LPMP Makassar selama 9
hari. Di sana kami terbagi ke dalam 2 kelas, yaitu kelas A dan B. Kelas A bisa dikatakan
98% diisi oleh guru-guru dari Kabupaten Gowa sedangkan di kelas B hanya 1 orang yang
berasal dari kabupaten Gowa (Itulah saya) dan selebihnya diisi oleh guru dari Makassar,
Takalar, dan Maros. Di pelatihan inilah yang membuat saya sangat tersentil, membuat saya
sadar betapa kakunya saya mengajar selama ini. Baru 2 hari ikut pelatihan ini dan berbaur
dengan mereka membuat pola pikir saya semakin berubah, yang tadinya pikiran saya
tertutup kabut pekat lambat laun mulai terbuka. Yah, teman kelas saya kala itu semuanya
hebat-hebat. Dikala mereka menceritakan kisah mereka selama mengajar mulai dari apa
yang mereka akan lakukan sebelum mengajar, apa yang telah mereka lakukan saat ini, dan
apa yang akan mereka lakukan setelahnya (Dalam hati saya “Wow, mereka sangat luar
biasa karena mereka betul-betul membuat suatu perencanaan yang matang, mencarikan
solusi tentang apa yang akan mereka hadapi dikala action, bahkan mereka sudah
memikirkan langkah-langkah revisi untuk kegiatan selanjutnya). Sedangkan saya????
Dalam hati segera kulafalkan istigfar berkali-kali. Perasaan saya saat itu sangat berkecamuk
(Sedih, malu, marah, dan kecewa pada diri sendiri. Kemana saja saya selama in? )
Pelatihan TOT Guru pembelajar yang awalnya saya ikuti setengah hati akhirnya
menjadi sangat semangat. Benar kata pepatah “Jika kita bergaul dengan orang yang
berilmu, maka kita akan tertular ilmunya dan jika kita bergaul dengan orang yang pelit
maka kita akan tertular pelitnya. Maka hendaklah kita pandai-pandai dalam memilih
teman” (Nauzubillahi Minzalik). Singkat cerita, sejak lulus menjadi TOT Guru Pembelajar
dan mulai beraksi di lapangan, mulailah saya mencari jati diri saya yang sempat tersesat.
Saya mulai mau belajar. Mulai beli HP android dan mulai membuat media pembelajaran
sederhana. Media yang pertama saya buat adalah stick and glass. Di awal tahun 2017, saya
kembali membuat media pembelajaran dengan judul “Toserba 2”, kemudian media ketiga
yang bernama “Pocket Alpokat”, metode yang saya gunakan di kelaspun sudah mulai
variatif. Karena saya mengajar di kelas 1 SD, maka saya lebih ke arah bermain sambil
belajar apalagi di Kabupaten Gowa ada program yang namanya IMTAQ Indonesia
sehingga semakin membuat semangat saya dalam membuat suatu media pembelajaran
semakin menggebu-gebu (Meskipun media yang saya buat masih sangat sederhana dan
belum bisa disandingkan dengan milik guru hebat di luar sana tetapi paling tidak saya
berhasil menantang diri saya sendiri karena sesungguhnya musuh terbesar manusia adalah
dirinya sendiri). Saya juga mulai mengikuti pelatihan atau ikut suatu seleksi tanpa harus
ditunjuk. Di tahun 2017, saya mulai menulis sebuah buku bacaan sederhana yang berjudul
“Bubur Ayam” dan saya juga memberanikan mengajukan diri sendiri untuk mengikuti
seleksi PBG dan alhamdulillah saya lulus dan menjadi bagian dari PBG hingga saat ini. Di
PBGlah, pengetahuan dan keterampilan saya semakin terasah. Berkat bergabung di PBG,
saya sudah tahu mengoperasikan Google Classroom, Google Form, Membuat kuis melalui
Quizziz, kahoot, plickers, dan sejenisnya, membuat video pembelajaran melalui aplikasi
Easy Sktech dan masih banyak ilmu lainnya yang saya dapatkan setelah berusaha keluar
dari zona zaman ini (Setidaknya ada perubahan sikap, pengetahuan, dan keterampilan dari
tahun ke tahun dan itu masih harus terus diasah dan dikembangkan lagi).
Media yang saya buat di akhir tahun 2019 adalah Punggawa.. Apa itu Punggawa?
Apakah ini berkaitan dengan mantan bupati Gowa sebelum pak Adnan? Jawabannya
TIDAK. Media Punggawa ini tidak berunsur politik. Punggawa merupakan akronim dari
Permainan Ular Tangga Berwawasan Luas. Media punggawa adalah media keempat yang
saya buat setelah keluar dari zona zaman. Apa yang melatarbelakangi sehingga media ini
dibuat? Tentunya ada kisah dibalik suatu ide hehehe... Singkat cerita, sekitar bulan
November 2019 (Tahun ajaran 2019/2020 semester genap) saya sudah selesai mengajar di
kelas 1. Kurapikan kelas 1 kemudian kututup pintunya lalu kulangkahkan kakiku ke kantor.
Ternyata di kantor tidak ada orang alias kosong. Namun, saya tetap duduk di kantor
meskipun seorang diri. Kunyalakan laptop, kemudian kembali saya buka RPP yang telah
saya buat untuk saya revisi dan penilaian hari ini mulai saya lengkapi agar tidak keteteran.
Tiba-tiba kudengar suara ribut di kelas 4, kulirik jam yang saat itu menunjukkan pukul
10.30 (Waktu belajar). Dalam hatiku “Kok kelas 4 ribut? Di manakah gurunya? Karena
meskipun saya guru baru di SDI Macanda, tetapi saya saya tidak pernah melihat guru-
gurunya berkunjung kelas di saat jam belajar (Mereka tetap di dalam kelas masing-masing).
Karena penasaran, akhirnya kuhentikan pekerjaanku lalu kulangkahkan kaki kecilku
menuju ruang kelas 4. Dari arah kejauhan, kulihat peserta didik-siswi kelas 4 kocar kacir
masuk di kelasnya setelah melihat saya menuju ke kelas mereka (Saya pun bertanya-tanya,
mengapa mereka lari? Takutkah mereka terhadap saya? Ataukah mereka telah menyadari
kesalahan mereka? Biarlah waktu yang menjawabnya).
Setelah sampai di ruang kelas 4, kusapa mereka dengan senyuman sehangat mentari
lalu kutanyakan kepada mereka di manakah gurunya berada? Ternyata guru mereka (Ibu
Andi Kartini) sedang sakit di kala itu. Kuputuskan untuk mengajar mereka untuk
sementara, namun sebelumnya kuberi mereka nasehat terlebih dahulu bahwa tugas utama
seorang peserta didik adalah belajar. Ada tidaknya guru, peserta didik tetap harus belajar.
Apa yang dipelajari? Bisa pelajaran sebelumnya atau ketua kelas berInisiatif mengambil
buku paket dan dibagikan ke semua temannya. Atau cari guru yang lagi kosong jam
mengajarnya (Semoga nasehat yang saya berikan masuk di telinga kiri dan keluar di telinga
kanan, amiinn...). setelah memberi nasehat, kutanyakan kepada mereka “Pelajaran apa hari
ini? Mereka menjawab serentak “Tema 8 ibu guru”. “Apakah ada buku paketnya? Kembali
diriku bertanya. Ketua kelasnya menjawab “Ada ibu di dalam lemari tetapi kuncinya ada di
ibu Andi”. Buku Paket tidak ada, kuota juga tidak ada (tidak bisa searching di om google
tentang materi tema 8) tetapi di sinilah peran seorang guru. Salah satunya adalah guru harus
mampu mengambil keputusan dan menguasai materi. Akhirnya kuputuskan mengajarkan
mereka “Keaneragaman Indonesia” karena seingat saya materi ini pernah diajarkan di
semester 1 yaitu tema 1. Saya hanya ingin melihat apakah mereka masih mengingat
pelajaran sebelumnya atau mereka telah lupa (Pikiran saya daripada mereka menggambar
bebas, mending saya mengulang kembali pelajaran mereka terdahulu).
Dengan membaca basmalah dalam hati, kumulailah pelajaran versi saya dengan
melakukan apersepsi melalui metode tanya jawab. Tanya jawab pertama tentang
keanekaragaman yang ada di Sulawesi Selatan. Hal yang saya tanyakan mulai dari jenis
suku, budaya, adat istiadat, bahasa, jenis makanan, rumah adat, senjata, pakaian adat, dan
alat musik yang ada di Sulawesi Selatan dan Ahamdulillah 70% peserta didik kelas 4 bisa
menjawabnya meskipun harus diberi petunjuk terlebih dahulu (Di sini, semua peserta didik
masih semangat menjawab karena mereka lumayan mengetahuinya). Setelah itu, saya
naikkan level pertanyaan saya. Kali ini pertanyaan yang sama, tapi daerahnya beda. Kalau
tidak salah ingat saya ambil Jawa Barat. Nah, dipertanyaan inilah antusias peserta didik
mulai menurun. Yang tadinya berebutan ingin menjawab, sekarang mereka kompak diam.
Karena tidak ada peserta didik yang mau menjawab, jadi kucoba ganti daerahnya menjadi
daerah Yogyakarta. Kali ini ada 1 peserta didik yang mampu menjawab tentang makanan
ciri khas Yogyakarta yaitu gudeg (Itupun setelah saya memberi inisial berupa huruf
pertamanya). Dari 3 daerah, hanya 1 daerah yang bisa membangkitkan antusiasme peserta
didik dalam menjawab pertanyaan saya, yaitu hanya pertanyaan tentang Sulawesi Selatan
sedangkan untuk daerah lainnya mereka cenderung pasif. Kulirik kembali jam dan saat itu
menunjukkan pukul 11.45, sisa 15 menit lagi waktu saya di kelas 4 menjadi guru sementara
karena setelahnya adalah pelajaran Agama. 15 menit yang tersisa kugunakan untuk
menjelaskan kembali keanekaragaman yang ada di beberapa provinsi di Indonesia. Kuberi
mereka sebuah tugas untuk disetor besok dan akan diperiksa langsung oleh saya (Kuberi
mereka penguatan bahwa yang menyetor tugas secara on time akan mendapatkan hadiah,
harapan saya agar mereka semangat mengerjakan tugas yang saya berikan. Tugas yang saya
berikan tentunya terkait tentang Keanekaragaman Indonesia).
Akhirnya, lonceng pergantian jampun berdenting. Kuakhiri pelajaran dengan
membimbing peserta didik melakukan kesimpulan, kemudian diakhiri dengan
mengucapkan salam. Apakah ceritanya sudah tamat??? Ternyata masih berlanjut. Menjadi
guru kelas 4 dadakan yang hanya 1 jam saja, sangat membuat saya terkesan dan menjadi
bahan imajinasi buat saya. Kala itu saya berpikir “Bagaimana generasi bangsa bisa
mencintai negara mereka sendiri sedangkan mereka tidak mengenal baik kelebihan-
kelebihan yang ada di negaranya sendiri. Jangankan murid, gurupun belum tentu
menguasainya”. Saya bertanya-tanya di dalam hati saya “Media pembelajaran apa yang
cocok saya buat agar semua peserta didik dan gurunya bisa lebih mengenal
keanekaragaman Indonesia secara keseluruhan tanpa harus dihafal? Karena sesuatu yang
dihafal biasanya gampang untuk dilupakan tapi sesuatu yang sering dilakukan atau menjadi
pembiasaan pasti banyak sedikitnya akan ada yang tersimpan di memori. Sejak hari itu, di
manapun saya berada saya selalu berpikir dan berusaha mencari sebuah ide agar media
pembelajaran itu bisa segera saya temukan karena bagi saya membuat media itu adalah
salah satu obat untuk mengatasi penyakit peserta didik (Penyakit tidak menguasai
keaneragaman Indonesia). Saya berusaha mencari ide media yang sifatnya fleksibel, bisa
dimainkan di semua jenjang, materinya bisa diganti sesuai kebutuhan, dan bisa dibawa ke
mana saja. Hari pertama hingga hari ke tujuh, ide itu belum saya temukan alias masih
buntu. Namun, di hari ke delapan tiba-tiba saya menemukan sebuah ide setelah shalat Isya.
Saya tiba-tiba mengingat permainan ular tangga yang sering saya mainkan di kala kecil
dulu. Yah, saya memiliki ide untuk melakukan pengembangan media ular tangga. Saya
tahu jika permainan ular tangga sudah banyak yang mengembangkannya mulai dari ular
tangga jumbo, ular tangga PAI, dan sebagainya tetapi ini ular tangga versi guru Gowa
(Semoga beda dan lain daripada yang lain). Untuk menghindari plagiat, saya tidak mau
melihat video atau hal-hal yang berkaitan dengan ular tangga yang ada di Sosmed
(Takutnya ada ide mereka yang saya jiplak secara tidak sadar).
Malam itu sekitar pukul 20.00, mulailah saya menggambar persegi di sebuah kertas
HVS kemudian saya beri beberapa kotak hingga mencapai angka 100. Saya tentukan letak
tangga dan letak ularnya. Mulailah saya modifikasi permainan ular tangga versi saya. Saya
selipkan di setiap tangga nilai + (Nilai bertambah jika jawaban benar) dan di setiap ular
nilai – (Nilai berkurang jika jawaban salah). Saya beri nilai bonus di beberapa bagian
berupa soal perkalian dengan harapan perkalian peserta didik semakin lancar dan
permainan akan semakin seru jika dimainkan kelak. Setelah selesai, saya perlihatkan
kepada kekasih halalku (Suamiku, orang yang selalu mengerjakan semua ide-ide mediaku
karena saya hanya tahu berkonsep tetapi tidak mampu mengeksekusinya). Karena
gambarku jelek, sayapun menjelaskan kepada suami saya tentang konsep media yang saya
inginkan. Suamikupun mulai merancang desainnya di komputer menggunakan Corel Draw.
Kukatakan padanya, gunakan latar Keanekaragaman Indonesia pada papan ular tangganya
agar semakin menarik. Malam itu, kami berbagi tugas. Suamiku bagian merancang papan
ular tangganya, sedangkan saya bagian mencari nama medianya dan membuat soal-soal
Keanekaragaman Indonesia. 3 hari kemudian, suamiku sudah selesai merancang desain
papan ular tangganya dengan model saling berhadapan dan sayapun sudah berhasil
menemukan nama medianya serta sudah selesai membuat soal-soalnya. Nah, tugas kami
berikutnya memikirkan bahan yang akan digunakan agar media tersebut bisa fleksibel dan
awet. Saya sempat menyarankan kepada suami saya agar desain ular tangganya di print
spanduk/baliho saja tetapi kata beliau itu tidak baik jika nanti mau dipasang di triplek
karena akan berkerut. Suamiku menyarankan agar memprint sticker karena sisa ditempel
saja tetapi harganya tentu sedikit mahal. Kukatakan kepadanya, biar mahal yang penting
bagus dan awet. Saya juga menambahkan jika mediaku ini meskipun saling berhadapan
saya maunya bisa dilipat dua, suamiku berkata “Itu kecil, kita pakai engsel”. Sedangkan
kartu soalnya dan kartu nilainya menjadi urusan saya. Saya memutuskan untuk memprint
kartu soal dan kartu jawaban menggunakan karton jilid HVS berwarna dan bagian belakang
soal diberi nomor agar memudahkan lawan menentukan nomor soal yang ingin dijawab,
setelah diprint, lalu dipress laminating.
Sebelum papan ular tangganya dibawa ke percetakan untuk diprint sticker, saya cek
kembali desain suami saya. Untungnya saya cek karena masih ada beberapa hal yang harus
direvisi sehingga print out papan ular tangganya ditunda dulu. Minggu kedua Desember
2019 tepatnya hari selasa, desain ular tangganya sudah direvisi dan siap dicetak. Suamiku
pun membawanya ke percetakan langganannya yang ada di Makassar, sedangkan saya juga
mulai memprint out kartu soal dan kartu nilainya. Pada hari rabu, print outnya sudah bisa
diambil. Tugas selanjutnya, suami saya mulai memasang gambar ular tanganya di triplek
yang sudah dibeli dan sudah diukur oleh suami saya kemudian di bagian tengahnya diberi
engsel. Pekerjaan sayapun juga sudah selesai, kartu soal dan kartu nilainya sudah diprint,
diberi nomor, dan sudah digunting. Apakah sudah bisa dimainkan??? Ternyata belum
karena kami lupa menyiapkan dadu dan pionnya padahal kala itu sudah malam. Suamiku
tidak kehabisan ide, dia menggunakan sisa kayunya untuk membuat pion. Saya kira
pionnya biasa saja, ternyata suamiku membentuk pionnya menyerupai manusia. Untuk
dadunya juga keren karena suamiku menggunakan karet bekas bahan-bahan yang
dimilikinya. Pada hari Kamis, media yang saya buat berkolaborasi dengan suami saya
sudah selesai 100%, sisa dimainkan oleh peserta didik kelas 4 atau siapa saja peserta didik
yang ingin memainkannya. Pada hari jum’at, dengan semangat 45 kubawalah media
“Punggawa” ke sekolah. Kupanggil beberapa peserta didik untuk memainkannya secara
bergantian. Alhamdulillah, mereka suka karena mereka bisa bermain sambil belajar.
Mereka juga makin mengetahui tentang Keanekaragaman yang ada di semua provinsi yang
ada di Indonesia tanpa harus dihafal. Selain peserta didik-peserta didik, rekan guru saya di
SDI Macanda juga memainkannya. Ternyata, dari bermain ular tangga ini materi yang
dulunya mereka tidak tahu akhirnya menjadi tahu. Permainan ular tangga ini membawa
pengaruh positif dan terjadi perubahan sikap, pengetahuan, dan keterampilan ke arah yang
lebih baik pada diri setiap peserta didik dan juga para guru.
Apakah tugas saya sudah selesai?? Ternyata belum, karena saya berpikir jika soalnya
hanya tentang Keanekaragaman Indonesia saja maka pengetahuan peserta didik hanya akan
jalan di tempat dan tentunya lambat laun akan menimbulkan kebosanan, maka dari itu, saya
kembali membuat beberapa soal mulai dari soal Bahasa Inggris, IPA, PPKn, PAI, dan
sebagainya agar ketika media Punggawa dimainkan, akan ada pilihan materi sehingga
siapapun yang akan memainkannya tidak jenuh dan tetap bersemangat. Saya juga membuat
aturan permainan punggawa yang saya print menggunakan kertas sticker yang nantinya
akan saya pasang di belakang triplek agar ketika media punggawa berpindah tangan,
mereka tetap bisa memainkannya tanpa harus menunggu penjelasan langsung dari saya
tentang aturan permainan media punggawa. Ketika peserta didik atau guru-guru
memainkan media Punggawa, saya selalu dokumentasikan dan share di sosmed. Tujuannya
untuk menjadi motivasi buat guru-guru lainnya, tidak ada maksud lain. Ternyata postingan
di sosmed itu juga membawa berkah tersendiri buat keluarga kecil saya, ada beberapa orang
yang berniat membelinya padahal jujur saya membuat media itu bukan untuk diperjual
belikan, semata-mata buat anak saya di rumah dan buat peserta didik-peserta didik saya di
sekolah. Tetapi rezki itu sudah ketentuan Allah, Alhamdulillah hingga saat ini sudah ada 8
orang yang sudah membelinya padahal saya tidak promosikan dan tawarkan dagangan
media kepada siapapun itu. Mungkin sudah rezkinya, hobiku yang hanya iseng-iseng
ternyata menghasilkan rupiah yang halal.
Kisah ini saya angkat sebagai sebuah cerita karena memang sangat memberi kesan
berarti buat saya. Dari guru zaman Old berusaha menjadi guru zaman Now. Seperti yang
dikatakan oleh Dr. Ayatullah bahwa “Tidak ada batasan untuk apa yang bisa kamu capai,
kecuali batasan yang kamu tempatkan pada pemikiranmu sendiri”. Sesungguhnya nasib
seseorang bisa diubah selama orang itu mau berusaha untuk mengubah nasibnya ke arah
yang lebih baik. Dari kisahku ini, saya hanya ingin mengatakan pada para pembaca “1)
Cintailah pekerjaanmu karena dengan cinta kita akan selalu ikhlas melaksanakannya dan
tidak akan merasa terbebani, 2) Tidak ada kata terlambat untuk berubah dan belajar tidaklah
mengenal usia, 3) Janganlah menyerah sebelum berusaha, dan 4) Untuk para guru, berilah
yang terbaik buat peserta didik-peserta didik kalian karena merekalah ladang pahala kalian
(Bisa jadi salah satu di antara mereka yang membuka jalan kita ke surga atau malah yang
menarik kita ke neraka. Ini tergantung dari cara kita memperlakukan mereka makanya ayo
kita keluar dari zona nyaman).
Pembelajaran Tatap Muka vs Daring

Assalamu Alaikum wr.wb...


Manusia hanya mampu berencana, tetapi Allahlah yang maha penentu segalanya.
Manusia biasa seperti kita tidak akan pernah mampu memprediksi apa yang akan terjadi di
masa yang akan datang. Yang bisa kita lakukan saat ini adalah selalu berusaha melakukan
yang terbaik dan selalu memperbaiki diri menjadi manusia yang lebih baik lagi agar kita
tidak menyesal di kemudian hari. Siapa yang akan menduga, jika proses pembelajaran yang
tadinya dilakukan secara tatap muka di sekolah tiba-tiba saja mendadak diubah menjadi
pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang lebih dikenal dengan istilah daring di rumah? Tidak ada
yang pernah menduganya, termasuk saya. Musibah itu tiba-tiba saja datang tanpa diundang.
Musibah seluruh dunia karena sebagian besar negara juga mendapatkannya, bukan hanya di
negara kita tercinta yaitu Indonesia. Musibah itu adalah Virus Corona. Virus corona
awalnya viral di tahun 2019 di negara tirai bambu yaitu China. Saya pribadi sering
mengikuti perkembangan virus corona lewat berita di TV. Saya prihatin dan kasihan
dengan masyarakat yang ada di negara sana, meskipun mereka tidak seagama dengan saya
tetapi bagaimanapun kita tetap bersaudara karena sama-sama ciptaan Allah. Saya di sini
dan mereka di sana. Yang dapat saya lakukan untuk mereka adalah mendoakan mereka di
setiap sujudku agar virus corona di negara mereka segera berlalu dan saya juga berdoa
dengan khusuk agar musibah itu tidak sampai ke negara kita yang tercinta ini. Namun,
ternyata harapan tidak sesuai dengan kenyataan. Virus Corona ternyata juga mampir di
Indonesia di awal tahun 2020. Virus itu datang tanpa permisi kepada kami. kami warga
Indonesia, tidak ada yang siap menyambut ujian Allah itu. Tidak ada senjata yang kami
siapkan dari awal sehingga ketika virus itu datang, kami warga Indonesia kewalahan
mengatasinya dan profesi yang paling kewalahan adalah tenaga kesehatan yang merupakan
garda terdepan dalam melawan virus corona. Dua jempol buat nakes.
Apakah profesi guru juga terkena imbas dari pandemi virus corona??? Tentu saja
profesi kami terkena imbasnya. Banyak guru yang tidak siap mengajarkan materi ke peserta
didik lewat daring. Kami bingung harus menggunakan teknik apa agar materi yang kami
ajarkan mudah dipahami dan dimengerti oleh peserta didik di rumah karena fakta di
lapangan “mengajarkan anak secara tatap muka saja belum tentu mereka langsung pahami,
apalagi diajarkan hanya lewat Online”. Kami gegana (Galau karena merana. Itu wajar
karena guru juga adalah manusia biasa yang memiliki banyak kekurangan). Kami bingung
karena tiba-tiba saja dihadapkan pada sesuatu yang tidak pernah kami duga. Andai kita tahu
akan begini, maka kita sudah mempersiapkan diri dari awal. Di sinilah kita akan melihat 2
tipe guru. Tipe pertama adalah guru yang sudah menyiapkan payung sebelum hujan (Tipe
ini dari sebelum pandemi, mereka selalu belajar tentang berbagai jenis aplikasi yang bisa
digunakan saat mengajar baik itu aplikasi yang bisa digunakan secara offline maupun
online. Tipe guru seperti ini akan siap mengajar di berbagai macam situasi pembelajaran
karena mereka sudah siap dari awal. Mereka selalu haus dengan ilmu baru). Tipe kedua
adalah guru yang tiba masa tiba akal (Tipe ini cenderung masa bodoh. Mereka tidak mau
keluar dari zona nyaman. Baginya, cukup saja mengajar sesuai dengan buku tanpa harus
menguasai aplikasi atau menguasai IT yang menurut mereka sangat ribet dan belum tentu
akan digunakan nantinya. Tipe seperti inilah yang akan paling panik dan khawatir ketika
dihadapkan pada situasi pembelajaran seperti sekarang ini. Tipe kedua cenderung tidak mau
belajar. Baginya, cukup hanya menguasai 1 aplikasi saja mereka sudah puas. Padahal tidak
ada salahnya jika kita menguasai banyak aplikasi karena akan menguntungkan diri sendiri
dan bisa diwariskan ke anak cucu kita kelak). Nah, sekarang saya masuk tipe guru ke
berapakah??? Biarlah waktu yang menjawabnya dan kalianlah yang akan menilainya
hehehe...
Sebelum pandemi tiba di ibu pertiwi, proses belajar mengajar di kelasku berjalan
secara kondusif. Semua media pembelajaran yang saya buat sendiri berkolaborasi dengan
kekasih halalku yaitu bapaknya anak-anak juga rutin saya gunakan di dalam kelas.
Alhamdulillah, media pembelajaran itu sangat efektif dalam meningkatkan nilai sikap,
pengetahuan, dan keterampilan peserta didik yang saya ajar. Ada dua media pembelajaran
yang paling sering saya gunakan di saat pembelajaran tatap muka di kelas yaitu stick and
glass dan media pakarena (Dulunya media ini bernama pocket alpokat tapi setelah saya
revisi bentuknya yang tidak berbentuk pohon lagi dan kantongnya saya tiadakan makanya
sudah berubah nama). Media pembelajaran stick and glass fokus ke pelajaran matematika
dasar kelas 1 SD materi penjumlahan dan pengurangan. Bahan utamanya adalah stik es,
gelas plastik, dan triplek. Stik es itu berisi soal penjumlahan dan pengurangan dasar.
Triplek digunakan untuk memajang beberapa gelas plastik yang sudah saya beri nomor
dengan menggunakan kertas sticker (Untuk yang ada di dalam kelasku saat ini jumlah
gelasnya adalah 25 berarti penomoran gelasnya mulai 1 sampai 25. Artinya, jawaban dari
soal penjumlahan dan pengurangan itu antara angka 1 sampai angka 25). Media ini bisa
dikatakan setiap hari saya gunakan. Saya biasanya menggunakan media ini 5 menit
sebelum belajar, 5 menit sebelum jam istirahat, dan 10 menit sebelum pulang. Ala bisa
karena terbiasa. Karena seringnya saya menggunakan media ini sehingga sebagian besar
dari peserta didik saya sudah bisa menghitung tanpa harus mencakarnya, tanpa harus
membuat lidi, dan tanpa harus menaikkan jari tangan temannya untuk membantu mereka
menghitung jika jawabannya lebih dari 10. Mengapa bisa seperti itu? Karena konsep
penjumlahan yang saya tanamkan kepada mereka adalah jumlah yang paling besar di
simpan di kepala dan jumlah yang sedikit menggunakan jari tangan, setelah itu carilah
jawabannya dengan mulai menghitung angka yang tersimpan di kepala lalu lanjutkan ke
jari tangan yang dinaikkan. Biasanya saya memberi mereka motivasi dengan cara “Yang
sudah saya periksa tugasnya, duduknya paling tenang, dan bisa menjawab soal stick and
glass dengan benar maka bisa segera istirahat (biasanya saya juga memberi mereka
permen atau wafer jika jawaban mereka benar)”. Misalkan ananda Fathir saya suruh
mengambil stick pertanyaan, soalnya adalah 7 + 15. Lalu mulailah saya mengajarkan
konsep di atas. Ketika ananda Fathir berhasil menemukan jawabannya yaitu 22, lalu saya
arahkan dia menyimpan stick pertanyaan itu ke gelas jawaban yang bernomor 22. Awalnya,
mereka masih bingung tetapi seiring berjalannya waktu akhirnya mereka makin paham dan
makin mengerti konsep itu. Yang tadinya hanya 1 orang yang saja yang mengerti, sekarang
menjadi lebih dari 15 orang. Intinya adalah pembiasaan.
Kala itu jumlah peserta didik saya di tahun ajaran 2019/2020 adalah 29 orang,
dengan rincian 17 laki-laki dan 12 perempuan. Pada awal semester ganjil yaitu di bulan Juli
2019 seperti kebiasaan di tahun sebelumnya, saya melakukan deteksi dini terlebih dahulu.
Dari 29 peserta didik yang terdaftar hanya 1 orang yang bisa membaca lancar, 3 orang bisa
mengeja, 5 orang sudah mengenal huruf A-Z, dan 20 orang lainnya belum mengenal huruf
A-Z secara lancar. Di sinilah saya berpikir, bagaimana caranya agar 29 orang tersebut bisa
lancar membaca? Sebenarnya Calistung itu tidak boleh terlalu dipaksakan diajarkan di
peserta didik kelas 1 karena usia mereka memang usia bermain tetapi mungkin karena
sudah menjadi stigma sebagian besar orang tua peserta didik bahwa sangat memalukan jika
anaknya belum tahu calistung terutama membaca di kelas 1 SD sehingga kami guru di kelas
1 diharuskan oleh sebagian besar orang tua peserta didik untuk mengajarkan mereka
membaca. Nah, kebetulan di Kabupaten Gowa ada namanya Program Imtaq Indonesia, di
mana calistung tetap diajarkan tetapi dengan cara bermain. Di sinilah guru dituntut harus
bisa mengembangkan kreativitasnya karena bermain yang dimaksud di sini bukanlah
bermain tanpa arah atau tanpa makna, tetapi permainan yang tetap harus sesuai dengan
tema dan KD yang ingin dituntaskan.
Bagaimana cara saya mengajarkan membaca sebelum pandemi menerpa?. Cara
pertama : buku buatan saya yang berjudul “Bubur Ayam” (Buku Belajar Untuk Junior,
Asyik dan Menyenangkan) saya print out berwarna dan saya bagikan ke semua peserta
didik saya secara adil dan merata tanpa tebang pilih. Pembagian buku ini gratis atau tidak
dipungut biaya sepersenpun. Apakah biayanya dari sekolah? InsyaAllah bukan, biayanya
100% murni dari kantong pribadi karena bagi saya mengeluarkan biaya demi kemajuan
pendidikan peserta didik saya itu jauh lebih penting dibandingkan uang yang saya
keluarkan dan saya yakin Allah Swt akan membalasnya sejauh kita memberi dengan ikhlas.
Saya cuman menghimbau kepada orang tua atau wali peserta didik agar membayar buku itu
dengan cara ikut membantu saya membimbing anak mereka di rumah karena sejatinya
keberhasilan seorang peserta didik itu bukan di tangan gurunya saja tetapi harus ada
kerjasama yang baik antara guru dengan orang tua peserta didik di rumah. Nah, setelah
semua peserta didik mendapatkan buku bubur ayam maka setiap hari saya akan
membimbing mereka secara bergiliran, jika lancar maka saya akan memberi paraf dan paraf
itulah yang akan menjadi penentu untuk pelajaran selanjutnya. Saya juga memberi mereka
motivasi bahwa siapa yang mendapatkan paraf sampai halaman terakhir maka mereka akan
mendapatkan hadiah dan itu saya buktikan ketika penerimaan rapor di semester ganjil.
Alhamdulillah, semua mendapat hadiah dengan nominal yang berbeda tergantung prestasi
mereka di kala itu.
Cara kedua : Saya mengajarkan mereka huruf dan kata melalui permainan
menyusun huruf menggunakan media pakarena. Media pakarena yang saya siapkan ada 3
sehingga dalam 1 pertandingan akan dimainkan oleh 3 orang peserta didik. Siapa yang
paling cepat menyusun huruf membentuk kata sesuai dengan pertanyaan yang saya ajukan
dan jawabannya benar maka akan mendapatkan hadiah berupa wafer. Media pakarena juga
saya gunakan kepada peserta didik saya ketika akan mengajarkan matematika tentang
materi mengurutkan bilangan mulai dari yang terkecil ke terbesar atau sebaliknya.
Alhamdulillah di akhir semester ganjil, terjadi peningkatan sikap, pengetahuan, dan
keterampilan pada peserta didik yang saya ajar. Pada awal semester ganjil hanya 1 orang
yang bisa membaca lancar, namun di akhir semester menjadi 10 orang, 10 orang sudah
mampu mengeja lancar, dan 4 orang lainnya sudah mengenal huruf A-Z, dan 5 lainnya
belum mengenal huruf karena memang mereka jarang sekali hadir di sekolah atau sering
absen tanpa keterangan. Pada semester genap tahun ajaran 2019/2020 antara bulan Januari
– Februari 2020, proses belajar mengajar di sekolah masih berlangsung normal. Saya masih
menggunakan teknik yang sama namun dengan materi yang berbeda. Namun di awal bulan
Maret 2020, tiba-tiba saja di tengah jam pelajaran kepala sekolah memerintahkan semua
peserta didik mulai dari kelas 1 – 6 untuk pulang. Memang di saat itu sudah ada 1 orang tua
siswa yang japri pribadi saya dan menanyakan mengapa SDI Macanda tidak libur,
sedangkan sekolah di Makassar sudah diliburkan karena virus corona sudah masuk di
Sulawesi Selatan? Kala itu saya hanya menjawab “Belum tahu ibu karena belum ada
perintah dari atasan”. Bahkan di saat itu, saya masih membuat kegiatan bermain sambil
belajar dengan menggunakan media Pakarena dan berhadiah, kemudian saya
dokumentasikan dan kirim kegiatan mereka di grup paguyuban orang tua kelas 1 agar orang
tua mereka bisa melihat aktivitas apa saja yang dilakukan di sekolah. Pukul 09.30, kami
terpaksa memulangkan semua peserta didik secara mendadak. Di hari itu, saya tidak sempat
memberi mereka buku pegangan kelas 1 semester 2. Saya hanya membekali mereka
nasehat singkat agar ke depannya tetap di rumah saja, jaga jarak, rajin cuci tangan, hindari
kerumunan, dan memakai masker di manapun mereka berada. Hari itulah hari terakhir saya
mengajar mereka tatap muka di sekolah, padahal sisa 3 bulan lagi mereka akan mengikuti
Penilaian Akhir Semester (PAS) dan akan naik ke jenjang yang lebih tinggi yaitu kelas 2.
Pada bulan Maret 2020 (Awal dimulainya pembelajaran daring), belum ada orang
tua siswa yang mengeluh atau mereka masih enjoy dengan perubahan yang terjadi. Saat itu,
saya hanya menggunakan aplikasi WA dalam menjelaskan materi (Buat list absen dengan
mencantumkan hari, tanggal dan tahunnya, menjelaskan materi dengan menggunakan voice
note atau kiriman video, dan pemberian tugas). Namun di bulan April 2020, sudah ada
beberapa orang tua siswa yang mengeluh. Mereka tidak sanggup menjadi guru dadakan
apalagi kata mereka kalau anak-anak mereka cenderung tidak mau mendengarkan dan
mengerjakan tugas yang diberikan kalau bukan gurunya sendiri yang menjelaskan dan
memberikan langsung tugasnya. Dalam hati saya berkata “Baru anaknya sendiri saja yang
mereka ajar sudah mengeluh, bagaimana guru yang mengajar lebih dari 10 bahkan ada yang
mengajar 40 siswa/kelas dengan karakter yang berbeda-beda pula”. Ada juga siswa yang
membuat rekaman suara yang bunyinya sudah merindukan suasana belajar di sekolah,
bermain dengan media pembelajaran yang tersedia di kelas, dan bermain dengan teman-
teman mereka. Saya cuman bisa berkata “Yang sabar yah nak, mari kita berdo’a agar
pandemi corona segera berlalu dan kita bisa belajar seperti sedia kala karena kita semua
baik peserta didik maupun guru sama-sama merindukan suasana belajar tatap muka di
sekolah.”
Di saat itu (Maret – Juni 2020), peserta didik yang aktif mengisi absen dan
mengikuti pembelajaran hanyalah 15 orang dari 29 siswa. Itupun yang 15 orang kadang
timbul tenggelam. Setelah saya telusuri ternyata sebagian orang tua siswa tidak memiliki
HP, ada yang memiliki HP tapi bukan HP android, ada yang memiliki HP tapi tidak punya
kuota, dan ada yang memiliki HP tapi orang tuanya kerja sampai sore dan nanti pada malan
hari baru bisa memperlihatkan tugas yang diberikan kepada anaknya (Itupun kalau orang
tuanya tidak capek sepulang kerja). Yah itulah beberapa kendala umum pembelajaran
daring. Kalau sekolah swasta atau sekolah unggulan yang perekonomian orang tuanya
berada di kalangan menengah ke atas tidak menjadi masalah buat mereka, tetapi bagaimana
dengan orang tua siswa yang berpendapatan rendah (kalangan menengah ke bawah)? Tentu
ini kondisi yang sangat memprihatinkan. Belum lagi peserta didik yang tinggal di dataran
tinggi atau daerah terpencil, meskipun seandainya ada yang memiliki HP Android tetapi
belum tentu juga jarigan mendukung. Sungguh sangat dilema dan inilah yang menjadi tugas
berat guru, bagaimana cara kami mengajarkan peserta didik yang tidak memiliki HP?
Karena mendapatkan pendidikan yang layak adalah hak seorang anak. Apakah orang tua
yang memiliki HP android dan sanggup beli kuota tidak mempunya keluhan? Ternyata
mereka tetap mempunyai keluhan. Keluhannya juga beranekara ragam, ada yang mengeluh
memori Hpnya penuh, ada yang mengeluh pembelanjaan kuotanya melonjak padahal
keuangan lagi surut semasa pandemi, ada yang mengeluh tidak sanggup menjadi guru buat
anaknya, bahkan ada yang mengeluh kalau anaknya sudah bosan belajar daring. Keluhan-
keluhan orang tua yang disampaikan lewat grup paguyuban, saya tampung dan saya
sampaikan juga ke kepala sekolah. Solusi untuk yang tidak memiliki HP, agar gurunya
melakukan kunjungan rumah ke peserta didiknya dengan membawakan rekap tugas yang
akan mereka kerjakan. Yah itu memang solusi terbaik jika rumah peserta didik lokasinya
diketahui. Terus bagaimana solusi untuk siswa yang sudah memiliki HP tetapi tidak punya
kuota? Untuk pertanyaan ini nanti terjawab di tahun ajaran 2020/2021 karena di tahun 2020
semester ganjil sudah ada disiapkan oleh pemerintah kuota belajar untuk semua siswa.
Apakah pembelajaran daring sudah aman terkendali? Jawabannya belum.
Singkat cerita, peserta didik yang terdaftar di tahun ajaran 2019/2020 akhirnya
naik ke jenjang berikutnya dengan disertai beberapa PR buat para guru. 3 bulan
mengajarkan daring full ke peserta didik, cukup membuat kami mengetahui kelebihan dan
kekurangannya. Saya kala itu menyimpulkan kalau calon murid saya yang akan terdaftar
sebagai peserta didik baru kelas I di tahun ajaran 2020/2021 tidak cocok menggunakan
daring full. Sekolah saya memang berada di tengah kota Sungguminasa tetapi rata-rata
siswa saya bukan dari kalangan menengah atas, tetapi dari kalangan menengah ke bawah.
Lain lubuk lain ikannya, mungkin di sekolah unggulan seperti SDN Paccinonggan
Unggulan, semua calon siswa kelas 1nya sudah pintar membaca sehingga mereka bisa
memberikan materi lewat daring menggunakan aplikasi yang keren seperti google
classroom, zoom, google meet, dan sejenisnya. Apalagi kemampuan IT orangtua mereka
juga mumpuni karena mereka dari latar belakang pendidikan yang baik pula. Tetapi itu
tidak berlaku di sekolah saya. Saya sangat tahu kondisi orang tua dan kondisi peserta didik
saya yang tinggal di sekitar SDI Macanda. Saya butuh pembelajaran tatap muka untuk
melakukan deteksi dini terlebih dahulu agar saya bisa mengambil tindakan yang efektif
untuk mengatasi kelemahan atau kendala yang dihadapi oleh peserta didik baru saya.
Alhamdulillah, memasuki tahun ajaran baru diadakan rapat lewat Zoom yang diikuti oleh
ibu kabid SD, pengawas, kepala sekolah, dan guru dari berbagai kecamatan. Salah satu
hasil rapat itu dikatakan “Boleh belajar tatap muka asalkan lokasinya tidak di sekolah,
jumlah siswa dibatasi maksimal 5 orang/sift, tidak memakai seragam sekolah saat
pembelajaran tatap muka, tetap mengikuti protokol kesehatan, dan durasi belajar
maksimal 2 jam saja”.
Dari hasil rapat di atas, kuputuskan untuk melakukan proses pembelajaran tatap
muka daring (3 hari daring dan 3 hari tatap muka). Namun sebelumnya, saya tetap
mengadakan rapat dengan orang tua siswa apakah mereka setuju atau tidak. Satu hari
sebelum tahun ajaran baru tepatnya hari ahad, kukirim pemberitahuan undangan rapat di
grup paguyuban bahwa pada hari senin pukul 08.00 bertempat di ruang kelas 1 SDI
Macanda agar semua orang tua/wali siswa agar meluangkan waktu untuk hadir karena ada
penyampaian penting dan juga pembagian modul. Kutekankan juga dalam grup WA bahwa
yang boleh hadir hanyalah orang tua saja. Peserta didik tidak diperkenankan hadir dan tetap
harus mengikuti protokol kesehatan terutama wajib memakai masker. Dari hasil rapat
diputuskan bahwa jadwal tatap muka adalah senin, rabu, dan jum’at sedangkan jadwal
daringnya adalah selasa, kamis, sabtu. Alhamdulillah semua orang tua/wali siswa yang
hadir di saat itu semunya sepakat karena kelas 1 itu memang harusnya tatap muka saja
tetapi juga tidak bisa full karena ada anjuran dari kepala sekolah kalau harus diselang
seling. Yang jadi kendala saat itu adalah lokasi tatap muka karena harus di luar sekolah.
Setelah 2 hari mencari tempat, akhirnya kami menemukan lokasi yang tepat dan sudah
mendapat izin dari pihak perumahan meskipun saat itu sempat ada warga yang tidak setuju
jika mesjidnya dipakai belajar selama pandemi tetapi pak RT dan pengurus mesjid berhasil
membujuk mereka sehingga kami bisa menggunakan mesjid Zarindah hingga saat ini
asalkan tetap mengikuti protokol kesehatan dan pengantar atau penjemput siswa tidak boleh
melewati gerbang atau masuk ke dalam mesjid. Singkat cerita, sayapun mulai mengajar
tatap muka 3 x dalam seminggu dengan 2 sift. Sift 1 mulai dari pukul 07.30 – 09.00, sift 2
pukul 09.30 – 11.30. Seiring berjalannya waktu, ternyata jumlah peserta didik saya menjadi
20 orang. Waktu saya melakukan deteksi dini di minggu kedua Juli 2020, ternyata hanya 2
orang yang sudah bisa membaca lancar, 4 orang yang sudah mengenal huruf A-Z, dan 14
orang belum mengenal huruf A-Z secara lancar. Metode yang saya gunakan sama dengan
metode sebelum pandemi yaitu tetap membagikan buku bubur ayam secara gratis, adil, dan
merata ke semua peserta didik. Namun yang berbeda kali ini adalah media-media yang ada
di dalam kelas tidak bisa digunakan karena semuanya ada di dalam kelas apalagi yang stick
and glass saya pasang permanen di dinding kelas.
Hasil mengajar 3 tatap muka dan 3 daring selama bulan Juli – Oktober 2020
menurut saya tetap tidak memuaskan. Mengapa? Karena kemajuan peserta didik saya tidak
seperti kakak kelasnya terdahulu yang sudah naik ke kelas 2. Di bulan Agustus saja, jumlah
kehadiran peserta didik yang datang tatap muka semakin berkurang. Yang isi absen daring
juga makin hari makin berkurang. Progres belajar anak juga kurang memuaskan padahal
setiap tatap muka di mesjid saya selalu bimbing mereka. Saya juga selalu tekankan kepada
para orang tua agar tetap membantu para guru untuk membimbing anaknya belajar di
rumah apalagi sudah dibekali buku membaca secara gratis bahkan peserta didik saya yang
tidak ada peningkatannya hingga saat ini sudah saya japri pribadi tetapi jawaban orang tua
sungguh mencengangkan, katanya “Kalau saya ibu yang ajarki, tidak mauki. Itu anak malah
marah-marah”, sayapun menjawab “Mungkin percobaan pertama, kedua, dan ketiga masih
gagalki bujukki anakta sendiri ibu tetapi belum tentu percobaan keempat hasilnya sama.
Siapa tahu di percobaan yang kesekian kalinya malah berhasilmaki bujukki anakta. Satuji
ini anakta kita hadapi ibu, bukanji 20 orang”. Yah itulah resiko menjadi guru, jika anaknya
pintar yang dipuji adalah orang tuanya tetapi jika anaknya tidak pintar maka yang
disalahkan adalah gurunya. Saya berharap pandemi ini segera berlalu karena saya
merindukan proses belajar mengajar yang menggunakan media pembelajaran dengan cara
bermain sambil belajar. Di mesjid sebenarnya bisa tetapi terbatas, saya lihat juga anak-anak
kurang semangat belajar karena merasa tidak sekolah (tidak memakai seragam, tidak ada
jam istirahatnya, tidak ketemu dengan semua temannya).
Saya mengangkat kisah ini karena kasus belajar tatap muka vs daring hingga saat
ini masih menjadi perdebatan bukan hanya di kalangan sesama guru saja, tetapi juga di
antara para orang tua, dan masyarakat sekitar. Sebagian besar siswa menginginkaan anak
mereka diajar daring agar mereka tidak terkena virus covid 19 dan sebagian lagi
menginginkan anak mereka diajar tatap muka karena jauh lebih dipahami anak mereka
dibanding daring dan tentunya untuk mencegah penyakit darting (darah tinggi) pada diri
orang tua peserta didik. Cerita ini penting bagi saya dengan harapan agar yang
membacanya bisa memberikan masukan positif berupa saran atau solusi buat saya agar
kelemahan yang ada di pembelajaran daring selama pandemi bisa ditangani dengan bijak,
tanpa ada yang merasa dirugikan. Nilai moral yang ingin saya sampaikan bahwa musibah
ini akan berlalu, maka saat ini marilah kita bersabar menghadapinya. Keberhasilan
pendidikan seorang peserta didik tidak hanya menjadi tanggung jawab gurunya semata,
tetapi tetap harus ada andil dan peran aktif para orang tua di rumah. Mulai sekarang,
marilah guru dan para orang tua duduk bersama untuk mencari solusi terbaik mengatasi
masalah pembelajaran saat ini, bukan malah saling menyalahkan apalagi sampai
menyalahkan gurunya yang sudah berusaha memberi yang terbaik dari yang terbaik. Sekali
lagi, kesempurnaan hanyalah milik Allah Swt dan kekurangan hanyalah milik manusia
seperti guru.

Guru Bukanlah Malaikat

Assalamu Alaikum wr.wb...


Waktu saya masih duduk di bangku SMA, saya paling suka menonton talkshow
yang dibawakan oleh bunda Dorce Gamalama, yang judulnya “Dorce Show”. Mengapa
saya sangat suka melihatnya? Karena saya paling suka dengan kata-kata yang diucapkan
oleh bunda Dorce di akhir acara yang isinya “Kesempurnaan hanyalah milik Allah Swt dan
kekurangan tentunya milik saya sebagai manusia biasa”. Kalimat yang diucapkan oleh
bunda Dorce 100% benar tetapi terkadang orang di sekitar kita lupa akan hal itu. Ketika
seseorang melakukan 1 kesalahan maka akan ada 1000 orang yang akan menghakiminya
tanpa memberinya kesempatan untuk intropeksi diri atau berubah. Seperti halnya guru.
Terkadang guru dituntut mengajar dengan sangat sempurna padahal guru bukanlah
malaikat. Guru juga manusia biasa yang sering melakukan kesalahan dan sering juga khilaf.
Yah, namanya juga manusia, wajar jika pernah salah dan tugasnyalah orang di sekitarnya
untuk memberikan mereka saran yang sifatnya membangun. Ingat, saran yang sifatnya
membangun bukan menyudutkan!!!
Di masa pandemi ini, suka tidak suka dan mau tidak mau orang tua harus
merangkap menjadi guru buat anak mereka sendiri di rumah. Baru sebulan orang tua
merangkap menjadi guru dadakan, sudah banyak yang darting (darah tinggi). Mereka
merasa tidak sanggup lagi membimbing anak mereka sendiri. MasyaAllah, anaknya saja
yang mereka ajar sudah mengeluh bagaimana guru yang mengajar lebih dari satu orang
dengan karakter yang berbeda-beda? Salah mengambil tindakan saja, bisa-bisa guru
terancam dipidanakan. Itulah fakta yang terjadi saat ini. Sudah banyak kasus guru yang
dipidanakan. Entah kenapa rasa hormat seorang siswa terhadap gurunya semakin
berkurang. Saya pernah lihat video yang viral di Bulukumba tentang seorang siswi yang
marah sambil berkacak pinggang karena Hpnya disita oleh gurunya.

Anda mungkin juga menyukai