Anda di halaman 1dari 10

PEMETAAN KEMISKINAN KABUPATEN/KOTA DI

PROVINSI JAWA TIMUR

JURNAL ILMIAH

Disusun oleh :

Febri Angelina Manurung


115020107111011

JURUSAN ILMU EKONOMI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015

1
2
PEMETAAN KEMISKINAN KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA TIMUR
Febri Angelina Manurung, Dwi Budi Santoso
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya
Email: 123.febriangelina@gmail.com

ABSTRAK

Dalam beberapa tahun terakhir, kemiskinan Nasional dan kemiskinan Jawa Timur
mengalami penurunan. Namun, kemiskinan Jawa Timur masih selalu berada diatas kemiskinan
Nasional. Dengan demikian permasalahan kemiskinan di Jawa Timur merupakan isu sentral.
Pembangunan ekonomi Jawa Timur oleh karena itu penelitian ini ingin melakukan pemetaan
kemiskinan yang bertujuan untuk memberikan kontribusi bagi percepatan pengurangan
kemiskinan khususnya di Jawa Timur. Hasil analisis klaster menunjukkan bahwa kondisi irigasi
yang buruk ternyata merupakan indikator utama suatu daerah untuk mendapatkan predikat
sebagai daerah kantong kemiskinan. Daerah kantong kemiskinan di Jawa Timur memiliki ciri-ciri
sebagai berikut: (i) rendahnya aksesibilitas pendidikan, (ii) buruknya infrastruktur jalan, (iii)
buruknya sistem irigasi, (iv) rendahnya ketersediaan air bersih dan (v) rendahnya aksesibilitas
kesehatan.

Kata Kunci: Kemiskinan, Pendidikan, Kesehatan, Infrastruktur, Analisis Klaster.

A. PENDAHULUAN
Kemiskinan merupakan salah satu permasalahan serius yang masih dihadapi oleh negara-
negara berkembang salah satunya Indonesia. Kemiskinan tidak hanya dipahami sebatas
ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan memenuhi hak-hak dasar dan perbedaan
perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam mengalami kehidupan secara bermartabat.
Kemiskinan juga dipandang secara multidimensi karena mencakup ketidakmampuan akses secara
ekonomi, budaya, keadaan geografis, dan keadaan dalam masyarakat (Suryawati, 2005).
Selama ini strategi dan kebijakan yang diimplementasikan oleh pemerintah terkait dengan
pengentasan kemiskinan masih belum tepat, yaitu program pemberdayaan masyarakat miskin yang
benar-benar berpihak kepada lapisan yang paling miskin. Kebijakan pembangunan dan berbagai
program penanggulangan kemiskinan yang dibuat pemerintah belum memperhatikan karakteristik
wilayah, misalnya ketersediaan infrastruktur jalan, irigasi, air bersih, sekolah dan pelayanan
kesehatan.

Gambar 1: Grafik Perkembangan Kemiskinan Jawa Timur dan Nasional


25
21.05
19.98
20 18.51
16.68
15.26
14.23 13.4
15 17.75 12.55 12.28
16.58
15.42
14.15 13.33
10 12.36 11.66 11.47 10.96

0
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

JAWA TIMUR NASIONAL

Sumber : BPS Provinsi Jawa Timur dan Nasional, 2014

3
Pada tahun 2006 sampai 2014 kemiskinan Jawa Timur dan kemiskinan Nasional cenderung
mengalami penurunan. Namun, kemiskinan provinsi Jawa Timur selalu berada diatas kemiskinan
Nasional. Dengan demikian, permasalahan kemiskinan di provinsi Jawa Timur merupakan isu
sentral, yang artinya pembangunan ekonomi di provinsi Jawa Timur harus lebih memperhatikan
pengurangan kemiskinan lebih cepat dibandingkan dengan Nasional.
Pada penelitian yang dilakukan Montgomery dalam Sumarto, Suryahadi dan Arifianto (2004),
mengatakan bahwa sebagian besar penduduk miskin adalah mereka yang bekerja di sektor
pertanian, yakni sektor dimana sebagian besar penduduk Indonesia bekerja. Secara Nasional
Penduduk Jawa Timur mayoritas (46,18%) memiliki mata pencaharian di bidang pertanian,
selebihnya bekerja di sektor perdagangan (18,80%), sektor jasa (12,78%), dan sektor industri
(12,51%). Seseorang yang bekerja di sektor pertanian memiliki potensi atau probabilitas menjadi
miskin lebih besar dibandingkan seseorang yang tidak bekerja di sektor pertanian. Sebaliknya
seseorang yang bekerja di pemerintahan mempunyai peluang lebih kecil untuk menjadi miskin.
Kemampuan individu atau rumah tangga untuk keluar dari kemiskinan juga tergantung dari
penghasilan yang didapat dari pekerjaan mereka. Pembangunan ekonomi yang melihat pada
ketersediaan barang publik secara spasial juga sangat diperlukan untuk mengurangi kemiskinan.

B. TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Kemiskinan
Haughton dan Khandker dalam World Bank (2009) menjelaskan kemiskinan adalah deprivasi
dalam kesejahteraan. Berdasarkan definisi tersebut kemiskinan dapat dipandang dari beberapa sisi.
Pertama, kemiskinan dipandang dari sisi moneter, dimana kemiskinan diukur dengan
membandingkan pendapatan/konsumsi individu dengan beberapa batasan tertentu, jika mereka
berada di bawah batasan tersebut, maka mereka dianggap miskin. Pandangan mengenai
kemiskinan berikutnya adalah bahwa kemiskinan tidak hanya sebatas ukuran moneter, tetapi juga
mencakup miskin nutrisi yang diukur dengan memeriksa apakah pertumbuhan anak-anak
terhambat. Selain itu, juga bisa dari miskin pendidikan, misalnya dengan menggunakan indikator
angka buta huruf. Amartya Sen (1987) dalam World Bank menyatakan bahwa kesejahteraan
berasal dari kemampuan untuk berfungsi dalam masyarakat. Dengan demikian kemiskinan muncul
akibat seseorang tidak memiliki kemampuan yang memadai seperti pendapatan, pendidikan,
kesehatan yang buruk, ketidakamanan, rasa percaya diri yang rendah atau ketidakberdayaan.

Dimensi Kemiskinan
Harniati dalam Wijanarko (2013), mengklasifikasikan dimensi kemiskinan dalam tiga jenis
yaitu :
1) Kemiskinan alamiah, merupakan kemiskinan yang disebabkan oleh kualitas sumber daya
alam dan sumber daya manusia yang rendah. Kondisi alam dan sumber daya yang rendah
membuat peluang produksi juga rendah. Khusus untuk sektor pertanian, kemiskinan yang
terjadi lebih diakibatkan kualitas lahan dan iklim yang tidak mendukung aktivitas pertanian.
Dari seluruh wilayah di Indonesia, lahan subur justru banyak dijumpai di pulau Jawa.
Sedangkan di luar Jawa, sumber daya alam yang subur jumlahnya terbatas, hal ini membuat
petani hanya dapat menanami lahan sewaktu ada hujan, keadaan ini menyebabkan hasil
produksi hanya dapat diperoleh sekali dalam satu tahun.
2) Kemiskinan Kultural, kemiskinan yang terkait erat dengan sikap seseorang atau kelompok
dalam masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya, sekalipun
ada usaha untuk memperbaiki dari pihak lain yang membantunya. Kemiskinan ini dapat pula
disebabkan karena sebagian sistem dalam tradisi masyarakat berkontribusi dalam
menyebabkan terjadinya kemiskinan masyarakat. Sebagai contoh adalah sistem waris yang
mengakibatkan pembagian lahan, sehingga kepemilikan lahan per keluarga semakin lama
menjadi semakin sempit.
3) Kemiskinan Struktural, kemiskinan yang secara langsung maupun tidak disebabkan oleh
tatanan kelembagaan atau struktur sosial dalam masyarakat. Tatanan kelembagaan atau
struktur sosial disini dapat diartikan sebagai tatanan organisasi maupun aturan permainan
yang diterapkan.

4
Garis Kemiskinan
World Bank (2008) menghitung tingkat dan jumlah penduduk miskin absolut dengan
menggunakan ukuran tunggal yang seragam untuk semua negara. Menurut kajian kebijakan
pembangunan World Bank (2014) seseorang yang dikatakan miskin adalah yang berpendapatan
kurang dari $ US 1,25 per hari. Sementara garis kemiskinan yang diukur berdasarkan ukuran $ US
2 juga telah dipublikasikan dimana lebih dari 2 milyar penduduk yang hidup kurang dari batas
tersebut. US dolar yang digunakan adalah US $ PPP (Purchasing Power Parity) bukan nilai tukar
resmi (exchange rate). Kedua batas ini adalah garis kemiskinan absolut.
Garis kemikinan yang digunakan Badan Pusat Statistik terdiri dari dua aspek yaitu komponen
makanan dan komponen bukan makanan. Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai
pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kilokalori perkapita
perhari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian,
umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan
lemak, dll). Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) adalah kebutuhan minimum untuk
perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non makanan
diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di pedesaan (BPS, 2014).

Determinan Kemiskinan
1) Kemiskinan karena faktor pendidikan: menurut Todaro sumber utama dari pertumbuhan
ekonomi dan kemajuan negara-negara maju saat ini bukan hanya physical capital, melainkan
human capital. Seorang miskin yang mengharapkan pekerjaaan baik serta penghasilan yang
tinggi, harus mempunyai tingkat pendidikan yang tinggi.
2) Kemiskinan karena faktor kesehatan: kesehatan di suatu negara sama pentingnya dengan
distribusi pendapatan. Di negara-negara berkembang, usia harapan hidup bagi orang-orang
mampu cukup tinggi, sementara bagi orang-orang miskin jauh lebih rendah. Tingkat
kematian anak-anak di negara berkembang masih lebih dari sepuluh kali lipat lebih tinggi
dari pada yang ditemukan di negara-negara kaya. Kematian ini pada umumnya di sebabkan
oleh berbagai kondisi yang sebenarnya mudah diatasi, termasuk jutaan anak yang sebenarnya
tidak perlu meninggal tiap tahunnya karena dehidrasi yang disebabkan oleh diare. Jika
tingkat kematian anak-anak di negara-negara berkembang menurun hingga mencapai level
yang sama dengan yang ada di negara maju, maka lebih dari 10juta anak-anak dapat
diselamatkan setiap tahunnya (Todaro, 2006).
3) Kemiskinan karena faktor infrastruktur: keberadaan infrastruktur akan mendorong terjadinya
peningkatan produktivitas bagi faktor-faktor produksi. Sebagaimana teori Lewis, kondisi
pareto optimal akan tercapai bila terjadi mobilitas faktor-faktor produksi tanpa hambatan
untuk memacu pertumbuhan ekonomi (Jhingan dalam Sugiyanto, 2007). Daerah-daerah yang
memiliki tingkat mobilitas faktor-faktor produksi antar daerah rendah akan menyebabkan
pertumbuhan ekonominya rendah. Daerah-daerah dengan tingkat kemiskinan tinggi
menunjukkan bahwa faktor-faktor produksi di daerah yang bersangkutan memiliki mobilitas
antar daerah yang rendah.

C. METODE PENELITIAN
Pendekatan Penelitian dan Metode Pengumpulan Data
Pendekatan penelitian yang digunakan yaitu kualtitatif deskriptif dengan jenis data sekunder
untuk 38 Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Jawa Timur dalam kurun waktu 2006 – 2010.
Teknik pengumpulan datanya yaitu dokumentasi berdasarkan data Badan Pusat
StatistikKabupaten/Kota Provinsi Jawa Timur dan Nasional. Jenis data yang digunakan adalah
data tahunan. Variabel yang digunakan yaitu tingkat kemiskinan, pendapatan, indeks pendidikan,
angka kematian bayi, infrastruktur jalan baik, air bersih, irigasi teknis dan listrik.

Metode Analisis
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu analisis Klaster. Analisis
Klaster merupakan salah satu teknik data mining yang bertujuan untuk mengidentifikasi
sekelompok obyek yang mempunyai kemiripan karakteristik tertentu yang dapat dipisahkan
dengan kelompok obyek lainnya, sehingga obyek yang berada dalam kelompok yang sama relatif

5
lebih homogen daripada obyek yang berada pada kelompok yang berbeda. Jumlah kelompok yang
dapat diidentifikasi tergantung pada banyak dan variasi data obyek. Dalam analisis ini tiap-tiap
kelompok bersifat homogen antara anggota dalam kelompoknya atau dapat dikatakan variasi
obyek/individu dalam satu kelompok yang terbentuk sekecil mungkin (Gudono,2012). Analisis
Klaster dilakukan untuk tujuan: (i) menggali data/eksplorasi data, (ii) mereduksi data menjadi
kelompok data baru dengan jumlah lebih kecil atau dinyatakan dengan pengkelasan (klasifikasi)
data, (iii) menggeneralisasi suatu populasi untuk memperoleh suatu hipotesis, dan (iv) menduga
karakteristik data-data. Model yang diambil diasumsikan bahwa data yang dapat digunakan adalah
data yang berupa data interval, frekuensi dan biner. Adapun metode pengelompokan dalam
analisis Klaster meliputi :
 Metode Hirarkis
Metode hirarki ini memulai pengelompokan dengan dua atau lebih obyek yang mempunyai
kesamaan paling dekat. Kemudian diteruskan pada obyek yang lain dan seterusnya hingga Klaster
akan membentuk semacam „pohon‟ dimana terdapat tingkatan (hirarki) yang jelas antar obyek,
dari yang paling mirip hingga yang paling tidak mirip. Alat yang membantu untuk memperjelas
proses hirarki ini disebut “dendogram”.
 Metode Non-Hirarkis
Metode Non-Horarkis dimulai dengan menentukan terlebih dahulu jumlah Klaster yang
diinginkan (dua, tiga, atau yang lain). Setelah jumlah Klaster ditentukan, maka proses Klaster
dilakukan dengan tanpa mengikuti proses hirarki. Metode ini biasa disebut “Klaster K-Means”.
Berbeda dengan metode hirarkikal, prosedur non hirarkikal (K-means Clustering) dimulai dengan
memilih sejumlah nilai cluster awal sesuai dengan jumlah yang diinginkan dan kemudian obyek
digabungkan ke dalam klaster-klaster tersebut.

D. HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil Analisis Klaster
Hasil analisis Klaster K-Means menunjukan bahwa terbentuk tiga klaster dengan jumlah
anggota pada klaster pertama terdiri dari 9 kabupaten/kota, klaster kedua berjumlah 17
kabupaten/kota dan klaster ketiga berjumlah 12 kabupaten/kota dari total keseluruhan 38
Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Jawa Timur. Hasil pengelompokan dari analisis Klaster K-
Means sebagai berikut :

Tabel 1: Hasil Analisis Klaster


Klaster
Kemiskinan Kemiskinan Kemiskinan
Tinggi Sedang Rendah
Rasio Kemiskinan 27,79 15,89 11,06
Indeks Pendidikan 68,78 74,03 81,74
Jalan Baik 52,15 40,98 78,06
Layanan Air Bersih 24,51 26,84 33,69
Rasio Irigasi 35,46 89,97 89,04
Layanan Listrik 23,82 24,08 24,29
Kesehatan
44,39 38,98 31,28
(Angka Kematian Bayi)
Sumber : SPSS 2015, data diolah

Berdasarkan tabel 1 diketahui bahwa kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur terbagi menjadi
tiga Klaster, yaitu:
1) Kabupaten/Kota yang termasuk kedalam klaster 1 mempunyai tingkat kemiskinan tinggi
atau yang disebut kawasan miskin, di mana hal ini tergambar dari Tingkat Rasio
Kemiskinan yang tinggi sebesar 27,79%. Indeks Pendidikan pada Kluster ini mencapai
68,78%, Infrastruktur Jalan Baik yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan klaster 2
mencapai 52,15%, Layanan Air Bersih yang rendah mencapai 24,51%, Rasio Irigasi Teknis
yang rendah mencapai 35,36%, Layanan Listrik yang rendah mencapai 23,82% dan Angka
Kematian Bayi yang tinggi yaitu sebesar 44,39%. Wilayah yang termasuk dalam anggota
klaster pertama ini antara lain Kabupaten Pacitan, Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten

6
Tuban, Kabupaten Lamongan, Kabupaten Gresik, Kabupaten Bangkalan, Kabupaten
Sampang, Kabupaten Pamekasan dan Kabupaten Sumenep.
2) Pada klaster 2 penduduk Jawa Timur mempunyai rasio penduduk miskin sebesar 15.48%
yang merupakan kawasan sedang. Indeks Pendidikan yang cukup tinggi sebesar 74,03%,
Infrastruktur Jalan Baik yang rendah yaitu 40,98%, Layanan Air Bersih yang cukup tinggi
mencapai 26,84%, Rasio Irigasi Teknis yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan klaster
1 dan klaster 3 yaitu sebesar 89,97%, Layanan Listrik yang cukup tinggi sebesar 24,08%
sedangkan Angka Kematian Bayi mempunyai hasil yang cukup tinggi sebesar 39,98%.
Wilayah yang termasuk dalam anggota klaster kedua ini antara lain Kabupaten Ponorogo,
Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Tulungagung, Kabupaten Jember, Kabupaten
Banyuwangi, Kabupaten Bondowoso, Kabupaten Situbondo, Kabupaten Probolinggo,
Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Jombang, Kabupaten Nganjuk, Kabupaten Madiun,
Kabupaten Magetan, Kabupaten Ngawi, Kota Probolinggo, Kota Mojokerto dan Kota
Madiun.
3) Pada klaster 3 Kabupaten/ Kota yang berada di klaster ini tergolong dalam kawasan kaya
yang mempunyai tingkat kemiskinan rendah dengan tingkat penduduk miskin sebesar
11,06%. Indeks pendidikan yang tinggi mencapai 81,74%, Infrastruktur Jalan Baik yang
tinggi mencapai 78,06%, Layanan Air Bersih yang tinggi mencapai 33,69%, Rasio Irigasi
Teknis yang lebih rendah jika dibandingkan dengan klaster dua yaitu sebesar 89,04%,
Layanan Listrik yang tinggi sebesar 24,29% sedangkan Angka Kematian Bayi menunjukan
hasil yang rendah yaitu 31,28%. Wilayah yang termasuk dalam anggota klaster 3 ini antara
lain Kabupaten Blitar, Kabupaten Kediri, Kabupaten Malang, Kabupaten Lumajang,
Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Mojokerto, Kota Kediri, Kota Blitar, Kota Malang, Kota
Pasuruan, Kota Surabaya dan Kota Batu.
Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa dari ketiga klaster, Kabupaten/Kota yang
mempunyai tingkat kemiskinan tinggi merupakan wilayah yang membutuhkan perhatian khusus
dari pemerintah pusat dan daerah maupun para pembuat kebijakan dalam memberikan solusi
pengentasan kemiskinan di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Timur. Kabupaten/Kota yang
mempunyai tingkat kemiskinan yang tinggi ini merupakan kumpulan wilayah dengan tingkat
pendidikan, infrastruktur air, listrik, irigasi dan kesehatan yang rendah. Sedangkan kelompok
klaster yang mempunyai tingkat kemiskinan sedang merupakan wilayah dengan rasio irigasi yang
paling baik jika dibandingkan dengan kelompok kemiskinan rendah dan tinggi. Terakhir,
Kabupaten/Kota yang mempunyai tingkat kemiskinan rendah merupakan kumpulan wilayah
dengan tingkat pendidikan, infrastruktur air, jalan, listrik dan kesehatan yang paling baik
dibandingkan dengan kelompok klaster kemiskinan sedang maupun rendah.

Ciri-ciri Kawasan Miskin


1) Rendahnya Pendidikan.
Rendahnya indeks pendidikan ini adanya kemungkinan disebabkan karena dua hal. Pertama,
tingginya biaya pendidikan dan rendahnya pendapatan membuat penduduk miskin kesulitan
dalam memperoleh pendidikan. Besarnya biaya untuk membayar SPP dan keperluan sekolah
lainnya membuat penduduk miskin tidak mampu untuk memenuhinya sehingga mereka
memilih untuk tidak bersekolah. Sedangkan sistem pendidikan di Indonesia masih sebagian
saja yang dibiayai oleh pemerintah yaitu hanya sampai sekolah dasar. Kedua, pendidikan
bagi penduduk miskin tidak termasuk dalam kebutuhan primer. Banyak anak dalam keluarga
miskin putus sekolah dikarenakan ikut bekerja mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan
keluarga. Tuntuntan kebutuhan serta biaya kompensasi yang berbeda membuat keluarga
miskin lebih mementingkan kebutuhan hidup sehari-hari dari pada harus menyuruh anak
mereka untuk pergi ke sekolah.
2) Rendahnya Pelayanan Jalan Baik.
Akses jalan baik pada daerah dengan tingkat kemiskinan sedang lebih rendah dari pada
daerah dengan tingkat kemiskinan tinggi, namun akses jalan baik pada kawasan kemiskinan
tinggi (miskin) juga masih dalam kategori rendah. Rendahnya akses jalan baik adanya
kemungkinan disebabkan karena daerah tersebut merupakan daerah terisolasi. Sedangkan
rendahnya akses jalan baik pada kawasan sedang dapat disebabkan karena pemerintah daerah
lebih memfokuskan pembangunan pada sektor yang memberikan peningkatan PAD lebih
tinggi seperti pembangunan sistem irigasi teknis di daerah tersebut.

7
3) Rendahnya Pelayanan Air Bersih
Rendahnya layanan air bersih pada daerah kemiskinan tinggi adanya kemungkinan
disebabkan karena tipologi geografis daerah tersebut memiliki sumber daya air yang langka.
Daerah kemiskinan tinggi merupakan daerah lahan kritis dengan kesuburan yang sangat
rendah, tingginya biaya teknologi dalam pengadaan air bersih mengakibatkan kurangnya
pasokan air bersih di daerah kemiskinan tinggi.
4) Rendahnya Rasio Irigasi Teknis
Rendahnya rasio irigasi teknis pada daerah kawasan miskin adanya kemungkinan disebabkan
karena daerah tersebut merupakan daerah yang berlahan tandus, kering atau daerah yang
mempunyai lahan kritis.
5) Rendahnya Kesehatan.
Rendahnya tingkat kesehatan disebabkan karena kurangnya perhatian dan komitmen
pemerintah di bidang kesehatan, kurangnya kesadaran yang timbul dalam diri masyarakat
mengenai pemahaman perilaku hidup sehat, serta mahalnya biaya obat-obatan yang ada.

E. KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis pemetaan terdapat 3 kesimpulan utama dari penelitian ini yaitu:
1) Kondisi pengairan/ irigasi yang buruk ternyata merupakan indikator utama suatu daerah
memiliki penduduk miskin yang cukup tinggi.
2) Daerah kantong-kantong kemiskinan di Jawa Timur lebih banyak di indikatorkan karena
buruknya infrastruktur, seperti rendahnya aksesibilitas kesehatan dan pendidikan serta
buruknya sistem irigasi dan juga ketersediaan air bersih yang rendah.
3) Berdasarkan hasil pemetaan kemiskinan di daerah Jawa Timur mengisyaratkan bahwa
ketersediaan listrik antara daerah-daerah miskin, sedang dan kaya tidak terlalu berbeda,
artinya ketersediaan listrik bukan merupakan ciri khusus kawasan miskin. Namun demikian,
tingkat ketersediaan listrik baik kawasan miskin, sedang dan kaya ternyata masih rendah
yaitu dibawah 50%. Artinya kurang dari 50% penduduk miskin di Jawa Timur yang bisa
menikmati listrik.

Saran
Berdasarkan hasil analisis pemetaan dan kesimpulan yang diperoleh maka terdapat 2 saran utama
yang perlu dilakukan dalam rangka mengurangi jumlah penduduk miskin terutama yang berada
pada kawasan kantong kemiskinan.
1) Peningkatan aksesibilitas pendidikan dan kesehatan merupakan prioritas pembangunan utama
di Jawa Timur terkait dengan kebijakan pengurangan kemiskinan. Peningkatan aksesibilitas
pendidikan maupun kesehatan dapat dilakukan dengan terus memperbaiki sistem bantuan
seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dan juga Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) agar lebih diefektifkan.
2) Khusus daerah kantong-kantong kemiskinan yang berbasis pertanian prioritas pembangunan
ditujukan pada pembangunan infrastruktur seperti perbaikan irigasi teknis dan juga
pembangunan jalan antar pusat produksi dengan daerah pemasaran. Untuk kawasan
perkotaan/ non-pertanian pembangunan penyediaan air bersih termasuk sanitasi merupakan
prioritas utama dalam pengurangan kemiskinan.

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, Lincolin. 1999. Ekonomi Pembangunan, Edisi Pertama. Yogyakarta: STIE-YKPN.

----------. 2006. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah, Edisi Pertama.
Yogyakarta: BPFE.

Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur. 2014. Provinsi Jawa Timur Dalam Angka Tahun 2006-
2010. http://jatim.bps.go.id diakses pada 15 Desember 2014.

----------. 2014. Presentase Kemiskinan Kabupaten/Kota Jawa Timur 2006-2010.


http://jatim.bps.go.id diakses pada 11 November 2014.

8
----------. 2014. Tingkat Pendidikan Kabupaten/Kota Jawa Timur 2006-2010. http://jatim.bps.go.id
diakses pada 17 November 2014.

----------. 2014. Indeks Kesehatan Kabupaten/Kota Jawa Timur 2006-2010. http://jatim.bps.go.id


diakses pada 24 November 2014.

----------. 2014. PDRB Atas Harga Konstan Kabupaten/Kota Jawa Timur 2006-2010.
http://jatim.bps.go.id diakses pada 15 Desember 2014.

----------. 2015. Jumlah Pelanggan Perusahaan Air Bersih 2006-2010. http://jatim.bps.go.id


diakses pada 18 Maret 2015.

----------. 2015. Listrik Terjual PT.PLN Persero Kabupaten/Kota Jawa Timur 2006-2010.
http://jatim.bps.go.id diakses pada 23 Maret 2015.

Dewi, Indah N 2012. Pengaruh Variabel PendidikanTerhadap Presentase Penduduk Miskin (Studi
Pada 33 Provinsi di Indonesia). Malang: Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya.

Gudono. 2012. Analisis Data Multivariate. Edisi 2. Yogyakarta : BPFE

Haughton, J dan Khandker, S. 2009. Handbook on Poverty and Inequality. The International Bank
for Reconstruction and Development/The WorldBank.

---------------. 2011. Indikator Kesejahteraan Daerah Provinsi Jawa Timur : Tim Nasional
Percepatan Penanggulangan Kemiskinan.

Indra, Van. 2013. Analisis Pengaruh PDRB, Pendidikan, dan Pengangguran terhadap Kemiskinan
di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005-2010. Malang: Program Sarjana Fakultas Ekonomi
dan Bisnis Universitas Brawijaya.

Juanita, 2002. Kesehatan dan Pembangunan Nasional . Medan: Tesis Magister AKK FKM USU.

---------------. 2014. Kajian Kebijakan Pembangunan 2014 : The World Bank.

Kumalasari, Merna. 2011. Analisis Pertumbuhan Ekonomi, Angka Harapan Hidup, Angka Melek
Huruf, Rata-rata Lama Sekolah, Pengeluaran Perkapita dan Jumlah Penduduk Terhadap
Tingkat Kemiskinan di Jawa Tengah. Semarang: Fakultas Ekonomika Dan Bisnis
Universitas Diponegoro.

Kompasiana. 2013. Provinsi Dua Sisi Mata Uang; Kemiskinan dan Kesehatan.
http://kompasiana.com diakses pada 13 Juli 2015.

Pasandaran, Effendi. 1991. Irigasi di Indonesia. Jakarta : LP3ES.

PKDSP UNIBRAW dan BAPPEPROV JATIM, 2011. Analisa Pengeluaran Publik Jawa Timur :
The World Bank/Bank Dunia.

Sachs, Jeffrey D. 2005. The End of Poverty. New York: The Penguin Press

SMERU. 2008. Peta Kemiskinan Indonesia: Asal Mula dan Signifikansinya. Jakarta : Lembaga
Penelitian SMERU.

Sugiyanto, Catur dan Bakti Setiawan, 2007. Kajian Aspek Kemasyarakatan Di Dalam
Pengembangan Infrastruktur Indonesia. Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat
Universitas Indonesia

9
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Bisnis (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D). Bandung
: Alfabeta.

Sukirno, Sadono. 1980. Ekonomi Pembangunan : Proses, Masalah dan Dasar Kebijaksanaan,
Medan : Borta Gorat

Sumarto, Suryahadi dan Arifianto. 2004. Tata Kelola Pemerintah dan Penanggulangan
Kemiskinan: Bukti-bukti Awal Desentralisasi Indonesia, Jakarta: SMERU.

Suryawati, Chriswardani. 2005. Memahami Kemiskinan Secara Multidimensional. Journal


Fakultas Kesehatan Masyarakat JMPK Vol. 08/No.03/September/2005.

Suyanto, Bagong. 2010. Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat Miskin. Volume 14, Nomor
4:25-42. Surabaya: Departemen Sosiologi, FISIP, Universitas Airlangga.

The World Bank Office Jakarta. 2007. Era Baru Dalam Pengentasan Kemiskinan Di Indonesia.
PT. Jakarta: Graha Info Kreasi.

Todaro, Michael P dan Stephen C. Smith. 2006. Pembangunan Ekonomi. Edisi Kesembilan.
Jakarta: Erlangga.
Trenggonowati. 2009. Metodologi Peenelitian Ekonomi dan Bisnis. Yogyakarta : BPFE
Yogyakarta.

Tumiran. 2007. Infrastrukutur Kelistrikan Indonesia Dewasa ini dan Pemikirian Pengelolaan
Bisnis Kelistrikan Kedepan. Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas
Indonesia

Wijanarko, Vendi. 2013. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Kemiskinan di Kecamatan Jelbuk
Kabupaten Jember. Jember: Ilmu Ekonomi Dan Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi
Universitas Jember.

World Bank Institute. 2005. Introduction To Poverty Analysis.The World Bank Institute.

Yoga, Anggit P. 2012, Analisis Pengaruh PDRB, Pengangguran, Pendidikan, dan Kesehatan
Terhadap Kemiskinan di Jawa Tengah Tahun 2004-2009. Semarang: Fakultas Ekonomi
Universitas Diponegoro.

10

Anda mungkin juga menyukai