Anda di halaman 1dari 27

HUKUM AGRARIA

“ Peralihan Hak Milik Atas Tanah Karena Pewarisan “


Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Hukum Agraria
Dosen Pengampu : Ningrum Ambarsari, SH., MH.

Disusun Oleh Kelompok 2 :

Nama : FAISYAL ADAM ( 2008010190 )


M REZA MAULANA ( 2008010069 )
ABDULRAJI ( 2008010094 )
NURUL HIKMAH ( 2008010180 )
M. ROBBY ASRAP ( 2008010181 )
M. AGUS ( 2008010182 )
M. ZIKRI W ( 2008010042 )
BINTANG ( 2008010168 )

Kelas : A Non Reg Banjarmasin


Prodi : S-1 Ilmu Hukum

FAKULTAS HUKUM

(UNISKA)

UNIVERSITAS ISLAM KALIMANTAN MUHAMMAD ARSYAD AL BANJARI

BANJARMASIN

2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan penulis kemudahan dalam
menyelesaikan makalah Mata kuliah Hukum Agraria tepat waktu. Tanpa rahmat dan
pertolongan-Nya, penulis tidak akan mampu menyelesaikan makalah ini dengan
baik. Tidak lupa shalawat serta salam tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW
yang syafa’atnya kita nantikan kelak.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-
Nya, sehingga makalah “Peralihan Hak Milik Atas Tanah Karena Pewarisan”
dapat diselesaikan. Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Hukum
Agraria. Penulis berharap makalah tentang “Peralihan Hak Milik Atas Tanah
Karena Pewarisan” ini dapat bermanfaat bagi masyarakat.
Penulis menyadari makalah bertema “Peralihan Hak Milik Atas Tanah
Karena Pewarisan” ini masih perlu banyak penyempurnaan karena kesalahan dan
kekurangan. Penulis terbuka terhadap kritik dan saran pembaca yang membangun
agar makalah ini dapat lebih baik. Apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah
ini, baik terkait penulisan maupun konten, penulis memohon maaf.
Demikian yang dapat penulis sampaikan. Akhir kata, semoga makalah ini dapat
bermanfaat.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Banjarbaru, 03 Oktober 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Rumusan Masalah 2

1.3 Tujuan Penulisa 2

BAB II PEMBAHASAN 3

A. Pengertian waris 3

B. Hak Milik Atas Tanah 3

C. Peralihan Hak Milik Atas Tanah 5

D. Pengertian Pendaftaran Tanah 8


E. Landasan Hukum Pendaftaran Tanah 9

F. Tujuan Pendaftaran Tanah 10

G. Pelaksanaan Peralihan Hak Milik Atas Tanah karena Pewarisan 13

H. Kekuatan Sertifikat bagi Pemegang Hak Atas Tanah menurut


UUPA dan PP nomor 24 Tahun 1997 19

BAB III PENUTUP 22

KESIMPULAN 22

DAFTAR PUSTAKA 23

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Masalah pertanahan adalah masalah yang tidak terlepas dari perkembangan


dan pembangunan kota. Bahkan oleh Pemerintah khusus mengenai persoalan tanah
mengisyaratkan agar penanganannya dilakukan dengan hati-hati. Berbagai kasus
pertanahan yang muncul saat ini menunjukkan betapa masalah pertanahan menjadi
prioritas.
       Secara akademis dapat dikemukakan bahwa penyebab terjadinya konflik di
bidang pertanahan antara lain adalah keterbatasan ketersediaan tanah,
ketimpangan dalam struktur penguasaan tanah, ketiadaan persepsi yang sama
antara sesama pengelola negara mengenai makna penguasaan tanah oleh negara,
inkonsistensi, dan ketidaksinkronisasian. Ini baik secara vertikal maupun secara
horizontal peraturan perundang-undangan yang ada kaitannya dengan tanah,
praktek-praktek manipulasi dalam perolehan tanah pada masa lalu dan di era
reformasi muncul kembali gugatan, dualisme kewenangan (pusat-daerah) tentang
urusan pertanahan serta ketidakjelasan mengenai kedudukan hak ulayat dan
masyarakat hukum adat dalam sistem perundang-undangan agraria.
Sebagaimana diketahui bahwa tanah, khususnya bagi masyarakat
mempunyai kedudukan sentral, baik sebagai sumber daya produksi maupun sebagai
tempat pemukiman. Oleh karena itu masalah tanah selalu mendapat perhatian dan
penanganan yang khusus pula. Lebih-lebih lagi dalam era pembangunan ini, bahwa
pembangunan menjangkau berbagai macam aktifitas dalam membangun manusia
Indonesia seutuhnya, yang sedikit atau banyak akan berkaitan dengan bidang tanah.
       Pembangunan sendiri dalam upaya meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat, baik untuk prasarana maupun sarana, memerlukan tanah. Demikian
pula seluruh lapisan masyarakat, dalam usaha meningkatkan kualitas hidupnya
memerlukan tanah. Oleh karena itu gejala hubungan timbal balik antara manusia
dengan tanah ini dilihat dari satu sudut : manusia semakin lama semakin meningkat
mutu dan jumlahnya (kualitas dan kuantitasnya) sehingga kebutuhan manusia akan
tanah yang relatif semakin sempit ini, semakin bertambah.
       Menghadapi hubungan timbal balik ini serta sekaligus untuk menata
hubungan dimaksud, dicetuskan gagasan oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan
pendataan penguasaan tanah yang selalu  mutakhir, terutama untuk keperluan
perpajakan, perencanaan dan pengawasan serta dibalik itu juga bagi masyarakat
memberikan jaminan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanahnya.

1.2 Rumusan Masalah

1. Pengertian waris
2. Apakah ahli waris yang memeperoleh hak milik atas tanah karena pewarisan
harus mendaftarakan peralihan haknya tersebut menurut ketentuan PP Nomor 24
Tahun 1997.

3. Bagaimanakah kekuatan sertifikat bagi pemegang hak atas tanah menurut


UUPA dan PP Nomor 24 Tahun 1997.

1.3 Tujuan

Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah:


1 Mengetahui isi UU No. 5 Tahun 1960 ( UUPA )
2 Mengetahui pengertian dan tata urut dalam mekanisme pendaftaran tanah
3 Mengetahui Pentingnya kekuatan sertifikat bagi pemegang hak atas tanah

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Waris
Kata waris berasal dari bahasa arab miras. Bentuk jamaknya adalah mawaris,
yang berarti harta peninggalan orang meninggal yang akan dibagikan kepada ahli
warisnya. Kata waris menurut bahasa berarti berpindahnya sesuatu dari seseorang
kepada orang lain atau dari sekelompok orang kekelompok lain. Sedangkan
pengertian warisan menurut istilah fikih ialah berpindahnya hak milik dari orang yang
meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup baik berupa harta benda, tanah
maupun suatu hak dari hak-hak syara.

Harta warisan adalah segala harta yang ditinggalkan setelah dikurangi biaya
perawatan dan hutang-hutang setelah pewaris meninggal dunia. Dari beberapa
pengertian di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa harta warisan adalah
berpindahnya harta seseorang yang telah meninggal kepada ahli warisnya yang
masih hidup setelah dibagikan semua hutang dan wasiatnya.

B. Hak Milik Atas Tanah

       Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi yang disebut
permukaan bumi. Tanah yang dimaksudkan di sini bukan mengatur tanah dalam
segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya yaitu tanah
dalam pengertian yuridis yang disebut hak. Tanah sebagai bagian dari bumi
disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA yaitu “atas dasar hak menguasai dari
negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam
hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan
dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain
serta badan-badan hukum.

       Konsep hak-hak atas tanah yang terdapat dalam hukum agraria nasional
membagi hak-hak atas tanah dalam dua bentuk.

1. hak-hak atas tanah yang bersifat primer yaitu hak-hak atas tanah yang dapat
dimiliki atau dikuasai secara langsung oleh seorang atau badan hukum yang
mempunyai waktu lama dan dapat dipindahtangankan kepada orang lain atau ahli
warisnya seperti Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan
(HGB), Hak Pakai (HP).

2. hak-hak atas tanah yang bersifat sekunder yaitu hak-hak atas tanah yang
bersifat sementara seperti hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, dan
hak menyewa atas tanah pertanian.

       Dari berbagai macam hak atas tanah tersebut, hak milik merupakan satu-
satunya hak primer yang mempunyai kedudukan paling kuat dibandingkan dengan
hak-hak yang lainnya. Hal ini dipertegas dalam ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUPA
yang berbunyi:
“Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat, terpenuh, yang dapat dipunyai orang
atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6.”
       Turun temurun artinya hak milik atas tanah dapat berlangsung terus selama
pemiliknya masih hidup dan bila pemiliknya meninggal dunia, maka hak miliknya
dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya sepanjang memenuhi syarat sebagai subjek hak
milik. Terkuat artinya hak milik atas tanah lebih kuat dibandingkan dengan hak atas
tanah yang lain, tidak mempunyai batas waktu tertentu, mudah dipertahankan dari
gangguan pihak lain, dan tidak mudah hapus. Terpenuh artinya hak milik atas tanah
memberi wewenang kepada pemiliknya lebih luas bila dibandingkan dengan hak
atas tanah yang lain, dapat menjadi induk bagi hak atas tanah yang lain, dan
penggunaan tanahnya lebih luas bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain.

       Pernyataan di atas mengandung pengertian betapa penting dan berharganya


menguasai hak atas tanah dengan title “Hak Milik” yang secara hukum memiliki
kedudukan terkuat dan terpenuh sehingga pemilik hak dapat mempertahankan
haknya terhadap siapapun. Namun demikian bukan berarti bahwa sifat terkuat dan
terpenuh yang melekat pada hak milik menjadikan hak ini sebagai hak yang mutlak,
tidak terbatas, dan tidak dapat diganggu gugat, karena dalam situasi dan kondisi
tertentu hak milik ini dapat pula dibatasi. Pembatasan yang paling nyata diatur dalam
ketentuan UUPA antara lain terdapat dalam pasal-pasal sebagai berikut:

 Pasal 6 : Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Seseorang tidak
dibenarkan mempergunakan atau tidak mempergunakan hak miliknya (atas
tanah) semata hanya untuk kepentingan pribadinya, apalagi jika hal itu dapat
merugikan kepentingan masyarakat karena sesuai dengan asas fungsi social ini
hak milik dapat hapus jika kepentingan umum menghendakinya.

 Pasal 7: Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan


penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.

 Pasal 17 : Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 7 maka untuk mencapai


tujuan yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan/atau
minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam pasal 16
oleh satu keluarga atau badan hukum.

 Pasal 18 : Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan


Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut,
dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan
undang-undang.

 Pasal 21 ayat (1) : Hanya Warga Negara Indonesia dapat mempunyai hak
milik.

   Mengenai keabsahan dan kehalalan hak milik, telah dikenal dua


asas, pertama asas “Nemo plus juris transfere potest quam ipse habel”, artinya tidak
seorangpun dapat mengalihkan atau memberikan sesuatu kepada orang lain
melebihi hak miliknya atau apa yang dia punyai. Kedua, asas “Nemo sibi ipse
causam possessionis mutare potest”, artinya tidak seorangpun mengubah bagi
dirinya atau kepentingan pihaknya sendiri, tujuan dari penggunaan objeknya.

        Kedua asas tersebut semakin mengukuhkan kekuatan sifat terkuat dan
terpenuh hak milik atas tanah. Kewenangan yang luas dari pemiliknya untuk
mengadakan tindakan-tindakan di atas tanah hak miliknya, kekuatan pemiliknya
untuk selalu dapat mempertahankan hak miliknya dari gangguan pihak lain, dan
segala keistimewaan dari hak milik mempunyai nilai keabsahan dan kehalalan yang
dijamin kedua asas tersebut.

C. Peralihan Hak Milik Atas Tanah

Ketentuan yuridis yang mengatur mengenai eksistensi tanah yaitu terdapat


dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang “Peraturan Dasar Pokok-
pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA)”, yang merupakan pelaksanaan dari
ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan “bahwa
bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Adapun
lain lebih lanjut mengenai hukum tanah banyak tersebar dalam berbagai peraturan
perundang-undangan lainnya seperti Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996
tentang “Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah”;
Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999
tentang “Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan
Pemberian Hak atas Tanah”; dan lain – lain.
Kebijakan hukum tentang pembatasan kepemilikan hak atas tanah yang
diterapkan dalam pasal-pasal UUPA tersebut dalam tatanan teoritis idealis tampak
mencerminkan cita - cita dari pembentukan UUPA itu sendiri yang pada pokoknya
bertujuan untuk:
1. meletakan dasar - dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan
merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan
bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil
dan makmur;

2. meletakan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan, dan kesederhanaan


dalam hukum pertanahan;

3. meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-


hak atas tanah bagi rakyar keseluruhan.

       Dalam tatanan praktis, bukan hal mudah untuk mewujudkan cita - cita
pembentukan UUPA tersebut karena konflik kepentingan antara berbagai pihak
senantiasa menjadi duri dalam pencapaian tujuan tersebut sehingga pelaksanaan
kebijakan yang mengatur masalah hak-hak atas tanah tidak berjalan sebagaimana
mestinya. Perselisihan yang terjadi baik secara horizontal maupun vertikal banyak
mewarnai ranah pertanahan Indonesia, khususnya mengenai hak milik ini sehingga
pada akhirnya banyak melahirkan sengketa hak milik.

       Dalam Pasal 19 UU no. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (Undang-Undang Pokok Agraria atau disingkat UUPA) dikatakan bahwa
pendaftaran tanah dimaksudkan untuk memeberikan kepastian hukum dan yang
dimaksud dengan kepastian hukum adalah memberikan kepastian hak-hak atas
tanah. Adapun cara-cara pendaftaran tanah yang dimaksudkan untuk memberikan
jaminan kepastian hak-hak atas tanah.
       Pendaftaran peralihan hak yang diesbabkan oleh pewarisan, pemohon hanya
cukup menyertakan bukti sebagai ahli waris yang sah, yang kesemuanya tertuang
dalam fatwa waris, mengapa harus menyertakan bukti penunjukan sebagai ahli
waris yang sah Karena ahli waris berhak secara sah menggantikan kedudukan
hukum dari orang yang meninggal dalam kedudukan hukum mengenai harta
kekayaannya. Maka dengan sendirinya hak penguasaan atas tanah dan atau
bangunan jatuh secara otomatis pada ahli waris. Namun demikian seperti halnya
perbuatan hukum lain, ahli waris harus mendaftarkan peralihan haknya tersebut
pada kantor Pertanahan terlebih dahulu guna kepastian hukum atas tanah yang
didapat dari pewarisan tersebut.

      Setelah dilakukan pendaftaran tanah, maka akan diperoleh sertifikat.


Sertifikat merupakan salinan buku tanah dan surat ukur yang dijahit menjadi satu. Di
dalamnya disebut dengan lengkap identitas subyek pajak yang bersangkutan dan
keterangan secara terperinci obyek haknya.
       Dengan demikian dapat dikatakan bahwa orang yang namanya tercantum di
dalam sertifikat adalah pemilik hak atas tanah yang bersangkutan.Seharusnya
sertifikat tertulis atas nama seseorang. Namun di dalam praktek sehari-hari sering
juga terjadi sertifikat hak atas tanah yang tercatat atas nama beberapa
orang.Kemungkinan bahwa dalam satu sertifikat tercatat lebih dari satu nama bisa
saja terjadi, karena ada 2 (dua) orang atau lebih yang bersama-sama membeli
adalah para ahli waris dari seseorang, yang namanya mula-mula tercantum dalam
sertifikat tersebut.
       Salah satu contoh kasus tentang sengketa warisan ialah pada tahun 1986,
ayah A meninggal dunia karena kecelakaan lalu lintas. Beberapa tahun kemudian,
ibu A juga meninggal dunia karena sakit keras. Sebelum ibu A meninggal dunia, ia
telah memberikan wasiat agar seluruh harta warisannya dibagi dua; A dan kakak A,
dibagi dua sama rata. Orang tua A meninggalkan sebidang tanah dan kebun.
Karena A tidak bisa mengurusi maka harta warisan itu dikelola kakak A. A terkadang
mendapat bagian hasil dari pengelolaan tanah tersebut, tetapi juga tidak. Meski
demikian A tidak begitu menuntut. Yang penting, tanah tersebut terawat dengan
baik.
      Sekitar 2 tahun sepeninggal ibu A, ada salah satu tetangga menggugat kakak
A ke pengadilan. Isi gugatan tersebut menyatakan bahwa sawah yang kini dikelola
kakak A adalah milik orang tua tetangga tersebut. Menurut tetangga tersebut, tanah
garapan itu bisa ke tangan orang tua A, sebab tanah itu dulu digadaikan oleh orang
tua tetangga tersebut, tetapi ia tidak bisa menebusnya. Hal itu berlangsung
bertahun-tahun hingga orang tua dia meninggal dunia, tanah itu masih dikuasai
orang tua A. Tetapi A tidak percaya, karena A mempunyai bukti-bukti bahwa tanah
tersebut milik orang tua A.
       Masalah tersebut kemudian bergulir ke pengadilan. Di Pengadilan Negeri,
kakak A kalah. Kakak A kemudian naik banding ke Pengadilan Tinggi. Di tingkat ini,
kakak A menang. Pihak penggugat kemudian naik banding ke Mahkamah Agung. Di
Mahkamah Agung, kakak A mengalami kekalahan. Demikian adalah salah satu
contoh kasus mengenai sengketa hak atas tanah karena warisan.
       
        Peralihan hak atas tanah, yang dilakukan dengan cara jual beli, tukar
menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan
hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika
dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang.

Dengan demikian berarti setiap peralihan hak milik atas tanah, yang dilakukan
dalam bentuk jual beli, tukar menukar atau hibah harus dibuat di hadapan PPAT.
Jual beli, tukar menukar atau hibah ini dalam konsepsi hukum adat adalah suatu
perbuatan hukum yang bersifat terang dan tunai. Dengan terang dimaksudkan
bahwa perbuatan hukum tersebut harus dibuat di hadapan pejabat yang berwenang
yang menyaksikan dilaksanakan atau dibuatnya perbuatan hukum tersebut.

Sedangkan dengan tunai diartikan bahwa dengan selesainya perbuatan


hukum dihadapan PPAT berarti pula selesainya tindakan hukum yang dilakukan
dengan segala akibat hukumnya. Ini berarti perbuatan hukum tersebut tidak dapat
dibatalkan kembali, kecuali terdapat cacat cela secara substansi mengenai hak atas
tanah (hak milik) yang dialihkan tersebut, atau cacat mengenai kecakapan dan
kewenangan bertindak atas bidang tanah tersebut.

        Dengan demikian berarti, agar peralihan hak atas tanah, dan khususnya hak
milik atas tanah tersebut dapat terselenggara secara benar, maka seorang PPAT
yang akan membuat peralihan hak atas tanah harus memastikan kebenaran
mengenai hak atas tanah (hak milik) tersebut, dan mengenai kecakapan dan
kewenangan bertindak dari mereka yang akan mengalihkan dan menerima
pengalihan hak atas tanah tersebut. Sehubungan dengan obyek hak atas tanah
yang dipindahkan PPAT harus memeriksa kebenaran dari dokumen-dokumen:
1. mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar atau hak milik atas satuan
rumah susun, sertifikat asli hak yang bersangkutan. Dalam hal serifikat tidak
diserahkan atau sertifikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar-daftar yang
ada di Kantor Pertanahan; atau

2. mengenai bidang tanah yang belum terdaftar :

 surat bukti yang membuktikan hak atas tanah yang lama yang belum
dikonversi atau surat keterangan Kepala Desa/ Kelurahan yang menyatakan
bahwa yang bersangkutan menguasai bidang tanah tersebut dengan itikad baik,
dan tidak pernah ada permasalahan  yang timbul sehubungan dengan
penguasaan tanahnya tersebut; dan

 surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan


belum bersertifikat dari Kantor Pertanahan, atau untuk tanah yang terletak di
daerah yang jauh dari kedudukan Kantor Pertanahan, dari pemegang hak yang
bersangkutan dengan dikuatkan oleh Kepala Desa/ Kelurahan; dan dalam hal
surat tersebut tidak dapat diserahkan maka PPAT wajib menolak membuat akta
pemindahan hak atas tanah tersebut termasuk hak milik atas tanah yang akan
dialihkan tersebut.
D.   Pengertian Pendaftaran Tanah

       Mengenai jaminan perlindungan dan kepastian hukum bagi hak milik atas tanah
terdapat penegasannya lebih lanjut yaitu melalui suatu mekanisme yang dinamakan
‘Pendaftaran Tanah” atau “Recht Kadaster.”

       Pasal 1 angka (1) Ketentuan Umum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24


Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dinyatakan bahwa Pendaftaran Tanah
adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus,
berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan
penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan
daftar mngenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk
pemberian sertifikat sebagai surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah
yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak
tertentu yang membebaninya. Berkaitan dengan hal ini terdapat 2 macam asas
hukum, yaitu asas itikad baik dan asas nemo plus yuris.

1. Asas itikad baik, yaitu bahwa orang yang memperoleh sesuatu hak dengan
itikad baik akan tetap menjadi pemegang hak yang sah menurut hukum. Asas ini
bertujuan untuk melindungi orang yang beritikad baik.

2. Asas nemo plus yuris, yaitu bahwa orang tidak dapat mengalihkan hak
melebihi hak yang ada padanya. Asas ini bertujuan melindungi pemegang hak
yang selalu dapat menuntut kembali haknya yang terdaftar atas nama siapapun.

       Dari kedua asas tersebut melahirkan 2 sistem pendaftaran tanah, yaitu:
1. Sistem publikasi positif, yaitu bahwa apa yang sudah terdaftar itu dijamin
kebenaran data yang didaftarkannya dan untuk keperluan itu pemerintah meneliti
kebenaran dan sahnya tiap warkah yang diajukan untuk didaftarkan sebelum hal
itu dimasukkan dalam daftar-daftar. Jadi kelebihan pada sistem pendaftaran ini
adalah adanya kepastian dari pemegang hak, oleh karena itu ada dorongan bagi
setiap orang untuk mendaftarkan haknya. Kekurangannya adalah bahwa
pendaftaran tersebut tidak lancar dan dapat saja terjadi pendaftaran atas nama
orang yang tidak berhak dapat menghapuskan hak orang yang berhak.

2. Sistem publikasi negatif, yaitu bahwa daftar umum tidak mempunyai kekuatan
hukum sehingga terdaftarnya seseorang dalam daftar umum tidak merupakan
bukti bahwa orang tersebut yang berhak atas hak yang telah didaftarkan.
Kelebihan dari system pendaftaran ini yaitu kelancaran dalam prosesnya dan
pemegang hak yang sebenarnya tidak dirugikan sekalipun orang yang terdaftar
bukan orang yang berhak. Tetapi kekurangannya adalah bahwa orang yang
terdaftarkan akan menanggung akibatnya bila hak yang diperolehnya berasal dari
orang yang tidak berhak sehingga orang menjadi enggan untuk mendaftarkan
haknya.

       Pendaftaran tanah dapat dilakukan melalui pendaftaran tanah secara


sistematis dan sporadis yaitu kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan secara
serentak yang meliputi semua bidang tanah di suatu wilayah atau bagian wilayah
suatu desa/kelurahan, baik tanah dipunyai dengan suatu hak atas tanah maupun
tanah negara. Yang dimaksud dengan suatu hak adalah hak atas tanah menurut
hukum adat dan hak atas tanah menurut UUPA.

E. Landasan Hukum Pendaftaran Tanah.

        Dengan keluarnya Undang-Undang Pokok Agraria, maka dualisme hak-hak


atas tanah dihapuskan, dalam memori penjelasan dari UUPA dinyatakan bahwa
untuk pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud Pasal 19 UUPA, yang ditujukan
kepada pemerintah agar melaksanakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah
Indonesia yang bertujuan untuk menjamin kepastian hukum yang bersifat Recht
Kadaster, untuk menuju kearah pemberian kepastian hak atas tanah telah diatur di
dalam Pasal 19 UUPA yang menyebutkan :

1. Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran


tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang
diatur dengan Peraturan Pemerintah.

2. Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 pasal ini meliputi :


 Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah.
 Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut.
 Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian
yang kuat.

       Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara dan


masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta kemungkinan
penyelenggaraannya menurut pertimbangan Menteri Agraria. Dalam Peraturan
Pemerintah diatas biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termasuk
dalam ayat 1 diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan
dari pembayaran biaya-biaya tersebut.
       Kalau di atas ditujukan kepada pemerintah, sebaliknya pendaftaran yang
dimaksud Pasal 23, Pasal 32 dan Pasal 38 UUPA ditujukan kepada para pemegang
hak, agar menjadikan kepastian hukum bagi mereka dalam arti untuk kepentingan
hukum bagi mereka sendiri, di dalam Pasal tersebut dijelaskan :
 Pasal 23 UUPA :
– Ayat 1 : Hak milik, demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya
dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud
dalam Pasal 19.
– Ayat 2 : Pendaftaran termasuk dalam ayat 2 merupakan alat pembuktian yang kuat
mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan dan pembebanan hak
tersebut.
 Pasal 32 UUPA :
– Ayat 1 : Hak guna usaha, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga
setiap peralihan dan penghapusan hak tersebut, harus didaftarkan menurut
ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam
 Pasal 19.
– Ayat 2 : Pendaftaran termasuk dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat
mengenai peralihan serta hapusnya hak guna usaha, kecuali dalam hak-hak itu
hapus karena jangka waktunya berakhir.
 Pasal 38 UUPA :
– Ayat 1 : Hak guna bangunan, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga
setiap peralihan dan hapusnya dak tersebut harus didaftarkan menurut ketentuan-
ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19.
– Ayat 2 : Pendaftaran termaksud dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang
kuat mengenai hapusnya hak guna bangunan serta sahnya peralihan tersebut,
kecuali dalam hal hak itu hapus karena jangka waktunya berakhirnya.
       Dari ketentuan pasal-pasal di atas dapatlah disimpulkan bahwa pendaftaran
yang dilakukan oleh pemegang hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan
adalah merupakan alat pembuktian yang kuat serta untuk sahnya setiap peralihan,
pembebanan dan hapusnya hak-hak tersebut.

F. Tujuan Pendaftaran Tanah

      Usaha yang menuju kearah kepastian hukum atas tanah tercantum dalam
ketentuan-ketentuan dari pasal-pasal yang mengatur tentang pendaftaran tanah,
dalam pasal 19 UUPA disebutkan untuk menjamin kepastian hukum dari hak-hak
atas tanah, UUPA mengharuskan pemerintah untuk mengadakan pendaftaran tanah
diseluruh wilayah Republik Indonesia yang bersifat ‘Rech Kadaster” artinya yang
bertujuan menjamin kepastian hukum, dengan di selenggarakannya pendaftaran
tanah, maka pihak-pihak yang bersangkutan dengan mudah dapat mengetahui
status hukum daripada tanah tertentu yang dihadapinya, letak, luas dan batas-
batasnya, siapa yang empunya dan beban-beban apa yang melekat di atas tanah
tersebut.
      Menurut para ahli disebutkan tujuan pendaftaran ialah untuk kepastian hak
seseorang, disamping untuk pengelakkan suatu sengketa perbatasan dan juga
untuk penetapan suatu perpajakan:

1.    Kepastian hak seseorang


         Maksudnya dengan suatu pendaftaran, maka hak seseorang itu menjadi jelas
misalnya apakah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan atau hak- hak
lainnya.
2.    Pengelakkan suatu sengketa perbatasan
         Apabila sebidang tanah yang dipunyai oleh seseorang sudah didaftar, maka
dapat dihindari terjadinya sengketa tentang perbatasannya, karena dengan
didaftarnya tanah tersebut, maka telah diketaui berapa luasnya serta batas –
batasnya.
3.    Penetapan suatu perpajakan
         Dengan diketahuinya berapa luas sebidang tanah, maka berdasarkan hal
tersebut dapat ditetapkan besar pajak yang harus dibayar oleh seseorang. Dalam
lingkup yang lebih luas dapat dikatakan pendaftaran itu selain memberi informasi
mengenai suatu bidang tanah, baik penggunaannya, pemanfaatannya, maupun
informasi mengenai untuk apa tanah itu sebaiknya dipergunakan, demikian pula
informasi mengenai kemampuan apa yang terkandung di dalamnya dan demikian
pula informasi mengenai bangunannya sendiri, harga bangunan dan tanahnya, dan
pajak yang ditetapkan.
      Untuk memenuhi berbagai kebutuhan seperti tersebut di atas, maka untuk itu
UUPA melalui pasal-pasal pendaftaran tanah menyatakan bahwa pendaftaran itu
diwajibkan bagi pemegang hak yang bersangkutan
      Berdasarkan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dijelaskan
bahwa tujuan dari pendaftaran tanah tersebut adalah sebagai berikut::
1. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada
pemegang hak atas tanah suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak
lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai
pemegang hak yang bersangkutan.

2. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan


termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang
diperlukan dalam mcngadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah
dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar.

3. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.

       Di dalam kenyataannya tingkatan-tingkatan dari . pendaftaran tanah tersebut


terdiri dari:
1. Pengukuran Desa demi Desa sebagai suatu himpunan yang terkecil.

2. Dari peta Desa demi Desa itu akan memperlihatkan bermacam-macam hak
atas tanah baik Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai,
Hak Pengelolaan maupun tanah-tanah yang masih dikuasai oleh negara.

3. Dari peta-peta tersebut akan dapat juga diketahui nomor pendaftaran, nomor
buku tanah, nomor surat ukur, nomor pajak, tanda batas dan juga bangunan yang
ada di dalamnya.

        Salah satu sebab berakhirnya kepemilikan seseorang atas tanah adalah
karena kematian. Karena dengan adanya peristiwa hukum ini mengakibatkan
adanya peralihan harta kekayaan dari orang yang meninggal, baik harta kekayaan
material maupun immaterial kepada ahli waris orang yeng meninggal tersebut.
Dengan meninggalnya seseorang ini maka akan ada pewaris, ahli waris dan harta
kekayaan.

       Pewaris adalah orang yang meninggal  dunia dan meninggalkan harta
kekayaan, sedangkan ahli waris adalah orang yang berhak atas harta kekayaan dari
orang  meninggal. Dan harta kekayaan yang ditinggalkan bisa immaterial maupun
material, harta kekayaan material antara lain tanah, rumah ataupun benda lainnya.
        Hukum Waris adalah suatu hukum yang mengatur peninggalan harta
seseorang yang telah meninggal dunia diberikan kepada yang berhak, seperti
keluarga dan masyarakat yang lebih berhak.

       Hukum Waris yang berlaku di Indonesia ada tiga yakni: Hukum Waris Adat,
Hukum Waris Islam dan Hukum Waris Perdata. Setiap daerah memiliki hukum yang
berbeda-beda sesuai dengan sistem kekerababatan yang mereka anut.
       Peralihan hak milik atas tanah diatur dalam Pasal 20 ayat 2 UUPA yaitu hak
milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Pengertian tentang kata “beralih”
adalah suatu peralihan hak yang dikarenakan pemilik hak telah meninggal dunia
maka haknya dengan sendiri menjadi beralih kepada ahli warisnya. Pasal 20 ayat (2)
UUPA menyatakan bahwa hak milik atas tanah dapat beralih dan dapat dialihkan.
Peralihan hak milik atas tanah dapat terjadi karena perbuatan hukum dan peristiwa
hukum. Peralihan hak  milik atas tanah karena perbuatan hukum dapat terjadi
apabila pemegang hak milik atas tanah dengan sengaja mengalihkan hak yang
dipegangnya kepada pihak lain. Sedangkan peralihan hak milik atas tanah karena
peristiwa hukum, terjadi apabila pemegang.
hak milik atas tanah meninggal dunia, maka dengan sendirinya atau tanpa adanya
suatu perbuatan hukum disengaja dari pemegang hak, hak milik beralih kepada ahli
waris pemegang hak.
       Pewarisan hak milik atas tanah tetap  harus berlandaskan pada ketentuan
Undang – undang Pokok Agraria dan Peraturan Pelaksanaannya. Penerima
peralihan hak milik atas tanah atau pemegang hak milik atas tanah yang baru
haruslah berkewarganegaraan Indonesia sesuai dengan ketentuan pasal 9 Undang-
undang Pokok Agraria dan pasal 21 ayat (1) UUPA bahawa warga Negara Indonesia
tunggal saja yang dapat mempunyai hak milik, dengan tidak membedakan
kesempatan antara laki – laki dan wanita yang mempunyai kesempatan yang sama
untuk memperoleh suatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan
hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.
      Sebenarnya seorang warga Negara Asing dapat atau bisa memperoleh hak
milik karena terbentur pasal 21 ayat (1), karena pasal tersebut menyebutkan bahwa
hanya warga Negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik. Pasal 21 ayat (3)
menyebutkan bahwa warga asing yang sesudah berlakunya Undang – undang ini
harus mendaftarkan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun tidak mendaftarkan status
kewarganegaraannya.
       Menurut ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961  junto
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun  1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang
berhak menerima warisan  wajib meminta pendaftaran  peralihan hak tersebut dalam
jangka waktu 6 (enam) bulan sejak meninggalnya orang yang semula mempunyai
hak milik tersebut dengan tidak melanggar ketentuan bahwa   menerima hak milik
atas tanah harus sesuai dengan Undang – undang Pokok Agraria pasal 21.

 
G.   Pelaksanaan Peralihan Hak Milik Atas Tanah karena Pewarisan.
       Hak-hak atas tanah mempunyai peranan sangat penting dalam kehidupan
manusia ini, karena semakin maju masyarakat, semakin padat penduduknya, maka
akan menambah lagi pentingnya kedudukan hak-hak atas tanah.

       Di dalam UUPA telah ditentukan bahwa tanah-tanah di seluruh wilayah Negara
Republik Indonesia harus didaftarkan, hal ini sesuai dengan Pasal 19 ayat (1) UUPA
yang berbunyi:
“Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadkan Pendaftaran Tanah,
yang diatur dengan Peraturan Pemerintah”
       Selain itu juga diatur dalam ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUPA yang berbunyi
sebagai berikut:
“Hak milik, demikian juga setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya engan
hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksudnya
dalam Pasal 19”
       Sedangkan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dala Pasal 19 ayat
(1) UUPA adalah Peraturan Pemerintah Noor 10 Tahun 1961 yang sekarang telah
disempurnakan dengn Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah.
       Menurut Pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 disebutkan:
(1)   Hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf dan hak milik atas satuan rumah
susun diadftar dengan membukukannya dalam buku tanah yang memuat data
yuridis dan adat fiisk bidang tanah yang bersangkutan , dan sepanjang ada surat
ukurnya dicatat pula pada surat ukur tersebut.
(2) Pembukuan dalam buku tanah serta pencatatannya dalam surat ukur
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bukti bahwa hak yang
bersangkutan beserta pemegang haknya dan boidang tananhya yang diuraikan
dalam surat ukur secara hukum telah didaftar menurut Peraturan Pemerintah ini.
(3)   Pembukuan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan
alat bukti yang dimaksud dalam Pasal 23 dan berita acara pengesahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28”
Dengan sistem buku tanah berarti bahwa setiap hak atas tanah yang wajib
didaftarkan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 harus dibuat
salinana dari buku tanah untuk diterbitkannya sertifikat.
       Sertifikat adalah suatu tanda bukti hak atas tanah untuk menjamin kepastian
hukum yang terdiri dari atas salinan buku tanah dan surat ukur yang dijahit menjadi
satu bersama-sama dengan seuatu kertas sampul yang dikeluarkan oleh Badan
Pertanahan Nasional.

       Sertifikat sebagai arsip di Badan Pertanahan nasional terdiri atas:


1. Riwayat status tanah
2. Surat ukur
3. Kartu tanda penduduk yang bersangkutan
4. Pajak Bumi dan Bangunan tahun terakhir
5. Akta tanah.

       Sedangkan pemohon menerika sertifikat atau tanda bukti hal yang berisi Buku
Tanah dan Suart Ukur (Gambar Situasi).
       Buku tanah menerangkan Propinsi, Kabupaten, Kecamatan Desa, Nomor Buku
Tanah, biaya dan nomor Kantor Badan Pertanahan Nasional, buku tanah ini terdiri
atas :
1. Menjelaskan dari hak atas tanah, nomor dan desa;
2. Nama jelas atau persil;
3. Asal persil yang berisi: Tentang Konversi, pemberian hak, pemisahan,
penggabungan, menunjuk UU Nomor 5 Tahun 1960 juncto Peraturan Menteri
Pertanian dan Agraria Nomor 2 Tahun 1962 (TLN.2508) tentang Penegasan
Konversi dan Pendaftaran Bekas Hak-hak Indonesia Atas Tanah;
4. Surat keputusan yang berisi ganti rugi atau uang wajib, lamanya hak berlaku
dan kapan berakhir;
5. Surat ukur atau gambar situasi yang berisi: nomor dan luas;
6. Nama pemegang hak;
7. Tanggal pendaftaran yang ditandatangani oleh Kepala Seksi Pendaftaran
Tanah dan Kepala Badan Pertanahan Nasional atas nama Bupati;
8. Pengeluaran sertifikat yang ditandatangani oleh Kepala Seksis Pendeftaran
Tanah dan diketahui oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional atas nama Bupati;
9. Penunjuk, yang berisi perubahan apabila ada;
10. Catatan mengenai pajak atau Pajak Bumu dan Bangunan (PBB).

       Penjelasan mengenai Gambar atau Situasi atau Surat Ukur terdiri atas nomor
hak, nomor surat ukur, Propinsi, Kabupaten, Kecamatan, Desa, keadaan tanah, 
situasi letak tanah dan penjelasan. Gabar Situasi itu ditanndatngani oleh Kepala
Seksi Pendaftaran Tanah atas nama Kepalaa Badan Pertanahan Nasional.
       Pendaftaran peralihan hak karena pewarisan diwajibkan dalam rangka
emberikan perindungan hukum kepada para ahli waris dan demi ketertiban tata
usaha pendaftaran tanah, agar data yang tersimpan dan disajikan selalu
menunjukkan keadaan yang mutakhir.
      Proses pewarisan itu terjadi disebabkan oleh meninggalnya seseorang
dengan meninggalnya sejumlah harta kekayaan, baik yang materiil maupun
immateriil dengan tidak dibedakan antara barang bergerak dan barang tidak
bergerak.
       Pada dasarnya proses beralihnya harta kekayaan seseorang kepada ahli
warisnya yang dinamakan pewarisan terjadi hanya karena kematian, oleh karena itu
pewarisan baru akan terjadi jika terpenuhi tiga persayaratan yaitu:
1. Ada seseorang yang meninggal dunia
2. Ada orang yang masih hidup sebagai ahli waris yang akan memperoleh
warisan pada saat pewaris meninggal dunia;
3. Ada sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan pewaris.

       Jika di antara harta peninggalan itu terdapat tanah hak milik maka hak atas
tanah itupun beralih kepada apara ahli waris tersebut.
       Peralihan hak tidak lagi diuatn di hadapan Kepala Desa atau secara di bawah
tangan, tetapi harus dibuat di ahadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang diangkat
oleh Menteri Dalam Negeri cq. Direktorat Jenderal Agraris, satu orang untuk tiap
satu atau lebih daerah Kecamatan. Sedangkan untuk suatu daerah Kecamatan ang
belum diangkat seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah, maka Camat yang
mengepalaia Kecamatan tersebut untuk sementara ditunjuk karena jabatannya
sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah.
       Untuk setiap perjanjian yang bermaksud mengalihkan hak atas tanah harus
dibuatkan suatu akta yang dibuat oleh Pejabat yang berwenang yaitu Pejabat
Pebuat Akta Tanah. Menuruut Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 menyebutkan bahwa:
“Dalam melaksanakan pendaftaran tanah, Kepala Kantor Pertanahan dibantu
oleh PPAT dan Pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan
tertentu menurut Peraturan Peerintah ini dan peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan”.
       Sebelum Pejabat membuat akta peralihan hak atas tanah harus diperlihatkan
lebih dahuku sertifikat tanah yang bersangkutan, bila tanah itu telah didaftarkan atau
dibukukan dalam bentuk tanah pada Kantor Agraria Seksis Pendaftaran Tanah. Bila
tanah itu belum didaftarkan atau dibukukan dalam buku tanah maka sebagai
pengganti sertifiat tanah harus diserahkan surat keterangan pendaftaran tanah dari
Kantor Agraria Seksi Pendafataran Tanah setempat, bahwa tanah itu belum
mempunyai sertifikat atau sertifikat sementara.
       Menurut ketentuan, akta harus ditandatangani oleh semua pihak, oleh PPAT
dan para saksi. Dan apad umumnya dibuat dalam rangkap empat, yaitu:
1. Satu helai (yang asli) bermaterai Rp. 6.000,- untuk disimpan dalam protokol
pejabat.
2. Satu helai bermaterai Rp. 6000.,- untuk keperluan Kantor Pertanahan.
3. Satu helai untuk keperluan lampiran permohonan izin (apabila diperlukan izin)
4. Satu helai untuk yang berkepentingan.

Untuk semua akta peralihan hak, sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan
Menteri Agraria Nomor 11 Tahun 1961 dan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri
tanggal 6 Agustus 1977 Nomor SK.104?DJA/1977 harus dioergunakan formulir-
formulir yang tercetak di kantor Pos.
       Menurut UUPA tidak cukup dibuatkan akta saja tetapi harus melakukan
proses balik  nama untuk membuat sertifikat, untuk balik nama atau perusabahan
nama dari pemiliki lama kepada rekomendasi dari Pejabat Pebuat Akta Tanah.
Tetapi dengan adanya akta sudah cukup untuk memperoleh hak milik, karena
haknya sudah beralih, hanya saja belum memiliki kepastian hukum di kemudian hari.
Karena untuk menjamin kepastian hukum harus dibuktikan dengan sertifikat bukan
oleh kta.. akta hanya berfungsi sebagai tanda bukti hak. Adapun syarat balik nama
adalah:
1. Ada akta pejabat (akta peralihan hak)
2. Bukti pelunasan yang menjadi kewajiban untuk peralihan hak tersebut.
3. Rekomendasi atau surat pengantar balik nama dari PPAT.

       Pasal 11 PP Nomor 24 Tahun 1997 mengatur kegiatan pelaksanaan


Pendaftaran Tanah, bahwa “Pelaksanaan Pendaftaran Tanah meliputi kegiatan
pendaftaran tanah untuk pertama kali dan pemeliharaan data pendaftaran tanah”.
Pasal 12 PP Nomor 24 Tahun 1997 mengatur tentang rincian masing-masing
kegiatan pelaksanaan pendaftaran tanah sebagai berikut:
1. Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali meliputi:
o Pengumpulan dan pengolahan data fisik;
o Pengumulan dan pengolahan data yuridis;
o Pembuktian hak dan pembukuannya;
o Penerbitan sertifikat;
o Penyajian data fisik dan data yuridis;
o Penyimpanan daftar umum dan dokumen.
o Kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah meliputi:
1. Pendaftaran peralihan dan pembebaban hak;
2. Pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah lainnya.

       Sistem yang digunakan dalam pendaftaran tanah untuk pertama kali ada dua
macam, yaitu sistem pendaftaran tanah secara sistematik dan siste pendaftaran
tanah secara sporadik. Pendafatarn tanah secara sistematik, yaitu kegiatan
pendafataran tanah untuk pertama kaliyang dilakukan secara serentak yang meliputi
semua obyek pendaftaran tanah yang belum didfatra dalam wilayah atau bagian
wilayah suatu desa/keluarahan. Sedangkan pendaftaran tanah secara sporadik,
yaitu kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengeni satu atau beberapa
obyek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/keluarahan
secara individual atau massal.

       Dalam pendaftaran tanah untuk pertama kali dilakukan kegiatan ajudikasi,
yaitu kegiatan yang meliputi pengumpulan dan penetapan kebenaran ata fisik dan
data yuridis mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah untuk keperluan
pendaftarannya. Pasal 13 PP Nomor 24 Tahun 1997 menetapkan sistem sistematik
dan sporadik sebagai berikut:
1. Pendaftaran Tanah pertama kali dilaksanakan melalui pendaftaran tanah
secara sistematik dan pendaftaran tanah secara sporadik. Pendaftaran tanah
secara sistematik didasarkan pada suatu renacan kerja dan dilaksaknakan di
wilayah-wilayah yang ditetapkan oleh Menteri.

2. Dalam suatu desa/kelurahan belum itetapkan sebagai wilayah Pendafataran


Tanah secra sistematik sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pendaftarannya
dilaksanakana melalui Pendaftaran Tanah secara sporadik.

3. Pendafataran Tanah secara sporadik dilaksanakan atas permintaan pihak


yang berkepentingan.
        Pasal 36 PP nomor 24 Tahun 1997 mengatur tentang pemeliharaan data
pendaftaran tanah (data maintenance) sebagai berikut:
1. Pemeliharaan data Pendaftaran tanah dilkukan apabila terjadi perubahan
pada data fisik dan data yuridis obyek Pendaftaran tanah yang telah terdaftar.
2. Pemegang hak yang bersangkutan wajib mendaftarkan perubahan
sebagaimana simaksud pada ayat (1) kepada Kantor Pertanahan.

       Perubahan data dapat terjadi pada data yuridis berupa terjadinya peralihan
hak atas tanah karena danya perbuatan hukum  jual beli tanah. Perubahan dalam
bentuk peralihan hak ini juga harus didaftarkan dalam rangka pemeliharaan data
pendaftaran tanah seperti diatur dalam Pasal 37 PP No. 24 Tahun 1997.
       Selanjutnya untuk pendaftaran peralihan hak milik atas tanah karena
pewarisan yang wajib dilakukan oleh pihak yang memperoleh tanah hak milik
sebagai warisan diatur dalam Pasal 42 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 yang berbunyi sebagai berikut:
“Untuk pendaftaran peralihan hak karena pewarisan mengenai bidang tanah
hak yang sudah didaftar dan hak milik atas satuan rumah susun sebagai yang
diwajibkan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 36, wajib
diserahkan oleh yang menerima hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah
susun yang bersangkutan, surat kematian orang yang namanya dicatat sebagai
pmegang haknya dan surat tanda bukti sebagai ahli waris”.
       Dari ketentuan di atas, apabila seseorang pemilik tanah meninggal dunia,
maka orang yang menerima warisan itu dalam waktu 6 (enam) bulan harus
mendaftarkan tanah warisannya tersebut ke Badan Pertanahan Nasional, waktu 6
(enam) bulan itu dapat diperpanjang oleh Badan Pertanahan Nasional.
       Menurut ketentuan pasal 61 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 :
“Untuk pendaftaran peralihan hak karena pewarisan yang diajukan dalam waktu 6
(enam) bulan sejak tanggal meninggalnya pewaris, tidak dipungut biaya pedaftaran”.
       Sesuai dengan pasal tersebut di atas, bahwa penerima warisan (ahli waris)
harus mendaftarakan tanahnya ke Kantor Pertanahan. Tetapi harus diperhatikan
terlebih dahulu apakah tanahnya tersebut sudah dibukukan atau belum.
       Untuk tanah yang telah dibukukan maka yang perlu diserahkan ke Kantor
Pertanahan adalah:
1. Sertifikat pewaris

2. Surat keterangan meninggal dunia dari Kepala Desa atau Lurah. Untuk
memperoleh surat tersebut, ahli waris atau para ahli waris memohon surat yang
disahkan oleh Ketua Rukun Tetangga (RT) dan diketahui oleh Kepala Rukum
Wara (RW) dan dua orang saksi, dilampirkan surat keterangan pemakaman dari
Kantor Pemakaman setempat.
3. Surat keterangan waris.
4. Surat keterangan Pajak Bumi dan bangunan (PBB) terakhir.
Apabila tanahnya belum dibukukan sesuai dengan ketentuan Pasal 42 ayat
(2) PP No. 24 tahun 1997 yang berbunyi sebagai berikut:
“jika bidang tanah yang merupakan warisan belum didaftar, wajib diserahkan juga
dokumen0dokumen sebagaimana dmaksud dalam pasal 39 ayat (1) huruf b”
       Dokumen yang membuktikan adanya hak atas tanah pada yang mewariskan
diperlukan setelah pendaftaran untuk pertama kali hak yang bersangkutan atas
nama yang mewariskan. Hal tersebut dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 42 ayat (2)
PP Nomor 24 tahun 1997.
       Dari ketentuan Psal 42 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 di atas maka:
1. Ahli waris harus memperlihatkan surat bukti hak berupa bukti-bukti tertulis,
keterngan saksi  dan atau pernyataan yang bersangkutan yang kadar
kebanarannya oleh panitia Ajudikasi atau Kepala kantor Pertanahan dianggap
cukup untuk mendaftar hak, pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang
membebaninya.

2. Surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan


belum bersertifikat dari kantor Pertanahan, atau untuk tanah yang terletak di
daerah yang jauh dari kedudukan kantor Pertanahan, dari pemegang hak yang
bersangkutan dengan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan.
3. Berdasarkan data butir 1 dan 2 di atas kemudian dibuatkan akta waris oleh
Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Kemudian pemohon (ahli waris) mendaftarkan ke kantor Badan Pertanahan


Nasional dengan persyaratan sebagai berikut:
1. Mengisi formulir permohonan
2. Bukti identitas ahli waris
3. Surat Kuasa dan photo copy KTP penerima kuasa bila dikuasakan.
4. Sertifikat Hak Atas Tanah yang diwariskan.
5. Surat Kematian atas nama pemegang hak
6. Surat Tanda Bukti sebagai Ahli Waris:
1. Wasiat dari pewaris; atau
2. Putusan pengadilan; atau
3. Surat Keterangan ahili Waris yang dibuat oleh para ahli waris dengan
disaksikan oleh 2 (dua0 orang saksi dan dikuatkan oleh Lurah atau Camat
4. Akta Pembagian hak Bersama (apabila langsung dibagi waris)
5. Pajak Bumi dan Bangunan tahun terakhir.

       Untuk pembagian hak bersama, Psal 51  ayat (1) PP Nomor. 24 tahun 1997
menyebutkan:
“Pembagian hak bersama atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun
menjadi hak masing-masing pemegang hak bersama didaftra berdasarkan akta yang
dibuat PPAT yang berwenang menurut peraturan yang berlaku yang membuktikan
kesepakatan antara pemegang hak bersama mengenai pembagian hak bersama
tersebut.’’
       Pada saatnya suatu hak bersama, baik yang diperoleh sebagai warisan
maupun sebab lain perlu dibagi sehingga menjadi hakl individu. Untuk itu
kesepkatan antara pemegang hak bersama terseut perlu dituangkan dalam akta
PPAT yang akan menjadi dasar bagi pendaftarannya. Dalam pembagiann tersebut
tidak harus semua pemegang hak bersama memperoleh bagian. Dalam pembagian
harta waris seringkali yang menjadi pemenagn hak individu hanya sebagian dari
keseluruhan penerimaan warisan, asalkan hal tersebut disepakati oleh seluruh
penerima warisan sebagai pemeang hak bersama.

      Selanjutnya setelah ahli waris mendaftarkan peralihan hak milik atas
tanahnya ke kanotr Pertanahan, maka akan dikeluarkan pengumuman di kantor
Pertanahan dan kantor Kepala Desa/Kelurahan dimana letak tanah yang
bersangkutan berada. Pengumuman ini dilaksanakan selama 60 hari untuk memberi
kesemoaan kepada pihak yang berkepentingan mengajukan keberatan.
       Sertifikat akan diterbitkan sesuai dengan data fisik dan data yuridis yang telah
didaftar dalam buku tanah.
       Demikianlah pelaksanaan peralihan ak milik atas tanah karena pewarisan
yang seharusnya dilakukan oleh para ahli waris, apabila mendaftarkan tanah
miliknya tersebut berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria juncto Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah.

H. Kekuatan Sertifikat bagi Pemegang Hak Atas Tanah menurut


UUPA dan PP nomor 24 Tahun 1997.

        Sertifikasi hak atas tanah pada dasarnya mencerminkan Pendaftaran Tanah
secara hokum (rechtkadaster atau legal cadastre) dalam hal ini pemberian tanda
bukti hak kepada pemegang hak. Dalam konteks ini, maka fungsi sertifikat hak atas
tanah adalah sebagai tanda bukti hak, yang diatur dalam ketentuan UUPA yaitu:
1. Pasal 19 ayat (2) huruf c, bahwa “sertifikat hak atas tanah adalah alat
pembuktian yang kuat”;

2. Pasal 23 ayat (2), Pasal 32 ayat (2)  dan Pasal 38 ayat (2).

Wujud konkret dari tujuan pendaftaran tanah dalam hal menjamin kepastian
hukum dan kepastian hak adalah peneribtan sertifikat hak atas tanah. Sertifikat
mempermudah pemegang hak untuk dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang
hak atas tanah yang bersangkutan. Berdasarkan ketentuan Pasal 19 ayat (2) UUPA,
akan akibat hukum dari pendaftaran hak atas tanah berupa penerbitan surat tanda
bukti (sertifikat) yang berlaku sebagai alat pembuktin yang kuat terhadap pemegang
hak atas tanah.
       Sertifikat hak atas tanah memberikan arti dan peranan penting bagi
pemegang hak yang bersangkutan yaitu sebagai :
1. Alat bukti kepemilikan atas tanah apabila ada sengketa terhadap tanah yang
bersangkutan;
2. Jaminan pelunasan suatu hutang pada Bank, Pemerintah atau swasta.

       Sertifikat merupakan alat bukti hak, maka ynang harus dibuktikan antara lain:
1. Jenis hak atas tanah

Dapat diketahui pada sampul dalam sertifikat dan kolom, pertama bagian atas
atas dari Buku Tanah, jenis hak yang dicntumkan antara lain yang disebutkan dalma
Pasal 16 UUPA, yaitu:
o Hak Milik
o Hal Guna Usaha
o Haku Guna Bangunan
o Hak Pakai

Diharapkan dengan adanya hak atas tanah dapat dilakukan perbuatan hokum
oleh yang mempunyai hak atas tanah tersebut kepada pihak lain, misalnya jual beli.
2. Pemegang hak.
Menyangkut nama orang atau badan hokum yang mempunyai hubungan
hokum sepenuhnya terhadap tanah yang bersangkutan, pemegang hak dapat
berubah, antara lain jika yang berhak meninggal dunia, terjadi jual-beli atau hibah
maka pemegang pertaa diganti oleh pemegang hak yang berikutnya.
 Keterangan fisik tentang tanah
 Beban di atas tanah
 Peristiwa hukum yang terjadi dengan tanah.
Peristiwa hukum yang berakitan dengan tanah tersebut yaitu pewarisan.
Dari seluruh bagian yang harus dapat dibuktikan bahwa masing-masing
mempunyai kepastian hukum
       Pasal 32 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997 mengatur tentang sertifikat
sebagai alat pembuktian yng kuat yaitu bahwa sertfikat merupakan surat tanda bukti
hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai sata fisik dan data
yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fiisk dan data yuridis tersebut
sesuai dengan data yang ada dala Syrat Ukur dan Buku Tanah hak yang
bersangkutan.
       Bertolak dari ketentuan Pasal 32 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 tersebut,
selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya data fisik dan data yuridis yang tercantum
di dalamnya harus diterima sebagai data yang benar, baik dalam melakukan
perbuatan hokum sehari-hari maupun berperkara di pengadilan. Dalam konteks ini,
data yang dimuat dalam Surat Ukur dan Buku Tanah mempunyai sifat terbuka untuk
umum, sehingga pihak yang berkepentingan dapat mencocokkan data dalam
sertifikatnay dengan data yang ada dalam Surat Ukur dan Buku Tanah yang
disajikan di kantor Pertanahan.
       Mengingat bagaiana rinci dan seksamanya pengaturan mengenai  prosedur
pengumpulan data fisik dan data yuridis obyek yang akan dodaftar sapai dengan
pembukuan serta penerbitan sertifikatnya, jelas kiranya kesungguhan upaya
Pemerintah dalam  mengusahakan terpenuhinya persyaratan untuk mewujudkan
pernyataan Pasal 19 UUPA, bahwa sertifikat merupakan alat pembuktian yang kuat.
       Data dalam sertifikat harus sesuai dengan yang dimuat dalam Surat Ukur dan
Buku  Tanah, karena data tersebut diambil dari Surat Ukur dan Buku Tanah yang
bersangkutan. Penerbitan sertifikat dimaksudkan agar pemegang hak dapat dengan
mudah membuktikan haknya.
       Apabila dilihat dari kekuatan pembuktiannya, sertifikat mempunyai kedudukan
yang lebih kuat dibandingkan dengan bukti kepemilikan tanah adat, karena kohir dan
girik bukanlah tanda bukti hak atas tanah. Tetapi karena pada umumnya orang tidak
mempunyai bukti lain hak atas tanah yang dimilikinya maka kohir atau girirk ini
siterima sebagai bukti pengganti kepemilikan tanah tersebut.
       Di dalam perbuatan hokum hak atas tanah, asa Nemo Plus Juris dikenal
disamping asa iktikad baik, yaitu asas yang melindungi pemegang hak yang
sebenarnya. Sasa ini dalam hokum pertnahan mempunyai daya kerja untuk
memberikan kekuatan pembuktian bagi peta dan daftar uum yang ada di Kantor
Pertanahan. Penerapan asas ini berarti memberikan perlindungan kepada
pemegang hak yang sebenarnya sehingga selalu terbuka kemungkinan untuk
mengadakan gugatan bagi pihak yang merasa memiliki dan dapat membuktikan
kepemilikannya kepada pihak lain yang meskipun namanya telah terdaftar dalam
daftar umum yang terdapat di Kantor Pertanahan.
       Tetapi asas Nemo Plus Juris merupakan asas dimana seseorang tidak dapat
melakukan tindakan hokum yang melampaui hak yang dimilikinya dan akibat drai
pelanggaran tersebut adalah batal demi hokum (van rechtswegenietig). Batal demi
hokum berakibat perbuatan hokum tersenut dianggap tidak pernah ada dan
karenanya tidak mempunyai akibat hokum dan apabila tindakan hokum tersebut
menimbulkan kerugian, maka pihak yang dirugikan dapat meminta ganti rugi kepada
pihak-pihak yang melakukan perbuatan huku tersebut.

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat diberikan kesimpulan terhadap 
permasalahan yang telah dikemukakan terlebih dahulu, yaitu:
1. Pelaksanaan peralihan hak milik atas tanah karena pewarisan setelah berlaku
UUPA juncto PP No.24 Tahun 1997, apabila seorng pemilik tanah meninggal
dunia maka orang yang menerima warisan tersebut dalam waktu 6 (enam) bulan
harus Mendaftarkan tanah warisannya tersebut ke Badan Pertanahan Nasional.

Dalam pelaksanaannya ahli waris meminta surat kematian dari desa, bukti diri
dan surat keterangan waris  yang dibuat oleh Kepala Desa. Apabila ahli waris
akan membagikan warisan tersebut harus dibuatkan akta pembagian harta
warisan ke PPAT dengan syarat-syarat yang telah ditentukan sesuai dengan
Pasal 42 ayat (4) PP No. 24 Tahun 1997 dan selanjutnya didaftarkan atau
melakukan proses balik nama kepada kantor Badan Pertanahan Nasional untuk
dibuatkan sertifikat. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19 UUPA, sertifkiat
merupakan jaminan kepastian hukum atas tanah tersebut.

2. Pada kenyataannya sertifikat hak atas tanah yang telah dimiliki masyarakat
tidak cukup mempunyai kekuatan pembuktian walaupun telah melalui tahapan
pendaftaran tanah yang benar. Hal tersebut dikarenakan berlakunya asas Nemo
Plus Juris. Sertifikat hanya merupakan tanda bukti yang kuat dan bukan
merupakan tanda bukti yang mutlak/sempurna menurut UUPA dan ketentuan
dalam PP nomor. 24 Tahun 1997.

SARAN

1. Pemerintah melalui aparatnya yang terkait diharapkan lebih aktif memberikan


penyuluhan dan pengarahan dalam rangka menyadarkan masyarakat tentang
pelaksanaan peralihan hak milik atas tanah terutama karena pewarisan, hal ini
untuk menghilangkan anggapan prosedur yang berbelit-belit, sehingga
masyarakat dapat mematuhi dan melaksanakan UUPA juncto PP No. 24 Tahun
1997 yaitu dengan membuat akta di PPAT dan didaftarakan atau balik nama ke
kantor BPN untuk dibuatkan setifikat.

2. Diharapkan dalam hal penebitan bagi pemegang hak dapat memberikan rasa
aman karena hak atas tanahnya dijamin keberadaanya oleh Pemerintah sehingga
dapat memberikan jaminan kepastian dan perlindungan hukum.

DAFTAR PUSTAKA
1. UU Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
2. Hartono Soerjopratiknjo, Hukum Waris tanpa Wasiat, Andi Offset, Yogyakarta,
1982, hlm. 1
3. Urip Santoso, Hukum Agraria & Hak-hak atas Tanah, Kencana Prenada Media
Group,Jakarta, 2007, hlm 10.
4. Supriadi, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm 64.
5. Urip Santoso, op.cit, hlm 90-91.
6. Adrian Sutedi, Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika,
Jakarta, 2008,hlm8-9.
7. Adrian Sutedi, ibid, hlm 117-121.
8. A.P.Parlindungan, Pendaftaran Tanah Di Indonesia, Mandar Maju, Bandung,
1990, hlm.6
9. Direktorat Jenderal Agraria, Departemen Dalam Negeri, Buku Tuntunan Bagi Para
Pejabat Pembuat Akta Tanah,Yayasan Hudaya Bina Sejahtera,Jakarta,1983,
hlm.12
10.  Irawan Soerodjo, Kepastian Hukum Pendafataran Hak Atas Tanah di Indonesia,
Penerbit,Arkola, Surabaya, 2002, hlm. 166.
11. Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997.
12. Irawan Soerodjo, op cit, hlm. 189
13.
Https://ninyasminelisasih.com/2013/01/14/peralihan-hak-milik-atas-tanah-karena
pewarisan/, di akses pada 03/10/2021
14.https://www.google.com/search?q=pengertian+waris+menurut+bahasa+dan+istilh

di akses pada 03/10/2021

   

Anda mungkin juga menyukai