Anda di halaman 1dari 55

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI METABOLIT SEKUNDER FRAKSI ETIL

ASETAT DARI HYDROID Aglaophenia cupressina L.

YAFETH TANDI BENDON

(H 311 06 018)

JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKAN DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
Isolasi dan Identifikasi Metabolit Sekunder Fraksi Etil Asetat dari Hydroid

Aglaophenia cupressina L.

Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat

Untuk memperoleh gelar sarjana sains

Oleh

Yafeth Tandi Bendon

H 311 06 018

Makassar

2013
SKRIPSI

Isolasi Dan Identifikasi Metabolit Sekunder Fraksi Etil Asetat Dari Hydroid

Aglaophenia cupressina L.

Disusun dan diajukan oleh

Yafeth Tandi Bendon

H 311 06 018

Skripsi ini telah diperiksa dan disetujui oleh

Pembimbing Utama Pembimbing Pertama

Prof. Dr. Hanapi Usman. M. Sc. Prof. Dr. Ahyar Ahmad


NIP. 19570228 198703 1 001 NIP. 19671231 199103 1 020
LEMBAR PERSEMBAHAN
PRAKATA

Laut sebagai sumber bahan alam telah menyediakan banyak senyawa yang

berguna untuk kehidupan manusia. Telah banyak senyawa obat yang telah

diisolasi dari biota-biota laut. Penelitian inipun adalah salah satu dari sekian

banyak penelitian yang membahas kandungan alam dari biota laut, terutama yang

berasal dari spesies hydroid Aglaophenia cupressina L.

Penulis ingin berterima kasih pada semua pihak yang telah membantu

sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan:

1. TUHAN, Sang Pencipta, yang telah menciptakan alam semesta yang diteliti

dan dimanfaatkan manusia. Segala hormat dan pujian hanya untuk-Nya.

Amin!

2. Keluarga yang menjadi pendorong dan pendukung yang tidak tergantikan.

Terima kasih pada orang tua (Johanis Sulle Leppang dan Ludia Tumba) dan

saudari-saudari (Lusia Ponno dan Charni Datu) yang telah dengan sabar

mengingatkan untuk secepatnya menyelesaikan penelitian ini. Kiranya

TUHAN memberkati kita semua.

3. Prof. Dr. Hanapi Usman, M.Si dan Prof. Dr. Ahyar Ahmad yang telah

berkenan menjadi pembimbing utama dan pembimbing pertama dari

penelitian ini. Terima kasih pula pada ibu Eva Johannes yang telah

mendukung penelitian ini hingga akhirnya selesai. Semoga TUHAN

menganugerahkan kesehatan dan kebahagiaan pada bapak dan ibu. Amin!

4. Kawan seperjalanan semasa kuliah, Angkatan 2006 kimia UNHAS (Sabir,

Jamius, Dadang, Mahdi, Abel, Gusti, Yusuf, Dian, Dira, Dita, Ida, Ima,

v
Masna, Maya, Tiur, Bhakti, Yanti, Mimi, Yulin, Yustin, Fite, Eki, Indri,

Dila, Andre, Fadel, Sanjaya, Sunanjar Tayang, Kardinopel, Niesty).

Terima kasih telah menjadi teman seperjalanan dalam menempuh pendidikan

di kampus ini. Semoga di manapun kalian berada selalu ada hal-hal yang baik

di sana.

5. Para dosen jurusan kimia dan analis laboratorium yang selama ini membantu

pendidikan dan penelitian ini. Sekiranya TUHAN membalas budi baik beliau-

beliau dengan kebaikan-kebaikan dalam hidup. Amin!

Semoga skripsi singkat ini bisa berguna bagi siapapun yang membacanya.

Terima kasih.

Makassar, April 2013

Penulis

vi
ABSTRAK

Aglaophenia cupressina L. merupakan biota laut dengan metabolit


sekunder yang berprospek tinggi. Penelitian terdahulu dari ekstrak nonpolar A.
cupressina L. telah menemukan metabolit sekunder murni baru. Penelitian ini
dilakukan untuk mengeksplorasi metabolit sekunder dari ekstrak polar dari A.
cupressina L. Ekstrak polar yang berhasil diisolasi dalam penelitian ini
menunjukkan adanya senyawa golongan alkaloid di dalam ekstrak. Uji
bioaktivitas terhadap senyawa ini menunjukkan keaktifan terhadap bakteri E. coli
yang tergolong ke gram negatif.

Kata kunci: Aglaophenia cupressina L., metabolit sekunder, alkaloid, E. coli.

vii
ABSTRACT

Aglaophenia cupressina L. is a marine organism with high prospect


secondary metabolites. Previous research from A. cupressina L. nonpolar extract
has discovered a new novel secondary metabolite. The goal of this research is to
explore polar extract secondary metabolite from A. cupressina L. The polar
extract isolated in this research showed a compound from alkaloid group.
Bioactivity assay showed activity against E. coli from Gram negative group.

Keyword: Aglaophenia cupressina L., secondary metabolite, alkaloid, E. coli.

viii
DAFTAR ISI

Hal.
PRAKATA ……………………………………………………………… v
ABSTRAK ………………………………………………………………. vii
ABSTRACT …………………………………………………………….. viii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………. ix
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………. xi
DAFTAR TABEL ………………………………………………………. xii
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………. xiii
DAFTAR SINGKATAN ………………………………………………... xiv

BAB I PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang ………………………………………. 1
1. 2 Rumusan Masalah …………………………………... 2
1. 3 Maksud dan Tujuan Penelitian ……………………… 2
1. 3. 1 Maksud Penelitian …………………………………... 2
1. 3. 2 Tujuan Penelitian …………………………………… 2
1. 4 Manfaat Penelitian ………………………………….. 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Tinjauan Umum Biota Laut dan Ekosistemnya ……… 4
2. 2 Tinjauan Umum Bahan Alam Laut …………………... 5
2. 3 Metabolit Primer dan Sekunder ………………………. 6
2. 4 Pendekatan Kekerabatan Dalam Penelusuran Bahan
Alam …………………………………………………... 7
2. 5 Tinjauan Umum Filum Cnidaria ……………………… 7
2. 6 Kandungan Bahan Alam Cnidaria …………………… 8
2. 7 Klasifikasi Aglaophenia cupressina ………………....... 10
2. 8 Metode Isolasi Bahan Alam…………………………… 11
2.8.1 Ekstraksi ………………………………………………. 11
2.8.2 Kromatografi ………………………………………….. 12
2.8.3 Rekristalisasi ………………………………………….. 13
2. 9. Identifikasi ……………….…………………………… 13
2.9.1 Uji Fitokimia ………………………………………….. 13
2.9.2 Spektroskopi Inframerah ……………………………… 14
2. 10 Uji Antibiotik …………………………………………. 15
BAB III METODE PENELITIAN
3. 1 Bahan ……………………………………………... 16
3. 2 Alat ……………………………………………….. 16
3. 3 Waktu dan Tempat ……………………………….. 16
3. 4 Prosedur ………………………………………….. 17
3. 4. 1 Penyiapan dan Pengolahan Sampel ………………. 17

ix
3. 4. 2 Ekstraksi ………………………………………….. 17
3. 4. 3 Isolasi …………………………………………….. 17
3. 4. 4 Identifikasi Isolat …………………………………. 18
3. 4. 4. 1 Uji Fitokimia ……………………………………... 18
3. 4. 4. 2 Identifikasi Spektra Infra Merah …………………. 19
3. 4. 5 Uji Bioaktivitas …………………………………... 20
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4. 1 Preparasi Sampel 21
4. 2 Ekstraksi dan Isolasi Sampel ……………………… 21
4. 3 Identifikasi ………………………………………… 25
4. 3. 1 Identifikasi Fisik Senyawa K ……………………... 25
4. 3. 2 Screening Fitokimia ………………………………. 25
4. 3. 3 Pengukuran Spektrum IR ………………………… 27
4. 4 Uji Bioaktivitas …………………………………… 28
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5. 1 Kesimpulan ……………………………………………... 33
5. 2 Saran ……………………………………………………. 33
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………… 34
LAMPIRAN …………………………………………………………….. 37

x
DAFTAR GAMBAR

Gambar Hal.
Gambar 1. Senyawa murni yang ditemukan dari hydroid A. Pluma. 9
Gambar 2. Senyawa Aglaounhas dan Asam heksadekanoat dari fraksi 10
nonpolar hydroid Aglaophenia cupressina L.
Gambar 3. Aglaophenia cupressina. 11
Gambar 4. Kromatogram senyawa K dengan perbandingan eluen 25
kloroform: etil asetat: metanol; (a) 7:2:1 dan (b) 5:4:1.
Gambar 5. Uji Wagner terhadap senyawa K. 26
Gambar 6. Senyawa K dengan penambahan reagen Wagner dan HCl. 27
Gambar 7. Spektrum IR senyawa K. 28
Gambar 8. Kultur bakteri (a) E. coli dan (b) S. aureus pada 0 jam. 29
Gambar 9. Kultur bakteri (a) E. coli dan (b) S. aureus setelah 30
inkubasi 24 jam

xi
DAFTAR TABEL

Tabel Hal.
Tabel 1. Metode Uji Golongan Senyawa Bahan Alam 14
Tabel 2. Perbandingan eluen yang digunakan untuk tiap fraksi dan bobot 23
masing-masing fraksi
Tabel 3. Hasil uji fitokimia terhadap senyawa K. 26
Tabel 4. Rata-rata diameter zona daya hambat antibiotik dan senyawa K 30
terhadap bakteri uji.

xii
Daftar Lampiran

Lampiran Hal.
Lampiran 1. Bagan Ekstraksi dan Isolasi Senyawa Metabolit Sekunder 37
Fraksi Etil Asetat Aglaophenia cupressina L.
Lampiran 2. Bagan Kerja Uji Fitokimia. 38
Lampiran 3. Bagan Kerja Uji Antibakteri. 39
Lampiran 4. Laporan Puncak Spektrum IR Senyawa K. 40
Lampiran 5. Data diameter zona hambat Senyawa K dan dua antibiotik 41
standar terhadap bakteri E. coli dan S. aureus

xiii
Daftar Singkatan

IR Infrared (Infra merah).


mg Miligram.
MHA Muller Hinton Agar.
MIC Minimum Inhibitory Concentration.
Mm Millimeter.
L Liter.
Rf Retention Factor.
UV Ultraviolet.

xiv
BAB I

PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang

Keanekaragaman hayati di Indonesia telah dikenal luas sebagai salah satu

yang terkaya di dunia. Telah banyak penelitian yang dilakukan terhadap

keanekaragaman hayati Indonesia dalam upaya mengeksplorasi kandungan bahan

alam yang terkandung di dalamnya. Namun selama ini kecenderungan penelitian

bahan alam yang dilakukan oleh peneliti di Indonesia lebih mengarah pada

makhluk hidup yang berada di daratan. Sedangkan penelitian bahan alam yang

terkandung di dalam biota laut Indonesia masih kurang diminati oleh peneliti.

Oleh karena itu peluang penelitian di bidang kimia bahan alam laut masih terbuka

luas.

Beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya terhadap biota laut

menunjukkan adanya berbagai isolat Kimia metabolit sekunder murni yang

memiliki sifat bioaktif, bahkan telah ditemukan beberapa molekul yang

bermanfaat sebagai antikanker, antibakteri, dan antivirus.

Aglaophenia cupressina L. merupakan salah satu biota laut yang hidup di

sekitar perairan Takalar dan kepulauan Spermonde propinsi Sulawesi Selatan

Indonesia. Aglaophenia cupressina L. merupakan spesies yang termasuk ke dalam

golongan hydroid yang diketahui memiliki metabolit sekunder bersifat racun

alami yang dikenal sebagai marine toxin (Beress, 1982). Pada fraksi nonpolar

1
hydroid Aglaophenia cupressina L. telah berhasil diisolasi beberapa metabolit

sekunder yang memiliki sifat antibakteri (Johannes, 2008).

Penelitian ini dilakukan dengan maksud untuk menggali informasi lebih

lanjut tentang metabolit sekunder yang terkandung di dalam Aglaophenia

cupressina L., terutama yang terkandung di dalam fraksi polarnya. Diharapkan

dengan penelitian ini dapat diperoleh informasi baru yang berguna di masa depan

tentang kandungan apa saja yang terdapat dalam hydroid ini.

1. 2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang diformulasikan dari latar belakang di atas antara lain:

a. Apakah dalam fraksi etil asetat Aglaophenia cupressina terdapat metabolit

sekunder yang prospektif?

b. Kelompok metabolit sekunder apa yang dapat diisolasi dengan

menggunakan pengekstraksi etil asetat dari Aglaophenia cupressina?

c. Apakah metabolit sekunder dalam isolat etil asetat Aglaophenia curessina

L. memiliki kemampuan bioaktivitas?

1. 3 Maksud dan Tujuan Penelitian

1. 3. 1 Maksud Penelitian

Maksud penelitian ini adalah untuk mengekstraksi dan menguji bioaktivitas

metabolit sekunder yang terdapat dalam hydroid Aglaophenia cupressina,

terutama yang terdapat dalam fraksi etil asetat.

1. 3. 2 Tujuan Penelitian

Tujuan dari percobaan ini adalah:

2
a. Mengisolasi kandungan metabolit sekunder Aglaophenia cupressina dengan

menggunakan fraksi etil asetat.

b. Mengidentifikasi kandungan metabolit sekunder fraksi etil asetat dari

Aglaophenia cupressina L.

c. Melakukan uji bioaktivitas antibakteri terhadap isolat.

1. 4 Manfaat Penelitian

Melalui penelitian ini diharapkan masyarakat mendapatkan manfaat berupa

informasi tentang potensi sumber daya alam laut di sekitarnya berupa metabolit

sekunder di dalam Aglaophenia cupressina. Melalui penelitian ini juga diharapkan

peneliti mendapatkan kemampuan yang memadai dalam melakukan eksplorasi,

isolasi, dan identifikasi kandungan metabolit sekunder dari makhluk hidup

terutama biota yang berasal dari laut.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Laut merupakan gudang isolat Kimia yang menyimpan potensi besar sebagai

sumber senyawa aktif. Laut dengan kondisinya yang unik dan ekstrim telah

menempa morfologi dan sistem kimiawi makhluk yang hidup di dalamnya dengan

cara yang luar biasa. Bentuk morfologi biota laut berevolusi sesuai adaptasi

mereka terhadap lingkungan. Sedangkan sistem kimiawi mereka berevolusi dalam

bentuk metabolit sekunder yang digunakan sebagai pertahanan (marine toxin)

maupun untuk fungsi ekologi. Potensi biota laut dan metabolit sekundernya telah

menarik perhatian banyak peneliti. Beberapa isolat Kimia yang berasal dari biota

laut telah diketahui memiliki efek farmakologis. Hal inilah yang mendorong

berkembangnya penelitian di bidang bahan alam laut.

2. 1 Tinjauan Umum Biota Laut dan Ekosistemnya

Laut menutupi sekitar 71 persen dari luas permukaan bumi. Lingkungan laut

merupakan lingkungan hidup yang lebih baik daripada permukaan darat karena

memiliki suhu yang relatif lebih stabil dan radiasi UV yang lebih rendah. Sekitar

80 persen dari tanaman dan hewan yang telah diketahui hidup di dalam laut.

Karang koral mendominasi lingkungan laut dengan luas sekitar 19 milyar km 2

dengan variasi organisme dan produktivitas terbesar. Kompetisi untuk

memperebutkan tempat dan nutrisi di antara organisme karang menyebabkan

mereka mengembangkan mekanisme pertahanan yang unik, baik secara fisik

maupun kimiawi (Ichiba, 1994).

4
Para ahli memperkirakan bahwa keragaman hayati di beberapa ekosistem

laut, seperti pada karang koral di lantai bawah laut, lebih tinggi daripada di hutan

hujan tropis. Organisme laut tanpa sistem pertahanan fisik mengembangkan

mekanisme kimiawi sebagai kemampuan untuk mempertahankan diri. Mekanisme

ini berupa sintesis marine toxin maupun simbiosis dengan mikroorganisme laut

yang memiliki kemampuan menyintesis senyawa tersebut. Senyawa ini

menghindarkan mereka dari gangguan seperti pemangsa dan pesaing lain dan juga

digunakan untuk melumpuhkan mangsanya (Haefner, 2003).

2. 2 Tinjauan Umum Bahan Alam Laut

Prospek penelitian bahan alam di masa depan sangat cerah. Menurut Ichiba

(1994), bahan alam merupakan sumber penting untuk pengembangan obat baru.

Penelitian di bidang ini dapat mengarahkan penemuan senyawa obat baru yang

efektif dan efisien. Dengan demikian, bahan baku dapat digunakan secara efisien

dan hasil sampingan ataupun sampah yang dihasilkan tidak banyak dan tidak

mengganggu lingkungan (Bohlin, dkk., 2010). Beberapa penelitian tentang bahan

alam seperti metabolit sekunder bahkan telah menemukan senyawa-senyawa

murni yang memiliki prospek sebagai antikanker (Schwartsmann, 2000),

antibakteri (Blunt, 2005), dan antivirus (Goud, dkk., 2003).

Penelitian bahan alam laut baru dimulai beberapa dekade lalu, namun

perkembangannya saat ini telah sangat pesat. Hal ini didukung oleh banyaknya

senyawa murni dengan aktivitas biologis yang berguna bagi manusia yang telah

diisolasi dari organisme yang hidup di dalam laut. Beberapa senyawa yang

diisolasi dari organisme laut telah memberikan harapan bagi pengembangan obat

baru untuk penyakit yang kini belum dapat disembuhkan (Fenical, 1996).

5
Penelitian bahan alam selama ini difokuskan pada pencarian senyawa obat,

seperti obat antikanker dan sitotoksik. Pengujian sifat antikanker dan sitotoksik

dilakukan dengan pengujian isolat pada biakan sel kanker maupun dengan metode

sederhana dengan menggunakan brine shrimp (Corgiat, 1993).

2. 3 Metabolit Primer dan Sekunder

Biota laut memproduksi bahan alam baik berupa metabolit primer maupun

sekunder. Metabolit primer dimiliki oleh semua biota laut secara umum.

Sedangkan metabolit sekunder merupakan metabolit unik yang diturunkan secara

biosintetik dari metabolit primer dengan tujuan untuk bertahan dari serangan

predator, memenangkan persaingan, dan sebagainya (Romimohtarto dan Juwana,

2007). Metabolit sekunder tidak memiliki fungsi esensial bagi kelangsungan

organisme, namun memiliki fungsi strategis dalam mendukung kelangsungan

hidup organisme tersebut (Mannito, 1981), contohnya untuk berevolusi (Bohlin,

dkk., 2009) dan defensif (Wink, 2003). Selama ini spons dikenal mendominasi

sumber bahan bioaktif dari laut, namun tidak menutup kemungkinan hewan lain

juga memiliki bahan bioaktif, terutama organisme yang memiliki pertahanan

kimiawi seperti marine toxin (Romimohtarto dan Juwana, 2007).

Metabolit sekunder dari hewan invertebrata laut diasumsikan sebagai bentuk

pertahanan kimiawi. Salah satu alasannya adalah adanya korelasi kuat antara tidak

adanya mekanisme pertahanan fisik pada invertebrata dan adanya produksi bahan

kimia unik dari mereka. Hewan laut dengan badan lembut dan tidak bergerak

terbukti memiliki lebih banyak metabolit sekunder daripada hewan laut yang

memiliki pelindung dan dapat bergerak bebas (Pawlik, 1993). Salah satu

contohnya adalah tridentatol yang ditemukan pada hydroid laut (filum:

6
coelenterata), T.marginata, yang menyusun 10 persen bobot keringnya.

Tridentatol sangat penting dalam melindungi T.marginata dari paparan radiasi UV

yang mematikan (Johnson, dkk., 1999). Metabolit sekunder dari filum

coelenterata lainnya yang telah ditemukan berupa terpenoid seperti beragam jenis

seskuiterpen (Blunt, dkk., 2007).

2. 4 Pendekatan Kekerabatan Dalam Penelusuran Bahan Alam

Penelusuran bahan alam kadang kala menggunakan pendekatan kekerabatan

(phylogenetic approach). Pendekatan ini dilakukan dengan asumsi bahwa spesies-

spesies yang memiliki kekerabatan taksonomi memiliki kemiripan pada komposisi

kimianya. Hal ini disebabkan oleh karena spesies-spesies yang berkerabat berasal

dari nenek moyang yang sama, sehingga jalur biogenetiknya memiliki kemiripan

(sebagai contoh dalam Firn dan Jones, 2003). Melalui evolusi, spesies membentuk

metabolit sekunder baru dan mewarisi metabolit sekunder dari pendahulunya

(Wink, 2003).

Pendekatan kekerabatan ini sangat efisien dalam penelusuran bahan alam.

Dengan memperhatikan hubungan taksonomi dari suatu spesies, peneliti dapat

memperkirakan metabolit sekunder yang dimiliki dari spesies baru yang belum

pernah diteliti sebelumnya.

2. 5 Tinjauan Umum Filum Cnidaria

Filum cnidaria (dikenal juga dengan coelenterata) merupakan filum dari

hewan laut dengan ciri bentuk fisik simetrik radial dengan mulut berada di poros

tubuh yang dikelilingi oleh tentakel. Bentuk badan cnidaria dapat dibedakan

menjadi dua. Bentuk pertama adalah polipoid seperti pada hydra dan anemon laut,

7
berbentuk silinder dengan lubang oral menghadap ke atas dan lubang aboral

melekat pada dasar. Bentuk kedua adalah bentuk medusoid seperti pada ubur-ubur

(Vilee, 1978). Ciri khas filum cnidaria adalah sel-sel penyengat yang disebut

nematosit. Nematosit merupakan sel penyengat yang unik yang ditemukan pada

cnidaria, dimana tiap nematosit terdiri atas organel yang dikenal sebagai

nematosist yang dilepaskan saat terjadi kontak dengan substrat asing yang sesuai

(Lubbock, 1979). Filum ini juga memiliki kemampuan menyintesis produk seluler

yang sangat kompleks yang disebut cnida (Daly, dkk., 2007).

Salah satu kelas dalam filum cnidaria adalah hydrozoa. Kelas hydrozoa

terdiri atas hydra dan banyak macam spesies lainnya yang berkoloni yang dikenal

sebagai hydroid. Hydrozoa tunggal seperti hydra tidak memiliki kerangka,

sedangkan beberapa koloni hydroid di mana polipnya bertumbuh langsung dari

dasarnya hanya memiliki kerangka penahan. Namun kebanyakan hydroid dengan

tinggi 3 hingga 10 sentimeter memiliki kerangka luar yang menyerupai kitin yang

dihasilkan oleh epidermisnya (Vilee, 1978).

Kelas hidrozoa terdiri atas 2700 spesies. Hydroid bertumbuh pada bebatuan,

cangkang kerang, dan tiang pancang dermaga. Hidrozoa memiliki baik struktur

polipoid maupun struktur medusoid, dan beberapa spesies memiliki tahapan

polipoid dalam siklus hidupnya (Rupert dan Barnes, 1994).

2. 6 Kandungan Bahan Alam Cnidaria

Cnidaria seperti koral memiliki kandungan senyawa organik dengan

persentase bobot kering yang cukup banyak. Metabolit sekunder yang telah

diisolasi dari filum ini umumnya merupakan kelompok terpenoid golongan

seskuiterpen dan diterpen. Salah satu diterpen yang telah berhasil diisolasi dari

8
filum ini, sinularin, diketahui memiliki aktivitas antineoplastik (Scheuer, 1978 dan

Beress, 1982). Kelompok lain dalam filum cnidaria selain koral masih sedikit

diteliti, sehingga literatur penelitian bahan alam laut dari golongan cnidaria

memiliki persentase yang lebih sedikit dibandingkan penelitian bahan alam dari

golongan spons.

Beberapa hydrozoa dari genus Aglaophenia diketahui memiliki alkaloid.

Aglaophenia pluma diketahui memiliki tiga jenis alkaloid dengan kerangka

β – karbolin. Ketiga alkaloid tersebut antara lain 6-bromo-1-metil-β-karbolin (1),

6-bromo-1-etil-β-karbolin (2), dan 6,8-dibromo-1-etil-β-karbolin (3) (Till, 2007).

Gambar 1. Senyawa murni yang ditemukan dari hydroid A. pluma

Dalam penelitian sebelumnya (Johannes, 2008), telah ditemukan dua

senyawa unik dalam fraksi nonpolar dari hydroid Aglaophenia cupressina L,

Aglaounhas (4) dan asam heksadekanoat (5). Kedua senyawa ini diperoleh dari

fraksinasi ekstrak n-heksana.

9
O

OH
CH3 H3C
10
10 O
(4) (5)

Gambar 2. Senyawa Aglaounhas dan Asam heksadekanoat dari fraksi nonpolar


hydroid Aglaophenia cupressina L.

2. 7. Klasifikasi Aglaophenia cupressina

Aglaophenia cupressina L. termasuk golongan hewan laut yang dikenal

sebagai hydroid. Aglaophenia cupressina L. membentuk koloni dengan morfologi

seperti daun cemara. Koloni ini memiliki ciri khas berupa cairan lendir (mukus)

gatal yang dikeluarkan sebagai pertahanan diri. Adapun klasifikasi dari spesies ini

adalah sebagai berikut:

Filum: Cnidaria

Kelas: Hydrozoa

Ordo: Leptothecata

Famili: Aglaopheniidae

Genus: Aglaophenia

Spesies: Aglaophenia cupressina L.

(Zipcodezoo, 2009)

10
Gambar 3. Aglaophenia cupressina

2. 8. Metode Isolasi Bahan Alam

Bahan alam laut diperoleh dengan cara mengisolasi. Proses preparasi biota

laut sedikit berbeda dengan biota yang hidup di daratan. Biota sampel sebelum

digunakan harus dibersihkan dan dipisahkan dahulu dari kotoran berupa pasir atau

makhluk hidup lain yang hidup bersama biota sampel. Pengolahan sampel

selebihnya sama seperti pada umumnya, yaitu pengeringan sampel, maserasi

bubuk halus sampel, dan pemekatan yang dilakukan dengan cara mengevaporasi

maserat.

2.8.1 Ekstraksi

Ekstraksi merupakan teknik yang sering digunakan dalam memisahkan

senyawa bahan alam yang diinginkan dari campurannya. Ekstraksi juga digunakan

dalam pemurnian bahan alam dari pengotornya. Pemisahan antara senyawa yang

bersifat organik dengan pengotor atau bahan lain yang tidak diinginkan

didasarkan pada perbedaan fasa antara bagian organik dan polar dari pelarut-

pelarut yang digunakan untuk mengekstraksi (Mohrig, dkk., 2006). Proses ini

merupakan proses paling awal dari isolasi bahan alam.

11
Proses ekstraksi yang umum digunakan adalah ekstraksi cair-cair. Dalam

ekstraksi ini, pemisahan bahan alam didasarkan pada distribusi senyawa-senyawa

dalam dua pelarut beda polaritas sesuai dengan kepolarannya. Pelarut yang

digunakan biasanya memiliki beda polaritas, contohnya air atau metanol yang

bersifat polar dengan heksana yang bersifat nonpolar. Karena senyawa lebih suka

melarut dalam pelarut yang memiliki polaritas yang sama, maka pemisahan

senyawa dari ekstrak kasarnya dapat lebih selektif (Mohrig, dkk., 2006).

2.8.2 Kromatografi

Metode kromatografi didasarkan pada pemisahan senyawa oleh fasa gerak

dan fasa diam. Senyawa dengan tingkat kepolaran tertentu akan terpisah seiring

gerakan fasa gerak, hingga pada titik tertentu gerakannya ditahan oleh fasa diam.

Umumnya fasa gerak berupa gas atau cairan, sedangkan fasa diam adalah padatan

atau cairan (Mohrig, dkk., 2006).

Senyawa dalam campuran terpisah karena perbedaan afinitasnya terhadap

fasa diam dan kelarutanya terhadap fasa gerak. Terdapat keseimbangan dinamis

antara komponen sampel yang terikat dengan fasa diam dengan yang terlarut

dalam fasa gerak. Senyawa yang terpisah bergerak melalui fasa gerak, berinteraksi

dengan fasa diam di sepanjang lintasannya. Pemisahan terjadi melalui dua proses:

a. Adsorpsi ke dalam fase dan diikuti desorpsi ke dalam fasa gerak, atau

b. Partisi antara fasa gerak dan fasa diam (Mohrig, dkk., 2006).

Teknik kromatografi yang sering digunakan dalam mengisolasi bahan alam

adalah kromatografi lapis tipis, kromatografi kolom tekan, dan kromatografi

kolom vakum.

12
2.8.3 Rekristalisasi

Rekristalisasi bertujuan untuk memurnikan senyawa yang telah difraksinasi

dengan kromatografi. Secara garis besar, teknik ini merupakan proses pelarutan

dan pengkristalan kembali kristal hasil isolasi. Kristal dilarutkan dalam pelarut

panas hingga hampir mendidih, lalu kemudian didinginkan. Inti dari rekristalisasi

terletak pada kecermatan memilih pelarut yang sesuai. Senyawa harus memiliki

kelarutan yang rendah dalam pelarut bersuhu dingin dan diharapkan dapat melarut

perlahan saat pelarut dipanaskan. Diharapkan pula terdapat beda kelarutan yang

besar antara pengotor dan senyawa target dalam pelarut yang digunakan, sehingga

pengotor tidak ikut mengkristal saat proses rekristalisasi (Mohrig. Dkk., 2006).

2. 9. Identifikasi

2. 9. 1 Uji Fitokimia

Uji fitokimia adalah salah satu uji yang umum dilakukan dalam indentifikasi

senyawa bahan alam. Terdapat beberapa metode dasar uji fitokimia terhadap

golongan-golongan senyawa bahan alam. Raaman (2006) merangkumkan

beberapa metode dasar ini. Beberapa rangkuman metode tersebut disajikan di

dalam Tabel 1.

13
Tabel 1. Metode Uji Golongan Senyawa Bahan Alam

Golongan senyawa bahan alam Metode uji

Tes Mayer
Alkaloid Tes Wagner
Tes Hager
Tes Dragendorff
Tes Molish
Karbohidrat Tes Fehling
Tes Barfoed
Tes Benedict
Saponin Tes gelembung
Fitosterol Tes Liebermann – Burchard
Tes FeCl3
Tes gelatin
Fenolik dan tannin Tes timbal asetat
Tes reagen alkalin (NH4OH)
Tes reduksi Mg

2. 9. 2. Spektroskopi Inframerah

Selain dengan uji fitokimia, identifikasi senyawa bahan alam dapat juga

dilakukan dengan spektroskopi inframerah. Radiasi inframerah mengacu pada

spektrum elektromagnet yang berada pada daerah gelombang sinar tampak dan

microwave. Batasan panjang gelombang yang umum digunakan untuk

pendeteksian senyawa organik berkisar dari 4000 cm-1 sampai 400 cm-1. Posisi

pita serapan IR ditentukan dengan menggunakan satuan cm-1, sedangkan

intensitasnya dapat ditentukan dengan satuan transmitan (T) ataupun absorbans

(A) (Silverstein, dkk., 2005).

Tidak terdapat aturan-aturan baku tentang bagaimana mengidentifikasi

spektrum IR. Namun beberapa persyaratan harus dipenuhi sebelum langkah

intreperai spektrum dilakukan (Silverstein, 2005):

a. Spektrum harus cukup terpisah dengan intensitas yang memadai.

b. Spektrum harus berasal dari senyawa yang kemurniannya layak.

14
c. Spektrofotometer harus dikalibrasi agar pita serapan teramati pada frekuensi

atau panjang gelombang yang tepat.

d. Metode penyiapan sampel harus spesifik.

2. 10. Uji Antibiotik

Antibiotik dapat didefinisikan sebagai senyawa organik alami dengan berat

molekul kecil (metabolit sekunder) yang aktif melawan mikroorganisme pada

konsentrasi yang rendah (Demain, 1999). Deteksi kemampuan antibiotik menjadi

salah satu cara menguji bioaktivitas suatu metabolit sekunder.

Antibiotik yang aktif melawan bakteri disebut sebagai antibakteri.

Antibakteri dapat digolongkan menjadi dua jenis: bakteriostatik yang hanya

menahan pertumbuhan koloni bakteri, dan bakterisidal yang mampu membunuh

koloni bakteri sepenuhnya (Pankey dan Sabbath, 2004).

Salah satu metode uji standar antibakteri adalah metode MIC (minimum

inhibitory concentration). MIC dapat didefinisikan sebagai konsentrasi terendah

antimikroba yang dapat menghambat pertumbuhan nampak mikroorganisme

setelah inkubasi (Andrews, 2001).

Uji antibiotik umumnya dilakukan secara in vitro dengan menggunakan

bakteri atau jamur yang didifusikan secara merata ke atas medium agar. Metabolit

sekunder diimpregnasikan ke dalam paper disc (kertas saring yang dipotong

menjadi lingkaran kecil) steril dan diletakkan ke atas medium agar. Bakteri dan

metabolit sekunder selanjutnya diinkubasi dalam suhu sekitar 30 °C selama sehari

(Tabarez, 2005). Daerah bening yang tampak pada medium agar di sekitar paper

disc setelah inkubasi merupakan daerah zona hambat yang menunjukkan

kemampuan antibiotik dari metabolit sekunder yang diujikan terhadap bakteri uji.

15
BAB III

METODE PENELITIAN

3. 1 Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain Aglaophenia

cupressina, larutan metanol teknis, larutan n-heksana teknis, larutan dietil eter

teknis, etil asetat teknis, aseton teknis, kloroform p.a., larutan NaCl 0.9 %, silika

gel 60 (7733), silika gel 60 (7734), silika gel 60 (7731), plat KLT, biakan murni

E. coli, biakan murni S. aureus, medium MHA (Muller Hinton Agar), DMSO

(dimetil sulfoksida), kloramfenikol, tetrasiklin, dan kapas.

3. 2 Alat Penelitian

Alat penelitian yang digunakan antara lain peralatan gelas yang umum

digunakan di dalam laboratorium, rotary evaporator, timbangan digital, perangkat

destilasi Vigreux, kromatografi kolom vakum (KKV), kromatografi kolom

gravitasi (KKG), chamber KLT, pipa kapiler, lampu UV, Instrumen Spektroskopi

IR Shimadzu, autoklaf, jangka sorong, ose, spoit, pembakar Bunsen, paper disc,

cawan petri, inkubator, spoit, vial.

3. 3 Waktu dan Tempat

Pengambilan sampel dilakukan pada bulan Juli 2011, di desa Puntondo,

kabupaten Takalar. Ekstraksi dan isolasi sampel dilakukan di Laboratorium Kimia

Organik Jurusan Kimia Universitas Hasanuddin dari bulan Agustus 2011 hingga

Desember 2012. Uji spektrum IR dilakukan di Laboratorium Terpadu Jurusan

Kimia Universitas Hasanuddin pada bulan Desember 2012. Uji bioaktivitas

16
dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas

Hasanuddin pada bulan Desember 2012.

3. 4 Prosedur Kerja

3. 4. 1 Penyiapan dan Pengolahan Sampel

Sampel diambil langsung dari laut dengan menggunakan peralatan

SCUBA. Sampel segar dicuci dan dibersihkan kemudian disimpan dalam plastik.

Sampel kemudian disimpan dalam ice box sampai digunakan. Sebelum digunakan,

sampel dikeringkan dan digerus terlebih dahulu.

3. 4. 2 Ekstraksi

Sampel kering digerus hingga menjadi serbuk dan bobotnya ditimbang.

Serbuk A. cupressina dimaserasi dengan metanol dengan perbandingan 1 : 1

selama 1 × 24 jam. Proses maserasi diulang dengan perbandingan volume yang

sama sampai tiga kali. Hasil maserasi selanjutnya dihilangkan pelarutnya dengan

alat rotavapor.

Ekstrak metanol hasil penguapan dipartisi dengan n-heksana. Sisa partisi

dipisahkan dari lapisan n-heksana dan dipartisi kembali dengan kloroform. Sisa

partisi kembali dipisahkan dari lapisan kloroform dan selanjutnya kembali

dipartisi dengan etil asetat. Lapisan etil asetat yang dihasilkan dari proses partisi

ini selanjutnya diuapkan hingga pelarutnya habis.

3. 4. 3 Isolasi

Senyawa dalam ekstrak etil asetat diisolasi dengan teknik kromatografi

kolom vakum. Eluen yang digunakan adalah eluen yang diperoleh melalui metode

trial and error uji KLT terhadap ekstrak etil asetat.

17
Hasil elusi ekstrak ditampung sebagai fraksi-fraksi. Fraksi-fraksi ini

selanjutnya diuji KLT untuk mengetahui penyusunnya. Fraksi-fraksi yang

diperoleh selanjutnya dipisahkan kembali dengan metode kromatografi kolom

gravitasi dengan eluen yang sesuai untuk masing-masing fraksi.

3. 4. 4 Identifikasi Isolat

Isolat diidentifikasi dengan metode uji fitokimia dan spektroskopi infra

merah.

3. 4. 4. 1 Uji Fitokimia

Metode uji fitokimia yang digunakan diambil dari metode yang digunakan

oleh Ahuja, dkk. (2011) dengan sedikit modifikasi. Isolat sebelum diuji terlebih

dahulu dilarutkan ke dalam kloroform.

a. Uji Steroid dan Triterpenoid.

Pengujian steroid dan triterpenoid dilakukan dengan tes Salkowski dan tes

Liebermann-Burchard.

Untuk tes Salkoswki, isolat diteteskan ke dalam plat tetes dan ditambahkan

asam sulfat pekat. Warna merah menandakan adanya senyawa steroid, sedangkan

warna emas menandakan adanya senyawa triterpenoid.

Untuk tes Liebermann-Burchard, isolat diteteskan ke dalam plat tetes. Ke

atas plat tetes ditambahkan asam sulfat pekat dan asam asetat glasial. Cincin

kecokelatan adalah penanda adanya senyawa steroid, sedangkan warna merah

pekat adalah penanda adanya senyawa triterpenoid.

18
b. Uji Saponin.

Isolat dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan akuades.

Tabung reaksi dikocok dan diamati. Busa yang bertahan selama sedikitnya 10

menit adalah penanda adanya saponin di dalam isolat.

c. Uji Alkaloid

Isolat diteteskan ke atas pelat tetes dan ditambahkan reagen Wagner

(larutan iodo-kalium iodida). Ditambahkan beberapa tetes HCl ke dalam

campuran isolat dan reagen. Endapan cokelat kemerahan di dasar pelat tetes

adalah penanda adanya alkaloid di dalam isolat.

d. Uji Fenolik

Isolat diteteskan ke atas pelat tetes dan ditambahkan beberapa tetes larutan

FeCl3 5%. Warna biru gelap adalah indikasi adanya senyawa fenolik di dalam

isolat.

e. Uji Flavonoid

Isolat diteteskan ke atas plat tetes dan ditambahkan sedikit metanol. Ke

dalam campuran tersebut ditambahkan sedikit serbuk magnesium dan asam

klorida pekat. Warna merah atau merah muda adalah indikasi adanya senyawa

flavonoid di dalam isolat.

3. 4. 4. 2 Identifikasi Spektrum Infra Merah

Isolat dikeringkan selama satu hari di dalam oven bersuhu sekitar 50° C.

Isolat kering selanjutnya dicampur rata dengan KBr dan ditekan hingga

membentuk pelet. Pelet KBr dimasukkan ke dalam instrumen spektroskopi IR dan

spektrumnya diukur.

19
3. 4. 5 Uji Bioaktivitas

Isolat yang akan diuji bioaktivitas dilarutkan ke dalam DMSO. Ke dalam

campuran larutan tersebut dimasukkan disk dari kertas saring. Disk ini selanjutnya

disisihkan sebelum digunakan.

Masing-masing bakteri uji (E. coli dan S. aureus) yang telah diremajakan

didifusi ke dalam cawan petri yang telah berisi medium MHA. Ke dalam medium

yang telah didifusi itu diletakkan disk yang telah berisi isolat dan blank disk yang

berisi antibiotik. Medium MHA selanjutnya diinkubasi selama 24 jam. Daya

hambat isolat dan antibiotik diamati setelah inkubasi.

20
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4. 1 Preparasi Sampel

Sampel A. cupressina diambil pada siang hari pada kedalaman 5 – 15

meter dpl. Bobot kotor dari sampel A. cupressina saat diambil sekitar 5 kilogram,

yang terdiri dari bobot sampel A. cupressina L. dan bobot karang tempat sampel

menempel. Sebelum disimpan, sampel A. cupressina L. dipisahkan dari karang

dan dibersihkan dari lendirnya. A. cupressina L. disimpan di dalam ice box

hingga saat pengeringan. Pengeringan dilakukan secara alami dengan

memanfaatkan sinar matahari. Pengeringan dan penghalusan dari sampel A.

cupressina menghasilkan bubuk dengan bobot sekitar 500 gram.

4. 2 Ekstraksi dan Isolasi Sampel

Ekstraksi dari metabolit sekunder A. cupressina dimulai dengan maserasi

menggunakan metanol. Bubuk kering dari A. cupressina dimaserasi sebanyak 3

kali dengan interval waktu 3 hari, masing-masing sekali dalam 24 jam. Tahapan

maserasi menghasilkan 11,2 L maserat metanol. Evaporasi dari maserat metanol

menghasilkan 1,075 L ekstrak metanol.

Ekstrak kasar dipartisi dengan menggunakan pelarut bertingkat. Pelarut

pertama yang digunakan adalah n-heksana. Setelah partisi ini selesai, ekstrak

dipartisi kembali dengan pelarut kloroform dan selanjutnya dengan etil asetat.

Partisi dilakukan untuk menghasilkan ekstrak dengan kepolaran yang berbeda,

yaitu ekstrak nonpolar (ekstrak n-heksana), ekstrak semipolar (ekstrak kloroform)

dan ekstrak polar (ekstrak etil asetat). Ekstrak yang digunakan dalam penelitian

21
ini adalah ekstrak etil asetat. Dengan ekstraksi bertingkat diharapkan senyawa

yang tersisa di dalam ekstrak etil asetat adalah senyawa yang bersifat polar.

Ekstrak etil asetat yang diperoleh dievaporasi kembali dan menghasilkan pasta

berwarna cokelat dengan bobot 650,9 mg.

Pasta dari ekstrak etil asetat dipisahkan dengan metode kromatografi

kolom vakum (KKV). Pembuatan kolom kromatografi menggunakan silika gel

7733 yang dipadatkan dengan bantuan pompa vakum. Kolom ini dibilas dengan n-

heksana sebelum digunakan untuk melihat apakah kolom tidak memiliki retakan

atau gelembung udara. Ekstrak etil asetat diimpregnasi ke dalam silika gel 7734

sebelum dimasukkan ke atas kolom.

Sebelum ekstrak diisolasi, sebagian kecil dari ekstrak diambil dan diuji

dengan menggunakan pelat KLT. Pengujian ini dilakukan beberapa kali hingga

ditemukan pemisahan yang baik (ditandai dengan pemisahan noda dengan Rf

sekitar 0,3 dari base line). Dari pengujian ini diperoleh eluen awal berupa

gabungan tiga pelarut (etil asetat – kloroform – n-heksana) dengan perbandingan

masing-masing 52 : 8 : 40. Untuk memisahkan kandungan di dalam ekstrak

menurut kepolarannya, perbandingan eluen ini divariasikan dengan menyesuaikan

komposisi masing-masing pelarutnya. Komposisi eluen dan bobot hasil dari

masing-masing fraksi yang diperoleh dari eluen variasi ini disajikan dalam tabel

2.

22
Tabel 2. Perbandingan eluen yang digunakan untuk tiap fraksi dan bobot masing-
masing fraksi

Perbandingan persentase Bobot hasil


Fraksi komposisi eluen (mg)
(Etil asetat : kloroform : n-
heksana)
A 40 : 20 : 40 17,9
B 42 : 18: 40 11,7
C 44 : 16 : 40 22,9
D 46 : 14 : 40 7,0
E 48 : 12 : 40 5,9
F 50 : 10: 40 5,6
G 52 : 8 : 40 13,1
H 54 : 6 : 40 11,8
I 56 : 4 : 40 8,8
J 58 : 2 : 40 6,8
K 60 : 20 : 20 8,2
L 62 : 18 : 20 11,2
M 64 : 16 : 20 10,2
N 66 : 14 : 20 8,1
O 68 : 12 : 20 9,1
P 70 : 10 : 20 8,3
Q 72 : 8 : 20 8,4
R 74 : 6 : 20 7,7
S 76 : 4 : 20 8,2
T 78 : 2 : 20 9,0

Hasil yang diperoleh dari isolasi ini diuji dengan metode KLT untuk

melihat berapa noda yang dikandung dalam tiap fraksi yang diperoleh. Dalam

penelitian ini hampir semua fraksi (terutama fraksi yang memiliki bobot besar)

telah dipisahkan lebih lanjut untuk menemukan senyawa yang kemungkinan besar

murni, namun dari banyak fraksi tersebut hanya fraksi K yang memiliki

pemisahan yang cukup bagus.

Fraksi K memiliki wujud fisik berupa lapisan minyak di dasar wadah vial

yang digunakan. Pengujian fraksi K dengan KLT menunjukkan pemisahan noda

yang jelas pada sistem eluen kloroform: etil asetat: metanol dengan perbandingan

23
7: 2: 1. Sistem eluen ini digunakan dalam kromatografi kolom gravitasi untuk

memisahkan fraksi K.

Kromatografi kolom gravitasi yang dilakukan pada fraksi K menghasilkan

20 fraksi, mulai dari K1 hingga K20. Fraksi K7 – K8 memiliki kesamaan noda dan

digabungkan. Uji noda KLT dari fraksi gabungan ini pada sistem eluen klorofrom:

etil asetat: metanol dengan perbandingan 7: 2: 1 dan 5: 4: 1 menunjukkan noda

tunggal pada lampu UV short. Fraksi ini kemudian disebut sebagai Isolat K.

Identifikasi dengan menggunakan KLT terhadap isolat K dilakukan untuk

menguji kemurnian dari senyawa tersebut. Isolat K dilarutkan ke dalam kloroform

murni dan ditotolkan ke atas pelat KLT. Sistem eluen yang digunakan adalah

kloroform: etil asetat: metanol dengan perbandingan masing-masing 7:2:1 dan

5:4:1. Deteksi noda dilakukan dengan menggunakan lampu UV (short wave) dan

KMnO4 sebagai reagen untuk menampakkan noda. Pada lampu UV, kromatogram

isolat K memperlihatkan noda tunggal deng Rf masing-masing 0,28 untuk

perbandingan eluen 7:2:1 dan 0,21 untuk perbandingan eluen 5:4:1. KMnO4

digunakan untuk menampakkan senyawa organik yang sensitif terhadap oksidasi.

Dari kedua kromatogram terlihat satu noda berwarna kecokelatan dengan latar

belakang pelat KLT yang berwarna ungu oleh KMnO4. Noda ini memudar saat

plat KLT dipanaskan selama beberapa detik.

24
(a) (b)

Gambar 4. Kromatogram isolat K dengan perbandingan eluen kloroform: etil


asetat: metanol; (a) 7:2:1 dan (b) 5:4:1

4. 3 Identifikasi

4. 3. 1 Identifikasi Fisik Isolat K

Isolat K memiliki bobot seberat 1 mg. Wujud fisik isolat K secara visual

tidak dapat terlihat jelas karena jumlahnya yang sedikit. Isolat K tidak

direkristalisasi, dan karena itu pengukuran titik leleh dari senyawa ini tidak

dilakukan.

4. 3. 2 Screening Fitokimia

Screening fitokimia dilakukan terhadap isolat K untuk mengetahui

golongan senyawa yang terdapat di dalam isolat tersebut. Isolat K (1 mg)

dilarutkan ke dalam 5 mL kloroform untuk pengujian ini. Kloroform dipilih

sebagai pelarut karena kemampuannya yang bisa melarutkan sebagian besar

senyawa organik. Pengujian dilakukan dengan membubuhkan beberapa tetes

25
isolat terlarut ke atas pelat tetes. Hasil pengamatan golongan dari isolat K

disajikan dalam tabel 3.

Tabel 3. Hasil uji fitokimia terhadap isolat K.

Golongan Metode Penanda Hasil Keterangan


positif
Terpenoid Liebermann- Merah Pekat Bening Negatif
Burchard
Steroid Salkowsky Warna merah Bening Negatif
Saponin Gelembung / Terdapat Tidak ada buih Negatif
buih buih
Fenolik FeCl3 Warna biru Kuning keemasan Negatif
kehijauan
Flavonoid Tes pita Mg Warna merah Putih Negatif
muda
Alkaloid Tes Wagner Merah Merah kecokelatan Positif
kecokelatan

Pengujian secara fitokimia menunjukkan isolat K termasuk golongan

alkaloid. Sebelum ditambahkan reagen Wagner (iodo – kalium iodida), isolat K

terlebih dulu dilarutkan ke dalam kloroform. Gambar 5 menunjukkan warna hasil

percampuran isolat K dengan reagen Wagner.

Gambar 5. Uji Wagner terhadap isolat K

26
Pada gambar 6 terlihat hasil penambahan HCl ke dalam plat tetes.

Campuran yang berwarna cokelat pekat berubah menjadi kemerahan dan

menyerupai pasta di dasar plat tetes. Endapan berwarna kemerahan ini adalah

penanda positif untuk alkaloid.

Gambar 6. Isolat K dengan penambahan reagen Wagner dan HCl

4. 3. 3 Pengukuran Spektrum IR

Pengukuruan spektrum IR terhadap isolat K dilakukan untuk mendukung

hasil screening fitokimia. Isolat K terlebih dulu dikeringkan dalam oven dengan

suhu 50 °C selama 24 jam. Hasil pengeringan berupa lapisan minyak berwarna

putih keruh di dasar botol vial penampung isolat K. Bubuk KBr dicampurkan ke

dalam botol vial penampung isolat K. Bubuk KBr yang telah bercampur dengan

isolat K dipadatkan dengan diberi tekanan sebesar 76 atm menggunakan alat

pembuat pelet. Pelet KBr ini kemudian dimasukkan ke dalam alat

spektrofotometer IR (Shimadzu). Hasil pengukuran spektrum dari isolat K dapat

dilihat pada gambar 7.

27
Gambar 7. Spektrum IR isolat K

Data yang diperoleh dibandingkan dengan data spektrum dari Socrates

(2001) dan Silverstein (2005). Serapan pada puncak 3446,79 cm-1 berasal dari

gugus amina (N – H stretching). Serapan ini didukung dengan adanya puncak

1637,56 cm-1 (N – H bending). Puncak yang menyatakan gugus alifatik amina

terdapat pada 1207,44 cm-1 (C – N stretching). Puncak serapan pada 2926,01 cm-1

dan 2854,65 cm-1 (C – H stretching) mengacu pada gugus metilen ( ―CH2 ― ).

Intensitas puncak yang lemah kemungkinan disebabkan oleh jumlah sampel yang

sedikit.

4. 4 Uji Bioaktivitas

Bakterti E. coli dan S. aureus yang telah dibiakkan dalam medium MHA

diberikan paper disk (kertas saring yang dipotong dengan ukuran diameter sekitar

28
7 mm) yang telah direndam dalam larutan isolat K dan dua macam antibiotik

(kloramfenikol dan tetrasiklin) yang diberikan dalam bentuk blank disk. Bakteri

selanjutnya diinkubasi selama 24 jam.

(a) (b)

Gambar 8. Kultur bakteri (a) E. coli dan (b) S. aureus pada waktu inkubasi 0 jam

Pengujian kemampuan bioaktif dari isolat dilakukan dengan uji daya

hambat bakteri. Isolat diperbandingkan dengan antibiotik standar (kloramfenikol

dan tetrasiklin). Bakteri yang digunakan adalah bakteri E. coli dan S. aureus yang

masing-masing mewakili bakteri gram negatif dan bakteri gram positif.

Isolat dan kedua antibiotik diletakkan ke atas dua cawan petri berisi

medium MHA yang telah dikultur dengan masing-masing bakteri. Bakteri

diinkubasi bersama dengan isolat K dan antibiotik selama 24 jam. Zona daya

hambat dari isolat dan antibiotik akan terlihat setelah inkubasi, di mana daerah

bening pada medium menunjukkan koloni bakteri pada daerah itu mati atau tidak

berkembang. Zona daya hambat muncul sebagai akibat dari terdifusinya isolat K

dan antibiotik ke dalam medium MHA yang telah dikultur dengan bakteri. Reaksi

29
dengan isolat K dan antibiotik membuat pertumbuhan koloni bakteri di sekitarnya

berhenti, sehingga daerah di sekitar antibiotik dan isolat K berwarna lebih cerah

dari wilayah medium MHA yang ditumbuhi kultur bakteri.

Hasil inkubasi menunjukkan adanya zona hambatan di sekitar antibiotik

dan isolat K. Rata-rata luas zona hambatan disajikan dalam tabel 4.

Tabel 4. Rata-rata diameter zona daya hambat antibiotik dan isolat K terhadap
bakteri uji

Antibiotik/ Diameter zona daya hambat terhadap bakteri


Isolat (mm)
E. coli S. aureus
Kloramfenikol (antibiotik 1) 29 28,6
Tetrasiklin (antibiotik 2) 10 35,5
Isolat K 13 8.6

Zona daya hambat pada gambar 9 memperlihatkan perbedaan warna pada

wilayah di sekitar isolat K untuk bakteri E. coli dan S. aureus.

(a) (b)

Gambar 9. Kultur bakteri (a) E. coli dan (b) S. aureus setelah inkubasi 24 jam

30
Isolat K menunjukkan aktivitas antibakterial yang cukup nyata pada

pengujian dengan menggunakan bakteri E. coli, yang merupakan bakteri golongan

gram negatif. Dari gambar 9(a), isolat K memiliki diameter zona daya hambat

yang jauh lebih lebar daripada diameter daya hambat antibakteri tetrasiklin. Tetapi

hal yang sebaliknya diperlihatkan pada gambar 9(b). Pada gambar ini terlihat

zona daya hambat isolat K adalah yang terkecil dibandingkan kedua antibakteri

yang digunakan.

Warna zona daya hambat dari isolat K terhadap kedua bakteri uji jauh

lebih cerah daripada zona daya hambat antibiotik pembanding. Ini menunjukkan

kekuatan isolat K untuk menghentikan perkembangan bakteri uji masih belum

cukup kuat. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh bobot isolat K yang kecil jika

dibandingkan dengan kandungan senyawa antibiotik yang terkandung di dalam

blank disk.

Penelitian terhadap mikroba yang dilakukan oleh de Oliveira, dkk (2006)

dengan menggunakan alkaloid yang diisolasi dari spons Pachychalina sp.

menunjukkan interaksi antara senyawa-senyawa yang bersifat antibiotik terhadap

mikroba pengganggu dapat terjadi dalam bentuk gangguan pada membran sel

mikroba tersebut, yang kemudian akan mengganggu aliran elektrolit sel. Meski

interaksi antara isolat K dengan bakteri uji tidak dapat dilakukan karena

keterbatasan jumlah sampel dan metode uji, dengan menggunakan pendekatan

kesamaan golongan isolat dengan senyawa yang telah ditemukan dalam penelitian

tersebut, dapat diduga bahwa interaksi penghambatan yang terjadi antara isolat K

dengan bakteri uji menyerupai interaksi antara senyawa alkaloid dari spons

31
Pachychalina sp. terhadap mikroba. Penelitian selanjutnya mungkin dibutuhkan

untuk lebih menjelaskan hipotesa ini.

32
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5. 1 Kesimpulan

Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Sebuah isolat tunggal (Isolat K) dari ekstrak etil asetat Aglaophenia

cupressina L. telah berhasil diisolasi sebanyak 3 mg.

b. Hasil screening fitokimia dan spektrum IR menunjukkan isolat K termasuk ke

dalam golongan senyawa alkaloid.

c. Uji antibakteri menunjukkan isolat K cukup aktif terhadap E. coli

dibandingkan dengan kloramfenikol, dengan rata-rata diameter zona hambat

13 mm.

5. 2 Saran

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini masih jauh dari optimal.

Dibutuhkan penelitian lanjutan yang lebih menyeluruh terhadap kandungan di

dalam isolat K agar di masa depan dapat disintesis dan dimodifikasi untuk

memperkuat efeknya. Diharapkan penelitian terhadap spesies Aglaophenia

cupressina L. tetap dilanjutkan karena masih terdapat banyak senyawa yang

menjanjikan yang belum dieksplorasi dari spesies ini.

33
DAFTAR PUSTAKA

Ahuja, J., Suresh, J., Deep, A., Madhuri., Pratyusha., dan Ravi., 2011,
Phytocehmical Screening of Aerial Parts of Artemisia parviflora Roxb.: A
medicinal plant, Der Pharmacia Lettre, 3 (6) : 116 – 124.

Andrews, J. M., 2001, Determination of Minimum Inhibitory Concentrations, J.


Antimicrob. Chemother. 48 : 5 – 16.

Beress, Laszlo, 1982, Biologically Active Compounds From Coelenterates, Pure


& Appl. Chem. 54 (10) : 1981 – 1994.

Blunt, J. W.,Copp, B. R., Hu, Wan-Ping, Munro, M. H. G., Northcote, P. T., dan
Prinsep, M. R., 2007, Marine Natural Products, Nat. Prod. Rep. 24 : 31 – 86.

Bohlin, L., Göransson, U., Alsmark, C., Wedén, C. dan Backlund, A., 2010,
Natural Products in Modern Life Science, Phytochem Rev. 2010 9(2) : 279–
301.

Carballo, J. L., Hernández-Inda, Z. L., Pérez, P., dan García-Grávalos, M. D.,


2002, A comparison between two brine shrimp assays to detect in
vitrocytotoxicity in marine natural products, BMC Biotechnology 2 : 17

Corgiat, J. M., 1993, Marine Natural Products Chemistry: Investigation in Marine


Ecology and Structure Determination, dissertation, University of Hawaii.

de Oliviera, J. H. H. L., Seleghim, M. H. R., Timm, C., Grube, A., Köck, M.,
Nascimento, G. G. F., Martins, A. C. T., Silva, E. G. O., de Souza, A. O.,
Minarini, P. R. R., Galetti, F. C. S., Silva, C. L., Hajdu, E., dan Berlinck, R.
G. S., Antimicrobial and Antimycobacterial Activity of Cyclostellettamine
Alkaloids from Sponge Pachychalina sp. 2006, Mar. Drugs 2006, 4: 1 – 8.

Daly, M., Brugler, M. R., Cartwright, P., Collins, A. G., Dawson, M. N, Fautin, D.
G., France S. C., McFadden, C. S, Opresko, D. M., Rodriguez, E., Romano,
S. L., dan Stake. J. L., 2007, The Phylum Cnidaria: A Review of
Phylogenetic patterns and Diversity 300 Years After Linnaeus, Zootaxa
1668: 128.

Demain, A. L., 1999, Pharmaceutically Active Secondary Metabolites of


Microorganisms, Appl.Microbiol.Biothechnol. 52 : 455 – 463.

Fenical, W., 1996, Marine Biodiversity and the Medicine Cabinet – The Status of
New Drugs from Marine Organisms, Oceanography 9(1) : 23 – 27.

Firn, R. D., dan Jones, C. G., 2003, Natural Products – A Simple Model To
Explain Chemical Diversity, Nat. Prod. Rep., 20 : 382 – 391.

34
Goud, T. V., Reddy, N. S., Swamy, N. R., Ram, T. S., dan Venkateswarlu, Y.,
2003, Anti-HIV Active Petrosin from the Marine Sponge Petrosia similis,
Biol. Pharm. Bull. 26(10) : 1498—1501

Haefner, B., 2003, Drugs From the Deep: Marine Natural Products As Drug
Candidates, DDT(8) : 536.

Ichiba, T., 1994, Constituents of Marine Invertebrates – Chemical and


Pharmacological Properties, dissertation, University of Hawaii.

Johannes, Eva, 2008, Isolasi, Karakterisasi dan Uji Bioaktivitas Metabolit


Sekunder dari Hydroid Aglaophenia cupressina L. Sebagai Bahan Dasar
Antimikroba, tesis, Universitas Hasanuddin, Makassar.

Johnson, M. K., Alexander, K. E., Lindquist, N., dan Loo, G., 1999, Potent
Antioxidant Activity of a Dithiocarbamate-Related Compound from a
Marine Hydroid, Biochem. Phar. 58 : 1313 -1316.

Lubbock, R., 1979, Chemical Recognition and Nematocyte Excitation In A Sea


Anemone, J. exp. Biol. (83) : 283.

Mannito, P., 1981, Biosynthesis of Natural Products, Ellis Harwood Ltd.,


Chichester, UK.

Pankey, G. A., dan Sabbath, L. D., 2004, Clinical Relevance of Bacteriostatic


Versus Bactericidal Mechanism of Action in the Treatment of Gram Positive
Bacterial Infections, Clin. Infec. Dis. 38 : 864 – 870.

Pawlik, J. R., 1993, Marine Invertebrate Chemical Defenses, Chem. Rev. 1993(93)
: 1911-1922

Raaman, N., 2006, Phytochemical Techniques, New India Publishing, New Delhi.

Romimohtarto, K., dan Juwana, S., 2007, Biologi Laut: Ilmu Pengetahuan
Tentang Biota Laut, Penerbit Djambatan, Jakarta.

Rupert, E. E., dan Barnes, R. D., 1994, Invertebrate Zoology 6th ed., Saunders
College Publishing, Orlando.

Scheuer, Paul J., 1978, Marine Natural Products, Chemical and Biological
Perspectives vol. II, Academic Press, New York.

Schwartsmann, G., 2000, Marine Organisms and Other Novel Natural Sources of
New Cancer Drugs, Ann. Oncol. 11 (3) : 235 – 243.

Silverstein, R. M., Webster, F. X., dan Kiemle, D. J., 2005, Spectrometric


Identification of Organic Compunds 7th ed., John Wiley & Sons, Inc., USA.

35
Socrates, G., 2001, Infrared and Raman Characteristic Group Frequencies Tables
and Charts 3rd ed., John Wiley & Sons, Ltd., England.

Tabarez, M. G., 2005, Discovery of The New Antimicrobial Compound 7-O-


malonyl Macrolactin A, Thesis, University of Technology Wilhemina

Till, Marisa, 2007, Studies of New Zealand Marine Organisms, tesis, University
of Waikato, Selandia Baru.

Vilee, C. A., Walker, W. F., dan Barnes, R. D., 1978, General Zoology, W. B.
Saunders Comp., Philadelphia.

Wink, M., 2003, Evolution of Secondary Metabolites From an Ecological and


Molecular Phylogenic Perspective, Phytochemistry 64 : 3 – 19.

Zipcodezoo, 2009, Aglaophenia cupressina, (ONLINE),


http://www.zipcodezoo.com/Animals/A/Aglaophenia_cupressina/, diakses
tanggal 19 Juli 2010, 07.00 PM.

36
Lampiran 1. Bagan Ekstraksi dan Isolasi Senyawa Metabolit Fraksi Etil

Asetat Aglaophenia cupressina L.

Bubuk A. cupressina L.

- Dimaserasi dengan metanol 1 × 24


jam (diulang 3 kali).
- Disaring.

Maserat metanol

- Dievaporasi.
- Dipartisi dengan n-heksana.

Lapisan metanol Lapisan n-heksana

- Dipartisi dengan kloroform. Disisihkan


- Dievaporasi.

Lapisan metanol
Lapisan kloroform
- Dipartisi dengan etil asetat.
Disisihkan - Dievaporasi.

Fraksi etil asetat

- Dievaporasi.
- Dianalisis KLT.
- Dipisahkan dengan kolom

Fraksi A – T
- Dievaporasi.
- Dipisahkan dengan kolom.
- Dianalisis KLT.
- Uji fitokimia dan spektrum
IR.
- Uji bioaktivitas.
Senyawa Aktif

37
Lampiran 2. Bagan Kerja Uji Fitokimia

Isolat K

- Dilarutkan dengan kloroforom.

- Diteteskan beberapa tetes ke atas plat


tetes.

- Ditambahkan larutan atau reagen


penguji sesuai uji yang diinginkan.

Uji fenolik Uji saponin Uji Uji flavonoid Uji alkaloid


steroid/terpenoid
-Ditambah -Ditambah Ditambah
larutan Ditambah metanol. reagen
5% FeCl3. air dan Wagner.
dikocok - Diberi
Hasil hingga serbuk Hasil
berbusa Mg dan
(positif HCl. (positif
bila Hasil Hasil bila
muncul muncul
warna (positif bila (positif bila endapan
biru muncul busa muncul warna cokelat)
gelap) stabil) merah muda)

Salkowsky Liebermann-Burchard

Ditambahkan H2SO4 Ditambahkan asam


pekat asetat anhidrat dan
H2SO4 pekat.

Hasil Hasil
( Positif steroid berwarna merah, ( Positif steroid adalah cincin
positif terpenoid berwarna emas) kecokelatan, positif terpenoid
berwarna merah)

38
Lampiran 3. Bagan Kerja Uji Antibakteri

Biakan murni bakteri uji

- Diinokulasi pada medium nutrient agar dingin.

- Diinkubasi selama 18 sampai 24 jam pada suhu 37 °C.

Kultur Bakteri

- Diambil sebanyak satu ose, disuspensikan ke

dalam larutan NaCl 0,9 % dan dihomogenkan.

- Diukur kekeruhannya hingga diperoleh transmitan

25 % pada panjang gelombang 580 nm.

- Diiunkubasi pada cawan petri yang mengandung

MHA dan dibekukan.

Media uji

- Dipipet sebanyak 20 μL sampel uji, kontrol positif, dan

kontrol negatif ke atas paper disc.

- Paper disc yang telah kering diletakkan ke atas media

uji dan diinkubasi selama 24 hingga 48 jam pada suhu

37 °C.

- Diukur zona hambatan biakan bakteri dalam satuan

millimeter.

Hasil identifikasi.

39
Lampiran 4. Laporan Puncak Spektrum IR Isolat K

40
Lampiran 5. Data diameter zona hambat Isolat K dan dua antibiotik standar
terhadap bakteri E. coli dan S. aureus

A. Diameter zona hambat pada inkubasi 0 jam

Diameter daya hambat


Senyawa (mm)
E. coli S. aureus
7 7
Kloramfenikol 7 7
7 7
7 7
Tetrasiklin 7 7
7 7
7 7
Isolat K 7 7
7 7

B. Diameter zona hambat setelah inkubasi 24 jam

Diameter daya hambat


Senyawa (mm)
E. coli S. aureus
29,0 28,6
Kloramfenikol 29,0 28,6
29,0 28,6
Rata-rata 29,0 28,6
10,0 35,5
Tetrasiklin 10,0 35,5
10,0 35,5
Rata-rata 10,0 35,5
13,2 8,6
Isolat K 13,0 8,6
13,0 8,7
Rata-rata 13 8,6

Keterangan: Diameter daya hambat pada 0 jam imkubasi adalah diameter


dari kertas saring dan blank disk yang menjadi media isolat K dan antibiotik
standar

41

Anda mungkin juga menyukai