KTI Akhir Irwan
KTI Akhir Irwan
Oleh :
IRWAN MATANARI
NIM PO. 7539019205
IRWAN MATANARI
NIM PO. 7539019205
NIM : P075390160139250
Menyetujui,
Pembimbing,
NIM : P075390160139250
Karya Tulis Ilmiah ini Telah Diuji Pada Sidang Ujian Akhir
Program Jurusan Farmasi Poltekkes Kemenkes
Medan, Juni 2020
Penguji I Penguji II
Ketua Penguji,
Dengan ini saya menyatakan bahwa karya tulis ilmiah ini tidak
terdapat karya yang pernah diajukan disuatu perguruan tinggi dan
sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat
yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara
tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.
Irwan Matanari
NIM PO. 7539019205
MEDAN HEALTH POLYTECHNIC OF HEALTH MINISTRY
DEPARTMENT OF PHARMACY
KTI, 2020
Irwan Matanari
ABSTRACT
Irwan Matanari
ABSTRAK
Irwan Matanari
NIM PO. 7539019205
DAFTAR ISI
Halaman Judul.............................................................................................. i
Lembar Persetujuan ....................................................................................... ii
Lembar Pengesahan ...................................................................................... iii
Surat Pernyataan ........................................................................................... iv
Abstrak Inggris ............................................................................................... v
Abstrak Indonesia ........................................................................................... vi
Kata Pengantar............................................................................................... vii
Daftar Isi ......................................................................................................... viii
Bab I. Pendahuluan ....................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang .................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .............................................................................. 3
1.3. Tujuan Penelitian ................................................................................ 3
1.4. Manfaat Penelitian .............................................................................. 3
Bab II. Tinjauan Pustaka................................................................................. 5
2.1. Rumah Sakit ....................................................................................... 5
2.2. Instalasi Farmasi Rumah Sakit ............................................................ 7
2.3. Manajemen Obat ................................................................................ 11
Bab III. Metode Penelitian .............................................................................. 24
3.1. Jenis dan Desain Penelitian ................................................................ 24
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................... 24
3.3 Objek Penelitian ................................................................................. 25
3.4 Prosedur Kerja Penelitian ................................................................... 25
Bab IV. Hasil dan Pembahasan ..................................................................... 27
4.1. Hasil .................................................................................................... 27
4.2. Pembahasan ....................................................................................... 34
1.3 Tujuan
Peneliti
an
Untuk mengetahui Instalasi Farmasi Rumah Sakit yang
melaksanakan 4 (empat) tahap manajemen obat (Quick et
al, 2012)
2. Manfaat Institusi
Sebagai sumbangan pemikiran dalam peningkatan
efisiensi dan produktifitas terhadap pelaksanaan
manajemen obat.
3. Manfaat Praktis
Pengalaman yang berharga bagi peneliti untuk
menambah wawasan dan pengalaman di bidang
kefarmasian.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tugas Pokok
- Menyelenggarakan, mengkoordinasikan, mengatur
dan mengawasi seluruh kegiatan pelayanan
kefarmasian yang optimal dan profesional serta
sesuai prosedur dan etik profesi.
- Melaksanakan pengelolaan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang
efektif, aman, bermutu dan efisien.
- Melaksanakan pengkajian dan pemantauan
penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan
bahan medis habis pakai guna memaksimalkan efek
terapi dan keamanan serta meminimalkan risiko.
- Melaksanakan Komunikasi, Edukasi dan Informasi
(KIE) serta memberikan rekomendasi kepada dokter,
perawat dan pasien.
- Berperan aktif dalam tim farmasi dan terapi
- Melaksanakan pendidikan dan pelatihan
serta pengembangan pelayanan
kefarmasian.
- Memfasilitasi dan mendorong tersusunnya standar
pengobatan dan formularium rumah sakit.
B. Fungsi
Pengelolaan perbekalan farmasi, alat kesehatan dan
bahan medis habis pakai
a. Memilih sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan
medis habis pakai sesuai kebutuhan pelayanan rumah
sakit.
b. Merencanakan kebutuhan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai secara efektif,
efisien dan optimal
c. Mengadakan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan
bahan medis habis pakai berpedoman pada
perencanaan yang telah dibuat sesuai ketentuan yang
berlaku.
d. Memproduksi sediaan farmasi, alat kesehatan, dan
bahan medis habis pakai untuk memenuhi kebutuhan
pelayanan kesehatan di rumah sakit.
e. Menerima sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan
medis habis pakai sesuai dengan spesifikasi dan
ketentuan yang berlaku.
f. Menyimpan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan
bahan medis habis pakai sesuai dengan spesifikasi dan
persyaratan kefarmasian.
g. Mendistribusikan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan
bahan medis habis pakai ke unit-unit pelayanan
dirumah sakit.
h. Melaksanakan pelayanan satu pintu.
i. Melaksanakan pelayanan obat “unit dose”/dosis sehari.
j. Melaksanakan komputerisasi pengelolaan sediaan
farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai
(apabila sudah memungkinkan)
k. Mengidentifikasi, mencegah dan mengatasi masalah
yang terkait dengan sediaan farmasi, alat kesehatan,
dan bahan medis habis pakai.
l. Melakukan pemusnahan dan penarikan sediaan
farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis
pakai yang sudah tidak dapat digunakan.
m. Mengendalikan persediaan sediaan farmasi,
alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai.
n. Melakukan administrasi pengelolaan sediaan farmasi,
alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai.
2.2.3 Pelayanan Farmasi Klinik
a. Mengkaji dan melaksanakan pelayanan resep atau
permintaan obat.
b. Melaksanakan penelusuran riwayat penggunaan obat.
c. Melaksanakan rekonsiliasi obat.
d. Memberikan informasi dan edukasi penggunaan obat
baik berdasarkan resep maupun obat non resep
kepada pasien/keluarga pasien.
e. Mengindentifikasikan, mencegah dan mengatasi
masalah penggunaan obat baik berdasarkan resep
maupun obat non resep kepada pasien/keluarga
pasien.
f. Melaksanakan visite mandiri maupun bersama
tenaga kesehatan lain.
g. Memberikan konseling pada pasien dan/atau
keluarganya.
h. Melaksanakan Pemantauan Terapi Obat (PTO)
i. Pemantauan efek terapi obat
j. Pemantauan efek samping obat
k. Pemantauan kadar obat dalam darah (PKOD)
l. Melaksanakan Evaluasi Penggunaan Obat (EPO).
m. Melaksanakan dispensing sediaan steril
n. Melakukan pencampuran obat suntik.
o. Menyiapkan nutrisi parenteral
p. Melaksanakan penanganan sediaan sitotoksik
q. Melaksanakan pengemasan ulang sediaan steril
yang tidak stabil
r. Melaksanakan Pelayanan Informasi Obat (PIO)
kepada tenaga kesehatan lain, pasien/keluarga,
masyarakat dan institusi di luar rumah sakit.
s. Melaksanakan Penyuluhan Kesehatan Rumah Sakit
(PKRS)
2.2.4 Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit
Sesuai dengan SK Menkes No 72 Tahun 2016 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Pelayanan
Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan
bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan
sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti
untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Pengaturan
standar pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit bertujuan untuk:
a. Meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian;
b. Menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian; dan
c. Melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan obat
yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien.
Tujuan pelayanan farmasi ialah: mengidentifikasi,
mencegah, dan menyelesaikan masalah terkait obat. Tuntutan
pasien dan masyarakat akan peningkatan mutu Pelayanan
Kefarmasian, mengharuskan adanya perluasan dari paradigma
lama yang berorientasi kepada produk (drug oriented) menjadi
paradigma baru yang berorientasi pada pasien (patient oriented)
dengan filosofi Pelayanan Kefarmasian (pharmaceutical care).
Rumah Sakit perlu mengembangkan kebijakan
pengelolaan Obat untuk meningkatkan keamanan, khususnya
Obat yang perlu diwaspadai (high-alert medication). High-alert
medication adalah Obat yang harus diwaspadai karena sering
menyebabkan terjadi kesalahan/kesalahan serius (sentinel
event) dan Obat yang berisiko tinggi menyebabkan Reaksi Obat
yang Tidak Diinginkan (ROTD) (Permenkes, 2017).
Kelompok Obat high-alert diantaranya:
1. Obat yang terlihat mirip dan kedengarannya mirip
(Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip/NORUM, atau
Look A like Sound A like/LASA).
2. Elektrolit konsentrasi tinggi (misalnya kalium klorida
2meq/ml atau yang lebih pekat, kalium fosfat, natrium
klorida lebih pekat dari 0,9%, dan magnesium sulfat =50%
atau lebih pekat).
3. Obat-Obat sitostatika.
2.3 Manajemen Obat
Siklus manajemen obat didukung oleh faktor-faktor
pendukung manajemen (management support) yang meliputi
organisasi, keuangan atau finansial, Sumber Daya Manusia
(SDM), dan Sistem Informasi Manajemen (SIM). Setiap tahap
siklus manajemen obat yang baik harus didukung oleh keempat
faktor tersebut sehingga pengelolaan obat dapat berlangsung
secara efektif dan efisien (Quick et al, 2012).
Manajemen Pendukung (Management Support) adalah sistem
penunjang manajemen yang terkait dengan pengetahuan untuk
mengelola organisasi, pembiayaan, informasi dan manusia.
Management Support merupakan pusat dari siklus pengelolaan
obat yang berperan penting dalam pengelolaan obat tanpa
management support maka pengelolaan obat tidak bisa berjalan
sebagaimana mestinya(Wasir R, 2010).
2.3.1 Organisasi
Fungsi dari organisasi ini meliputi membuat rancangan
organisasi, membuat sistem kontrol, memadukan strategi,
struktur dan kontrol dan mengelola konflik dan perubahan.
Semua aktivitas manajemen dapat dirangkum menjadi 3 (tiga)
fungsi dasar, yang secara bersama-sama membentuk siklus
manajemen yakni: planning, implementation, dan monitoring &
evaluation.
a. Planning adalah proses menganalisis situasi saat ini,
memperkirakan kebutuhan dan membangun tujuan,
sasaran dan target, serta menentukan strategi, kegiatan,
tanggung jawab, dan sumber-sumber untuk mencapai
tujuan.
b. Implementation adalah proses mewujudkan perencanaan
melalui pengaturan dan pengarahan kerja yang meliputi
pengaturan SDM, biaya, informasi, dan sumber-sumber lain
untuk mencapai hasil yang diinginkan.
c. Monitoring adalah proses yang mengacu pada review yang
berkelanjutan, tingkat kelengkapan kegiatan pada suatu
program dan target yang telah dicapai.
d. Evaluation mengacu pada analisis proses dan kerja pada
tujuan, sasaran dan target. Memberikan feedback untuk
mengetahui apakah rancangan telah ditemukan dan sebab-
sebab yang membuatnya berhasil atau gagal.
2.3.2 Keuangan (Finance/budgeting)
Komponen-komponen keuangan meliputi pencatatan,
pembukuan, pelaporan dan analisis. Kestabilan finansial hanya
dapat terjadi jika sumber dana dan biaya yang dikeluarkan
seimbang dan cukup untuk mendukung pelayanan kesehatan
dengan kualitas yang tidak diragukan.
2.3.3 Sumber Daya Manusia IFRS
Ketersediaan jumlah tenaga apoteker dan tenaga teknis
kefarmasian dirumah sakit dipenuhi sesuai dengan
ketententuan klasifikasi dan perizinan rumah sakit yang
ditetapkan oleh Menteri (Kemenkes, 2014 dan Satibi, 2016).
Uraian tugas tertulis dari masing-masing staf instalasi farmasi
harus ada dan dilakukan peninjauan kembali paling sedikit tiga
tahun sesuai kebijakan dan prosedur di instalasi farmasi rumah
sakit.
A. Kualifikasi Sumber Daya Manusia (SDM)
Berdasarkan pekerjaan yang dilakukan kualitas SDM
instalasi farmasi diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Untuk pekerjaan kefarmasian terdiri atas :
- Apoteker
- Tenaga teknis kefarmasian
b. Untuk pekerjaan penunjang terdiri atas :
- Operator komputer/tehnisi yang memahami
kefarmasian
- Tenaga administrasi
- Pekarya/pembantu pelaksana.
B. Persyaratan SDM
Pelayanan kefarmasian harus dilakukan oleh apoteker
dan tenaga teknis kefarmasian yang melakukan pelayanan
kefarmasian harus dibawah supervisi apoteker. Apoteker dan
tenaga teknis kefarmasian harus memenuhi persyaratan
perundang-undangan yang berlaku.
Hasil Skrining n = 18
Eksklusi : Bukan hasil penelitian dan tidak sesuai dengan pertanyaan penelitian
n = 13
Hasil Skrining n = 5
Pencarian sekunder n = -
Hasil Skrining n = 5
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Seleksi Obat
Hasil penelitian pada tahap seleksi obat harus mengacu kepada
kesesuaian item obat yang tersedia di formularium nasional, formularium
rumah sakit dan Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN). Monalisa Parinding
Mallisa (2017) melakukan penelitian pada tahap seleksi obat bahwa item
obat 100% sesuai dengan formularium nasional dan rumah sakit (standar
100%).
Hasil penelitian Rachmad dkk (2017), bahwa item obat yang tersedia
50%. (standar 100%) tidak sesuai dengan formularium rumah sakit.
Hasil penelitian Wirdah Wati (2012), adalah bahwa item obat yang
tersedia 77,56% (standar 76%) sesuai dengan DOEN.
Hasil penelitian Sunandar dkk (2014) tidak melalui mekanisme seleksi
obat dalam pengelolaan obat di instalasi farmasi rumah sakit.
Hasil penelitian Akhmad Fakhriadi dkk (2011) pada tahap seleksi obat
bahwa persentase kesesuaian obat yang tersedia dengan DOEN 2005 pada
tahun 2006, 2007 dan 2008 berturut - turut adalah 15,69%; 17,40% dan
19,10% belum sesuai dengan standar 49% Depkes RI (2006)
Pengadaan Obat
Hasil penelitian pada tahap pengadaan obat harus mengacu kepada
persentase alokasi dana pengadaan obat yang tersedia, persentase dana
yang tersedia, frekuensi pengadaan tiap item obat, frekuensi tertundanya
pembayaran oleh rumahsakit, dan persentase kesesuaian antara
perencanaan dengan kenyataan pakai item obat. Monalisa Parinding Mallisa
(2017) melakukan penelitian pada tahap pengadaan obat bahwa alokasi
dana pengadaan obat yang tersedia sebesar 8,77% belum sesuai standar
yang telah ditetapkan WHO (1993) yang berkisar 30-40%. Kemudian
persentase dana yang tersedia sebesar 71,71% tidak sesuai standar
(100%). Adapun frekuensi pengadaan tiap item obat sebanyak 4 kali dalam
setahun termasuk kategori rendah dibanding standar 24 kali dalam setahun.
Pada indikator frekuensi pembayaran tertunda selama 190 hari melebihi dari
waktu yang disepakati yang artinya melebihi dari standar adalah 0-25 hari.
Indikator terakhir pada tahap pengadaan penelitian Monalisa yaitu
persentase kesesuaian perencanaan dengan kenyataan pakai item obat
sebesar 161% terlihat bahwa pemakaian item obat melebihi standar yaitu
100-120%.
Hasil penelitian Rachmad dkk (2017), pada tahap pengadaan obat
bahwa proses pengadaan obat berdasarkan pelaksanaan rencana
pengeluaran obat sebesar 150,45% dari rencana anggaran 100%.
Hasil penelitian tahap pengadaan obat oleh Wirdah Wati (2012),
bahwa alokasi dana pengadaan obat yang tersedia sebesar 6,51%, nilai
persentase ini belum sesuai jika dibandingkan dengan nilai standar yang
telah ditetapkan WHO (1993) yang berkisar 30-40%. dan persentase dana
yang tersedia sebesar 100% telah sesuai standar (100%)
Hasil penelitian Sunandar dkk (2014) pada tahap pengadaan obat
menggunakan indikator persentase dana yang tersedia sebesar 100%
sesuai standar (100%) dan pada frekuensi pengadaan diperoleh hasil 4 kali
dalam setahun termasuk kategori rendah dibanding standar 24 kali dalam
setahun.
Hasil penelitian Akhmad Fakhriadi dkk (2011) pada tahap pengadaan
obat bahwa persentase alokasi dana pengadaan obat pada tahun 2006,
2007 dan 2008 berturut - turut adalah 39,00%; 40,00% dan 36,00%. sesuai
standar yang telah ditetapkan WHO (1993) yang berkisar 30-40%. Frekuensi
pengadaan tiap item obat pada kenyataannya dari tahun 2006, 2007 dan
2008 berturut – turut adalah 7,7 kali; 10,1 kali; dan 11,6 kali dalam setahun
termasuk kategori rendah dibanding standar 24 kali dalam setahun. Pada
indikator frekuensi tertundanya pembayaran, rata–rata tertundanya
pembayaran ter• besar terjadi pada tahun 2006 yaitu selama 11,8 hari lebih
kecil dari standar 0-25 hari. Persentase jumlah item obat yang diadakan
dengan yang direncanakan yaitu 163,00% (tahun 2006); 153,11% (tahun
2007); dan 142,27 (tahun 2008) melebihi standar yaitu 100-120%.
Distribusi Obat
Hasil penelitian pada tahap pengadaan obat harus mengacu kepada
ketepatan data jumlah obat pada kartu stok, Turn Over Ratio (TOR),
persentase dan nilai obat yang kadaluarsa dan atau rusak, persentase stok
mati, dan tingkat ketersediaan obat. Monalisa Parinding Mallisa (2017)
melakukan penelitian pada tahap distribusi obat bahwa item obat sesuai
kartu stok sebesar 100% berarti item obat sudah sesuai antara jumlah fisik
obat dengan kartu stok. Menurut WHO (1993) bahwa kecocokan antara stok
gudang dengan kondisi fisik obat adalah 100%. Untuk mengetahui berapa
kali perputaran modal dalam 1 tahun (TOR) diperoleh hasil sebesar 8,9
kali/pertahun masih rendah, tapi hampir mendekati standar yaitu 10-23 kali.
Diperoleh bahwa persentase nilai obat kadaluarsa dan rusak sebesar 2,6%
dimana nilai tersebut tidak sesuai dengan nilai standar ≤ 0,2%. Hasil stok
mati yang diperoleh sebesar 4,3% lebih tinggi dibandingkan dengan nilai
standar yaitu 0%. Rata-rata tingkat ketersediaan obat yang diperoleh
sebesar 13,36 bulan dapat dikatakan sudah efisien karena menurut Depkes
RI (2008) bahwa nilai standar ketersediaan obat adalah 12-18 bulan.
Hasil penelitian Rachmad dkk (2017), pada tahap distribusi obat
bahwa pada tahapan ini frekuensi TOR di Instalasi Farmasi Rumah Sakit
St.Carolus sebesar 6,2 kali.
Hasil penelitian tahap distribusi obat oleh Wirdah Wati (2012), bahwa
item obat sesuai kartu stok sebesar 100% berarti item obat sudah sesuai
antara jumlah fisik obat dengan kartu stok, ketersediaan obat 7,28% standar
80%. Diperoleh bahwa persentase nilai obat kadaluarsa dan rusak sebesar
2,21% dimana nilai tersebut tidak sesuai dengan nilai standar ≤ 0,2%. Hasil
stok mati yang diperoleh sebesar 5% lebih tinggi dibandingkan dengan nilai
standar yaitu 0%.
Hasil penelitian tahap distribusi obat oleh Sunandar dkk (2014)
bahwa item obat sesuai kartu stok sebesar 93,22%, standar 100% berarti
item obat belum sesuai antara jumlah fisik obat dengan kartu stok, Diperoleh
bahwa persentase nilai obat kadaluarsa dan rusak sebesar 0,33% dimana
nilai tersebut tidak sesuai dengan nilai standar ≤ 0,2%. Hasil stok mati yang
diperoleh sebesar 7,96% lebih tinggi dibandingkan dengan nilai standar yaitu
0%. Diperoleh bahwa waktu kekosongan obat sebesar 2,19% bahwa nilai
tersebut tidak sesuai dengan nilai standar 0%.
Hasil penelitian Akhmad Fakhriadi dkk (2011) pada tahap distribusi
obat bahwa persentase ketepatan data jumlah fisik obat pada kartu stok
sebesar 55,92% belum sesuai dengan standar 100%. Perputaran modal
dalam 1 tahun TOR mengalami kenaikan dari tahun 2006, 2007 dan 2008
yaitu 10,89 kali, 12,87 kali dan 13,10 kali sudah sesuai dengan standar yaitu
10-23 kali. Persentase nilai obat kadaluarsa sebesar 1,79% belum sesuai
dengan nilai standar ≤ 0,2%.
Penggunaan Obat
Hasil penelitian pada tahap pengadaan obat harus mengacu kepada
jumlah item obat per lembar resep, persentase peresepan dengan nama
generik, persentase peresepan antibiotic, persentase peresepan injeksi,
rata-rata waktu yang digunakan untuk melayani resep, persentase obat yang
dapat diserahkan, dan persentase obat yang dilabeli dengan lengkap.
Monalisa Parinding Mallisa (2017) melakukan penelitian pada tahap
penggunaan obat bahwa jumlah item obat perlembar resep sebesar 3,48
lebih tinggi dibandingkan dengan standar yang ditetapkan WHO (1993) yaitu
sebesar 1,8-2,2. Hasil penelitian persentase obat dengan nama generik yang
diresepkan sebesar 91,95%. sudah sesuai dengan standar yang ditetapkan
oleh WHO (1993) yaitu sebesar 82-94 %. Hasil penelitian persentase
peresepan antibiotik pada pasien rawat inap sebesar 12,66 % lebih rendah
dibandingkan WHO (1993) adalah sebesar ≤22,7%. Hasil penelitian
peresapan obat injeksi dirawat inap sebesar 26,7% lebih tinggi dari standar
17%, waktu pelayanan resep untuk resep non racikan 4,5 menit dan untuk
resep racikan adalah 10 menit sudah sesuai dengan standar indikator
Depkes (2008) yaitu resep racikan ≤60 menit dan resep non racikan ≤30
menit, persentase obat yang dapat diserahkan yaitu 99,26% sudah sesuai
standar 76-100% dan persentase obat dilabeli dengan benar adalah 100%
sudah memenuhi standar yang ditetapkan yaitu 100% (WHO,1993).
Hasil penelitian Rachmad dkk (2017), pada tahap penggunaan obat
diperoleh hasil sebagai berikut :
a. Jumlah rata-rata item obat di setiap resep menunjukkan 2,4 lebih tinggi
dari standar WHO (1993)
b. Penggunaan obat generik yang diresepkan di Rumah Sakit St.Carolus
hanya 21%, di bawah standar yang telah dinyatakan oleh WHO (1993),
sebesar 82% - 94%.
c. Persentase penggunaan obat antibiotik sebesar 29%, sesuai standar
yang telah dinyatakan oleh WHO (1993), 27% - 29%.
d. Persentase penggunaan obat injeksi sebesar 56%, lebih tinggi dari
standar yang telah dinyatakan oleh WHO (1993), sebesar 0,2% -
29,86%.
e. Persentase Obat yang Diresepkan berdasarkan Formularium Nasional
hanya 32% di bawah standar yang telah dinyatakan oleh WHO (1993),
86% - 88%.
Hasil penelitian tahap penggunaan obat oleh Wirdah Wati (2012),
hanya menunjukkan item obat per lembar resep sebesar 3,23 jenis lebih
tinggi dibandingkan dengan standar yang ditetapkan WHO (1993) yaitu
sebesar 1,8-2,2.
Hasil penelitian tahap pengunaan obat oleh Sunandar dkk (2014)
bahwa obat yang dilayani sebesar 97,95% belum memenuhi standar 100%
dan waktu pelayanan resep untuk resep non racikan 3,16 menit dan untuk
resep racikan adalah 6,10 menit lebih cepat dari standar yaitu resep non
racikan 5-15 menit dan resep racikan 30-45 menit
Hasil penelitian Akhmad Fakhriadi dkk (2011) pada tahap
penggunaan obat bahwa jumlah item obat perlembar resep untuk pasien
rawat inap pada tahun 2006, 2007, dan 2008 berturut – turut adalah 3,2; 3,4;
dan 3;9, sedangkan untuk pasien rawat jalan pada tahun 2006, 2007, dan
2008 berturut – turut adalah 2,5; 2,6; dan 2,9. bahwa nilai tersebut masih
lebih besar dari standar WHO (1993) yaitu 1,3 – 2,2. Persentasi peresepan
obat generik untuk pasien rawat inap adalah 32,14% dan untuk pasien rawat
jalan adalah 32,23% belum sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh
WHO (1993) yaitu sebesar 82-94 %. Persentase resep antibiotika untuk
pasien rawat inap adalah 32,45% dan untuk pasien rawat jalan adalah
43,38%, keduanya lebih tinggi dari standar WHO (1993), yaitu kurang dari
22,70%. Besar jumlah resep injeksi untuk pasien rawat inap adalah 31,43%
dan untuk pasien rawat jalan adalah 29,86% kedua-duanya lebih tinggi dari
standar WHO (1993), yaitu 17%. Persentase kesesuaian peresepan dengan
standar obat rumah sakit untuk pasien rawat inap adalah 80,25% dan untuk
pasien rawat jalan adalah 85,30% lebih rendah dari indikator Depkes (2007)
sebesar 100%. Kecepatan pelayanan resep pada shift I adalah 7 menit untuk
sediaan jadi dan 15 menit untuk sediaan racikan, sedangkan pada shift II
adalah 9 menit untuk sediaan jadi dan 17 menit untuk sediaan racikan sudah
sesuai dengan standar indikator Depkes (2008) yaitu resep racikan ≤60
menit dan resep non racikan ≤30 menit. Persentase obat yang dapat
diserahkan yaitu 99,86% untuk resep rawat inap dan 100% dapat diserahkan
kepada pasien rawat jalan sesuai dengan standar 76-100% dan persentase
obat dilabeli dengan benar adalah 100% sudah memenuhi standar yang
ditetapkan yaitu 100% (WHO,1993).
Seleksi Obat
Pada penelitian Monalisa Parinding Mallisa (2017) bahwa item obat
100% sesuai dengan formularium nasional dan rumah sakit (standar 100%).
Hal ini disebabkan oleh kesadaran dokter dalam menggunakan obat sesuai
formularium nasional dan dengan adanya Tim Farmasi Terapi (TFT) dirumah
sakit dan sebagai sekretaris TFT adalah apoteker.
Pada penelitian Rachmad dkk (2017), bahwa item obat yang tersedia
tidak sesuai dengan formularium rumah sakit menunjukkan kinerja dan
disiplin TFT masih kurang baik sehingga mungkin perlu ada pemberian
reward dan punishment agar TFT disiplin untuk menyeleksi obat sesuai
dengan formularium rumah sakit
Pada penelitian Wirdah Wati (2012), adalah bahwa item obat yang
tersedia sesuai dengan DOEN. Kesesuai item obat dengan DOEN ini
menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan penggunaan obat essensial sudah
sesuai dengan standar yang ditetapkan. Jika dibandingkan dengan hasil
penelitian Akhmad Fakhriadi dkk (2011) menyebut kan persentase
kesesuaian obat dengan DOEN 2005 pada tahun 2006, 2007 dan 2008
berturut-turut adalah 15,69%, 17,40% dan 19,10% menunjukkan belum
efisien dalam penggunaan obat essensial dalam pelayanan kesehatan.
Pada penelitian Sunandar dkk (2014) tidak melalui mekanisme
seleksi obat dalam pengelolaan obat di instalasi farmasi rumah sakit.
Penelitian ini menunjukkan tidak mengikuti tujuan utama proses seleksi.
Tujuan utama proses seleksi adalah untuk menghindari obat yang tidak
memiliki nilai terapetik, mengurangi jumlah dan jenis obat serta
meningkatkan efisiensi obat yang tersedia (Quick et all, 2012, Depkes RI
2006, DepKes RI 2017).
Pada penelitian Akhmad Fakhriadi dkk (2011) tahap seleksi obat
bahwa persentase kesesuaian obat yang tersedia dengan DOEN 2005
mengalami proses kenaikan persentase karena peningkatan kesesuaian
(faktor pembilang) juga karena adanya penurunan jumlah item obat
pertahunnya (faktor penyebut). Jika dibandingkan dengan hasil penelitian
Depkes RI (2006) dengan persentase minimal 49% untuk rumah sakit swasta
di Indonesia, maka pengelolaan obat pada indikator tersebut belum efisien.
Pengadaan Obat
Pada penelitian Monalisa Parinding Mallisa (2017) bahwa alokasi
dana pengadaan obat yang tersedia sebesar 8,77% belum sesuai standar
yang telah ditetapkan WHO (1993) yang berkisar 30-40%. Berdasarkan
triangulasi bahwa ketidak sesuain standar tersebut dikarenakan rencana
anggaran pengadaan obat yang diusulkan oleh IFRS keluar tidak sesuai
dengan draft yang telah disetujui.
Kemudian persentase dana yang tersedia tidak sesuai standar, akibat
dari ketidak sesuaian dana ini maka pembelian obat yang dilakukan belum
memenuhi seluruh kebutuhan obat di instalasi farmasi. Adapun jika
pemesanan obat melalui sistem e-purchasing dengan menggunakan e-
catalog maka diperoleh frekuensi pengadaan tiap item obat termasuk
kategori sedang. Namun dilakukan juga pengadaan obat secara manual
apabila obat yang dibutuhkan tidak terdapat dalam e-catalogue dan
pengadaan melalui e-Purchasing kosong atau lambat pengirimannya.
Pada indikator frekuensi pembayaran melebihi dari standar,
berdasarkan triangulasi bahwa lamanya waktu pembayaran disebabkan oleh
lamanya pembayaran klaim dana BPJS karena pembayaran keuangan oleh
rumah sakit menggunakan dana BLUD yaitu dari pemasukan pembayaran
klaim BPJS dan pembayaran tunai.
Indikator terakhir pada tahap pengadaan penelitian Monalisa yaitu
persentase kesesuaian perencanaan obat dengan kenyataan pakai item
obat terlihat melebihi standar. Faktor yang mempengaruhi perencanaan
dengan kenyataan pakai lebih besar dari yang direncanakan yaitu
dikarenakan adanya penambahan item-item obat diluar item obat yang telah
direncanakan, belum maksimalnya penerapan sistem rencana kebutuhan
obat (RKO) berbasis teknologi sistem informasi manajemen yang tidak bisa
menambah dan mengurangi item obat yang terdapat pada blangko RKO.
Beberapa obat diluar Fornas tetapi masuk formularium rumah sakit yang
tidak termasuk dalam perencanaan serta bertambahnya beberapa dokter
ahli yang menggunakan obat diluar perencanaan.
Pada penelitian Rachmad dkk (2017), tahap pengadaan obat bahwa
proses pengadaan obat berdasarkan pelaksanaan rencana pengeluaran
obat sebesar lebih besar dari rencana anggaran. Dengan ditemukannya
rencana pengeluaran obat lebih besar dari rencana anggaran menunjukkan
bahwa manajemen obat tidak efisien
Pada penelitian tahap pengadaan obat oleh Wirdah Wati (2012),
bahwa alokasi dana pengadaan obat yang tersedia belum sesuai jika
dibandingkan dengan nilai standar yang telah ditetapkan WHO (1993),
dikarenakan anggaran pengadaan obat yang telah ditetapkan pemerintah
daerah melalui APBD kemungkinan tidak sinkron dengan rencana kebutuhan
obat. Dan persentase dana yang tersedia telah sesuai standar, kesesuaian
dana yang dibutuhkan ini menggambarkan terjaminnya ketersediaan, jumlah,
dan waktu yang tepat dengan harga yang terjangkau dan sesuai standar
mutu.
Pada penelitian Sunandar dkk (2014) pada tahap pengadaan obat
menggunakan indikator persentase dana yang tersedia sesuai standar, dana
yang memadai dari pemerintah sangat menentukan ketersediaan dan
keterjangkauan obat esensial oleh masyarakat. Ketersediaan dana untuk
pengadaan obat yang sesuai dengan kebutuhan akan mencapai
terlaksananya penggunaan obat yang rasional yang pada gilirannya akan
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan. Dan pada frekuensi pengadaan
dalam setahun termasuk kategori rendah, frekuensi pengadaan obat adalah
banyaknya pengadaan tiap jenis obat selama satu tahun dan pengadaan
obat dikatakan rendah jika dilakukan dibawah 12 kali dalam setahun,
dikatakan sedang jika diadakan sebanyak 12 sampai 24 kali dalam setahun
dan dikatakan tinggi jika pengadaan obat dilakukan diatas 24 kali dalam
setahun.
Pada penelitian Akhmad Fakhriadi dkk (2011) pada tahap pengadaan
obat bahwa persentase alokasi dana pengadaan obat pada tahun 2006,
2007 dan 2008 sesuai standar yang telah ditetapkan WHO (1993). Pada
indikator ini jumlah dana anggaran pengadaan obat yang disediakan pihak
rumah sakit dibandingkan dengan jumlah kebutuhan dana untuk pengadaan
obat sudah sesuai dengan kebutuhan rumah sakit maka dapat dikategorikan
bahwa pengelolaan obat pada indikator ini sudah efisien. Frekuensi
pengadaan tiap item obat pada kenyataannya dari tahun 2006, 2007 dan
2008 termasuk kategori rendah. Tujuan dari indikator ini adalah untuk
mengetahui berapa kali obat dipesan tiap tahunnya. Frekuensi pengadaan
tiap item obat menunjukan kemampuan IFRS dalam merespon perubahan
kebutuhan obat dan melakukan pembelian obat dalam jumlah sesuai dengan
kebutuhan. Pada indikator frekuensi tertundanya pembayaran, rata–rata
tertundanya pembayaran ter•besar terjadi pada tahun 2006 lebih kecil dari
standar. Tujuan dari indikator ini adalah untuk mengetahui kualitas
pembayaran rumah sakit. Semakin lama tertundanya pembayaran maka
akan menunjukkan kurang baiknya manajemen keuangan rumah sakit.
Persentase jumlah item obat yang diadakan dengan yang direncanakan
tahun 2006 s/d 2008 melebihi standar sehingga masih dikatakan belum
efisien, tujuan dari indikator ini adalah untuk mengetahui seberapa jauh
ketepatan perkiraan dalam perencanaan. Faktor yang mempengaruhi
perencanaan dengan kenyataan pakai lebih besar dari yang direncanakan
yaitu penambahan item-item obat diluar item obat yang telah direncanakan,
belum maksimalnya penerapan sistem rencana kebutuhan obat (RKO)
berbasis teknologi sistem informasi manajemen yang tidak bisa menambah
dan mengurangi item obat yang terdapat pada blangko RKO. Beberapa obat
diluar Fornas tetapi masuk formularium rumah sakit yang tidak termasuk
dalam perencanaan serta bertambahnya beberapa dokter ahli yang
menggunakan obat diluar perencanaan.
Distribusi Obat
Distribusi merupakan kegiatan mendistribusikan perbekalan farmasi
di rumah sakit untuk pelayanan individu dalam proses terapi bagi pasien
rawat inap/rawat jalan untuk menunjang pelayanan medis. Sistem distribusi
dirancang atas dasar kemudahan dijangkau oleh pasien untuk
mempertimbangkan efiensiensi dan efektifitas sumber daya.
Distribusi adalah suatu proses yang dimulai dari permintaan,
penggendalian stok, pengelolaan penyimpanan, penyaluran ke depo.
Metode penyimpanan dilakukan secara alfabetis, jenis/sediaan,suhu/
kestabilan, sedangkan untuk menjaga mutu obat dilakukan dengan sistem
First In First Out (FIFO) dimana barang yang pertama diterima/masuk
pertama keluar/digunakan dan system First Expired First Out (FEFO) dimana
barang yang memiliki batas kadaluarsa lebih awal/pendek harus digunakan
terlebih dahulu kemudian dicatat pada kartu stok. Stok opname dilakukan
setiap 3 bulan dan setiap akhir tahun untuk mengetahui sisa stok akhir
tahun, selanjutnya akan digunakan sebagai dasar perencanaan kebutuhan
tahun berikutnya.
Pada penelitian Monalisa Parinding Mallisa (2017) tahap distribusi
obat bahwa item obat sesuai kartu stok sudah sesuai antara jumlah fisik obat
dengan kartu stok. Indikator kecocokan antara fisik obat dengan kartu stok
otomatis dimaksudkan untuk mengetahui ketelitian petugas gudang. Dari tiap
item obat dilengkapi dengan kartu stok otomatis pada sistem informasi
management (SIM) yang berisi tanggal, jumlah barang masuk, jumlah
barang keluar, sisa stok, kadaluarsa, nomor ID, keterangan. Menurut WHO
(1993) bahwa kecocokan antara stok gudang dengan kondisi fisik obat
adalah 100% dapat dikatakan bahwa administrasi digudang sudah
dilaksanakan secara optimal dan efisien serta sudah menggunakan Sistem
Informasi Manajemen (SIM) sehingga petugas gudang dapat mencocokkan
antara stok dan fisik obat melalui sistem.
Untuk mengetahui berapa kali perputaran modal dalam 1 tahun
(TOR) diperoleh hasil masih rendah, tapi hampir mendekati standar.
Indikator ini dimaksudkan untuk mengetahui berapa kali perputaran modal
dalam 1 tahun. ITOR (Inventory Turn Over Ratio) merupakan perbandingan
antara HPP (harga Pokok Penjualan) dalam setahun dengan nilai
persediaan rata-rata. Semakin tinggi ITOR maka semakin
efisien pengelolaan obat. ITOR rendah menunjukkan terjadi
penumpukkan obat digudang. Jika nilai ITOR masih rendah, tapi hampir
mendekati standar dengan indikator, hal ini dapat diartikan bahwa secara
ekonomi jumlah nilai persediaan belum efisien sehingga keuntungan
menjadi kecil. Salah satu solusinya adalah memperbaiki sistem perputaran
sejak dari perencanaan/ pengadaan, memperbanyak obat fast
moving/mengurangi obat slow moving.
Diperoleh bahwa persentase nilai obat kadaluarsa dan rusak tidak
sesuai dengan nilai standar. Indikator persentase nilai obat kadaluarsa dan
rusak bertujuan untuk melihat besarnya kerugian rumah sakit yang
disebabkan oleh adanya obat kadaluarsa dan rusak. Dari hasil triangulasi
dapat diketahui penyebab adanya obat kadaluarsa dan rusak karena adanya
penyesuaian pelayanan terhadap standar akreditasi sehingga untuk
pelayanan obat kemoterapi dihentikan akibatnya menyebabkan beberapa
obat kemoterapi rusak/kadaluarsa. Solusi yang diusulkan untuk mencegah
adanya obat kadaluarsa yaitu koordinasi dengan dokter untuk
menyampaikan ada beberapa obat yang mendekati kadaluarsa dan
mengembalikan obat hampir kadaluarsa 3 bulan sebelum kadaluarsa ke
distributor.
Hasil stok mati lebih tinggi dibandingkan dengan nilai standar.
Indikator persentase obat mati bertujuan untuk mengetahui item obat selama
3 bulan berturut-turut tidak digunakan. Nilai persentase stok mati diperoleh
dengan cara jumlah item obat yang tidak digunakan selama 3 bulan dibagi
dengan jumlah stok opname akhir tahun yang tersedia. Dari hasil triangulasi
dapat diketahui penyebab adanya obat mati karena adanya penyesuaian
pelayanan terhadap standar akreditasi sehingga untuk pelayanan obat
kemoterapi dihentikan akibatnya menyebabkan beberapa obat kemoterapi
mati.
Rata-rata tingkat ketersediaan obat dapat dikatakan sudah efisien
karena menurut Depkes RI (2008). Pengukuran indikator tingkat
ketersediaan obat di IFRS dimaksudkan untuk dapat mengetahui seberapa
besar tingkat kecukupan obat yang dibutuhkan selama periode satu tahun
dalam tiap bulannya sehingga dapat dikategorikan sudah atau belum efisien.
Pada penelitian Rachmad dkk (2017), tahap distribusi obat, bahwa
pada tahapan ini frekuensi TOR di Instalasi Farmasi Rumah Sakit lebih kecil
dari standar. Kondisi ini dapat diartikan bahwa secara ekonomi jumlah nilai
persediaan belum efisien sehingga keuntungan menjadi kecil.
Pada penelitian tahap distribusi obat oleh Wirdah Wati (2012), bahwa
item obat sudah sesuai antara jumlah fisik obat dengan kartu stok, Menurut
WHO (1993) bahwa kecocokan antara stock gudang dengan kondisi fisik
adalah 100%, ini menandakan bahwa administrasi di gudang farmasi sudah
dikerjakan dengan baik dan optimal. Keadaan ini kemungkinan karena
adanya mekanisme bagi setiap pegawai untuk melakukan kontrol
kesesuaian obat dengan kartu stock setiap hari atau minimal melakukan
kontrol setiap barang datang maupun keluar.
Pengukuran Indikator tingkat ketersediaan obat belum memenuhi
standar keefisienan tingkat ketersediaan obat dimana standar untuk
kebutuhan persediaan obat yaitu selama 30 hari. Tujuan dari menentukan
tingkat ketersediaan obat yaitu untuk mengetahui kisaran kecukupan obat.
Diperoleh bahwa persentase nilai obat kadaluarsa dan rusak tidak
sesuai dengan nilai standar. Terjadinya obat kadaluarsa dan rusak ini
menandakan seberapa besar kerugian yang dialami oleh rumah sakit, yang
seharusnya tidak boleh ada obat kadaluarsa dan rusak.
Diperoleh stok mati lebih tinggi dibandingkan dengan nilai standar.
Terjadinya stok mati disebabkan karena pola peresepan yang berubah dan
belum dibentuknya PFT yang menyebabkan belum dibuatnya formularium
rumah sakit yang menjadi pedoman bagi semua staf medik di rumah sakit
dalam melakukan pelayanan.
Pada penelitian tahap distribusi obat oleh Sunandar dkk (2014)
bahwa item obat belum sesuai antara jumlah fisik obat dengan kartu stok,
Hal ini menunjukkan bahwa proses pencatatan obat yang masuk ataupun
keluar masih perlu ditingkatkan. Adanya penyimpangan diakibatkan oleh
kurangnya tenaga administrasi. Untuk menangani masalah tersebut, akan
dilakukan perbaikan terhadap setiap aspek yang berkaitan dengan
administrasi dan pencatatan obat dengan melakukan komputerisasi terhadap
data obat yang ada di Rumah Sakit.
Diperoleh bahwa persentase nilai obat kadaluarsa dan rusak tidak
sesuai dengan nilai standar. Terjadinya obat kadaluarsa kemungkinan
diakibatkan oleh penggunaan yang kurang maksimal pada item obat yang
kadaluarsa. Salah satu cara penanganan terhadap kejadian tersebut perlu
diperhatikan prinsip distribusi obat berdasarkan FIFO dan FEFO dimana
obat-obat yang lebih duluan masuk dan memiliki tanggal kadaluarsa yang
paling dekat dikeluarkan terlebih dahulu.
Perhitungan stok mati yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan
dengan nilai standar, Terjadinya stok mati sangat berkaitan erat dengan
proses perencanaan obat]. Perencanaan obat yang baik akan
menghindarkan Rumah Sakit pada kejadian adanya obat yang tidak
mengalami transaksi.
Penilaian waktu kekosongan obat tidak sesuai dengan nilai standar
0%. Hasil dari triangulasi bahwa terjadinya kekosongan obat di gudang
farmasi dikarenakan oleh keterlambatan proses pengiriman obat dari
distributor. Selain itu, karena pengadaan obat satu kali dalam setahun
sehingga apabila terjadi kekosongan obat maka tidak bisa diadakan sebelum
masa pengadaan periode selanjutnya. Hal ini menunjukkan belum
maksimalnya ketersediaan obat di Rumah Sakit
Pada penelitian Akhmad Fakhriadi dkk (2011) tahap distribusi obat
bahwa ketepatan data jumlah fisik obat pada kartu stok belum sesuai
dengan standar. Hal itu disebabkan kurangnya ketelitian dan kedisiplinan
karyawan dalam mencatat jumlah sebenarnya pada saat pengeluaran dan
pemasukan obat, maka dapat dikatakan bahwa pengelolaan obat pada
indikator ini belum efisien.
Perputaran modal dalam 1 tahun sudah sesuai dengan standar. Hal
itu berarti telah terjadi peningkatan distribusi obat di rumah sakit serta
peningkatan efisiensi penjualan obat yang pada akhirnyanya juga akan
menambah keuntungan rumah sakit dari penjualan persediaan obat, maka
dapat dikatakan bahwa pengelolaan pada indikator ini sudah efisien.
Persentase nilai obat kadaluarsa belum sesuai dengan nilai standar.
Adanya obat kadaluwarsa dalam persediaan kemungkinan besar merupakan
obat – obat yang sudah ada sejak satu hingga tiga tahun yang lalu yang
telah rusak atau pengembalian dari pasien yang sudah dalam bentuk tidak
utuh sehingga tidak dapat diretur ke pihak distributor, maka dapat dikatakan
bahwa pengelolaan obat pada indikator ini belum efisien.
Penggunaan Obat
Pada penelitian tahap pengadaan obat harus mengacu kepada
jumlah item obat per lembar resep, persentase peresepan dengan nama
generik, persentase peresepan antibiotic, persentase peresepan injeksi,
rata-rata waktu yang digunakan untuk melayani resep, persentase obat yang
dapat diserahkan, dan persentase obat yang dilabeli dengan lengkap.
Penggunaan merupakan suatu proses yang dimulai dengan kegiatan
penulisan resep oleh dokter, pelayanan obat oleh farmasis serta
pemantauan penggunaan obat oleh pasien. Tujuannya adalah untuk
melindungi penderita agar tidak terjadi penyakit yang berkaitan dengan obat
yang diberikan seperti reaksi alergi, mendeteksi/ memperbaiki bahaya terapi
yang diberikan secara bersamaan, mencegah terjadinya toksisitas obat dan
meningkatkan kepatuhan pasien melalui fungsi farmasi klinik. Menurut WHO
dalam Akbar (2015) menyatakan bahwa penggunaan obat rasional
mensyaratkan bahwa obat ini harus diresepkan untuk pasien tertentu setelah
disagnosa yang tepat. Penggunaan obat rasional mensyaratkan pasien
tertentu dengan masalah kesehatan tertentu menerima obat sesuai dengan
ketentuan-keteentuan berikut, antara lain dosis yang tepat, bentuk sediaan
yang tepat, durasi pengobatan yang tepat, informasi yang tepat kepada
pasien, tindak lanjut yang memadai.
Monalisa Parinding Mallisa (2017) melakukan penelitian pada tahap
penggunaan obat bahwa jumlah item obat perlembar resep lebih tinggi
dibandingkan dengan standar yang ditetapkan WHO (1993) maka dapat
dikatakan bahwa pengelolaan obat di IFRSUD Undata Palu masih belum
sesuai standar karena tiap lembar resepnya masih terdapat lebih dari
standar hal ini disebabkan juga pasien mempunyai beberapa komplikasi
penyakit.
Pada persentase obat dengan nama generik yang diresepkan sudah
sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh WHO (1993) maka
kemungkinan penggunaan obat generik sudah sesuai standar hal ini
disebabkan oleh kesadaran dokter untuk menulis resep generik difasilitas
pelayanan kesehatan pemerintah. Berdasarkan Permenkes RI No.
HK.02.02/Menkes/068/I/2010 tentang kewajiban menulis resep generik dan
atau menggunakan obat difasilitas pelayanan kesehatan pemerintah,
dimaksudkan agar terjangkau oleh masyarakat serta terjamin mutu dan
keamanannya.
Diperoleh peresepan antibiotik pada pasien rawat inap lebih rendah
dibandingkan standar WHO (1993). Hasil ini sudah sesuai dengan
rekomendasi WHO artinya dokter tidak mudah meresepkan antibiotik untuk
setiap diagnosis penyakit. Antibiotik merupakan zat yang dihasilkan oleh
mikroba, terutama fungi, yang dapat menghambat pertumbuhan atau
membasmi mikroba jenis lain. Indikator persentase peresepan antibiotik
bertujuan untuk mengukur penggunaan antibiotik. Antibiotik sering
digunakan secara berlebihan sehingga dapat menyebabkan kerugian
diantaranya terjadi resistensi dan pemborosan biaya terapi.
Pada peresapan obat injeksi dirawat inap lebih tinggi dari standar
Indikator ini bertujuan untuk mengukur penggunaan injeksi. Dalam ketentuan
WHO menegaskan agar peresepan sediaan injeksi ini dilakukan seminal
mungkin. Artinya semakin kecil peresepan sediaan injeksi semakin baik.
Diperoleh waktu pelayanan resep untuk resep non racikan dan untuk
resep racikan sudah sesuai dengan standar indikator Depkes (2008)
Indikator rata-rata waktu pelayanan resep ini bertujuan untuk melihat tingkat
kecepatan pelayanan farmasi di rumah sakit.
Diperoleh persentase obat yang dapat diserahkan sudah sesuai
standar Indikator persentase obat yang dapat diserahkan bertujuan untuk
mengetahui cakupan pelayanan rumah sakit. Dari data yang ada di IFRS
dapat dikatakan bahwa persentase obat yang dapat diserahkan memenuhi
syarat dan dikatakan telah efisien.
Diperoleh bahwa obat dilabeli dengan benar sudah memenuhi
standar yang ditetapkan (WHO,1993) Hal ini menandakan staf IFRS telah
melabeli etiket dengan benar, selain itu sebelum obat diserahkan kepada
pasien selalu dilakukan pengecekan oleh apoteker sehingga kesalahan
pelabelan pada etiket dapat meminimalkan dan obat yang diserahkan pada
pasien tidak salah atau tidak tertukar dengan obat pasien lain serta
membantu pasien dalam mengingat aturan minum/aturan pakai obat yang
diterimanya. Indikator obat yang diberi label dengan lengkap bertujuan untuk
mengetahui penguasaan pengawasan tentang informasi pokok yang harus
ditulis pada etiket.
Pada penelitian Rachmad dkk (2017), tahap penggunaan obat :
a. Jumlah rata-rata item obat di setiap resep lebih tinggi dari standar WHO
(1993), Tingginya nilai rata – rata jumlah item obat perlembar resep
beresiko pada kejadian pemberian obat yang berlebihan dari pada yang
diperlukan.
b. Penggunaan obat generik yang diresepkan di bawah standar yang telah
dinyatakan oleh WHO (1993), Rendahnya penggunaan obat generik
disebabkan oleh pola kebiasaan para dokter yang merasa lebih mudah
untuk mengingat nama branded dari pada nama generik dan untuk
pasien tertentu yang sudah merasa cocok pada suatu obat branded
akan lebih memilih obat branded dari pada obat generik, dengan
demikian maka pengelolaan obat pada indikator tersebut dianggap
belum efisien baik untuk rawat inap maupun rawat jalan.
c. Persentase penggunaan obat antibiotik sesuai standar yang telah
dinyatakan oleh WHO (1993), nilai ini menjelaskan bahwa telah berhasil
penggunaan obat yang rasional maka pengelolaan obat pada indikator
tersebut dianggap sudah efisien untuk rawat inap, dan untuk rawat jalan.
d. Persentase penggunaan obat injeksi lebih tinggi dari standar yang telah
dinyatakan oleh WHO (1993). Tingginya penggunaan sediaan injeksi
dapat berdampak pada tingginya biaya pengobatan jika dibandingkan
dengan pengobatan secara oral. Jika dibandingkan dengan hasil
penelitian WHO di Indonesia (Quick dkk, 1997) dengan nilai peresepan
sediaan injeksi sebesar 17,00%, maka pengelolaan obat pada indikator
ini belum efisien baik untuk rawat inap maupun rawat jalan.
Pada penelitian tahap penggunaan obat oleh Wirdah Wati (2012),
diperoleh bahwa item obat per lembar resep 3,23 lebih tinggi dibandingkan
dengan standar. Menurut WHO (1993) rata-rata jumlah penulisan item obat
tiap lembar resep adalah 2 item per lembar resep.
Pada penelitian tahap pengunaan obat oleh Sunandar dkk (2014)
diperoleh bahwa obat yang dilayani belum memenuhi standar. Berdasarkan
hasil triangulasi, faktor-faktor yang mempengaruhi tidak terlayaninya
permintaan obat dikarenakan oleh kekosongan obat di gudang
penyimpanan. Selain itu disebabkan karena obat yang diresepkan belum
diterima di apotek kiriman dari gudang.
Diperoleh bahwa waktu pelayanan untuk resep non racikan dan untuk
resep racikan lebih cepat dari standar. Semakin cepat waktu pelayanan
resep maka semakin baik proses pelayanan kefarmasian. Lamanya waktu
yang dibutuh disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya banyaknya item
obat tiap lembar resep, kemudahan akses pengambilan obat (penataan
tempat obat) dan pemberian konseling kepada pasien yang membutuhkan
informasi tentang obat yang diresepkan.
Pada penelitian Akhmad Fakhriadi dkk (2011) tahap penggunaan
obat bahwa jumlah item obat perlembar resep untuk pasien rawat inap dan
untuk pasien rawat jalan masih lebih besar dari standar. Tingginya nilai rata
– rata jumlah item obat perlembar resep beresiko pada kejadian pemberian
obat yang berlebihan dari pada yang diperlukan. Jika dibandingkan dengan
hasil penelitian WHO di Indonesia (Quick dkk, 1997) yang memberikan
jumlah maksimal 3,3 item perlembar resep, maka pengelolaan obat pada
indikator ini sudah efisien untuk rawat inap tahun 2006 dan rawat jalan tahun
2006, 2007 dan 2008, namun belum efisien untuk rawat inap tahun 2007 dan
2008.
Persentasi peresepan obat generik untuk pasien rawat inap dan
untuk pasien rawat jalan masih rendah belum sesuai dengan standar yang
ditetapkan oleh WHO (1993). Rendahnya persentase tersebut disebabkan
oleh pola kebiasaan para dokter yang merasa lebih mudah untuk mengingat
nama branded daripada nama generik dan untuk pasien tertentu yang sudah
merasa cocok pada suatu obat branded akan lebih memilih obat tersebut
dari pada obat generik. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian WHO di
Indonesia (Quick dkk, 1997) yang memberikan nilai sebesar 59,00%, maka
pengelolaan obat pada indikator tersebut belum efisien baik untuk rawat inap
maupun rawat jalan.
Persentase resep antibiotika untuk pasien rawat inap dan untuk
pasien rawat jalan, kedua-duanya lebih tinggi dari standar WHO (1993). Nilai
ini menjelaskan besarnya kejadian penyakit infeksi dan resiko resistensi
penyakit yang dapat terjadi akibat penggunaan antibiotika yang berlebihan
dan tidak tepat di rumah sakit. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian
WHO di Indonesia (Quick dkk, 1997) yang memberikan nilai sebesar
43,00%, maka pengelolaan obat pada indikator tersebut sudah efisien untuk
rawat inap, namun belum efisien untuk rawat jalan.
Besar jumlah resep injeksi untuk pasien rawat inap dan untuk pasien
rawat jalan kedua-duanya lebih tinggi dari standar WHO (1993). Tingginya
penggunaan sediaan injeksi dapat berdampak pada tingginya biaya
pengobatan jika dibandingkan dengan pengobatan secara oral. Jika
dibandingkan dengan hasil penelitian WHO di Indonesia (Quick dkk, 1997)
dengan nilai peresepan sediaan injeksi sebesar 17,00%, maka pengelolaan
obat pada indikator ini belum efisien baik untuk rawat inap maupun rawat
jalan.
Persentase kesesuaian peresepan dengan standar obat rumah sakit
untuk pasien rawat inap dan untuk pasien rawat jalan lebih rendah dari
indikator Depkes (2007). Tingginya nilai ini mengindikasikan bahwa obat
yang disediakan oleh rumah sakit merupakan obat yang memang diperlukan
dalam pelayanan kesehatan. Jika dibandingkan dengan nilai yang
diharapkan Depkes RI (2007) sebesar 100%, maka pengelolaan obat pada
indikator ini belum efisien baik untuk rawat inap maupun rawat jalan.
Kecepatan pelayanan resep untuk sediaan jadi dan untuk sediaan
racikan sudah sesuai dengan standar indikator Depkes (2008). Jika
dibandingkan dengan nilai yang diharapkan Depkes RI (2007) maka
pengelolaan obat pada indikator tersebut sudah efisien.
Persentase obat yang dapat diserahkan untuk resep rawat inap dan
kepada pasien rawat jalan sesuai dengan standar. Jika dibandingkan
dengan hasil penelitian Pudjaningsih (1996) sebesar 100%, maka
pengelolaan obat pada indikator ini sudah efisien untuk rawat jalan, namun
belum efisien untuk rawat inap.
Persentase obat dilabeli dengan benar sudah memenuhi standar
yang ditetapkan yaitu 100% (WHO,1993). Besar pencapaian nilai obat
dilabeli dengan benar mengindikasikan adanya upaya instalasi farmasi
dalam mewujudkan cara pengobatan yang baik dan benar sehingga dapat
tercapai derajat kesehatan yang optimal dalam diri pasien.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari studi literatur ini diperoleh penelitian yang melaksanakan 4
(empat) tahap manajemen obat di instalasi farmasi rumah sakit (Quick et al,
2012) adalah :
- Analisis Pengelolaan Obat Di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum
Daerah Undata Palu Provinsi Sulawesi Tengah 2017 oleh Monalisa
Parinding Mallisa
- Analisis Pengelolaan Obat Di Instalasi Farmasi Rumah Sakit PKU
Muhammadiyah Temanggung Tahun 2006, 2007 Dan 2008 oleh Akhmad
Fakhriadi, Marchaban, Dwi Pudjaningsih Tahun 2011
5.2 Saran
- Agar instalasi farmasi rumah sakit dalam mengimplementasikan
manajemen obat mengacu kepada 4 (empat) tahap manajemen obat di
instalasi farmasi rumah sakit (Quick et al, 2012)
- Agar penelitian manajemen obat di instalasi farmasi rumah sakit lebih
ditingkatkan lagi di jurusan farmasi poltekkes kemenkes Medan
- Agar peneliti berikutnya melakukan penelitian manajemen obat di instalasi
farmasi rumah sakit pada tahap seleksi, pengadaan, distribusi atau pada
tahap penggunaan obat.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim 2011, Kriteria dan Tata Cara Penarikan Obat yang tidak
Memenuhi Standard dan/atau Persyaratan. Badan
Pengawas Obat dan Makanan. Jakarta.
Gusnawi. 2016. Analisis Pengelolaan Manajemen Logistik Obat
di Instalasi Farmasi RSUD Lanto Daeng Pasewang
Kabupaten Jeneponto. Makassar: Jurusan Kesehatan
Masyarakat Fakultas Kodokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Alauddin.
Kesesuai Indikator
No Judul Penulis
Indikator Perolehan Standar
Item obat yang tersedia dengan Fornas dan FRS 100 % 100 %
Persentase obat formularium RS 23,53 % 80 %
Anggaran yang disediakan untuk pengadaan obat 8,77 % 30-40 %
Persentase penyediaan dana oleh rumah sakit kepada IFRS 71,71 % 100 %
Frekuensi pengadaan obat 4 kali 24 kali
Frekuensi pembayaran tertunda 190 kali 0-25
Analisis Pengelolaan Obat Persentase kesesuaian perencanaan dgn kenyataan pakai item obat 161 % 100-120%
Di Instalasi Farmasi Item obat sesuai kartu stok 100% 100%
Rumah Sakit Umum ITOR pertahun 8,9 kali 10-23 kali
Daerah Undata Palu Monalisa Parinding Obat Exp & rusak 2,6 % ≤ 0,2 %
1
Provinsi Sulawesi Tengah Mallisa Stok obat mati 4,3%. 0%
2017 Tingkat ketersediaan obat 13,36 bln 12-18 bln
desain Retrospektif & Item obat perlembar resep 3,48 1,8-2,2
concurent Persentase obat generik 91,95 %. 82 - 94 %
Peresepan antibiotik 12,66 % ≤22,7%.
Peresapan injeksi 26,7% 17%
Wkt pelayanan non racikan 4,5 menit ≤30 menit
Wkt pelayanan racikan 10 menit ≤60 menit
Persentase obat yg diserahkan 99,26% 76-100%
Persentase obat dilabeli benar 100% 100%
Analisis Managemen Seleksi 50 % 100 %
Obat Dalam Upaya Pengadaan 150,45 % 120 %
Efisiensi Dan Distribusi 6,2 kali 8 – 12 kali
Efektivitas Di Instalasi Rachmad, Penggunaan
2 Farmasi Rumah Sakit Ririn Windrati - Rata2 item obat tiap resep 2,4 2
St.Carolus Jakarta - Penggunaan OG 21 % 82%-94%
Tahun 2017 desain - Penggunaan AB 29 % 27%-29%
Retrospektif & - Penggunaan injeksi 56 % 0,2%-29,86%
concurent - Resep sesuai Fornas 32 % 86% - 88%
Perencanaan Obat 72,73 % 100 %
Alokasi dana 6,51 % 30 – 40 %
Ketersediaan obat 7,28 % 80 %
Evaluasi Pengelolaan Obat Obat exp dan rusak 2,21 % 0%
di IFRS Karel Sadsuit Stok obat mati 5% 0%
Wirdah Wati, Achmad
Tubun Kab Maluku Item obat tiap lembar resep 3,23 1,8-2,2
3 Fudholi, Gunawan
Tenggara 2012 dengan DOEN 77,56 % 76 %
Pamudji
desain Retrospektif & Ketersediaan dana 100% 100%
concurent Kecocokan kartu stok 100 % 100%
Rata-rata wkt melayani R 96,52 % 85 %
Penulisan R obat generik 96,52 % 85 %
Penempelan label 100% 100%
Ketersediaan dana 95,87 % 100 %
Penyimpangan perencanaan 9,15 % 0%
Evaluasi Pengelolaan Frekuensi pengadaan 4 kali 24 kali
Obat di IFRSUD Kecocokan stok 93,22 % 100 %
Sunandar Ihsan, Sry
Kabupaten Muna Obat Exp & rusak 0,33 % 0%
4 Agshary Amir,
Sulawesi Tenggara 2014 Stok obat mati 7,96 % 0%
Mohammad Sahid
dengan desain Wkt kekosongan obat 2, 19 % 0%
Retrospektif & concurent Obat yg dilayani 97,95 % 100 %
Wkt pelayanan non racikan 3,16 menit 5-15 menit
Wkt pelayanan racikan 6,10 menit 30-45 menit
49 %
Item obat yang tersedia dengan Doen 2005 17,40 %
100 %
Persentase penyediaan dana oleh rumah sakit kepada IFRS Frekuensi pengadaan obat 38,33 %
24 kali 0-25
Frekuensi pembayaran tertunda 9,8 kali
100-120%
Persentase kesesuaian perencanaan dgn kenyataan pakai item obat Item obat sesuai kartu stok 11,8 kali
100%
ITOR pertahun Obat Exp & rusak 152,79 %
10-23 kali
Item obat perlembar resep Persentase obat generik Peresepan antibiotik Peresapan injeksi 100%
≤ 0,2 %
Wkt pelayanan non racikan Wkt pelayanan racikan Persentase obat yg diserahkan Persentase obat dilabeli
8,9 benar
kali
nstalasi Farmasi Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Temanggung Tahun 2016, 1,8-2,2
5 2,6 %
ektif & concurrent Tahun 2011 82 - 94 %
3,48
≤22,7%. 17%
91,95 %.
30 menit
Akhmad Fakhtiadi, Marchaban dan Dwi Pudjaningsing 12,66 %
≤60 menit 76-100%
26,7%
100%
5,3 menit
10,67 menit
99,86%
100%