Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas (SCBA) merupakan salah satu kasus kegawatan
dibidang gastroenterologi yang saat ini masih menjadi permasalahan dalam bidang kesehatan
dan perekonomian dunia. Selama empat dekade terakhir ini tidak terdapat perubahan angka
kejadian meskipun telah dicapai kemajuan dalam pengelolaan atau terapi. Di Amerika
Serikat angka kejadiannya berkisar antara 50-150 per 100.000 penduduk per tahun. Angka
kematiannya bervariasi antara 4-14% tergantung pada kondisi pasien dan penanganan yang
tepat. Pasien dengan komplikasi atau tanpa komplikasi di Amerika serikat rata-rata lama
rawat inap adalah 4,4 dan 2,7 hari dengan biaya perawatan sebesar 5632 US dollar dan 3402
US dollar. Umumnya 80% dari kasus dapat berhenti dengan sendirinya. 10% kasus
membutuhkan prosedur intervensi untuk mengontrol perdarahan.
Perdarahan SCBA adalah perdarahan lumen saluran cerna yang terjadi di sebelah
proksimal ligamentum treitz, mulai dari esofagus, gaster, duodenum sampai pada bagian atas
dari jejunum. Penyebab utama perdarahan SCBA di Indonesia adalah varises karena sirosis
hati, sedangkan di Negara Eropa dan Amerika penyebab terbanyak berasal dari ulkus
peptikum. Manifestasi klinik yang timbul berupa hematemesis, melena, haematochezia,
perdarahan tersamar dan gejala atau tanda kehilangan darah misalnya anemia, sakit kepala,
sinkop, angina atau sesak nafas. Faktor risiko perdarahan SCBA adalah usia, jenis kelamin,
pemakaian Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS), pemakaian obat antiplatelet,
mengkonsumsi alkohol, merokok, riwayat gastritis, diabetes mellitus, dan infeksi bakteri
Helicobacter pylori. Pemeriksaan endoskopi merupakan pilihan utama dalam mendiagnosis
dengan akurasi diagnosis >90%. Tindakan endoskopi selain digunakan untuk kepentingan
diagnostik dapat digunakan sebagai terapi.

1.2. Rumusan Masalah

Adakah factor – factor lain tentang SCBA ?

1.3. Tujuan

Untuk mengetaahui factor- factor yang dapat menyebabkan SCBA


BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Perdarahan SCBA
2.1.1. Definisi Perdarahan SCBA
Perdarahan SCBA adalah hilangnya darah dari saluran cerna atas yang secara anatomis terletak
di atas ligamentum Treitz, yaitu esofagus, gaster hingga duodenum bagian horizontal (PGI,
2012; Taylor dkk, 2014). Ada pun manifestasi klinis yang timbul dari perdarahan SCBA adalah
hematemesis, keluarnya darah atau pun bekuan darah dari nasogastric tube, dan/atau melena,
serta dapat pula berupa hematoskezia bila terjadi perdarahan SCBA yang massif dan cepat (PGI,
2012; ASGE, 2012).
2.1.1. Epidemiologi Perdarahan SCBA
Sebagian besar perdarahan saluran cerna disebabkan oleh perdarahan SCBA, yaitu sekitar 65-
80% (Zuckerman, 2000). Perdarahan SCBA disebutkan sebagai salah satu kegawatdaruratan di
bidang gastroenterologi dan menjadi penyebab kunjungan tersering di ruang gawat darurat
(Taylor dkk, 2014). Angka kejadian perdarahan SCBA selama beberapa dekade terakhir ini tidak
mengalami perubahan, meskipun telah ada kemajuan dalam hal pengelolaan dan terapi
perdarahan SCBA. Hal ini diperkirakan sangat berkaitan dengan penggunaan aspirin dan obat-
obatan anti inflamasi nonsteroid yang semakin sering digunakan pada praktek klinik sehari-hari
(Maduseno, 2011; Robinson dkk, 2012).
Insiden perdarahan SCBA berbeda-beda di setiap negara. Di Belanda insiden perdarahan SCBA
adalah sebesar 37 per 100 ribu populasi dewasa (Jansen dkk, 2011; Schiefer dkk, 2012), di
Denmark sekitar 48 ribu per 100 ribu populasi dewasa (Yavorski dkk, 1995), di Amerika dan di
Inggris adalah sebesar 150-172 per 100 ribu populasi dewasa (Leerdam dkk, 2003). Data
mengenai insiden perdarahan SCBA pada populasi yang sebenarnya di Indonesia masih belum
diketahui secara pasti, namun diperkirakan sekitar 46-150 per 100 ribu populasi dewasa (PGI,
2012). Sebagian besar perdarahan SCBA dapat berhenti dengan sendirinya, dan hanya sekitar
10% yang memerlukan tindakan khusus berupa endoskopi terapeutik atau pun pembedahan
(Augustin dkk, 2010; Biecker, 2013). Meskipun hanya 10% kasus yang memerlukan
penatalaksanaan khusus, namun biaya kesehatan yang diperlukan untuk penatalaksanaan kasus
tersebut dan penatalaksanaan komplikasi terkait kasus tersebut masih tetap tinggi. Adapun biaya
kesehatan yang dibutuhkan untuk penatalaksanaan kasus ini adalah sebesar 3402-5632 US dollar
(Cremers dan Ribeiro, 2014).
Komplikasi yang dapat timbul terkait perdarahan SCBA adalah kematian dan perdarahan ulang
(Ramaekers dkk, 2016). Angka kematian terkait perdarahan SCBA hingga saat ini masih cukup
tinggi, yaitu 10-20%, namun hal ini sudah jauh lebih baik dibandingkan sebelum tahun 1995,
yaitu sebesar 33-50%. Kejadian perdarahan ulang pada perdarahan SCBA adalah sebesar 5-15%
(Leerdam, 2008; El-Tawil, 2012). Berdasarkan penelitian Robinson dkk (2012), komplikasi
kematian terkait perdarahan SCBA adalah sebesar 23-35%, sedangkan komplikasi berupa
perdarahan ulang dan kematian pada perdarahan SCBA didapatkan nilai yang jauh lebih tinggi,
yaitu sekitar 60-65%.
2.1.1. Etiologi dan Faktor Risiko Perdarahan SCBA
Umumnya perdarahan SCBA dapat dikelompokkan menjadi 2 penyebab, yaitu perdarahan
variseal dan non variseal. Perdarahan variseal merupakan perdarahan yang timbul akibat
pecahnya varises esofagus, gaster dan hypertensive portal gastropathy sebagai akibat hipertensi
portal (Taylor dkk, 2014). Sekitar 60- 65% dari perdarahan SCBA pada sirosis hati disebabkan
oleh perdarahan variseal. Ada pun dua pertiga (sekitar 65%) dari perdarahan variseal disebabkan
oleh pecahnya varises esofagus, sedangkan hypertensive portal gastropathy sebesar 15% dan
pecahnya varises gaster hanya berkisar 5-10% (Berzigotti dkk, 2001; Tsao dkk, 2007; Biecker,
2013). Perdarahan non variseal merupakan perdarahan SCBA yang bukan disebabkan oleh
pecahnya varises esofagus, gaster maupun hypertensive portal gastropathy. Penyebab-penyebab
perdarahan SCBA adalah ulkus peptikum, gastritis erosif, robekan Mallory-Weis, keganasan
pada SCBA, esofagitis, dan malformasi vaskuler (BSG, 2002).
Penyebab perdarahan SCBA di negara-negara Barat sebagian besar disebabkan oleh perdarahan
non variseal, yaitu ulkus peptikum. Ada pun insiden ulkus peptikum sebagai penyebab
perdarahan SCBA adalah sebesar 63% (Tielleman dkk, 2015). Penyebab perdarahan SCBA di
Indonesia umumnya lebih banyak disebabkan oleh perdarahan variseal, yaitu sekitar 50-60% dari
seluruh kasus perdarahan SCBA (Djumhana, 2011; PGI, 2012).
Terdapat beberapa faktor risiko yang turut berperan dalam pathogenesis perdarahan SCBA.
Faktor risiko perdarahan SCBA akibat perdarahan variseal lebih berkaitan dengan tingginya
tekanan vena portal yang terjadi, hal ini seiring dengan beratnya derajat sirosis hati dan besar
ukuran varises (Tsao dkk, 2007; Waleleng dkk, 2015). Gangguan fungsi ginjal dan infeksi
disebutkan dapat menjadi pencetus untuk terjadinya perburukan dari hipertensi portal yang telah
ada (Tsao dkk, 2007; Crooks, 2013). Faktor risiko yang berkaitan dengan perdarahan non
variseal adalah infeksi Helicobacter pylori, obat-obatan anti inflamasi nonsteroid, obat anti
agregasi platelet, dan usia lanjut (PGI, 2012; Tielleman dkk, 2015). Selain faktor- faktor tersebut,
beberapa penelitian menyebutkan pula bahwa konsumsi alkohol berlebih; merokok; dan
penyakit-penyakit komorbid seperti gangguan ginjal, penyakit jantung koroner, dan diabetes
mellitus meningkatkan risiko timbulnya perdarahan non variseal (Crooks, 2013).
2.1.2. Patogenesis Perdarahan SCBA
2.1.2.1. Perdarahan Variseal
Umumnya terdapat 2 teori yang menjelaskan tentang timbulnya perdarahan SCBA akibat
perdarahan variseal, yaitu teori erosi dan teori eksplosif. Pada teori erosi disebutkan bahwa
perdarahan variseal timbul sebagai akibat trauma eksternal yang menyebabkan erosi pada
pembuluh darah varises yang berdinding tipis dan rapuh. Faktor trauma eksternal yang menjadi
penyebab perdarahan variseal adalah adanya esofagitis dan makanan solid yang dapat
mengakibatkan iritasi dan erosi pada dinding pembuluh darah varises. Teori eksplosif
menyebutkan bahwa perdarahan variseal lebih disebabkan oleh perburukkan hipertensi portal
yang telah ada sehingga meningkatkan tekanan hidrostatik pada pembuluh darah yang
mengalami varises. Hal tersebut mengakibatkan peningkatan ukuran varises dan menurunnya
ketebalan dinding pembuluh darah sehingga daya regang pembuluh darah pun menurun
(Berzigotti dkk, 2001).

Gambar 2.1. Hipotesis Mekanisme Perdarahan Variseal (Berzigotti dkk, 2001).


Penelitian-penelitian yang ada telah mendukung teori eksplosif untuk menjelaskan perdarahan
variseal. Semakin tinggi gradient tekanan portal maka akan memberikan risiko yang lebih tinggi
pula untuk terjadinya perdarahan variseal dan dapat mempersulit dalam penatalaksanaan
perdarahan yang terjadi. Sebagian besar perdarahan variseal akan timbul bila gradien tekanan
portal >12mmHg. Sebaliknya bila gradien tekanan portal dapat diturunkan menjadi <12mmHg,
maka perdarahan variseal tidak akan terjadi. Selain itu, penurunan gradien tekanan portal >20%
dari gradien tekanan portal awal dapat menurunkan risiko terjadinya perdarahan ulang
(Berzigotti dkk, 2001; Waleleng dkk, 2015).
2.1.1.1. Perdarahan Non Variseal
Lumen gaster memiliki pH yang asam. Kondisi ini berkontribusi dalam proses pencernaan tetapi
juga berpotensi merusak mukosa gaster. Beberapa mekanisme telah terlibat untuk melindungi
mukosa gaster. Musin yang disekresi sel-sel foveola gastrica membentuk suatu lapisan tipis yang
mencegah partikel makanan besar menempel secara langsung pada lapisan epitel. Lapisan
mukosa juga mendasari pembentukan lapisan musin stabil pada permukaan epitel yang
melindungi mukosa dari paparan langsung asam lambung, selain itu memiliki pH netral sebagai
hasil sekresi ion bikarbonat sel-sel epitel permukaan. Suplai vaskular ke mukosa gaster selain
mengantarkan oksigen, bikarbonat, dan nutrisi juga berfungsi untuk mengencerkan asam yang
berdifusi ke lamina propia. Gastritis akut atau kronik dapat terjadi dengan adanya gangguan pada
mekanisme-mekanisme protektif tersebut (Turner, 2010).
Gambar 2.2. Patogenesis Perdarahan Saluran Cerna bagian Atas (Turner, 2010).
Pembentukan musin pada usia lanjut akan mengalami penurunan, sehingga lebih rentan terkena
gastritis dan perdarahan saluran cerna (Turner, 2010). Obat anti inflamasi nonsteroid dan obat
anti agregasi platelet dapat mempengaruhi proteksi sel (sitoproteksi) yang umumnya dibentuk
oleh prostaglandin atau mengurangi sekresi bikarbonat yang menyebabkan meningkatnya
perlukaan mukosa gaster (Soll dan Graham, 2015).
Infeksi Helicobacter pylori yang predominan di antrum akan meningkatkan sekresi asam
lambung, peningkatan keasaman pada duodenum, dan kerusakan mukosa hingga terjadi ulkus
duodenum. Sekresi gastrin akan meningkat, baik pada sekresi basal mau pun sekresi yang
dirangsang oleh makanan, sedangkan sekresi somatostatin oleh sel D akan menurun. Peningkatan
asam lambung dapat pula timbul akibat efek sitokin-sitokin proinflamasi, seperti interleukin-1
(IL-1), IL-8 dan tumor necrosis factor (TNF), pada sel-sel parietal, sel G, dan sel D (Valle,
2013).
Perlukaan sel secara langsung juga dapat disebabkan konsumsi alkohol yang berlebih. Alkohol
merangsang sekresi asam lambung sehingga menyebabkan perlukaan mukosa saluran cerna (Soll
dan Graham, 2015). Pada terapi radiasi dan kemoterapi menyebabkan kerusakan mukosa
menyeluruh karena hilangnya kemampuan regenerasi sel (Turner, 2010).
2.1.3. Manifestasi Klinis Perdarahan SCBA
Manifestasi klinis perdarahan SCBA, baik pada perdarahan variseal dan non variseal, umumnya
berupa hematemesis dan/atau melena. Hematemesis merupakan muntah darah yang berwarna
merah atau kehitaman. Muntah darah berwarna kehitaman disebabkan oleh konversi hemoglobin
menjadi hematin akibat adanya paparan asam lambung terhadap darah (Laine, 2005). Melena
menggambarkan feses berwarna hitam yang mengandung darah akibat proses pencernaan. Feses
biasanya berwarna hitam seperti ter, berbau busuk, dan lengket (Bogoch, 1985; Laine, 2005).
Perubahan warna feses menjadi hitam sangat dipengaruhi oleh lokasi perdarahan, jumlah dan
laju perdarahan, serta kecepatan transit di usus. Terkait dengan kecepatan transit di usus maka
melena menginformasikan bahwa darah telah berada dalam saluran cerna selama minimal 14
jam. Selain berwarna hitam sebagai melena, perdarahan SCBA dapat pula bermanifestasi sebagai
hematoskezia, yaitu feses yang berwarna merah segar karena mengandung darah. Hematoskezia
umumnya merupakan manifestasi klinis perdarahan saluran cerna bagian bawah, namun jika
perdarahan SCBA disertai dengan hematoskezia maka menandakan bahwa telah terjadi
perdarahan SCBA yang masif (Laine, 2005).
Pada perdarahan SCBA akibat perdarahan variseal umumnya akan dijumpai pula tanda-tanda
sirosis hati/penyakit hati kronik berupa ginekomastia, spider nevi, splenomegali, ascites, eritema
palmaris, dan/tanpa ensefalopati hepatik (Djumhana dkk, 1998; Laney dan Greene, 2015;
Rockey dkk, 2016). Gejala lain yang dapat dijumpai pada perdarahan SCBA non variseal adalah
rasa pusing, kepala terasa ringan dan lemas. Keluhan berupa lemas, pusing dan kepala terasa
ringan timbul akibat anemia yang telah terjadi (Simon dkk, 2015).
2.1.4. Pendekatan Diagnosis Perdarahan SCBA
Anamnesis dan pemeriksaan fisik merupakan bagian dari pendekatan diagnosis pada perdarahan
SCBA. Tujuan dari tindakan tersebut adalah untuk mencari manifestasi klinis, faktor risiko,
komorbiditas, dan penilaian berat-ringannya perdarahan yang terjadi, serta memperkirakan
penyebab perdarahan SCBA, yaitu variseal ataukah non variseal (Adi, 2014). Berat-ringannya
perdarahan SCBA, berdasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan fisik, dapat disesuaikan dengan
klasifikasi hipovolemia akibat perdarahan (Basket, 1990).
Tabel 2.1. Klasifikasi hipovolemia akibat perdarahan pada pasien dewasa (Basket, 1990).
Aspek Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV
Volume <750 750-1500 1500-2000 >2000
perdarahan
(ml)
Jumlah 0-15 15-30 30-40 >40
perdarahan
(%)
Tekanan Tetap Normal Turun Sangat turun
sistolik
Tekanan Tetap Naik Turun Tidak
diastolic terdengar
Nadi per Meningkat 100-120 120 (lemah) >120 (sangat
menit lemah)
Laju nafas Normal Normal Naik >20 Naik >20
per menit
Status Sadar, haus Gelisah, Agresif/mengantuk Bingung/tidak
mental Agresif sadar
Pemasangan nasogastric tube merupakan tindakan medis yang dapat membantu untuk
mengkonfirmasi adanya perdarahan SCBA. Selain itu beberapa manfaat dari pemasangan
nasogastric tube adalah memperkirakan jumlah perdarahan, mempersiapkan lapang pandang
yang bersih untuk tindakan endoskopi, mencegah aspirasi isi lambung ke jalan nafas, dan
mengurangi beban amoniak pencetus ensefalopati hepatik pada perdarahan variseal dengan
sirosis hati. Ada pun komplikasi yang dapat timbul akibat pemasangan nasogastric tube adalah
epistaksis dan erosi pada gaster (Chalasani dkk, 1997; Sarin dkk, 2011).
Pemeriksaan laboratorium merupakan pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk
membantu menilai berat-ringannya perdarahan SCBA. Pemeriksaan laboratorium tersebut antara
lain adalah pemeriksaan darah lengkap, creatinine serum, blood urea nitrogen, enzim
transaminase hati, faal hemostasis, dan asam laktat (Taylor dkk, 2014; Simon dkk, 2015; Laney
dan Greene, 2015).
Pemeriksaan endoskopi merupakan pemeriksaan pilihan utama pada perdarahan SCBA.
Pemeriksaan ini disebutkan sebagai baku emas untuk penegakan diagnosis perdarahan SCBA,
namun ada pun keunggulan dari pemeriksaan ini adalah dapat memberikan visualisasi secara
langsung lokasi dan penyebab perdarahan serta aktivitas dari perdarahan tersebut. Selain itu,
endoskopi dapat pula menjadi terapi intervensi pilihan dalam penatalaksanaan perdarahan
SCBA. Ada pun waktu yang disarankan untuk melakukan pemeriksaan tersebut adalah dalam 24
jam setelah didapatkan adanya manifestasi perdarahan SCBA, sedangkan pada kondisi terjadi
instabilitas hemodinamik akibat perdarahan masif maka pemeriksaan tersebut sebaiknya
dilakukan segera setelah resusitasi (Sung dkk, 2011; NICE, 2012; ASGE, 2012; Gralnek dkk,
2015).
Temuan endoskopi pada perdarahan SCBA, khususnya perdarahan non variseal, dapat
diklasifikasikan dengan kriteria Forrest. Kriteria tersebut dapat digunakan untuk menilai risiko
perdarahan ulang pada perdarahan SCBA. Selain itu, penggunaan klasifikasi tersebut dapat
menjadi petunjuk pilihan terapi yang diperlukan untuk penatalaksanaan perdarahan SCBA (PGI,
2012; Laine dan Jensen, 2012).
Tabel 2.2. Klasifikasi Perdarahan SCBA Berdasarkan Kriteria Forrest (PGI, 2012; Laine dan
Jensen, 2012).
Temuan Endoskopi Klasifikasi Forrest Risiko Perdarahan Ulang
Ulkus dengan perdarahan IA 85-100%
aktif menyemprot
Ulkus dengan perdarahan IB 10-27%
merembes
Ulkus dengan pembuluh IIA 50%
darah visibel namun tidak
berdarah
Ulkus dengan bekuan IIB 30-35%
adheren
Ulkus dengan bintik IIC <8%
pigmentasi dasar
Ulkus berdasar bersih III <3%

2.1.1. Penatalaksanaan Perdarahan SCBA


Tujuan utama pengelolaan perdarahan SCBA adalah stabilisasi hemodinamik, menghentikan
perdarahan, mencegah perdarahan ulang dan menurunkan mortalitas.
2.1.1.1. Penatalaksanaan Umum
Pada kondisi hemodinamik tidak stabil atau kondisi syok, maka resusitasi cairan, baik cairan
kristaloid atau pun koloid, harus segera diberikan. Cairan kristaloid dengan akses perifer dapat
diberikan pada perdarahan ringan sampai sedang. Pada kondisi perdarahan berat, cairan koloid
dapat digunakan setelah pemberian cairan kristaloid sebanyak 1500-2000 ml terlebih dahulu,
sembari menunggu ketersediaan transfusi darah (Purnomo, 2010; Adi, 2016).
Pemasangan kateter vena sentral diperlukan pada keadaan syok yang memerlukan pemantauan
ketat dari cairan yang diberikan. Selain itu kateter vena sentral diperlukan pula pada pasien usia
lanjut dengan kondisi syok, pasien dengan gagal ginjal kronik dan pasien dengan penyakit
jantung, sehingga resusitasi cairan dapat diberikan secara optimal (Cappel, 2008; Albeldawi,
2010). Target resusitasi adalah hemodinamik stabil, produksi urin cukup (>30 ml/jam), tekanan
vena sentral 5-10 cmH2O, kadar Hb tercapai, yaitu 8 gr/dL pada perdarahan variseal dan 7-9
gr/dL pada perdarahan non variseal (Purnomo, 2010; Nusi dan Vidyani, 2016).
Pemberian oksigen diperlukan terutama pada pasien usia lanjut dan pasien dengan penyakit
jantung. Pada pasien yang menggunakan antikoagulan maka penggunaan antikoagulan tersebut
harus dihentikan dan perlu dilakukan terapi terhadap koagulopati yang terjadi. Pada pasien yang
menggunakan antikoagulan dan terdapat koagulopati dengan international normalized ratio
(INR) >1,5 memiliki risiko yang lebih besar untuk mengalami perdarahan ulang (Albeldawi,
2010).
2.1.4.1. Penatalaksanaan Perdarahan Variseal
Terapi farmakologis yang dapat digunakan pada perdarahan variseal adalah penggunaan obat-
obatan vasoaktif. Jenis obat-obatan vasoaktif yang dapat dipergunakan adalah somatostatin dan
analognya, yaitu octreotide. Kedua jenis obat tersebut akan menyebabkan vasokonstriksi
splanknik secara selektif sehingga menurunkan tekanan portal dan aliran darah portal. Selain itu,
jenis obat vasoaktif lainnya yang dapat digunakan sebagai terapi farmakologis pada perdarahan
variseal adalah vasopressin dan terlipresin. Penggunaan vasopresin umumnya dikombinasikan
dengan nitrogliserin untuk meningkatkan efektivitas vasopressin menurunkan tekanan portal,
namun penggunaan obat ini telah ditinggalkan karena besarnya efek samping yang dapat
menimbulkan iskemik hingga infark pada miokardial dan mesenterium. Terlipresin kini telah
banyak digunakan oleh negara- negara di Eropa dengan dosis pemberian awal adalah 2mg
intravena setiap 4 jam selama 48 jam pertama dan dilanjutkan dengan dosis 1mg setiap 4 jam
selama 72 jam selanjutnya (Bendtsen dkk, 2008).
Terapi endoskopi yang dapat dilakukan pada perdarahan variseal adalah terapi ligasi dan
skleroterapi. Terapi ligasi disebutkan memiliki efektivitas yang lebih baik dibandingkan dengan
skleroterapi dalam hal pencegahan perdarahan ulang dan efek samping yang lebih sedikit pula.
Hal tersebut ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan Stiegmann dkk pada tahun 1992. Pada
penelitian meta- analisis pun menyebutkan bahwa terapi ligasi mampu mengontrol perdarahan
lebih baik serta angka kematian pun lebih rendah bila dibandingkan skleroterapi (Laine dan
Cook, 1995). Terapi endoskopi ini sebaiknya dilakukan dalam 12-24 jam setelah didapatkan
adanya manifestasi perdarahan variseal (Bendtsen dkk, 2008).
Tindakan pembedahan dapat pula menjadi pilihan untuk mengatasi perdarahan variseal.
Tindakan ini umumnya dilakukan setelah terapi endoskopi gagal mengatasi perdarahan variseal.
Ada pun rescue therapy perlu dilakukan terlebih dahulu sebelum tindakan pembedahan
dilaksanakan, agar tindakan pembedahan tersebut dapat dipersiapkan lebih baik. Rescue therapy
dilakukan dengan pemasangan tamponade balon (Sengstaken Blakemore tube). Pemasangan
tamponade balon ini bersifat sementara, yaitu selama 24 jam, kemudian dilanjutkan dengan
terapi definitif, yaitu pembedahan atau pemasangan transjugular intrahepatic portosystemic
shunt (TIPS) (Savides dan Jensen, 2010).
2.1.1.1. Penatalaksanaan Perdarahan Non Variseal
Terapi farmakologis yang direkomendasikan oleh Asia-Pacific Working Group untuk mengatasi
perdarahan non variseal adalah penggunaan proton pump inhibitor (PPI) dosis tinggi secara
intravena. Tujuan penggunaan PPI ini adalah untuk meningkatkan pH pada lambung hingga > 7,
agar agregasi trombosit dapat
berlangsung optimal dan bekuan darah menjadi lebih stabil, tidak cepat terjadi fibrinolisis (Maltz
dkk, 2000). Berdasarkan meta-analisis didapatkan bahwa penggunaan PPI sebelum atau pun
sesudah endoskopi dapat menurunkan insiden perdarahan ulang pada ulkus peptikum, kebutuhan
transfusi darah, kebutuhan endoskopi ulangan, terapi operasi, dan lama rawat di rumah sakit
(Blecker, 2008; Albeldawi, 2010).
Terdapat beberapa terapi endoskopi yang dapat menjadi pilihan dalam penatalaksanaan
perdarahan non variseal, yaitu penyuntikan adrenaline yang telah diencerkan, termokoagulasi,
dan hemoclip. Tindakan endoskopi ini sebaiknya dilakukan dalam 24 jam setelah didapatkan
adanya manifestasi klinis perdarahan SCBA dengan Forrest I dan Forrest IIA (Sung dkk, 2011;
ASGE, 2012; Gralnek dkk, 2015). Teknik injeksi adrenaline yang telah diencerkan bertujuan
agar terjadi vasokonstriksi dan penekanan lokal pada sumber perdarahan sehingga perdarahan
tersebut dapat berhenti (Gralnek dkk, 2015). Termokoagulasi yang umumnya dilakukan adalah
menggunakan penyinaran laser atau koagulasi argon plasma (Adi, 2014). Teknik hemoclip
ditujukan langsung pada area yang mengalami perdarahan dengan tujuan koagulasi dapat
tercapai melalui penekanan mekanis. Ada pun kesulitan dari teknik ini adalah lapang pandang
yang tertutup darah sehingga sulit untuk menentukan lokasi perdarahan, lokasi ulkus yang sulit
dijangkau, dan dasar ulkus yang keras akibat fibrosis (Gralnek dkk, 2015).
Terapi pembedahan dapat dipertimbangkan pada kasus perdarahan non variseal bila terapi
endoskopi gagal menghentikan perdarahan tersebut, terjadi perdarahan ulang dengan adanya
kondisi hemodinamik yang tidak stabil, ulkus yang besar dengan ukuran lebih dari 2 cm dengan
lokasi perdarahan ulkus peptikum pada dinding posterior duodenum, dan telah terjadi perforasi
(Savides dan Jensen, 2010; Wee, 2011). Selain terapi pembedahan, dapat pula dilakukan
intervensi radiologi berupa selektif angiografi yang disertai embolisasi hemostasis coil. Tingkat
keberhasilan tindakan tersebut sangat bergantung dengan tingkat keahlian, ketrampilan, dan
pengalaman pelaksana. Ada pun tingkat mortalitas dari tindakan intervensi radiologi disebutkan
lebih kecil dibandingkan terapi pembedahan (Laney dan Greene, 2015).
2.1.1. Komplikasi Perdarahan SCBA
Komplikasi perdarahan SCBA dapat timbul dalam beberapa jam hingga beberapa hari setelah
terjadi perdarahan, bahkan dapat pula timbul setelah beberapa minggu setelah terjadinya
perdarahan SCBA. Berdasarkan Ferguson dan Mitchell (2005), komplikasi perdarahan SCBA
dapat dibedakan menjadi komplikasi dini dan komplikasi lambat. Komplikasi dini merupakan
komplikasi yang timbul selama perawatan di rumah sakit atau 5-7 hari setelah terjadinya
perdarahan SCBA, sedangkan komplikasi lambat adalah komplikasi yang timbul setelah keluar
rumah sakit atau 7 hari setelah terjadinya perdarahan SCBA (Ferguson dan Mitchell, 2005;
Maggio dkk, 2013).
Komplikasi perdarahan SCBA dapat berupa perdarahan ulang dan kematian. Tingkat kematian
dan perdarahan ulang pada perdarahan SCBA sangat bergantung pada penyebab perdarahan,
yaitu variseal atau non variseal. Pada perdarahan variseal risiko terjadi perdarahan ulang cukup
tinggi, sekitar 60%, terutama pada 6 minggu pertama setelah perdarahan SCBA terjadi (Cremers
dan Ribeiro, 2014). Risiko perdarahan ulang pada perdarahan non variseal dengan klasifikasi
Forrest IIB, IIC dan III didapatkan lebih rendah bila dibandingkan perdarahan variseal, yaitu
sekitar 5-15% (Leerdam, 2007). Kematian dapat disebabkan oleh perdarahan masif yang
menimbulkan syok hipovolemik atau pun perburukan kondisi terkait penyakit-penyakit
komorbiditas yang ada pada pasien, seperti penyakit ginjal kronik, penyakit jantung kongestif,
dan kondisi infeksi (Cappel dkk, 2008; Sonnenberg, 2012).
2.2. Stratifikasi Risiko Komplikasi
Stratifikasi risiko komplikasi bertujuan untuk mendeteksi lebih awal kelompok pasien dengan
perdarahan SCBA yang akan mengalami komplikasi, sehingga dapat dilakukan intervensi dan
penatalaksanaan yang lebih baik guna mencegah timbulnya komplikasi tersebut. Umumnya
stratifikasi risiko komplikasi menggunakan sistem berbasis skor agar mudah untuk diaplikasikan.
Menurut Stanley (2012), sistem evaluasi berbasis skor untuk yang baik adalah mudah dihitung,
akurat dan relevan untuk menilai hasil yang diinginkan, dan dapat digunakan pada awal
manifestasi klinis, dalam hal ini sebelum dilakukan evaluasi endoskopi.
Saat ini telah banyak sistem stratifikasi risiko komplikasi perdarahan SCBA yang telah
dikembangkan. Sistem-sistem stratifikasi tersebut umumnya dapat dikelompokkan menjadi 2
kelompok, yaitu sistem stratifikasi risiko yang menggunakan tindakan endoskopi dan sistem
stratifikasi risiko yang tidak menggunakan endoskopi. Ada pun sistem stratifikasi yang telah
direkomendasikan untuk mengevaluasi risiko komplikasi perdarahan SCBA adalah sistem GBS
dan Rockal score (NICE, 2011; PGI, 2012; ASGE, 2012; Gralnek dkk, 2015).
2.2.1. Sistem Stratifikasi Risiko Komplikasi Menggunakan Endoskopi
2.2.1.1. Rockall Score
Sistem stratifikasi ini diperkenalkan oleh Rockall dkk pada tahun 1997. Sistem skor ini terdiri
atas 2 bagian, yaitu pre-endoskopi yang dikenal dengan clinical Rockall score dan post-
endoskopi atau yang dikenal dengan full Rockal score. Sistem stratifikasi ini menyebutkan
semakin tinggi skor yang didapat, maka risiko komplikasi berupa perdarahan ulang dan kematian
pun semakin meningkat. Skor <2 mengindikasikan kelompok dengan risiko rendah terjadinya
komplikasi, sedangkan kelompok yang berisiko tinggi adalah kelompok dengan total skor >8
(Bakhtavar dkk, 2016; Monteiro dkk, 2016).
Tabel 2.3. Rockal Skor (PGI, 2012).
Skor 0 1 2 3
Variabel
Usia <60 tahun 60-79 tahun >80 tahun
Syok Tidak Takikardi, TD Hipotensi, TD
ada
>100, Nadi <100
syok, Tekanan
darah (TD) >100
>100, Nadi
<100
Diagnosis Robekan Ulkus Keganasan
endoskopi Mallory- Weiss,peptikum, SCBA
tidak esophagitis atau
ada lesi, danpenyakit
tidak erosive
ada
stigmata
perdarahan
baru
Penyakit Tidak ada Gagal jantungGagal ginjal,
komorbiditas kongestif, Gagal hati,
Penyakit Penyakit
jantung metastasis
iskemik,
Penyakit
komorditas
mayor
lainnya
Stigmata Ulkus dasar Darah dalam
endoskopi ataubersih, SCBA,
perdarahan baru pigmentasi rata
perdarahan
aktif, pembuluh
darah visibel
atau bekuan
yang menempel
Total skor <2 memiliki risiko rendah untuk perdarahan ulang dan kematian, total skor >8 risiko
tinggi untuk perdarahan ulang dan kematian.
2.2.1.2. BBS (Baylor Bleeding Score)
Sistem skor ini pertama kali diperkenalkan oleh Saeed ZA dkk pada tahun 1993. Skor ini hanya
digunakan untuk menilai risiko perdarahan ulang pada perdarahan SCBA non variseal setelah
tindakan terapi endoskopi. Ada pun penilaian yang dilakukan pada sistem skor ini adalah
penilaian pre-endoskopi dan post-endoskopi. Kelompok yang dinilai berisiko tinggi untuk
mengalami komplikasi adalah kelompok dengan skor pre-endoskopi >6 dan total skor >11
setelah dijumlahkan dengan penilaian post-endoskopi (Stanley, 2012; Bakhtavar dkk, 2016).
Tabel 2.4. Penilaian BBS (Bakhtavar dkk, 2016).
Aspek 1 2 3 4 5
Usia 30-49 50-59 60-69 >70
Jumlah 1-2 3-4 >5
penyakit
Derajat Kronik Akut
berat
penyakit
Lokasi Dinding
perdarahan bulbus
posterior
Srigmata Bekuan Pembuluh Perdarahan aktif
perdarahan darah
darah visibel
Risiko tinggi terjadi perdarahan ulang bila skor pre-endoskopi >6 dan total skor >11, risiko
rendah bila skor pre-endoskopi <5 dan total skor <10.
2.2.1.3. CSMCPI (Cedars-Sinai Medical Centre Predictive Index)
Sistem skor ini direkomendasikan oleh American Society of Endoscopy of the Digestive System
pada tahun 1981. Skor ini bertujuan untuk menilai lama perawatan rumah sakit. Terdapat 4 aspek
yang dinilai pada sistem skor ini, yaitu temuan endoskopi, interval waktu antara munculnya
manifestasi klinis dan perawatan ke rumah sakit, status hemodinamik, dan jumlah penyakit
komorbiditas. Penilaian sistem skor ini menyebutkan bahwa kelompok dengan total skor <3
dapat dilakukan rawat jalan, sedangkan bila >3 memerlukan perawatan rumah sakit.
Evaluasi ulangan dilakukan kembali dalam 24-72 jam sesuai dengan hasil temuan endoskopi dan
dinilai kembali berdasarkan sistem skor ini. Hay dkk (1997), melakukan uji validasi terhadap
sistem skor ini dan mendapatkan hasil bahwa penggunaan skor ini dapat menurunkan lama
perawatan rumah sakit pada pasien- pasien perdarahan SCBA (Bakhtavar dkk, 2016; Monteiro
dkk, 2016).
Tabel 2.5. Penilaian CSMCPI (Bakhtavar dkk, 2016; Monteiro dkk, 2016).
Skor Temuan EGD Waktu Hemodinamik Penyakit
komorbiditas
0 Ulkus dasar bersih,>48 jam Stabil <1
robekan Mallory-
Weis tanpa
perdarahan, Penyakit
erosi, endoskopi
normal

1 Ulkus dasar <48 jam Intermediet 2


bersih atau
dengan bekuan
darah, penyakit erosi
dengan tanda
perdarahan,
angiodisplasia
2 Ulkus dengan Di rumah Tidak stabil 3
pembuluh darahsakit
yang
visibel tanpa
perdarahan
3 >4
4 Perdarahan aktif,
varises,
keganasan SCBA
Total skor <3 tidak memerlukan rawat inap, total skor >3 memerlukan rawat inap.
2.1.1. Sistem Stratifikasi Risiko Komplikasi Tanpa Endoskopi
2.1.1.1. GBS (Glasgow-Blatchford Score)
GBS pertama kali diperkenalkan oleh Blatchford dkk untuk menilai perlunya perawatan rumah
sakit untuk intervensi (transfusi darah, tindakan terapi endoskopi atau pembedahan) dan risiko
kematian pada perdarahan SCBA. Uji validasi yang dilakukan pada tahun 2000 terhadap sistem
skor ini menyebutkan bahwa nilai GBS 0 merupakan kelompok dengan risiko rendah dan dapat
menjalani rawat jalan, sedangkan semakin tinggi nilai GBS maka mengindikasikan perlunya
tindakan intervensi untuk mencegah komplikasi perdarahan SCBA (Blatchford dkk, 2000). Skor
ini telah dipergunakan secara luas untuk menilai risiko komplikasi perdarahan SCBA akibat
perdarahan non variseal dan disebutkan pula dari beberapa penelitian bahwa skor ini
memberikan hasil yang lebih baik untuk memprediksi komplikasi yang dapat timbul pada
perdarahan SCBA dibandingkan dengan Rockall score (Pang dkk, 2010; Jeune dkk, 2011; Ahn
dkk, 2013).
Tabel 2.6. Penilaian GBS (PGI, 2012).
Variabel Poin Variabel Poin
TD sistolik 100- Hb (pria) 12-12,9
109
1 10-11,9 1
90-99
2 <10 3
<90
3 6
Ureum (mg/dL) Hb (wanita) 10-11,9
36,5-44,5
2 <10 1
44,6-55,5
3 2
55,6-139,9
4
>140
6
Variabel lainnya
Nadi >100 Melena
1
Penyakit hati Gagal1
jantung
2
2
Total skor 0 mengindikasikan dapat dilakukan rawat jalan, total skor >6 mengindikasikan
kelompok risiko tinggi dan perlu dilakukan intervensi.
2.1.1.1. Sistem AIMS65
Sistem skor ini diperkenalkan oleh Saltzman dkk (2011) untuk menilai prognosis pada perdrahan
SCBA. Variabel-variabel yang dinilai pada sistem skor ini adalah usia di atas 65 tahun, tekanan
darah sistolik, status kesadaran, INR, dan serum albumin. Total skor <1 disebutkan sebagai
kelompok dengan risiko rendah untuk terjadi komplikasi perdarahan SCBA dan skor >2
merupakan kelompok dengan risiko tinggi (Bakhtavar dkk, 2016; Monteiro dkk, 2016).
Tabel 2.7. Penilaian Skor AIMS-65 (Bakhtavar dkk, 2016).
Variabel Skor
Albumin<3 g/dL 1
INR >1,5 1
TD sistolik <90mmHg 1
Perubahan status mental 1
Usia >65 tahun 1
Total skor <1 berisiko rendah terjadinya komplikasi, total skor >2 berisiko tinggi terjadinya
komplikasi.

2.1.1.2. Sistem T-score


Sistem T-score merupakan sistem stratifikasi risiko perdarahan SCBA yang diperkenalkan oleh
peneliti di Italia. Sistem skor ini menggunakan 4 variabel yang masing-masing memiliki nilai 1-
3. Variabel-variabel yang dinilai adalah kondisi umum, denyut nadi, tekanan darah sistolik, dan
kadar hemoglobin. Interpretasi dari sistem skor ini dibedakan menjadi T1 bila didapatkan
total skor <6 yang mengindikasikan kelompok berisiko tinggi, T2 bila didapatkan total skor 7-9
yang mengindikasikan kelompok berisiko sedang, dan T3 bila didapatkan total skor >10 yang
mengindikasikan kelompok berisiko rendah. Sistem skor ini disebutkan dapat memprediksi
stigmata berisiko tinggi untuk terjadinya perdarahan pada temuan endoskopi dengan cukup
akurat, yaitu pada kelompok dengan total skor <6 (Bakhtavar dkk, 2016; Monteiro dkk,
2016).
Tabel 2.8. Penilaian Sistem T-score (Bakhtavar dkk, 2016).
Skor 1 2 3
Variabel
Kondisi umum Buruk Sedang Baik
Nadi >110 90-110 <90
TD sistolik <90 90-110 >110
Hb <8 9-10 >10
T1: total skor <6 kelompok berisiko tinggi, T2: total skor 7-9 kelompok berisiko sedang, T3:
total skor >10 kelompok berisiko rendah.
2.2.2. Indeks NIEC (North Italian Endoscopic Club)
Stratifikasi risiko untuk deteksi dini komplikasi perdarahan variseal berupa perdarahan ulang dan
kematian merupakan hal yang sulit untuk dilakukan. Hal ini disebabkan komplikasi yang timbul
tidak hanya berkaitan dengan derajat beratnya perdarahan variseal yang terjadi, namun berkaitan
pula dengan berat penyakit dasar yang menimbulkan perdarahan variseal tersebut terjadi
(Bambha dkk, 2007; Hunter dan Hamdy, 2007). Berdasarkan hal tersebut maka hingga saat ini
hanya indeks NIEC saja yang disarankan untuk menilai risiko komplikasi perdarahan pada
varises esofagus (Zoli dkk, 1996; Merkel dkk, 2000; Jensen, 2002).
Indeks NIEC merupakan sebuah sistem penilaian yang dikembangkan untuk menilai risiko
perdarahan variseal pada varises esofagus. Penilaian ini pertama kali diperkenalkan pada tahun
1988 oleh North Italian Endoscopy Club. Ada pun parameter yang dinilai adalah derajat Child
Turcotte Pugh penyakit sirosis hati, ukuran varises esofagus, dan adanya stigmata mata
perdarahan berupa red wale. Semakin tinggi nilai dari indeks NIEC maka risiko perdarahan
variseal pun akan semakin besar. Ada pun hasil dari penghitungan dari indeks NIEC akan
dibedakan menjadi 6 kelompok kelas risiko. Kelompok kelas risiko 1-3 akan digolongkan
menjadi risiko rendah mengalami perdarahan dan kelas risiko 4-6 masuk kategori berisiko tinggi
untuk terjadinya perdarahan variseal (Zoli dkk, 1996; Merkel dkk, 2000; Jensen, 2002).
Tabel 2.9. Penilaian indeks NIEC (Jensen, 2002).
Variabel Poin
Child Turcotte Pugh A
BC 6,5
13
19,5
Ukuran Varises Kecil
Sedang Besar 8,7
13
17,4
Tanda Red Wale Tidak ada
Ringan
3,2
Sedang
6,4
Berat
9,6
12,8
Risiko rendah terjadi perdarahan bila indeks NIEC <30, risiko tinggi terjadi perdarahan bila
indeks NIEC >30.
Tabel 2.10. Interpretasi penilaian indeks NIEC (Jensen, 2002).
Risiko Kelas Indeks NIEC Risiko Perdarahan
Variseal (%)
1 <20 9,5
2 20-25 15,8
3 25,1-30 22
4 30,1-35 32
5 35,1-40 50
6 >40 63,6

2.2.3. Skor C-WATCH


Sistem stratifikasi risiko yang ada hingga saat ini belum ada yang dapat digunakan untuk menilai
perdarahan variseal dan non variseal (ASGE, 2012; PGI, 2012; Gralnek dkk, 2015; Monteiro
dkk, 2016). Penggunaan GBS dan Rockall score untuk menstratifikasi risiko komplikasi pada
perdarahan SCBA akibat perdarahan variseal telah diteliti oleh Lahiff dkk (2012) dan
Thanapirom dkk (2016). Hasil dari kedua penelitian tersebut adalah GBS dan Rockall score tidak
dapat digunakan untuk menstratifikasi risiko komplikasi perdarahan variseal. Berdasarkan atas
hal tersebut maka diperlukan adanya sistem stratifikasi risiko komplikasi perdarahan SCBA yang
dapat dipergunakan pada perdarahan variseal dan non variseal.
Umumnya perdarahan SCBA akibat variseal dan non variseal sulit dibedakan secara cepat pada
perawatan di ruang gawat darurat. Ada pun risiko kematian dan perdarahan ulang pada
perdarahan variseal lebih tinggi dibandingkan perdarahan non variseal, sehingga sistem
stratifikasi risiko yang digunakan sebaiknya dapat mengestimasi risiko komplikasi perdarahan
SCBA pada kedua penyebab tersebut dengan baik dan akurat guna memberikan penatalaksanaan
lebih baik pada kelompok berisiko tinggi (Hearnshaw dkk, 2011; Hoffman, 2015). Pada tahun
2015, Hoffman dkk memperkenalkan sebuah skor baru, yaitu skor C-WATCH untuk
menstratifikasi risiko komplikasi perdarahan SCBA, baik akibat perdarahan variseal dan non
variseal.
Skor C-WATCH sesungguhnya merupakan sistem stratifikasi risiko komplikasi dengan
menggunakan parameter klinis. Skor C-WATCH pertama kali diperkenalkan di Jerman oleh
Hoffman dkk pada tahun 2015. Skor ini sesungguhnya diperkenalkan sebagai Cologne-WATCH
risk score, karena penelitian dilakukan di Rumah Sakit Cologne-Jerman, dan disingkat menjadi
skor C-WATCH (Hoffman dkk, 2015). Ada pun parameter yang diukur pada skor ini adalah
CRP, leukosit (white blood cells), ALT, trombosit, creatinine dan hemoglobin.

Kerusakan mukosa dan robeknya pembuluh darah pada perdarahan SCBA akan merangsang sel-
sel inflamasi lokal, seperti monosit, makrofag dan neutrofil, untuk melepaskan sitokin-sitokin
proinflamasi ke dalam aliran darah. Sitokin- sitokin tersebut adalah interleukin (IL)-1, IL-6, IL-8
dan tumor necrosis factor-a (TNF-a) (Afessa, 1999; Koseoglu dkk, 2009). Pelepasan sitokin-
sitokin tersebut akan merangsang hati untuk memproduksi protein fase akut, salah satunya
adalah CRP, dan menstimuli sumsum tulang untuk memproduksi leukosit lebih banyak ke aliran
darah perifer (Koseoglu dkk, 2009; Namas dkk, 2009). Ada pun tujuan dari proses inflamasi ini
adalah mengeliminasi sel dan jaringan yang telah rusak atau nekrosis dan memulai proses
penyembuhan dari jaringan.
Hilangnya darah di intravaskular akibat perdarahan SCBA akan mengakibatkan menurunnya
kadar Hb sehingga pasokan oksigen ke jaringan pun akan berkurang (Bonanno, 2012). Hal ini
akan mengaktivasi sistem kompensasi di dalam tubuh. Sistem kompensasi tersebut terdiri dari
aktivasi sistem simpatis dan mekanisme kompensasi humoral. Aktivasi sistem simpatis akan
meningkatkan denyut jantung, kekuatan kontraktilitas jantung dan vasokonstriksi sistemik untuk
meningkatkan resistensi vaskuler sistemik. Mekanisme kompensasi humoral terdiri atas
pelepasan catecholamine, aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron dan pelepasan
vasopressin. Pelepasan catecholamine dan aktivasi sistem renin- angiotensin-aldosteron akan
mengakibatkan vasokonstriksi perifer dan peningkatan efek aktivasi sistem simpatis. Ada pun
efek lain dari sistem renin-angiotensin- aldosteron adalah meningkatkan reabsorbsi air dan garam
melalui ginjal. Pelepasan vasopressin akan merangsang refleks haus dan berperan pula pada
reabsorbsi air melalui ginjal. Peran dari sistem renin-angiotensin-aldosteron dan vasopressin
bertujuan untuk meningkatkan volume intravaskuler yang berkurang akibat terjadinya
perdarahan SCBA (Bonanno, 2012; Klabunde, 2012).
Tujuan utama dari aktivasi kedua sistem kompensasi, sistem simpatis dan mekanisme humoral,
adalah meningkatkan kembali tekanan arteri dan volume intravaskular sehingga perfusi dan
pasokan oksigen pada jantung dan otak dapat terjaga (Klabunde, 2012). Ada pun perfusi pada
ginjal, usus, liver dan otot dapat mengalami penurunan akibat vasokonstriksi perifer yang timbul
sebagai respon dari aktivasi sistem simpatis dan mekanisme kompensasi humoral. Menurunnya
perfusi pada ginjal dan liver akan mengakibatkan iskemik sehingga terjadi gangguan pada fungsi
kedua organ tersebut (Guiterrez dkk, 2004; Klabunde, 2012). Hal inilah yang menyebabkan
peningkatan kadar creatinine serum dan ALT pada perdarahan SCBA.
Kondisi inflamasi yang terjadi pada perdarahan SCBA akibat rusaknya mukosa dan robeknya
pembuluh darah akan mengaktivasi trombosit untuk memulai proses hemostasis guna
menghentikan perdarahan yang terjadi. Aktivasi sistem hemostasis ini diperkuat pula oleh
sitokin-sitokin proinflamasi seperti IL-1, IL-6 dan TNF-a (Margetic, 2012; Davidson, 2013).
Trombosit berperan untuk membentuk kerangka dasar hemostasis guna menghentikan
perdarahan. Kerangka dasar hemostasis ini dikenal sebagai platelet plug, yang selanjutnya akan
dipadatkan oleh fibrin untuk membentuk hemostatic plug (Ferreira dkk, 2010; Gale, 2011). Ada
pun gangguan pada trombosit, baik berupa gangguan jumlah atau pun gangguan fungsi, akan
menghambat proses hemostasis untuk menghentikan perdarahan (Gale, 2011; Margetic, 2012,
Davidson, 2013). Berdasarkan hal tersebut, maka trombosit merupakan komponen penting pada
proses hemostasis untuk menghentikan perdarahan.
Beberapa penelitian telah menunjukkan hubungan antara kadar CRP dengan perdarahan SCBA.
Peningkatan kadar CRP selain berkaitan dengan kerusakan jaringan pada perdarahan SCBA,
berkaitan pula dengan inflamasi aktif pada gaster (Boehme dkk, 2007; Koseoglu dkk, 2009;
Tomizawa dkk, 2014; Lee dkk, 2015). Ada pun leukosit dapat meningkat pula terkait dengan
proses inflamasi yang timbul pada perdarahan SCBA, hal ini telah ditunjukkan oleh penelitian
Chalasani dkk pada tahun 1997. Beberapa penelitian lain menyebutkan pula bahwa peningkatan
leukosit merupakan sistem kompensasi dari tubuh atas kehilangan darah secara akut (Koseoglu
dkk, 2009; Tomizawa dkk, 2016).
ALT dan creatinine merupakan salah satu parameter yang dapat menilai gangguan fungsi organ
akibat perdarahan SCBA. Peningkatan kadar kedua parameter tersebut mengindikasikan bahwa
perdarahan SCBA yang terjadi cukup berat, sehingga menimbulkan iskemik pada sistem organ,
khususnya ginjal dan hati (Taylor dkk, 2014; Laney dan Greene, 2015).
Gangguan pada trombosit akan mengakibatkan terganggunya proses hemostasis untuk
menghentikan perdarahan SCBA. Trombosit pada perdarahan akut akan mengalami peningkatan
mengingat adanya sistem kompensasi tubuh terhadap perdarahan akut, namun apabila kadar
trombosit menurun akan mengindikasikan adanya gangguan sistem koagulasi (Maltz dkk, 2000;
Laney dan Greene, 2015). Selain itu, kadar trombosit yang rendah disebutkan dapat digunakan
sebagai penanda beratnya hipertensi portal yang terjadi pada kasus-kasus dengan perdarahan
variseal (Carqueira dkk, 2012).
Berdasarkan atas hal-hal tersebut maka parameter-parameter yang dinilai pada skor C-WATCH
relevan digunakan untuk menilai risiko komplikasi perdarahan SCBA. Penelitian Hoffman dkk
(2015) menunjukkan bahwa skor C-WATCH <2 merupakan kelompok dengan risiko rendah
terjadinya komplikasi dan skor >2 adalah kelompok yang memerlukan perawatan rumah sakit
untuk dilakukan pemantauan dan terapi endoskopi. Ada pun nilai AUC pada penilitian tersebut
untuk skor C-WATCH adalah sebesar 0,723, hal ini mengindikasikan bahwa secara statistik skor
C-WATCH tergolong baik untuk mendeteksi secara dini adanya komplikasi perdarahan SCBA
(Hoffman dkk, 2015). Penggunaan skor ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut agar dapat
dipergunakan secara luas, mengingat skor ini masih tergolong baru.
Tabel 2.11. Penilaian Skor C-WATCH (Hoffmann dkk, 2015).
Variabel Skor
CRP
<5 0
>5 1
WBC
<11,300 0
>11,300 1
ALT
<35 (laki-laki) dan <50 (perempuan) 0
>35 (laki-laki) dan >50 (perempuan) 1
Trombosit
>150,000 0
50,000-150,000 1
<50,000 2
Creatinine
<1.1 (laki-laki) dan <0.9 (perempuan) 0
>1.1 (laki-laki) dan >0.9 (perempuan) 1
Hb
>14 (laki-laki) dan >12 (perempuan) 0
10-14 (laki-laki) dan 10-12 (perempuan) 1
<10 2

2.3. Validitas dan Realibilitas


Validitas (kesahihan) dan reliabilitas (keterandalan) adalah dua karakteristik yang amat penting
dan menentukan kualitas dari alat ukur dan pengukuran (Sastroasmoro dan Ismael, 2011;
Sugiyono, 2011). Validitas merupakan produk dari validasi. Validasi adalah proses untuk
menentukan kemampuan dari suatu alat untuk dapat digunakan. Dalam proses validasi juga
meliputi analisis karakteristik performa dari suatu tes diagnostik seperti misalnya spesifisitas,
sensitivitas, standarisasi, repeatability, cut off (Ederven, 2010). Yang dimaksud dengan performa
dari diagnostik tes adalah kemampuan suatu alat untuk mengkonfirmasi atau mengeksklusi suatu
penyakit (Gatsonis dan Paliwel, 2006).
Reliabilitas adalah konsistensi pengukuran yaitu suatu alat atau instrumen memberikan nilai
yang sama atau hampir sama pada pemeriksaan yang dilakukan berulang-ulang. Namun harus
dipahami bahwa tidak ada satu pengukuran pun yang memiliki validitas dan reliabilitas yang
sempurna (Sugiyono, 2011).
2.3.1. Validitas
Suatu pengukuran disebut valid bila pengukuran dengan suatu alat ukur atau instrumen dapat
menggambarkan hal yang sebenarnya ingin diukur. Validitas mengacu pada kebenaran dan
kesesuaian hasil pengukuran. Terdapat beberapa tipe validitas.
2.3.1.1. Validitas isi (content validity)
Menggambarkan seberapa jauh kumpulan variabel dalam instrumen dapat mewakili atau
merupakan representasi dari hal yang hendak diukur. Penilaian validitas isi adalah secara
judgemental oleh seorang pakar dan bukan secara statistik (Azwar, 2010).
2.3.1.2. Validitas kriteria (criterion validity)
Menggambarkan seberapa jauh hasil satu pengukuran sesuai dengan hasil pengukuran lain
dengan menggunakan alat yang dianggap baku emas (gold standar). Penilaian validitas kriteria
dilakukan dengan membandingkan secara statistik hasil suatu uji dengan uji lain yang dianggap
baku emas. Bila suatu instrumen yang diuji belum memiliki baku emas, penilaian dilakukan
dengan kemampuan diskriminan (discriminant ability) atau dengan menggunakaan known group
validity, yaitu apakah suatu alat ukur dapat menunjukkan perbedaan yang bermakna pada subyek
yang hendak diukur dibandingkan dengan hasil pengukuran dari subyek atau kelompok
pembanding. Kelompok pembanding diambil dari populasi yang berbeda karakteristiknya
dengan populasi yang akan diukur (Azwar, 2010; Sugiyono, 2011).
2.3.1.3. Validitas kontruksi (construct validity)
Validitas ini menggambarkan seberapa jauh hasil pengukuran suatu alat ukur sesuai dengan
konsep teoritis yang mendasari keadaan yang diukur. Dalam penilaian validitas kontruksi
dilakukan analisis untuk membuktikan apakah pertanyaan yang terkandung dalam suatu alat ukur
mewakili apa yang hendak diukur. Dari pengujian tersebut akan menghasilkan nilai koefisien
korelasi tiap butir pertanyaan terhadap nilai total yang bervariasi dari yang lemah hingga yang
kuat (Azwar, 2010; Sugiyono, 2011).
2.3.2. Realibilitas
Reliabilitas adalah seberapa konsisten suatu alat ukur menghasilkan nilai yang stabil pada
pengulangan tes. Hasil pengukuran dapat dipercaya bila dalam beberapa kali pelaksanaan
pengukuran terhadap kelompok subyek yang sama diperoleh hasil yang relatif sama, selama
aspek yang diukur dalam diri subyek memang belum berubah. Dalam hal ini berarti tetap adanya
toleransi terhadap perbedaan-perbedaan kecil diantara hasil beberapa kali pengukuran. Terdapat
3 macam pendekatan reliabilitas yang akan dijelaskan di bawah (Azwar, 2010; Sugiyono, 2011).
2.3.2.1. Reliabilitas test-retest (intra-observer reliability)
Pengukuran pada subyek yang sama oleh orang yang sama pada waktu yang berbeda
menghasilkan hasil yang sama. Asumsi yang menjadi dasar cara ini adalah bahwa suatu tes yang
reliabel akan menghasilkan skor yang relatif sama apabila dikenakan 2 kali pada waktu yang
berbeda. Dalam menggunakan cara ini perlu diperhatikan adanya kemungkinan perubahan
kondisi subyek sejalan dengan perbedaan watu penyajian tes. Dalam bentuk lain, efek bawaan
dapat terjadi karena masih ingatnya subyek pada jawaban yang pernah diberikannya waktu
pertama kali tes disajikan, dan sebagai akibat dari proses pembelajaran dari tes yang pertama kali
dikerjakan. Adalah tidak mudah untuk menentukan berapa lama tenggang waktu yang disediakan
diantara dua kali pemberian tes pada cara ini. Bila tenggang waktu terlalu singkat akan sangat
mungkin terjadi efek bawaan atau pembelajaran sedangkan bila terlalu panjang mungkin akan
terjadi perubahan aspek yang akan diukur dalam diri subyek (Azwar, 2010; Sugiyono, 2011).
2.3.2.2. Reliabilitas inter-observer
Pengukuran suatu instrumen pada subyek yang sama oleh pemeriksa yang berbeda menunjukkan
hasil yang sama. Karena tes ini dilakukan 2 kali pada subyek yang sama, maka kemungkinan-
kemungkinan seperti pada cara test-retest dapat terjadi (Azwar, 2010).
2.1.1.1. Reliabilitas konsistensi interna (internal consistency reliability)
Pendekatan konsistensi internal dilakukan dengan menggunakan satu tes yang hanya dikenakan
pada satu kali pengukuran pada sekelompok subyek (single- trial administration). Dengan
menyajikan tes hanya sekali maka kemungkinan- kemungkinan seperti yang telah disebutkan di
atas dapat dihindari. Pendekatan ini bertujuan untuk melihat konsistensi antar item dalam tes itu
sendiri. Untuk melihat kecocokan atau koordinasi diantara item tes dapat dilakukan melalui
teknik korelasi (Azwar, 2010).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas (SCBA) merupakan salah satu kasus
kegawatan dibidang gastroenterologi yang saat ini masih menjadi permasalahan dalam
bidang kesehatan dan perekonomian dunia.
Perdarahan SCBA adalah perdarahan lumen saluran cerna yang terjadi di sebelah
proksimal ligamentum treitz, mulai dari esofagus, gaster, duodenum sampai pada bagian
atas dari jejunum. Penyebab utama perdarahan SCBA di Indonesia adalah varises karena
sirosis hati, sedangkan di Negara Eropa dan Amerika penyebab terbanyak berasal dari
ulkus peptikum. Manifestasi klinik yang timbul berupa hematemesis, melena,
haematochezia, perdarahan tersamar dan gejala atau tanda kehilangan darah misalnya
anemia, sakit kepala, sinkop, angina atau sesak nafas. Faktor risiko perdarahan SCBA
adalah usia, jenis kelamin, pemakaian Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS),
pemakaian obat antiplatelet, mengkonsumsi alkohol, merokok, riwayat gastritis, diabetes
mellitus, dan infeksi bakteri Helicobacter pylori.
3.2 Saran

Anda mungkin juga menyukai