STATUS PASIEN
1.2 ANAMNESIS
Keluhan utama
Demam
1
• Riwayat penyakit demam tifoid tidak ada
• Riwayat penyakit TB tidak ada
Riwayat Kebiasaan
• Memakan makanan sembarangan diakui pasien
• Sering telat makan
Riwayat Lingkungan
• Penyakit wabah disekitar rumah os disangkal
• Teman os yang mengalami penyakit serupa disangkal
Riwayat Kehamilan
• Ibu pasien berusia 28 tahun ketika mengandung pasien. Riwayat demam,
hipertensi, dan DM tidak ada. Riwayat minum jamu-jamuan tidak ada.
Riwayat Kelahiran
• Pasien anak pertama dan lahir secara pervaginam ditolong bidan, BBL = 3500
gram, PB tidak diketahui, sianotik tidak dijumpai dan bayi menangis spontan.
Riwayat Imunisasi
• Lengkap
Riwayat ASI
• 0 sampai 1 tahun.
Riwayat MPASI
• Usia 0 sampai 6 bulan ASI dan susu formula
• Usia 6 sampai 9 bulan makan bubur susu
• Usia 10 bulan makan nasi tim
• Usia 12 mulai makan seperti dewasa
2
SpO2 : 99%
BB : 55 kg
Tekanan darah : -
Heart rate : 90 x/i
Respiration rate : 24x/i
Term. : 38 derajat celcius
Skala nyeri :5
2. Keadaan Spesifik
Kepala dan leher
Kepala : Normocepali, tidak ada kelainan
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat isokor,
refleks cahaya (+/+)
Hidung : Pernapasan cuping hidung (-)
Mulut : Bibir kering dan pecah-pecah (-), terdapat lendir mulut (+), ujung
lidah tremor (+), tengah lidah kotor dengan tepi kemerahan, rhagades
(+)
Tenggorokan : dinding faring hiperemis (-), tonsil hiperemis (-/-), T1/T1, thrust (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), Pembesaran Kelenjar Tiroid (-)
Dada
a. Paru
Inspeksi : Statis dan dinamis, paru kanan dan kiri simetris, retraksi dada (-/-)
Palpasi : Strem fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Aukultasi : Vesikuler (+/+), rongki (-/-), wheezing (-/-)
b. Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : Bunyi jantung I-II normal,murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar, scar (-), luka bekas operasi (-)
Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (+), defans muskular (-), hepar dan lien tidak
teraba.
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Peristaltik (+) normal
Ekstremitas
Akral hangat, CRT <3", Deformitas (-), pucat (-), dingin (-)
Kulit
Petekie (-), ruam mukopapular (-), eksantem (-)
3
Genitalia/Rektal
Genital dan rektal tidak terdapat kelainan
b. Pemeriksaan widal
2
S. Typhi O 1/80 Negatif
1.5 Diagnosis
1.6 Tatalaksana
1.7 Komplikasi
- Perforasi usus
- Perdarahan usus
- Neuropsikiatri
- Miokarditis
- Hepatitis tifosa
1.8 Prognosis
Prognosis pasien demam tifoid tergantung deteksi dini, ketepatan terapi, usia, keadaan
kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antibiotik
yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka mortalitasnya >10%.
Munculnya komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis,
endokarditis, dan pneumonia mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
1.9 Follow Up
Tanggal Follow Up
24/5/21 Pasien masuk igd rsud siti aisyah
(hari rawatan pertama)
5
S : Demam, mual, muntah, tidak BAB, nyeri ulu hati, sakit perut kiri.
O:
Keadaan Umum
- Kesadaran : Compos mentis
- Berat badan : 55 kg
- Tekanan darah : 100/60 mmHg
- Frekuensi Nadi : 90x/i
- Frekuensi Pernapasan : 24x/i
- Suhu tubuh : 38,7oC
- Saturasi oksigen : 99%
- Skala nyeri :4
Keadaan spesifik
Mulut : Bibir kering (-), lidah kotor (+)
Abdomen : Nyeri tekan (+) epigastrium, peristaltik (+) normal.
A : Demam Tifoid
P:
Pasien dirawat inap
Tirah baring
M II
IVFD RL 20 gtt/i
Injeksi ceftriaxone 1.500 mg / 24 jam (I)
Injeksi ondansentron 4 mg / 12 jam
Infus PCT flash 1 gr / 8 jam
Rencana : Konsultasi dr. Susiana Hermawati,Sp.A
2
S : Demam naik turun, muntah (-)
O:
Keadaan Umum
- Kesadaran : Compos mentis
- Berat badan : 55 kg
- Tekanan darah : 100/60 mmHg
- Frekuensi Nadi : 90x/i
- Frekuensi Pernapasan : 20x/i
- Suhu tubuh : 38,3oC
- Saturasi oksigen : 99%
Keadaan spesifik
Mulut : Bibir kering (-), lidah kotor (-)
Abdomen : Nyeri tekan (+) epigastrium, peristaltik (+) normal.
A : Demam Tifoid
P:
M II
IVFD RL 20 gtt/i
Injeksi ceftriaxone 1.500 mg / 24 jam (III)
Infus PCT flash 1 gr / 6 jam
Inj. Ondansentron 4 mg/12 jam = > stop
27/5/21 Hari rawatan ke-empat
S : Demam (-)
O:
Keadaan Umum
- Kesadaran : Compos mentis
- Berat badan : 55 kg
- Tekanan darah : 110/70 mmHg
- Frekuensi Nadi : 86x/i
- Frekuensi Pernapasan : 18 x/i
- Suhu tubuh : 37,5oC
- Berat badan : 55 kg
- Saturasi oksigen : 99%
Keadaan spesifik
Mulut : Bibir kering (-), lidah kotor (-)
Abdomen : Nyeri tekan (-) epigastrium, peristaltik (+) normal.
A : Demam Tifoid
P:
M II
IVFD RL 20 gtt/i
Injeksi ceftriaxone 1.500 mg / 24 jam (IV)
Infus PCT flash 1 gr / 6 jam => stop
28/5/21 Hari rawatan kelima
S : Demam (-), mual (-), muntah (-)
O:
- Keadaan Umum : Baik
- Kesadaran : Compos mentis
- Tekanan darah : -
- Frekuensi Nadi : 96 x/i
- Frekuensi Pernapasan : 24 x/i
7
- Suhu tubuh : 36,5oC
- Berat badan : 55 kg
- Saturasi oksigen : 99%
- Nyeri tekan epigastrium (-), Nyeri perut kiri (-)
A : Demam Tifoid
P:
M II
IVFD RL 20 gtt/i
Injeksi ceftriaxone 1.500 mg / 24 jam
Obat pulang :
- Cefixime tablet 2x 200 mg sesudah makan
- Paracetamol tablet 3x500 mg sesudah makan (jika demam)
- Ondansentron tablet 2x 4 mg sebelum makan (jika muntah)
- Antasida tablet 3x500 mg 30 menit sebelum makan
2
BAB II
Tinjaun Pustaka
2.1 Definisi
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi sistemik akut yang mengenai sistem
retikuloendotelial, kelenjar limfe saluran cerna, dan kandung empedu. Disebabkan terutama
oleh Salmonella enterica serovar typhi (S. typhi) dan menular melalui jalur fekal-oral.1-5
2.2 Etiologi
Demam tifoid merupakan suatu penyakit sistemik yang secara klasik disebabkan oleh
Salmonella typhi (S. typhi), namun dapat pula disebabkan oleh S. paratyphi A, S. paratyphi B
(Schottmuelleri), S. paratyphi C (Hirscheldii).6-9 Salmonella typhosa (gambar 1), basil gram
negatif, bergerak dengan rambut getar, tidak berkapsul, tidak berspora, bersifat aerob dan
fakultatif anaerob.6,10 Mempunyai sekurang-kurangnya 3 macam antigen yaitu antigen O
(somatik, terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope
antigen (K) yang terdiri dari polisakarida, serta memiliki endotoksin. Salmonella typhi juga
dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multipel
antibiotik.6,10
Bakteri Salmonella typhi (S.typhi) termasuk ke dalam famili Enterobacteriacease.11
Klasifikasi bakteri S.typhi menurut Todar adalah sebagai berikut :
Kingdom : Bacteria
Phylum : Proteobacteria
Class : Gamma Proteobacteria
Order : Enterobacteriales
Family : Enterobacteriaceae
Genus : Salmonella
Species : S. enterica
Serovar : Typhi13
Gambar 1. Bakteri S.typhi Penyebab demam tifoid
S.typhi adalah bakteri gram (-), memberikan hasil positif pada reaksi fermentasi
manitol dan sorbitol,dan memberikan hasil negatif pada reaksi indol, DNAse, VP, dan reaksi
fermentasi sukrosa dan laktosa. S.typhi tumbuh pada suhu 15-41oC dengan suhu pertumbuhan
9
optimum adalah 37,5oC dengan pH media berkisar antara 6-8. Dalam media pembenihan
SSAgar, Endo agar, dan MacConkey koloni S.typhi akan berwarna hitam. S.typhi akan
mengalami kematian pada suhu 56 ‘C dan pada keadaan kering. Di dalam air, S.typhi dapat
bertahan selama 4 minggu.11
2.3 Epidemiologi
Salmonellosis, terutama demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan di
Indonesia. Insidens penyakit ini di negara maju sebesar kurang dari 0.2/100.000 penduduk,
sedangkan di negara berkembang mencapai lebih dari 10 500/100.000 penduduk.
Berdasarkan catatan medis Departemen IKA, RS Cipto Mangunkusumo terdapat tidak kurang
dari 50 pasien/tahun demam tifoid memerlukan perawatan. Makanan dan minuman yang
terkontaminasi merupakan mekanisme transmisi kuman Salmonella, termasuk S. typhi.5,10
Diperkirakan insiden penyakit ini adalah 3,1 per 1000 penduduk dengan kasus fatal
mencapai 5,1 %. Meskipun penyakit ini tidak terbatas pada kelompok umur tertentu, namun
angka kejadian cukup tinggi pada anak umur diatas 5 tahun. 6,10,11 Angka kematian nasional
rata-rata adalah pada rentang 2-3,5 %, selanjutnya dari kasus-kasus penyakit demam tifoid
tersebut 3-5% pasien akan menjadi pasien karir asimtomatik (asymphtomatic carrier)
sehingga menjadi suatu sumber infeksi baru lagi bagi masayrakat sekitar karena
kecenderungan di Indonesia adalah sanitasi buruk, karier yang tidak terdeteksi (undetected
carrier) dan keterlambatan diagnosis dan pengobatan yang tidak komprehensif .1,6
2
Waktu inkubasi S.thypi dalah 12 jam s.d 36 jam. Gejala yang timbul pada masa inkubasi
dapat berupa demam, sakit pada bagian perut dan dapat terjadi diare. 2,3,6,7,9,11
Secara molekular pathogenesis infeksi S.thypi dimulai ketika bakteri dapat bertahan
dari asam lambung dan mencapai ke usus halus.diusus halus, bakteri akan menembus sel
epitel usus untuk mencapai sel M, kemudian akan memasuki peyer’s patch. Setelah kontak
dengan sel M, infeksi bakteri akan semakin cepat dan akan mencapai Antigen Precenting
Cells (APCs), dimana sebagian akan di fagositosis dan di netralisasi. Proses fagositosis
terhadap bakteri diatur secara tersendiri yang kemudian menjadi lesi patologis disekitar
jaringan normal. Pembentukan lesi adalah dinamis memerlukan kehadiran molekul adesi
seperti ICAM (intercellular adhesion molecul 1), VCAM-1 Vascular Cell Adhesion Molecul
1) dan adanya keseimbangan peran dari beberapa sitokin seperi TNF- α IL-12, IL-18, IL-
14, IL-15 dan interferon (IFN). Kegagalan dalam pembentukan lesi patologis akan
mengakibatkan terjadinya pertumbuhan abnormal dan penyebaran bakteri didalam jaringan
yang diinfeksi. Beberapa bakteri akan mampu elewti dan akan mencapai folikel limfoid, akan
dibentuk oleh sel mononuclear yaitu sel T limfosit, yang akan berfungsi sama baiknya dengan
Dendritic Cells (DC). DC akan mempresentasikan bakteri pada sel-sel imun yang akan
memicu aktivasi limfosit T dan limfosit B.11
Limfosit T dan limfosit B keluar menuju limpho nodus dan akan mencapai hati dan
limpa melalui sistem reikuloendotelial. Di dalam organ ini bakteri akan dibunuh dengan
mekanisme fagositosis melalui sistem makrofag. Bagaimanapun S.thypi mampu bertahan dan
bermultiplikasi di dalam sel fagositosis mononukleus. Pada awal mula infeksi berdasarkan
jumlah bakteri, faktor virulensi bakteri, dan respon imun dari inang, bakteri akan dilepaskan
dari intraselular menuju ke aliran darah. Fase bakterimia dari penyakit demam tifoid akan
ditandai dengan menyebarnya kuman ke berbagai organ, seperti hepar, limpa, sumsum
tulang, gall bladder, dan Payer’s patch diterminal ileum. Di hepar S.thypi akan merangsang
aktivasi sel Kupffer. Sel ini memiliki sifat mikrosibidal dan akan menetralisir bakteri melalui
oksidasi radikal bebas, nitric oxide yang akan aktif dalam pH asam. Bakteri yang mampu
bertahan akan menginvasi hepatosit dan menyebabkan kematian sel, mekanisme apoptosis.11
Dalam jangka waktu 1-3 minggu kuman akan bereplikasi didalam hati, limpa, dan
sistem retikuloendotelial. Sel yang terinfeksi akan mengalami kerusakan dan menyebabkan
kuman berpindah ke dalam kantung empedu dan menjadi infeksi sekunder pada usus halus
pada ileum. Pada fase dimana terjadi kasus infeksi berat. Invasi pada mukosa menyebaban
11
epitel-epitel sel memproduksi dan melepaskan beberapa sitokin proinflamasi termasuk IL-1,
IL-6, IL-8, TNF-β, INF, GM-CSF.11
Pada organ hepar S.thypi akan merangsang adanya proliferasi sel-sel radang akibat
endotoksin yang dikeluarkan. Secara mikroskopis akan terlihat adanya sel-sel epiteloid
berinti besar, pelebaran sinusoid, peradangan vena sentralis, dan nekrosis pada sel-sel
heptosit.11
Terjadinya nekrosis pada sel-sel hepar ditandai dengan matinya sel sehingga hepat
tidak dapat melakukan fungsi nya dengan baik. Kemampuan hepar untuk melakukan
regenerasi merupakan suatu proses yang sangat penting agar hati dapa pulih dari kerusakan
yang ditimbulkan oleh proses infeksi bakteri.11
2
seperti syok, septik dan kematian pada penderita. Endotoksin dari S.typhi dapat menimbulkan
gangguan sirkulasi perifer dan gangguan pada multi organ.11-13
4. Fase penyembuhan (minggu 4), fase ini adalah fase akhir dari demam tifoid,
merupakan perjalanan menuju sembuh. Pada fase ini penderita akan menuju sembuh jika
diberi pengobatan dan tanpa terjadi komplikasi serta telah dapat diatasi.11
2.6 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis berupa demam, gangguan
gastrointestinal, delirium. Diagnosis pasti ditegakkan dengan ditemukan kuman pada biakan
darah. Saat ini sudah tersedia beberapa rapid diagnostic test untuk S. typhi yang memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang cukup tinggi seperti tes tubex.14
2.7 Tatalaksana
Pengobatan antibiotik merupakan pengobatan utama karena pada dasarnya
patogenesis infeksi S. typhi berhubungan dengan keadaan bakterimia. World Health
Organization (WHO) merekomendasikan anak dengan demam tifoid diterapi dengan
fluoroquinolone (Ciprofloxacin, Gatifloxacin, Ofloxacin, and Perfloxacin) sebagai
pengobatan lini pertama selama 7-10 hari. Dosis ciprofloxacin oral adalah 2x15
mg/kgBB/hari. selama 7–10 hari. Jika respon terhadap pengobatan menunjukkan hasil yang
jelek, maka diberikan antibiotik lini kedua, seperti cephalosporin generasi ke-3 atau
azithromycin. Dosis ceftriaxone (IV) adalah 80 mg/kgB/hari selama 5–7 hari, atau
Azithromycin: 20 mg/kgBB/hari selama 5–7 hari.5,6
1) Pengobatan Kausal
Kloramfenikol, ampisilin dan kotrimokzasol termasuk dalam pengobatan
konvensional. Menurut penelitian Ringo-ringo 1996 pada 61 kasus demam tifoid anak di
Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM didapatkan sensitivitas kloramfenikol 91,8% dan
resisten pada 4,9%.6 Berdasarkan hasil tersebut, sampai saat ini kloramfenikol masih
merupakan antibiotik pilihan utama untuk demam tifoid pada anak.6,7,14
a. Lini Pertama
1. Kloramfenikol
Banyak penelitian membuktikan bahwa obat ini masih sensitif untuk Salmonella typhi.
Kloramfenikol dapat menekan produksi sumsum tulang sehingga pemberian kloramfenikol
13
memerlukan perhatian khusus pada kasus demam tifoid dengan leukopenia (tidak dianjurkan
pada leukosit < 2000/ µl).
Salah satu kelemahan kloramfenikol adalah tingginya angka relaps dan karier. Namun
pada anak hal tersebut jarang dilaporkan.
2. Ampisilin / Amoksisilin Ampisilin memberikan respon perbaikan klinis yang kurang
apabila dibandingkan dengan kloramfenikol. Pemberian ini 14 memberikan hasil yang setara
dengan kloramfenikol walaupun penurunan demam lebih lama. Antibiotik ini banyak
digunakan untuk pengobatan infeksi lain sehingga kemungkinan resisten menjadi lebih
tinggi.
3. Kotrimoksasol
Antibiotik ini banyak digunakan untuk pengobatan infeksi lain sehingga kemungkinan
resisten menjadi lebih tinggi.
b. Lini Kedua
1. Seftriakson
Pada anak besar (> 9 tahun) sering dijumpai demam tifoid berat yang menyerupai
manifestasi pada orang dewasa. Pada keadaan ini, antibiotik sefalosporin generasi ketiga
yang diberikan secara parenteral menjadi pilihan.
2. Sefiksim
Akhir-akhir ini, sefiksim oral sering digunakan sebagai alternatif. Indikasi pemberian
sefiksim adalah jika terdapat penurunan jumlah leukosit hingga < 2000/µl atau dijumpai
resistensi terhadap S. typhi.
3. Kuinolon
Efikasi obat golongan ini terhadap demam tifoid cukup baik. Fluorokuinolon memiliki
angka kesembuhan mendekati 100 % dalam kesembuhan klinis dan bakteriologis disamping
kemudahan pemberian secara oral. Hanya saja, pemberian obat 15 ini tidak dianjurkan untuk
anak. Hal ini disebabkan adanya pengaruh buruk penggunaan kuinolon terhadap
pertumbuhan kartilago.
4. Asitromisin
Beberapa penelitian menunjukkan adanya penurunan demam pada hari ke 4. Antibiotik
ini diberikan selama 5 – 7 hari.
2) Terapi Suportif
Pengobatan suportif menentukan keberhasilan pengobatan demam tifoid dengan antibiotik.
Pengobatan suportif yang terpenting adalah pemberian cairan dan kalori.
2
Diet pada anak yang menderita demam tifoid biasanya tidak terlalu ketat bila
dibandingkan dengan dewasa. Makanan tidak berserat dan mudah dicerna dapat diberikan.
Pemberian makanan setelah demam reda berupa makanan yang lebih padat dengan kalori
yang cukup.
Antipiretik diberikan pada demam yang terlalu tinggi. Para ahli menganjurkan pemberian
antipiretik apabila demam lebih dari 39oC. Pada anak yang mempunyai riwayat kejang
demam, antipiretik dapat diberikan lebih awal.
Pada kasus demam tifoid berat perlu diperhatikan tentang kebutuhan volume cairan
intravaskular dan jaringan dengan pemberian oral atau parenteral, fungsi sirkulasi, oksigenasi
jaringan, 16 dan memelihara nutrisi dengan memperhitungkan jumlah kalori yang dibutuhkan
dengan pemberian makanan per oral maupun parenteral.6
2.8 Komplikasi
Perforasi usus halus dilaporkan terjadi pada 0,5 – 3%, sedangkan perdarahan usus
terjadi pada sekitar 1 – 10% kasus demam tifoid pada anak. Biasanya didahului dengan
penurunan suhu, tekanan darah dan peningkatan frekuensi nadi. Serta nyeri abdomen lokal
pada kuadran kanan bawah, nyeri yang menyelubung, muntah, nyeri pada perabaan abdomen,
defance muskulare, hilangnya keredupan hepar dan tanda peritonitis lain yang terjadi pada
perforasi usus halus. Selain itu dapat terjadi komplikasi seperti neuropsikiatri, miokarditis,
hepatitis tifosa, dan lainnya.6,9
2.9 Prognosis
Prognosis pada umumnya baik pada demam tifoid tanpa komplikasi. Hal ini juga
tergantung pada ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan sebelumnya dan komplikasi.6
15
BAB III
ANALISIS KASUS
Menurut KMK tahun 2006 penegakkan diagnosis demam tifoid secara klinis dan
dibantu dengan pemeriksaan penunjang. Diagnosis yang ditegakan harus sampai pada
probable dan sebaiknya sampai diagnosis etiologi (confirm). Pemeriksaan mikrobiologis
harus ada pemeriksaan serologis dan sedapatnya juga ada pemeriksaan biakan dan uji
kepekaan. Diagnosis komplikasi dan komorbid juga harus lengkap, artinya telah dibantu
dengan pemeriksaan penunjang.10
2
Gangguan saluran pencernaan
Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang lama. Bibir
kering dan kadang-kadang pecah-pecah. Pada umunya penderita mengeluh nyeri perut,
terutama region epigastrik (nyeri ulu hati) disertai nausea, mual dan muntah. Pada awal sakit
sering meteorismus dan konstipasi. Pada minggu selanjutnya kadang-kadang timbul diare.10-21
Gangguan kesadaran
Umumnya terdapat gangguan kesadaran yang kebanyakan berupa penurunan
kesadaran ringan. Sering didapatkan kesadaran apatis dengan kesadaran seperti berkabut
(tifoid). Bila klinis berat, tidak jarang penderita sampai somnolen dan koma atau dengan
gejala psychosis (Organic Brain Syndrome). Pada penderita toksik gejala delirium lebih
menonjol.9,10,17,22
Bradikardi relatif
Bradikardi relatif adalah peningatan suhu tubuh yang tidak diikuti oleh peningatan
frekuensi nadi 8 denyt dalam 1 menit.10,17-18,20
Rose spot
Rose spot merupakan kumpulan lesi makulopapular eritematus dengan diameter 2-
4 mm yang sering ditemukan diregio thorax dan abdomen. Tanda rose spot ini terdapat pada
5 sampai 30% kasus dan tida terlihat pada pasien kulit gelap.10,17,19,20
Coated tongue
Lidahkotor yang ditutupi selaput putih dengan pinggiran eritem serta ujung lidah
tremor.10,19-21
Hepatosplenomegali
Hati atau limpa ditemukan sering membesar pada perabaan. Hati terasa kenyal dan
nyeri tekan.10,21
17
Pemeriksaan penunjang baku emas untuk mendiagnosis demam tifoid adalah kultur
darah (biakan darah). Namun tidak tersedia dan membutuhkan waktu yang lama maka dapat
digunakan pemeriksaan tes widal nilai tes diagnostic tes widal adalah melihat adanya
kenaikan titer antigen o (somatic) dan/atau antigen H (flagellar) Salmonella enteric serotype
thypi pada 2 kali pengambilan specimen serum dengan interval waktu 10-14 hari. Namun
dalam praktek klinis pengambilan specimen seru untuk tes Widal hanya menggunakan
specimen serum tunggal.24
Pada kasus ini, pemeriksaan yang digunakan yaitu pemeriksaan darah tepi dan tes
widal. Pada pemeriksaan darah tepi dijumpai hemaglobin mulai rendah yaitu 12.10 G/Dl,
leukosit normal yaitu 7.300/mm3 , trombosit normal yaitu 256.000/mm3 .Pada pemeriksaan tes
widal didapati hasilnya yaitu S. paratyphi AH 1/320, S. typhi H 1/160.24,25
Berdasarkan gejala demam intermiten, lidah pahit, mual, muntah, nyeri ulu hati,
nyeri perut kiri. konstipasi, batuk dengan tanda bradikardi relatif, lidah kotor, dan
pemeriksaan darah tepi anemis serta tes widal S. paratyphi AH 1/320 dan S.typhi H 1/160.
Hal ini semakin menguatkan diagnosis demam tifoid.24,25
Malaria
Keluhan utama demam, menggigil, dengan riwayat berkunjung dan bermalam ke
daerah endemik malaria. Riwayat sakit malaria, riwayat minum obat malaria. Pada penderita
malaria berat dapat dengan gejala kejang, keadaan umum lemah, mata dan tubuh kuning,
nafas cepat, warna air seni pekat. Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai sclera ikterik,
telapak tangan kuning, hepatomegali. Pada hasil laboratorium dapat dijumpai anemia akibat
lisisnya sel darah merah. Pemeriksaan sediaan darah tebal dan tipis akan dijumpai hasil
positif dengan tampak spesies dan stadium plasmodium, kepadatan parasite.26
ISK
Keluhan utama penderita ISK khususnya pielonefritis pada anak yaitu demam
tinggi disertai menggigil, gejala saluran cerna seperti mual, muntah, diare. Tekanan darah
pada umumnya masih normal, dapat ditemukan nyeri pinggang. Gejala neurologis dapat
berupa iritabel dan kejang.27
TB Paru
Berat badan turun atau tidak naik dalam 2 bulan sebelumnya atau terjadi gagal
tumbuh (failure to thrive) meskipun telah diberikan upaya perbaikan gizi yang baik dalam
2
waktu 1-2 bulan. Demam lama (≥2 minggu) dan / atau berulang tanpa sebab yang jelas.
Demam umumnya tidak tinggi dan keringat malam. Batuk lama ≥2 minggu, batuk bersifat
non-remitting (tidak pernah reda atau insensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain
batuk telah dapat disingkirkan. Batu tidak membaik dengan pemberian antibiotika atau obat
asma (sesuai indikasi). Anak lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.28
Anemia Aplastik
Diagnosis anemia aplastik ditegakkan berdasarkan keadaan pansitopenia yang
ditandai oleh anemia, leukopenia dan trombositopenia pada darah tepi. Keadaan inilah yang
menimbulkan keluhan pucat, perdarahan dan demam yang disebabkan oleh infeksi. Pada
pemeriksaan fisik, tidak ditemukan hepatosplenomegali atau limfadenopati. Disamping
keadaan pansitopenia, pada hitung jenis juga menunjukkan gambaran limfositosis relatif.
diagnosis pasti anemia aplastik ditentukan berdasarkan pemeriksaan pemeriksaan aspirasi
sumsum tulang yang menunjukkan gambaran sel yang sangat kurang, terdapat banyak
jaringan ikat dan jaringan lemak, dengan aplasi sistem eritropoetik, granulopoetik dan
trombopoetik.29
19
Hal ini sesuai dengan kasus demam tifoid ini, pemberian injeksi ceftriaxone 1.500
mg/24 jam sebagai terapi utama untuk kasus demam tifoid.
Pada hari rawatan ke-3 tanggal 26 – mei – 2021 ibu pasien mengeluhkan demam
naik turun namun sudah tidak muntah. Maka injeksi ondansentron di berhentikan sedangkan
infus pct flash dilanjutkan.
Pada hari rawatan ke-5 tanggal 28 – mei – 2021 ibu pasien mengatakan bahwa
anaknya sudah tidak ada keluhan dan dokter mengizinkan pulang dengan obat-obatan yaitu :
o Cefixime tablet 2x100 mg
o Paracetamol tablet 3x500 mg (jika demam)
o Ondansentron tablet 2x4 mg (jika muntah)
o Antasida tablet 3x500 mg (dikunyah 30 menit sebelum makan)
2
BAB IV
KESIMPULAN
Demam tifoid pada ana disebabkan oleh bakteri gram negative Salmonella thypi yang
ditularkan melalui jalur fecal-oral yang mana pada nantinya akan masuk ke saluran cerna dan
melalukan replikasi pada ileum terminal.
Demam tifoid pada anak memiliki gejala yang cukup spesifi berupa demam intermiten,
gangguan gastrointestinal, dan gangguan saraf pusat. Demam yang terjadi lebih dari 7 hari
terutama pada sore menjelang malam dan turun pada pagi hari. Gejala gastrointestinal bisa
berupa konstipasi ataupun diare serta nyeri ulu hati. Pada cavum oris bisa ditemukan Tifoid
Tongue yaitu lidah kotor dengan tepi eritema serta ujung lidah tremor. Gangguan susunan
saraf pusat berupa sindroma otak organic biasanya anak sering mengigau waktu tidur. Dalam
keadaan yang berat dapat terjadi penurunan kesadaran seperti delirium, supor sampai koma.
Diagnosis dapat ditegakkan dengan klinis namun untuk diagnosis defenitif harus dengan
pemeriksaan penunjang Demam Tifoid seperti Darah Lengkap, tes widal, atau kultur darah.
Penatalaksanaan demam tifoid meliputi terapi simptomatik sesuai dengan gejala yang
dialami pasien dan terapi utama yaitu antibiotik yang sensitif terhadap bakteri Salmonella
thypi. Selain terapi dianjurkan untuk tirah baring dan diet tinggi kalori tinggi protein rendah
serat.
21
DAFTAR PUSTAKA
2
14. Setyowati. Gambaran Jumlah Lekosit Pada Penderita Demam Tifoid Di Puskesmas
Kartasura Kabupaten Sukoharjo. Thesis. 2018. From :
http://repository.unimus.ac.id/id/eprint/2324
15. Rosinta L. Hubungan Durasi Demam Dengan Kadar Leukosit Pada Penderita Demam
Tifoid Ana Usia 5-10 Tahun Yang Dirawat Inap Di Rumah Sakit Al-Ihsan Periode
Januari-Desember Tahun 2014. Skripsi. 2015
16. Marianti. Evaluasi Rasionalitas Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Dewasa Demam
Tifoid Di Instalasi Rawat Inap Rs Pku Muhammadiyah Gampang Periode Januari 2016-
Desember 2017. KTI. 2019.
17. Gultom, M. Karakteristi Penderita Demam Tifoid Yang Dirawat Inap Di Rumah Sakit
Santa Elisabeth Medan Tahun 2016. Skripsi. 2017.
18. Hadi S, Amaliyah, dkk. Karakteristi Penderita Demam Tifoid Di RS. Ibnu Sina Kota
Makassar Tahun 2016-2017. UMI Medical Journal. Juni 2020.5(1).
19. Levani Y, Prasetya AD. Demam Tifoid : Manifestasi Klinis, Pilihan Terapi Dan
Pandangan Dalam Islam Jurnal Berkalah Ilmu Kedoteran. Februari 2020.3(1).
20. Hartanto, D. Diagnosis Dan Tatalaksana Demam Tifoid Pada Dewasa. Continuing
Medical Education. 2021.48(1).
21. Septiani, D. Studi Literature Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Dengan
Demam Tifoid. KTI. 2020
22. Martha, A. Epidemiologi, Manifestasi Klinis, Dan Penatalaksanaan Demam Tifoid.
Journal Of Nutrition And Health. 2019.7(2).
23. Sucipta,Am. Baku Emas Pemeriksaan Laboratorium Demam Tifoid Pada Anak. Jurnal
Skala Husada. April 2015. 12(1).
24. Wardana, Herawati S, Dkk. Diagnosis Demam Thypoid Dengan Pemeriksaan Widal.
Smf Patologi Klinik Fk Universitas Udayana.2020.
25. Mahartini, N. Pemeriksaan Widal Untuk Mendiagnosis Salmonella Thypi Di
Puskesmas Denpasar Timur 1. KTI. 2018.
26. Fitriany J, Sabiq A. Malaria. Jurnal averrous. 2018. 4(2).
27. Pardede SO, Tambunan T, dkk. Konsensus Infeksi Saluran Kemih Pada Anak. Jakarta :
IDAI.2011.
28. Kemenkes RI. Petunjuk Teknis Manajemen dan Tatalaksana TB Anak.Jakarta:2016.
29. Isyanto, Abdulsalam M. Masalah pada Tata Laksana Anemia Aplasti Didapat. Sari
Pediatri: 2005,7(1).
23
30. Alan R, Tumbelaka. Diagnosis dan Tatalaksana Demam Tifoid Dalam Pediatrics
Update. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta : 2003.