Anda di halaman 1dari 7

Resiko penggunaan zat adiktif terhadap gangguan bipolar

A. Pendahuluan
Prevalensi penyalahgunaan obat-obatan terlarang di dunia meningkat sejak
tahun 2006- 2013. Besaran prevalensi penyalahgunaan di dunia diestimasi sebesar
4,9% atau 208 juta pengguna di tahun 2006 kemudian mengalami sedikit
penurunan pada tahun 2008 dan 2009 menjadi 4,6% dan 4,8%. Namun kemudian
meningkat kembali menjadi 5,2% di tahun 2011 dan tetap stabil hingga 2013.
Diperkirakan ada sekitar 167 hingga 315 juta orang penyalahguna dari populasi
penduduk dunia yang berumur 15-64 tahun yang menggunakan obat-obatan
terlarang minimal sekali dalam setahun pada tahun 2013. (infodatin kemenkes)
Hasil survei BNN bekerja sama dengan Pusat Penelitian Kesehatan UI tahun
2014 telah melahirkan angka prevalensi penyalahgunaan narkoba secara umum
sebesar 2,21% atau setara dengan 4.173.633 orang. (Jurnal Al-Ta’dib)
Beberapa faktor yang mempengaruhi penyalahgunaan zat adiktif pada remaja,
dilihat dari sudut pandang psikososial yaitu perilaku menyimpang yang terjadi
akibat negatif dari interaksi 3 faktor sosial yang tidak kondusif yaitu faktor
keluarga, faktor sekolah dan faktor masyarakat. Remaja dalam kehidupan sehari-
hari hidup dalam 3 faktor yaitu faktor keluarga, faktor sekolah dan faktor
lingkungan sosial masyarakat. Bila ketiga faktor tersebut tidak kondusif maka
sebagai hasil interaksi ketiga faktor tersebut menyebabkan resiko perilaku
menyimpang menjadi lebih besar yang berakibat pada penyalahgunaan NAZA
(Narkotika, Alkohol dan Zat Adiktif).
Zat adiktif adalah bahan yang dapat menimbulkan kerugian bagi seseorang
yang menggunakannya akibat timbulnya ketergantungan psikis seperti golongan
alkohol, nikotin dan sebagainya. Penyalahgunaan NAPZA sangat memberikan efek
yang tidak baik dimana bias mengakibatkan adiksi (ketagihan) yang berakibat pada
ketergantungan. Menurut Hawari, hal tersebut terjadi karena sifat-sifat narkoba
yang menyebabkan:
1. Keinginan yang tidak tertahankan (an over powering desire) terhadap zat
yang dimaksud dan kalau perlu dengan jalan apapun untuk
memperolehnya.
2. Kecendrungan untuk menambahkan takaran atau dosis dengan toleransi
tubuh.
3. Ketergantungan psikologis, yaitu apabila pemakaian zat dihentikan akan
menimbulkan gejala-gejala kejiwaan, seperti kegelisahan, kecemasan,
depresi, dan sejenisnya.
4. Ketergantungan fisik yaitu apabila pemakaian zat dihentikan akan
menimbulkan gejala fisik yang dinamakan gejala putus obat (withdrawal
symptoms). (Jurnal Kesehatan Masyarakat)

Jumlah penderita gangguan jiwa dari tahun ke tahun mengalami peningkatan.


WHO (2009) memperkirakan 450 juta orang di seluruh dunia mengalami
gangguan mental, sekitar 10% adalah orang dewasa dan 25% penduduk
diperkirakan akan mengalami gangguan jiwa pada usia tertentu selama hidupnya.
Menurut National Alliance of Mental Illness (NAMI) berdasarkan hasil sensus
penduduk Amerika Serikat tahun 2013, di perkirakan 61.5 juta penduduk yang
berusia lebih dari 18 tahun mengalami gangguan jiwa, 13,6 juta diantaranya
mengalami gangguan jiwa berat seperti skizofrenia, gangguan bipolar, dan lain
lain.

Indonesia merupakan Negara berkembang dengan jumlah penderita gangguan


jiwa yang cukup besar. Data hasil riset kesehatan dasar tahun 2013 (Depkes,
2013) yang dilakukan oleh Badan Penelitian Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan, menunjukkan prevalensi gangguan jiwa di Indonesia
sebesar 1.7 permil, artinya dari 1000 penduduk Indonesia, maka satu sampai dua
orang diantaranya menderita gangguan jiwa berat. (Jurnal Keperawatan
Muhammadiyah)

Banyak penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa orang dengan riwayat


penyalahgunaan zat psikoaktif dua kali lipat lebih banyak mengalami gejala
psikotik dibandingkan dengan populasi umum. Penggunaan zat psikoaktif yang
berkelanjutan juga berhubungan dengan berkembangnya gejala depresif, gejala
positif dan negatif dan menurunkan fungsi pasien secara global. (Brigita Sanina
Manullang dan High Boy K Hutasoit)

B. PEMBAHASAN
1. Definisi Zat Adiktif

Pada umumnya zat adiktif menimbulkan khayalan, selain itu juga dapat
menimbulkan rangsangan pada pemakai. Zat adiktif adalah bahan yang
menyebabkan adiksi atau ketergantuangan dan membahayakan kesehatan ditandai
dengan perubahan perilaku, kognitif dan fenomena fisiologis, keinginan kuat untuk
mengkonsumsi bahan tersebut, kesulitan dalam mengendalikan penggunanya,
memberi prioritas pada penggunaan bahan tersebut daripada kegiatan lain,
meningkatnya toleransi dan dapat menyebabkan keadaan gejala putus zat
(Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 109 Tahun 2012). Kelompok zat
adiktif meliputi alkohol, nikotin, obat hisap, pelarut dan lem fox. (Jurnal Al-
Ta’dib)

2. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Penyalahgunaan Zat Adiktif


a. Keluarga

Keluarga sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat mempunyai peranan


penting sebagai latar belakang penyalahgunaan zat adiktif. Peran orang tua dan
kondisi keluarga mempengaruhi perkembangan kepribadian anak. Keadaan
keluarga yang tidak kondusif mempunyai resiko bagi remaja untuk terlibat
dalam penyalahgunaan zat adiktif dibandingkan dengan remaja yang dididik
dalam keluarga yang sehat dan harmonis. Beberapa kondisi dalam keluarga
yang beresiko munculnya gangguan kepribadian dan penyimpangan perilaku
bagi usia remaja, antara lain kematian orang tua, perceraian orang tua,
hubungan orang tua yang tidak harmonis, suasana rumah tangga yang tegang,
kondisi keluarga tanpa kehangatan, orang tua sibuk dan jarang di rumah.

b. Teman Sebaya
Pengaruh buruk dari lingkungan pergaulan, khususnya pengaruh dan
tekanan dari kelompok teman sebaya sering menjadi sumber penyebab
terjadinya penyalahgunaan zat adiktif. Kelompok teman sebaya tersebut
berperan sebagai media awal perkenalan dengan zat adiktif. Seseorang yang
menjadi pecandu narkotika pada dasarnya adalah orang-orang yang tidak
mempunyai kepribadian yang mantap sehingga mudah dipengaruhi oleh orang
lain terutama teman sebaya dan lingkungan. Adanya rasa ingin tahu dan ingin
mencoba-oba, pengaruh dari teman agar dapat diterima dalam lingkungan
mereka atau untuk menunjukkan rasa solidaritas, untuk melarikan diri dan
untuk memperoleh rasa aman. Pengaruh teman sebaya dapat menciptakan
keterikatan dan kebersamaan, sehingga yang bersangkutan sukar melepaskan
diri. Pengaruh teman sebaya tidak hanya pada saat mengenal zat adiktif,
melainkan juga yang menyebabkan seseorang menjadi ketergantungan
terhadap zat adiktif.
c. Lingkungan

Kondisi lingkungan sosial yang tidak sehat atau rawan merupakan faktor
terganggunya jiwa atau kepribadian remaja kearah perilaku menyimpang yang
pada gilirannya terlibat penyalahgunaan zat adiktif. Lingkungan yang rawan
tersebut antara lain: tempat hiburan yang buka hingga larut malam bahkan
hingga dini hari di mana sering digunakan sebagai tempat transaksi dan
pelacuran, perumahan yang padat kumuh, banyaknya penertiban, tontonan, TV
dan sejenisnya yang bersifat pornografi, kekerasan dan kriminalitas antar
warga dan antar sekolah. (Buku Pedoman Praktis mengenai Penyalahgunaan
NAPZA bagi petugas Puskesmas)

3. Definisi Gangguan Bipolar

Gangguan bipolar merupakan gangguan mood kronis yang ditandai dengan


adanya episode mania atau hipomania yang terjadi secara bergantian atau
bercampur dengan episode depresi. Gangguan bipolar disebut juga sebagai depresi
manik, gangguan afektif bipolar atau gangguan spektrum bipolar.
4. Faktor Resiko ((Kaplan & Sadock’s, 2015)
a. Factor stres lingkungan

Hubungan antara kehidupan yang penuh stress dengan episode suasana hati
yang pertama telah dilaporkan untuk kedua pasien dengan gangguan depresi
mayor dan pasien dengan gangguan bipolar I. Sebuah teori yang diusulkan
untuk menjelaskan pengamatan ini adalah stres yang menyertai episode
pertama menghasilkan perubahan jangka panjang di otak. Perubahan-
perubahan yang 13 berlangsung lama ini dapat mengubah berbagai keadaan
fungsional Neurotransmiter dan sistem pensinyalan intraneuronal, perubahan
yang mungkin termasuk kehilangan neuron dan pengurangan berlebihan dalam
portal sinaptik. Akibatnya, seseorang memiliki risiko lebih tinggi mengalami
episode gangguan mood berikutnya.

b. Factor personal

Pada dasarnya semua manusia, memiliki pola kepribadian yang


menjadikannya depresi. Orang dengan gangguan kepribadian tertentu OCD,
histrionik mungkin memiliki risiko depresi lebih tinggi daripada orang-orang
dengan gangguan kepribadian antisosial atau paranoid. Itu dapat menggunakan
proyeksi dan mekanisme pertahanan eksternal lainnya untuk melindungi diri
dari kemarahan dalam diri mereka.

c. Factor psikodinamik pada depresi dan mania

Pandangan dari Sigmund Freud dan diperluas oleh Karl Abraham dikenal
sebagai pandangan klasik tentang depresi. Teori tersebut berkaitan erat dengan
empat hal penting: (1) gangguan pada hubungan bayi-ibu selama fase awal (10
sampai 18 bulan pertama kehidupan) menjadi predisposisi kerentanan depresi
selanjutnya; (2) depresi yang dapat dikaitkan dengan objek yang nyata atau
yang dibayangkan; (3) introjeksi yang berasal dari objek merupakan
mekanisme pertahanan yang diajukan untuk mengatasi kesusahan menyikapi
kehilangan objek; dan (4) membayangkan benda yang hilang dianggap sebagai
campuran cinta dan benci, perasaan marah diarahkan ke dalam dirinya sendiri

5. Patofisiologi

Patofisiologi bipolar belum sepenuhnya dipahami. Teknik pencitraan seperti


post emission tomography (PET) dan functional magnetic resonance imaging
(fMRI) digunakan dalam penjelasan mengenai penyebab bipolar.
Penelitianpenelitian terdahulu befokus pada neurotransmitter seperti norepinefrin
(NE), dopamine (DA) dan serotonin. Faktor lain yang dapat menjadi penyebab
gangguan bipolar adalah faktor genetik Suatu studi keluarga menunjukkan bahwa
keluarga tingkat pertama dari penderita gangguan bipolar memiliki risiko 7 kali
lebih besar terkena gangguan bipolar I dibandingkan populasi umum. Risiko
seumur hidup gangguan bipolar pada keluarga penderita ialah 40- 70% untuk
kembar monozigot dan 5-10% untuk kerabat tingkat pertama lainnya.

6. Tatalaksana
a. Mania dan Episode Campuran

Pengobatan mania akut, atau hipomania, bisa digunakan dalam bentuk


tungga atau dapat dilakukan kombinasi. Pasien dengan mania berat paling baik
diobati di rumah sakit dimana dosis harus tepat dan outcome yang akan
didapat, dalam beberapa hari atau minggu. Kepatuhan terhadap pengobatan
sering menjadi masalah karena pasien kebanyakan mania sangat membutuhkan
pengetahuan tentang penyakit mereka dan kebanyakan menolak untuk minum
obat.

Lini pertama untuk episode mania atau campuran (berat) adalah inisiasi
litium dengan antipsikotik, atau asam valproat dengan antipsikotik. Bagi pasien
yang tidak terlalu parah, monoterapi dengan lithium, valproate, atau
antipsikotik seperti olanzapine mungkin cukup. Pengobatan tambahan jangka
pendek yaitu benzodiazepin juga bisa membantu. Untuk episode campuran,
valproat lebih disukai daripada litium. Antipsikotik atipikal lebih disarankan
dari pada antipsikotik khas karena profil efek sampingnya yang lebih minimal.

b. Episode Depresi

Etiology dari depresi antara lain alkohol atau penggunaan obat. Mengobati
gejala depresi tersebut dapat dilakukan dengan cara pemberian nutrisi yang
baik dengan protein normal dan asupan asam lemak esensial, berolahraga, tidur
yang cukup, pengurangan stres, dan terapi psikososial.

Pengobatan lini pertama untuk depresi bipolar adalah inisiasi litium atau
lamotrigin. Monoterapi antidepresan tidak dianjurkan. Sebagai alternatif,
terutama untuk pasien yang sakit parah, beberapa dokter akan melakukan
perawatan simultan dengan litium dan antidepresan. Sejumlah besar penelitian
membuktikan kemanjuran psikoterapi dalam pengobatan depresi unipolar. Pada
pasien dengan kemungkinan mengancam jiwa, bunuh diri, atau psikosis, ECT
juga merupakan alternatif yang dapat digunakan karena ECT bisa
dipergunakan kepada pasien depresi selama kehamilan. (Uzlifatul Zannah)

C. Kesimpulan

Dari penelitian diatas, terdapat kesimpulan bahwa gangguan bipolar bukan hanya
karena disebabkan oleh zat adiktif melainkan dapat disebabkan oleh factor-factor
lain seperti, factor sosial, factor keluarga, dan factor lingkungan. Oleh karena itu,
agar tidak mengalami gangguan bipolar kita harus menjauhi dan tidak
menggunakan zat adiktif.

D. Daftar Pustaka

Anda mungkin juga menyukai