Anda di halaman 1dari 7

Kemajemukan Agama, Ras dan Etnik

2.1.       Pengertian Kemajemukan Agama, Ras dan Etnik


Selain makhluk individu, manusia juga makhluk sosial yang membentuk kelompok
persekutuan hidup. Tiap kelompok persekutuan hidup manusia juga beragam. Masyarakat
sebagai persekutuan hidup itu berbeda dan beragam karena ada perbedaan, misalnya dalam ras,
suku, agama, budaya, ekonomi, status sosial, jenis kelamin, daerah tempat tinggal, dan lain-lain.
Hal yang demikian kita katakan sebagai unsur-unsur yang membentuk kemajemukan dalam
masyarakat.
Kemajemukan asal katanya adalah majemuk, yang berarti terdiri atas beberapa bagian yang
merupakan kesatuan, sedangkan kemajemukan berarti keanekaragaman, heterogenitas, pluralitas
dan  kehomogenan; homogenitas.
Dengan demikian, kemajemukan agama, ras dan etnik dapat di artikan sebagai
keanekaragaman agama, ras dan etnik.

2.2.       Kemajemukan Agama


2.2.1.      Makna Kemajemukan Agama
Kemajemukan agama (baca: pluralisme agama) merupakan salah satu isu sentral di tengah
diskursus pemikiran Islam (Islamic thought). Isu ini semakin dirasakan mendesak setelah umat
beragama mendapati bahwa dunia telah berubah menjadi sebuah desa global (global village).
Kesan setiap penganut agama terisolasi dari penganut agama lain tergeser menjadi anggota
masyarakat majemuk yang berdampingan dan saling berinteraksi. Karena itu, kehadiran umat
lain (al-akhar) harus dianggap sebuah potensi ketimbang ancaman yang dapat merusak
masyarakat.
Belajar dari perputaran roda sejarah masa lalu dimana umat beragama saling membunuh
dan saling curiga, kini umat beragama diarahkan bagaimana ia memandang positif eksistensi
umat beragama lain dan mengikis benih-benih kecurigaan itu. Pertumpahan darah atas nama
Tuhan yang pernah terjadi dialihkan kepada persaudaraan kemanusiaan dalam kasih sayang-Nya.
Kemajemukan agama tidak hanya sebatas pengakuan akan adanya kehadiran umat beragama
lain, tapi juga kesediaan untuk menjalin kerjasama sosial demi tertatanya sebuah masyarakat
yang harmonis dan religius.
Kemajemukan agama adalah hal yang tak bisa dihindari terutama di Indonesia dan untuk
menjaga hubungan yang harmonis, setiap orang harus saling menghormati. Signifikansi
kemajemukan agama ini seringkali mendapati batu sandungan dari pihak-pihak tertentu yang
secara keliru memahaminya. Tidak sedikit pihak yang menyatakan bahwa kemajemukan agama
berarti menyamakan semua agama, atau menyatukan semua agama dalam sebuah ikatan
keyakinan baru (sinkretisme agama). Padahal sesungguhnya tidaklah demikian, kemajemukan
memiliki makna yang amat luas termasuk di dalamnya kerjasama umat beragama dan saling
belajar akan kelebihan masing-masing.
2.2.2.      Pentingnya Kemajemukan Agama
Sedikitnya terdapat tiga karakteristik seseorang dalam menganut sebuah agama; pertama,
eksklusif. Sikap ini menyatakan bahwa agamanya sajalah yang merupakan sumber kebenaran.
Tidak demikian halnya dengan agama-agama lain; kedua, inklusif. Sikap ini menyatakan bahwa
kebenaran tertinggi ada di dalam agamanya. Namun demikian di dalam agama-agama lain juga
terdapat kebenaran; ketiga, pluralis/ paralel. Sikap ini menyatakan bahwa dalam setiap agama
terdapat kebenaran yang juga diajarkan oleh agama yang dianutnya.
Kecuali sikap kedua dan ketiga,sikap pertama menunjukkan ketidaksiapan seseorang
melihat realita yang sesungguhnya. Selain menyatakan bahwa agamanya sajalah yang
merupakan sumber kebenaran tunggal, ia juga menafikan munculnya kebenaran dari sumber-
sumber lain. Sikap demikian tidak saja berbahaya, tapi juga melahirkan kesan seolah-olah dunia
hanya terdiri dari satu warna.
Ekspresi keberagamaan yang lebih lunak ditunjukkan pada sikap yang kedua dan ketiga.
Kesan yang ditawarkan kedua sikap ini menunjukkan bahwa pluralitas keyakinan adalah sebuah
kenyataan sosiologis yang tak mungkin dihindari. Karena itu, tujuan utama seorang penganut
agama bukan untuk melakukan uniformisasi atas kenyataan yang terbentang di depan mata,
melainkan apa nilai tambah yang dapat digali dari keragaman keyakinan dan tradisi keagamaan
itu. Darah hitam sejarah sebagai konsekuensi dari uniformisasi adalah cermin kelabu bagi kita
agar tidak terjadi kembali. Tidak sedikit umat beragama saling membunuh satu sama lainnya
karena semua merasa sebagai satu-satunya pemilik sah kebenaran Tuhan dan berkewajiban
menyelamatkan seluruh manusia. Sikap inklusif maupun tadi bukan untuk memperlemah
keimanan yang kita miliki, sebaliknya ia akan menjadi salah satu elemen penguat keimanan kita.
Bukti kuatnya keimanan seseorang tidak ditunjukkan dengan klaim kebenaran (truth claim) yang
dimilikinya dan tuduhan kesesatan atas keyakinan orang lain, melainkan sejauh mana
kehadirannya dapat mengatasi nestapa semua mahluk Tuhan, baik mahluk bernyawa ataupun
benda mati.
Kemajemukan agama tidak hendak menyatakan bahwa semua agama sama, untuk
selanjutnya setiap orang dapat berpindah agama ketika bosan dengan agama terdahulu.
Anggapan ini keliru, sebab kemajemukan agama tidak membenarkan adanya pencampuradukan
agama atau mengizinkan pindah-pindah agama. Kemajemukan agama juga tidak hendak
menegaskan bahwa semua penganut agama (apapun bentuknya) dapat dibenarkan. Untuk itu,
kemajemukan agama dapat dipahami sebagai berikut: Pertama, bukan hanya pengakuan akan
adanya umat lain (the other) tapi juga keterpanggilan jiwa untuk menjalin kerjasama antar
sesama pemeluk agama, bahkan ateissekalipun. Kedua, bukan kosmopolitanisme dimana agama
hidup secara berdampingan tapi tidak saling belajar apalagi bekerjasama. Ketiga,bukan
relativisme yang mana semua agama dianggap benar karena penghargaan kepada penganutnya.
Keempat, bukan sinkretisme dimana semua agama yang ada disatukan untuk kemudian
melahirkan agama baru. Dengan substansi uraian tersebut, jelaslah bahwa kerjasama sosial antar
penganut agama juga disebut pluralisme agama, istilah yang lebih populer untuk kemajemukan
agama. Selain itu, batasan ini juga berfungsi untuk membantah berbagai pihak yang begitu
emosional menolak istilah pluralisme agama sebelum mendudukkannya secara tepat.
Dengan demikian kemajemukan agama tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan
bahwa masyarakat majemuk, beraneka ragam dan terdiri dari berbagai suku dan agama. Hal itu
justru hanya akan menggambarkan fragmentasi, bukan kemajemukan. Kemajemukan agama juga
tidak boleh dipahami sekedar sebagai kebaikan negatif (negative good), hanya ditilik dari
kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisisme (to keep fanaticism at bay). Kemajemukan
agama harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinnekaan dalam ikatan-ikatan keadaban
(genuine engagement of diversities within the bonds of civility). Bahkan kemajemukan agama
adalah suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia. Hal itu bahkan mendorong lahirnya
sebuah kesadaran baru dalam beragama seperti; to be religious is to be interreligious (beragama
berarti membangun hubungan dengan penganut agama lain).
Ada banyak cara untuk membangun toleransi dan kerukunan antar umat beragama dalam
rangka menyikapi kemajemukan agama terutama di Indonesia. Pertama-tama kita garus
membangkitkan pengakuan dan kesadaran, kewajiban dan kebutuhan bersama serta cara-cara
dan dasar-dasar untuk membangkitkan proses komitmen dan penyadaran.
2.2.3.      Kemajemukan Agama dalam Perspektif Islam
Kesadaran teologis dan historis akan kemajemukan agama ini mendapat porsi yang besar
dalam ajaran Islam. Islam menjelaskan bahwa manusia diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-
bangsa untuk saling mengenal (QS. Al-Hujaraat/ 49: 13). Islam mengakui bahwa selain umat
Islam juga ada umat beragama lain yang mesti dihargai (QS. Al-Maa’idah/ 5: 48). Islam juga
meneguhkan bahwa keimanan merupakan pokok persoalan yang harus dijaga sampai kapanpun,
tentu dengan catatan masing-masing pihak memberikan apresiasi (QS. Al-Kaafiruun/ 109: 1-5).
Keyakinan dalam beragama merupakan urusan masing-masing person dan tidak boleh
dipaksakan (QS. Al-Baqarah/ 2: 256). Bahkan Mohamed Talbi dalam tulisannya, Religious
Liberty (1998), menjelaskan bahwa diantara teks-teks wahyu lain hanya al-Qur’an yang
menekankan secara tegas perihal kebebasan beragama ini. Selanjutnya al-Qur’an menyatakan
bahwa seburuk apapun sembahan yang dimiliki non Muslim tidak boleh dicerca oleh kaum
Muslimin (QS. Al-An’Aam/ 6: 108).Beberapa teks keagamaan itu mendasari seluruh hubungan
antara kaum Muslimin dan non Muslim. Dengan demikian, kemajemukan adalah sesuatu yang
menjadi ajaran penting dalam Islam.
Setiap penganut agama (khususnya Muslim) harus sadar bahwa ia hadir bersamaan dengan
“orang lain”. Setiap orang bukan hanya memiliki satu identitas, melainkan multi identitas. Setiap
identitas akan saling menyapa satu sama lainnya. Rasulullah juga mencanangkan semangat
kemajemukan beragama ini. Ketika di Madinah misalnya, beliau mencetuskan Piagam Madinah
(Miytsaq al-Madinah) yang memberikan jaminan kebebasan beragama baik Muslim, Yahudi
maupun Musyrik Madinah. Hal serupa juga dilakukan Umar bin Khattab dengan membuat
Piagam Aelia yang menjamin keamanan, penghargaan terhadap tempat ibadah dan kebebasan
beribadah bagi kaum Nashrani. Disini terlihat jelas bahwa kemajemukan agama mengambil
posisi penting dalam ajaran Islam.

2.3.       Kemajemukan Ras


2.3.1.      Pengertian Ras
Kata ras berasal dari bahasa prancis dan Italia, yaitu razza. Pertama kali istilah ini
diperkenalkan Franqois Bernier, antropologi prancis untuk mengemukakan gagasan tentang
pembedaan manusia berdasarkan kategori atau karakteristik warna kulit dan bentuk wajah.
Setelah itu, orang lalu menetapkan hierarki manusia berdasarkan karakteristik fisik atau biologis.
Ras adalah kategori individu yang secara turun-temurun memiliki ciri fisik dan biologis
tertentu.  Manusia di dunia pasti memiliki perbedaan fisik seperti warna kulit, bentuk hidung,
bentuk rambut, dan sebagainya antara manusia lainnya dimuka bumi. 
Ciri-ciri yang menjadi identitas dari ras bersifat objektif atau somatic. Secara biologis,
konsep ras selalu dikaitkan dengan pemberian karakteristik seseorang atau sekelompok orang ke
dalam suatu kelompok tertentu yang secara genetik memiliki kesamaan fisik, seperti warna kulit,
mata, rambut, hidung, atau potongan wajah.Perbedaan seperti itu hanya mewakili faktor tampilan
luar.
Semua kelompok ras kurang lebih sama dalam karakteristik fisik yang penting. Meskipun
terdapat beberapa pengecualian, perbedaan fisik yang ada hanyalah bersifat kosmetik dan tidak
fungsional.Perbedaan fisik pada makhuk manusia sangat sedikit, jika dibandingkan dengan
perbedaan fisik yang terdapat pada banyak makhluk hidup lainnya, misalnya anjing dan kuda.
Kebanyakan ilmuwan dewasa ini sependapat bahwa semua kelompok ras termasuk dalam
satu rumpun yang merupakan hasil dari suatu proses evolusi, dan semua kelompok ras kurang
lebih sama kadar kemiripannya dengan hewan lainnya.
2.3.2.      Klasifikasi Ras di Dunia
Di dunia ini dihuni berbagai ras. Pada abad ke-19, para ahli biologi membuat klasifikasi ras
atas tiga kelompok, yaitu:
a.         Kaukasoid
b.        Negroid
c.         dan Mongoloid.
2.3.3.      Ras atau Sub-Ras di Indonesia
Adapun ras atau subras yang mendiami kepulauan Indonesia adalah sebagai berikut:
a.         Papua melanesoid yang mendiami wilayah Papua, Aru, dan Kai.
b.        Weddoid yang mendiami daerah Sumatra bagian barat laut.
c.         Malayan Mongoloid yang meliputi Proto Melayu.
d.        Negroid yang mendiami pegunungan Maoke Papua.
e.         Asiatic Mongoloid yang terdiri atas keturunan Tionghoa dan Jepang yang tinggal di Indonesia.
f.         Kaukasoid terdiri atas keturunan Belanda, Inggris, keturunan Arab, India, Pakistan yang tinggal
di Indonesia.

2.4.       Kemajemukan Etnik


2.4.1.      Pengertian Etnik
Sementara itu pengertian dari etnik dari berbagai sumber ialah adalah:
a.         Dalam Ensiklopedia Indonesia disebutkan istilah etnik berarti kelompok sosial dalam sistem
sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat,
agama, bahasa, dan sebagainya.
b.        Menurut Frederich Barth (1988) istilah etnik menunjuk pada suatu kelompok tertentu yang
karena kesamaan ras, agama, asal-usul bangsa, ataupun kombinasi dari kategori tersebut terikat
pada sistem nilai budayanya.
c.         Menurut Anthony Smith, komunitas etnis adalah suatu konsep yang digunakan untuk
menggambarkan sekumpulan manusia yang memiliki nenek moyang yang sama, ingatan sosial
yang sama (Wattimena, 2008), dan beberapa elemen kultural. Elemen-elemen kultural itu adalah
keterkaitan dengan tempat tertentu, dan memiliki sejarah yang kurang lebih sama.
Dari pengertian diatas bisa disimpulkan bahwa etnis adalah sekumpulan manusia yang
memiliki kesamaan ras, adat, agama, bahasa, keturunan dan memiliki sejarah yang sama
sehingga mereka memiliki keterikatan sosial sehingga mampu menciptakan sebuah sistem
budaya dan mereka terikat didalamnya.
2.4.2.      Pola-pola Hubungan antar Etnik
Pola hubungan antar etnik masing-masing ditandai oleh spesifikasi dalam proses kontak
sosial yang terjadi, yaitu akulturasi, dominasi, paternalisme, pluralisme dam integrasi. Hal ini di
ungkapkan secara panjang lebar oleh Michael Banton pada tahun 1967.
Adapun pengertiannya adalah sbb:
a.         Akulturasi akan terjadi apabila dua kelompok etnik mengadakan kontak dan saling
mempengaruhi.
b.        Dominasi terjadi jika suatu kelompok etnik menguasi kelompok lain.
c.         Paternalisme merupakan bentuk antar kelompok etnik yang menampakkan adanya kelebihan
salah satu kelompok terhadap kelompok lain, tanpa adanaya unsur dominasi.
d.        Pluralisme merupakan hubungan yang terjadi di antara sejumlah kelompok etnik, yang di
dalamnya mengenal adanya pengakuan persamaan hak politik dan hak perdata bagi kelompok-
kelompok masyarakat yang berkaitan.
e.         Integrasi adalah pola hubungan yang menekankan persamaan dan bahkan saling
mengintergasikan dari satu dengan yang lain.

Anda mungkin juga menyukai