Anda di halaman 1dari 14

REFERAT

Hypoalbuminemia

Oleh:
Syela Leatemia
112019208

Pembimbing :

dr. Hendra, Sp.PD

KEPANITRERAAN ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN


UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOJA

PERIODE 19 OKTOBER SD 21 NOVEMBER 2020


Daftar isi

Halaman

Definisi ................................................................................................ 1

Fungsi Normal ................................................................................................ 1

Epidemiologi ............................................................................................... . 1

Etiologi ....................................................................................... . 2

Patofisiologi ......................................................................................... . 2

Manifestasi Klinis ....................................................................................... . 10

Pemeriksaan Lab ......................................................................................... . 11

Tatalaksana ....................................................................................... . 13

Edukasi ....................................................................................... . 15

Prognosis ....................................................................................... . 21

Daftar Pustaka ....................................................................................... . 22


Pengertian Hipoalbuminemia
Albumin merupakan protein terbesar dalam plasma darah yang melimpah lebih dari
50%. Albumin terdiri dari 70-80% tekanan onkotik koloid plasma. Ketika protein plasma
terutama albumin tidak mampu untuk menahan tekanan onkotik plasma agar mengimbangi
tekanan hidrostatik maka akan terjadi edema. 1 Albumin disintesis oleh hepatosit hati dan
diekskresikan ke dalam aliran darah dengan kecepatan sekitar 10 gram sampai 15 gram per
hari. Sangat sedikit albumin yang disimpan di hati, dan sebagian besar dengan cepat
dikeluarkan ke dalam aliran darah. 2

Hipoalbuminemia merupakan suatu masalah umum yang terjadi pada pasien dengan
kondisi akut maupun kronis, pada saat masuk Rumah Sakit 20% pasien mengalami
hipoalbuminemia.3 Kadar normal albumin pada orang dewasa berkisar 3,8–5,1 gr/dl, anak-
anak berkisar 4,0 – 5,8 gr/dl, bayi berkisar 4,4 – 5,4 gr/dl, sedangkan untuk bayi baru lahir
kadar normal albumin yaitu sebanyak 2,9 – 5,4 gr/dl. sehingga seseorang dikatakan
mengalami hipoalbuminemia apabila kadar albuminnya < 3,8 gr/dl.4

Kadar serum albumin penting dipakai sebagai prognostik, pasien yang dirawat di
rumah sakit, kadar serum albumin yang rendah berkorelasi untuk meningkatkan angka
motalitas dan morbiditas.1,5

Fungsi Normal Dalam Tubuh


Seperti dijelaskan bahwa albumin adalah protein terbesar dalam plasma darah,
sehingga apabila terjadi perubahan pada albumin maka akan menyebabkan gangguan fungsi
trombosit. Albumin memiliki fungsi dalam tubuh yang penting antara lain; menjaga tekanan
onkotik, menjaga kesimbangan asam basa, mengangkut asam lemak menuju hati,
mengangkut obat-obatan seperti methadone, propranolol, thiopental, furosemide, warfarin,
metotrexat,alfentanil, dan memperpendek waktu paruh obat tersebut, mengangkut bilirubin,
mengikat ion Ca2+, sebagai larutan penyangga, mengangkut hormon tiroid, serta mengangkut
hormon lain khususnya yang dapat larut dalam lemak seperti tiroksin, kortisol, testosterone
dan lainnya. Selain itu albumin juga berfungsi sebagai transport berbagai macam substansi
termasuk bilirubin, asam lemak, logam, ion, hormone, dan obat-obatan.4,6

Epidemiologi Hipoalbuminemia
Prevalensi hipoalbuminemia sering terjadi pada pasien rawat inap, sakit kritis dan
pasien lanjut usia.6 Tingkat albumin yang rendah telah dikaitkan dengan morbiditas dan
kematian pada berbagai populasi, termasuk penderita akut infark miokard, gagal jantung,
stroke, penyakit ginjal, patah tulang pinggul, dan keganasan.7

Menurut laporan oleh Brock et al. bahwa prevalensi terjadinya hipoalbuminemia lebih
besar terjadi pada pasien lansia yang dirawat di rumah sakit yaitu > 70%. 6 Selain itu
berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kurniwan dkk pada tahun 2014 di RSCM
didaptakan prevalensi hypoalbuminemia pada usia lanjut dengan pneumonia komunitas
didaptkan sebesar 71,1%.5 Pada data profil hipoalbuminemia tahun 2017 di RSCM
didapatkan pasien yang mengalami hipoalbuminemia sebanyak 4611 orang dengan kadar
albuminnya <2,5 mg/dl.3

Etiologi Hipoalbuminemia
Hipoalbuminemia adalah suatu kelainan yang paling umum pada pasien rawat inap dan
pasien yang sakit kritis. Hipoalbuminemia mungkin disebabkan oleh penurunan produksi
albumin itu sendrir atau peningkatan kehilangan albumin melalui ginjal, saluran
gastrointestinal (GI), kulit, atau ruang ekstravaskular atau peningkatan katabolisme albumin
atau kombinasi dari 2 atau lebih mekanisme ini.6

penurunan produksi albumin antara lain; Defisiesnsi nutrisi, sementara pada peningkatan
kehilangan albumin antara lain; Renal loss (Nefrotik sindrom dan CKD), Saluran
gastrointestinal seperti protein loss enteropati (PLE) yang dibagi dalam 3 kategori seperti
terkait dengan penyakit lymphatic pressure (limpangiekstasis), terkait dengan erosi mukosa
(croh’n disease), dan terkait dengan penyakit tanpa erosi mukosa (celiac disease). Selain itu
juga terjadinya hipoalbuminemia dapat disebabkan oleh extravascular loss seperti luka bakar
dan sepsis, dan salah satu penyebab tersering albumin pada orang tua yaitu karena gagal
jantung.3,6

Pathophysiology
Penurunan produksi albumin merupakan penyebab hipoalbuminemia yang jarang terjadi.
Gangguan hati kronis yang signifikan dan berat diperlukan sebelum terjadi penurunan
albumin plasma. Hipoalbuminemia adalah gambaran sirosis hati kronis dan lanjut. Paling
umum, sintesis albumin yang tidak adekuat dengan adanya peningkatan katabolisme karena
penyakit sistemik yang signifikan berkontribusi pada hipoalbuminemia secara keseluruhan.6
1. Kekurangan Gizi

Albumin adalah protein yang membantu tubuh manusia mengelola cairan.


Ketika seseorang memiliki kekurangan protein yang parah, mungkin lebih sulit bagi
tubuh mereka untuk memindahkan cairan interstiial kembali ke kapiler. Ketika
seseorang kekurangan gizi parah atau kwashiorkor, gejalanya termasuk hilangnya
massa otot dan perut yang membesar. Hal ini disebabkan oleh retensi cairan pada
jaringan tubuh.
Kwashiorkor merupakan suatu bentuk malnutrisi energi protein yang sangat
parah, terjadi pada bayi dan anak-anak. Mereka yang menderita malnutrisi energi
protein memiliki kadar albumin serum yang rendah karena penurunan pasokan asam
amino ke hati dan juga kekurangan nutrisi lainnya, terutama zat besi dan seng.6
Selain hemoglobin, albumin adalah molekul protein dengan bentuk varian
terbanyak. Albumin yang sangat rendah atau tidak terdeteksi dalam serum
(konsentrasi albumin serum kurang dari 1 g / L) mencirikan kelainan langka yang
dikenal sebagai analbuminemia. Keadaan ini dapat terjadi pada beberapa orang dan
tampaknya memiliki jumlah albumin yang cukup untuk bertahan hidup dalam kondisi
normal. Namun pada usia dewasa akan muncul atau terlihat edema perifer, kelelahan,
dan hiperlipidemia tetapi biasanya tidak ada aterosklerosis terkait. Pasien umumnya
stabil secara hemodinamik.6
Selain itu Secara historis menurut penelitian bahwa hubungan antara albumin
dan asupan protein diasumsikan saat pasien sakit atau terluka; nafsu makan mereka
turun dan begitu pula level albumin. Saat pasien sembuh, nafsu makan mereka
meningkat seiring dengan tingkat albumin. Banyak penelitian yang mengaitkan
albumin dengan status gizi didasarkan pada asumsi bahwa albumin menentukan status
gizi. Ini terkait dengan asumsi serum itu,protein hati adalah indikator dari status gizi,
yang menyebabkan hubungan dengan malnutrisi di pasien rumah sakit.8

2. Defective Synthesis
Sirosis hati merupakan perubahan struktur jarinagn hati yang ditandai dengan
regenerasi nodular yang bersifat difus dan dikelilingi oleh septa-septa fibrosis.
Distrosi atau perubahan struktur inilah dapat meningkatkan aliran darah portal ,
distensi hepatosit, serta meningkatkan resiko karsinoma hepatoseluler.9
Pada penderita sirosis hati, sintesisnya menurun karena hilangnya massa sel
hati akibat terjadinya perubahan struktur histologis jaringan hati sehingga diiringi oleh
penurunan fungsi hati antara lain gangguan fungsi sintesis yang menyebabkan
malnutrisi dan hipoalbuminemia dimana konsentrasinya menurun sesuai dengan
1,9,10
perburukan sirosis Selain itu, aliran darah portal sering kali menurun dan tidak
terdistribusi dengan baik, menyebabkan maldistribusi nutrisi dan oksigen. Aliran
substrat dapat memengaruhi fungsi hati tertentu, termasuk sintesis protein, yang
menurun pada pasien sirosis yang disertai asites.1

3. Sindrom Nefrotik
Melalui glomerulus minimal < 30 mg per hari pada individu sehat terjadi
kehilangan albumin dengan berat molekul 66 kDa. Kehilangan albumin yang
meningkat dapat terjadi karena alasan fisiologis seperti demam, olahraga, atau postur
tubuh. Keseimbangan antara filtrasi glomerulus dan reabsorpsi tubular menentukan
bahwa adanya albumin di dalam urin. Kerusakan yang terjadi pada glomerulus
menyebabkan peningkatan kehilangan albumin melalui urin. Cedera pada glomerulus
dapat terjadi pada berbagai kondisi penyakit. 6
Sindrom nefrotik merupakan kumpulan tanda dan gejala seperti proteinuria
massif >3,5 g/24 jam, hiperlipidemia, edema anasarka dan hipoalbuminemia. 9 Dimana
hilangnya proteinuria dan hipoalbuminemia melalui ginjal. Sindrom nefrotik selain
ditandai proteinuria yang bermakna, hipoalbuminemia, peningkatan edema, terdapat
juga adanya asites karena tekanan onkotik yang rendah. Sementara pada
hiperlipidemia dianggap sebagai akibat dari peningkatan produksi lipoprotein di hati
untuk mengkompensasi serum albumin yang rendah, peningkatan produksi faktor
pembekuan, dan peningkatan risiko trombosis.6
Dengan kata lain pada keadaan normal terjadi mekanisme kompensasi oleh
hepar dengan meningkatkan sintesis albumin, namun pada pasien sindrom nefrotik
mekanisme kompensasi ini menumpul sehingga kadar albumin semakin rendah. 9
Sindrom nefrotik, ini dapat muncul pada semua masa baik masa kanak-kanak,
dewasa, dan lanjut usia. Kerusakan glomerulus dapat terjadi sebagai akibat karena
obat toksin eksogen, logam berat, agen kemoterapi, melalui autoantibodi yang
diarahkan ke membran basal glomerulus seperti pada penyakit autoimun antara lain
SLE (System Lupus Eritematous), atau antibodi yang dihasilkan setelah terjadi infeksi
seperti streptokokus Grup B. Bahkan keganasan seperti multiple myeloma juga
berhubungan dengan perkembangan sindrom nefrotik.6
Hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik berhubungan dengan kehilangan
protein sehingga terjadi penurunan tekanan osmotik menyebabkan perpindahan cairan
intravaskular ke interstitium dan memperberat pembentukan edema. Pada kondisi
tertentu kehilangan protein dan albumn dapat terjadi sangat berat sehingga volume
plasma menjadi berkurang yang menyebabkan penurunan perfusi ginjal yang
merangsang retensi natrium dan air. 10

Gambar1. Mekanisme edema 10

4. Penyakit Ginjal Kronik


Salah satu definisi CKD termasuk adanya albuminuria yang signifikan 30
hingga 300 mg per 24 jam selama setidaknya selama 3 bulan. Hal ini dapat terjadi
dengan ada atau tidak adanya penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR). Penyakit
ginjal stadium akhir (ESRD) dikaitkan dengan proteinuria dan albuminuria yang
signifikan bersama dengan serum hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia pada ESRD
juga merupakan akibat dari penurunan sintesis dan peningkatan degradasi protein
6
pada kondisi ini. Penyakit ginjal kronik merupakan suatu proses patofisiologi
dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang
progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal (stadium 5) atau ESRD.
Penyakit ginjal kronik semakin meningkat setiap tahun. Hal ini dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain pertumbuhan, peningkatan proses penuaan, obesitas, dan
gaya hidup tidak sehat. 11
Kadar serum albumin yang rendah merupakan prediktor penting dari
mordibitas dan mortalitas karena rendahnya serum albumin pada pasien gagal ginjal
menggambarkan rendahnya ketahanan dan daya hidup pasien gagal ginjal terminal.
Hal ini disebabkan adanya peningkatan inflamasi dan kekurangan asupan protein pada
penderita. Rendahnya serum albumin juga salah satu penanda penting yang dapat
digunakan untuk menunjukan fungsi ginjal dari seseorang. Pada penyakit ginjal
kronik kehilangan protein melalui urin, dimana keluarnya albumin melalui urin adalah
karena peningkatan permeabilitas di tingkat glomerulus yang menyebabkan protein
lolos ke dalam filtrat glomerulus.11
Albuminuria juga dapat terjadi selama penyakit kronis seperti diabetes mellitus dan
hipertensi esensial tetapi tidak menyebabkan hipoalbuminemia serum kecuali
kehilangan protein total dalam kisaran nefrotik.6

5. Gastrointestinal (GI)

Kehilangan protein enteropati ditandai dengan hilangnya protein secara


substansial termasuk albumin melalui saluran GI yang melebihi sintesis. Hal ini
menyebabkan hipoalbuminemia. Ada beberapa penyebab PLE yang meliputi penyakit
GI dan kondisi yang tidak berhubungan dengan usus (seperti penyakit jantung dan
SLE). Mekanisme hilangnya protein pada PLE dapat secara luas dibagi menjadi 3
kategori: (1) penyakit yang berhubungan dengan peningkatan tekanan limfatik
(misalnya, limfangiektasis); (2) penyakit dengan erosi mukosa (misalnya, penyakit
Crohn); dan (3) penyakit tanpa erosi mukosa (misalnya penyakit celiac).6
1. Limfangiekstasis
Limfangiektasis usus primer adalah penyakit langka,di mana ada
penyumbatan sentral menghasilkan drainase getah bening secara umum
lymphedema (edema tungkai bawah, efusi pleura, dan chylous
asites) selain PLE. Kondisi ini ditandai oleh histologis usus spesifik
(edema interstitial, dilatasi limfatik submukosa) dan temuan endoskopi
(penebalan edema pada lipatan mukosa, tonjolan nodular, plak putih
menyebar dan vili berujung putih). Dalam satu laporan, biopsi endoskopi
dari “… massa kistik mulitlobulasi 3 cm” di duodenum "... menghasilkan
eksudasi putih, bahan chylous", dan ada juga satu laporan pengambilan
sampel duodenum langsung dari efusi chylous berprotein tinggi dan
berlemak tinggi di subjek puasa. Limfografi diperoleh dengan injeksi
kontras di saluran limfatik di kaki menunjukkan bagian retrograde media
kontras ke dalam usus limfatik dan keluar ke lumen usus halus. Dalam
Selain hipoalbuminemia berat (~ 2 g / dL), lainnya kelainan karakteristik
termasuk imunoglobulin rendah tingkat (IgG, IgA, dan IgM) dan uniknya,
T CD4 sangat rendah jumlah sel. Substitusi trigliserida rantai menengah
yang diangkut langsung ke darah portal daripada sistem limfatik
mengurangi aliran limfatik usus dengan pembersihan sebagian atau seluruh
gejala yang terkait dan tanda-tanda PLE.
Tekanan vena sistemik yang tinggi menghasilkan peningkatan usus
tekanan limfatik yang, dalam kasus tertentu, menyebabkan terlokalisasi
pecahnya limfatik usus ke dalam lumen yang mengalir dan
mendekompresi seluruh sistem limfatik sistemik. Izin GI albumin (ClGI
PLE) dari 420 mL / hari dilaporkan akan sesuai dengan kehilangan usus
sekitar satu liter getah bening / hari, dengan asumsi albumin getah bening
konsentrasi 45% plasma.Pusat meningkat tajam. Meningkatnya pengaruh
tekanan vena sentral tekanan limfatik dengan dua mekanisme: pertama,
vena tinggi tekanan menyebabkan ketidakseimbangan dalam gaya Jalak,
sedemikian rupa terjadi peningkatan filtrasi kapiler dan getah bening
produksi di mukosa usus. Ketidakseimbangan ini lebih jauh meningkat jika
limfatik pecah ke saluran usus, menurunkan albumin plasma dan tekanan
onkotik secara nyata. Petersen dan Hastrup46 melakukan pengukuran
kuantitatif aliran getah bening duktus toraks dan konsentrasi albumin di
satu subjek perikarditis konstriktif dengan PLE berat dan masuk
kontrol normal. Aliran duktus toraks pada subjek PLE adalah 4,6 kali lebih
besar dari biasanya (4,44 versus 0,96 L / hari). Jika hambatan aliran getah
bening tidak berubah pada subjek PLE, peningkatan aliran ini dengan
sendirinya akan meningkatkan aliran hilir tekanan getah bening dengan
faktor 4,6. Kedua, tekanan tinggi di vena innominate (ke mana saluran
toraks mengalir) meningkatkan resistensi terhadap drainase getah bening
duktus toraks mengalir. Pentingnya mekanisme terakhir, yang sebenarnya
tidak dihargai secara luas, secara langsung didukung oleh pengamatan
yang jelas PLE jarang terlihat pada pasien dengan parah hipertensi portal
dengan tekanan portal yang rutin sebanding atau lebih besar dengan
perikarditis konstriktif, tetapi tekanan vena sistemik relatif normal (lihat di
bawah).
2. Penyakit Cohrn

3. Celiac disease
6. Luka Bakar
Luka bakar merupakan salah satu penyakit trauma yang paling sering dijumpai
dan paling merugikan yang dihadapi dalam dunia medis.Luka bakar yang parah dapat
menginduksi inflamasi akut dan respon hipermetabolik selama minimal 2 tahun
setelah cedera. Keadaan ini meningkatkan kebutuhan metabolik dan kebutuhan energi
akan menginduksi perpindahan protein serta asam amino yang mengakibatkan
peningkatan pergantian protein, serta menjadi karakteristik penyakit serius. 12
Pasien yang mengalami luka bakar, khususnya luka bakar berat/mayor akan
kehilangan barier kulit sebagai akibat kontak dengan burning agent. Keadaan ini
menyebabkan pasien mengalami kondisi inflamasi sehingga meningkatkan resiko
untuk terjadinya peningkatan permeabilitas kapiler. Peningkatan permeabilitas kapiler
inilah yang dapat mengakibatkan ekstravasasi cairan atau perpindahan protein plasma,
air, dan elektrolit dari kompartemen intravaskular menuju interstisial atau
ekstravaskular yang terjadi dalam 24-36 jam pasca trauma. Perpindahan cairan yang
berlangsung secara terus-menerus inilah yang akan memberikan dampak pada
penurunan volume cairan intravaskular dan albumin intravaskular yang diikuti dengan
penurunan tekanan onkotik. Berpindahnya cairan dari intravaskular ke interstisial dan
keseimbangan tekanan onkotik sangat dipengaruhi oleh kadar albumin dalam
plasma.6,12
Ada juga respons fase akut yang memengaruhi sintesis protein hati yang
menyebabkan penurunan lebih lanjut dalam kadar albumin serum. Kadar albumin
serum juga digunakan untuk menilai tingkat keparahan luka bakar pada pasien ini dan
sebagai prediktor mortalitas dan morbiditas. 6

7. Sepsis
Sepsis adalah respons kekebalan terhadap infeksi. Pada seseorang dengan
sepsis, sistem kekebalan tubuhnya dapat melukai jaringan dan organ, dan itu bisa
mengancam jiwa. Sepsis mungkin merupakan sebuah respons terhadap infeksi yang
menyerang dan berkembang di kulit, paru-paru, saluran kemih, atau bagian lain dari
tubuh.
Sepsis dikaitkan dengan peningkatan permeabilitas vaskular dan kebocoran
kapiler yang mengakibatkan hilangnya albumin dari kompartemen intravaskular.
Selain itu, terdapat juga penurunan sintesis dan peningkatan katabolisme albumin
dengan adanya sepsis yang signifikan.6

8. Penyakit kritis
Kehadiran penyakit kritis dikaitkan dengan terjadinya hipoalbuminemia
melalui berbagai mekanisme. Penyakit kritis mengubah distribusi albumin antara
kompartemen intravaskular dan ekstravaskular, mempengaruhi laju sintesis albumin
dan meningkatkan pembersihan dan degradasi albumin. Peningkatan kebocoran
kapiler yang bertanggung jawab atas permeabilitas vaskular merupakan hasil dari
berbagai faktor termasuk efek sitokin seperti TNF-alpha dan IL-6, kemokin, kerja
prostaglandin dan komponen komplemen serta endotoksin dari bakteri gram negatif.
Laju sintesis juga menurun pada penyakit kritis, dan ini dianggap sebagai akibat dari
peningkatan transkripsi gen untuk protein fase akut positif seperti protein C-reaktif
dan penurunan laju transkripsi mRNA albumin. 6
 Heart Failure
Hipoalbuminemia sering terjadi pada pasien dengan gagal jantung.
Hipoalbuminemia pada gagal jantung merupakan kombinasi dari berbagai
faktor termasuk malnutrisi, inflamasi, dan cachexia serta hemodilusi, disfungsi
hati, enteropati kehilangan protein, dan peningkatan kehilangan
ekstravaskuler. Risiko hipoalbuminemia dengan gagal jantung meningkat pada
pasien usia lanjut. 6

Manifestasi Klinis
Hipoalbuminemia sering menjadi temuan pada pengujian laboratorium rutin setelah
presentasi pasien untuk kondisi medis primer atau penyakit lainnya. Pasien dengan
hipoalbuminemia hadir dengan periferal (mengadu) dan edema pusat (ascites dan efusi) dan
anasarca. Mereka juga dapat mengeluh kelelahan dan kelemahan yang berlebihan dan fitur
lain dari kekurangan nutrisi terkait, misalnya, anemia defisiensi besi pada penyakit Celiac.
Pasien dapat hadir dengan fitur penyakit primer, misalnya, penyakit kuning pada penyakit
hati, diare (PLE). Proteinuria dapat dideteksi oleh kinerja urin dipsticks.6
Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari hipoalbuminemia sendiri sangat luas, dikarenakan memiliki
banyak penyebab dan termasuk penyakit yang mempengaruhi produksi albumin misalnya,
sirosis, albumin dan penyerapan protein misalnya PLE, kehilangan albumin melalui ginjal
misalnya, sindrom nefrotik, dan peningkatan katabolisme yang mungkin terjadi pada pasien
yang sakit kritis. 6

Pemeriksaan Lab
Tatalaksana
Pengobatan diarahkan pada penyebab hipoalbuminemia karena itu adalah konsekuensi
dari beberapa penyakit. Dalam sakit kritis, khususnya, pasien luka bakar, infus albumin dapat
diberikan. Sangat kontroversial apakah infus albumin bermanfaat bagi kelompok lain dari
pasien yang sakit kritis. Ini juga memiliki beberapa nilai pada pasien dengan sirosis dengan
komplikasi tertentu.6 Namun dapat juga diberikan albumin baik dalam bentuk kapsul maupun
serum albumin.3

Selain itu makan makanan yang mengandung protein, makan makanan dari protei
hewani seperti daging sapi, ikan, ayam, telur susu yang mengandung protein tingkat tinggi,
makan makanan yang mengandung protein seperti yogourt, keju, kacang- kacangan namun
pada pasien dialysis harus dibatasi konsumsinya karena mengandung kadar kalium dan
phospat yang tinggi, selain itu albumin dapat kembali ke batas normal atau kembali
meningkat apabila penyebab dihilangkan.4

Ptognosis
Kehadiran hipoalbuminemia digunakan sebagai prognostikator untuk morbiditas dan
kematian pada pasien yang dirawat di rumah sakit, khususnya dalam pengaturan perawatan
kritis.6 Tingkat albumin serum rendah adalah prediktor penting morbiditas dan kematian.
Sebuah meta-analisis studi kohort menemukan bahwa, dengan setiap 10 g / L penurunan
albumin serum, kematian meningkat sebesar 137% dan morbiditas meningkat sebesar 89%.
Pasien dengan tingkat albumin serum kurang dari 3,5 pada 3 bulan setelah keluar dari rumah
sakit memiliki 2,6 kali lebih besar kematian 5 tahun daripada mereka dengan tingkat albumin
serum lebih besar dari 4,0.1

Hipoalbuminemia juga telah dipelajari sebagai faktor prognostik penting di antara


subset pasien, seperti pasien dengan sepsis parah, luka bakar, dan enteritis regional (penyakit
Crohn) dan baru-baru ini dikaitkan dengan peningkatan risiko reintubasi. Apakah
hipoalbuminemia hanyalah penanda malnutrisi protein parah, yang itu sendiri adalah
penyebab peningkatan morbiditas dan kematian, atau faktor risiko kematian yang
independen, tidak jelas. Namun, asosiasinya dengan prognosis yang buruk tetap kuat. 1

Edukasi
Rekomendasi diet khusus didasarkan pada penyakit yang mendasarinya.

Gambar 2. Mengenal Hipoalbumin 4


Daftar Pustaka
1. Peralta R. Hypoalbuminemia. Medscape: 2020.
https://emedicine.medscape.com/article/166724-overview
2. Moman RN, Gupta N, Varacallo M. Physiology Albumin. StatPearls: 2020.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459198/
3. Setiati S. Hypoalbuminemia The Role of Oral Albumin Supplementation in Elderly;
2019. https://papdi.or.id/pdfs/719/PROF.%20Siti4%20Okt2019,%20Chana
%20Striatus-%20Hypoalbuminemia.pdf
4. Humas RSUP Dr.Sardjito. Nilai normal albumin. 2019.
https://sardjito.co.id/2019/09/30/mengenal-hipoalbumin/
5. Kurniawan W, Rumende M, Harimurti K. Hipoalbuminemia Pada Pasien Usia Lanjut
dengan Pneumonia Komunitas: Prevalensi dan Pengaruhnya Terhadap Kesintasan.
Jurnal Penyakit Dalam Indonesia: 2014;1(2)
6. Gounden V, Vashisht R, Jialal I. Hypoalbuminemia. StatPearls Publishing;2020.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK526080/
7. Akirov A, Iraqi HB, Atamma A, Shimon I. Low Albumin Levels Are Associated with
Mortality Risk in Hospitalized Patients. The American Journal of Medicine: 2017;
130(2)
8. Marcason W. Should Albumin and Prealbumin Be Used as Indicators for
Malnutrition?. Journal of the Academy of Nutrition and Dietetics: 2017; 117(7)
9. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA. Kapita Selekta Kedokteran essential of
medicine. Edisi IV. Media Aesculapius: Jakarta; 2014.h.649
10. Effendi I, Pasaribu R. Edema Patofisiologi dan Penanganan. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Edisi VI Jilid 1. Internal Publishing: Jakrata; 2014. h. 2059
11. Putri TD, Mongan AE, Memah MF. Gambaran kadar albumin serum pada pasien
penyakit ginjal kronik stadium 5 non dialysis. Jurnal e-Biomedik: 2016; 4(1)
12. Dewi PSRS, Adnyana MS, Subawa IW. Study Penggunaan Albumin Pada Pasien
Luka Bakar Derajat II Sampai III di RSUP Sanglah Denpasar Periode 2016-2017.
DOAJ: 2019; 8(9).

Anda mungkin juga menyukai