Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut WHO (World Health Organizer) diperkirakan bahwa sekitar
7% dari seluruh kematian bayi di dunia disebabkan oleh kelainan kongential.
Di eropa sekitar 25% kematian neonatal disebabkan oleh kelainan kongential.
Alam Di asia tenggara kejadian kelainan kongential mencapai 5% dari jumlah
bayi yang lahir, sementara di Indonesia pravelansi kelainan kongential
mencapai 5 per 1.000 kelahiran hidup. Riset kesehatan dasar tahun 2007
mencatat salah satu penyebab kematian bayi adalah kelainan kongential pada
usia 0-6 hari sebesar 1% dan pada usia 7-28 hari sebesar 19% (Verawati,
2015).
Angka kejadian atresia ani di dunia adalah 1 ; 5.000 kelahiran hidup.
Populasi masyarakat Indonesia sebanyak 200 juta lebih, yang memiliki
setandar angka kelahiran 35/mil diperkirakan akan lahir setiap tahun dengan
penyakit atresia ani sebanyak 1400 kelahiran (Haryono, 2012).
Di Indonesia, hasil Riskesdas 2007 menjelaskan atresia ani menjadi
salah satu penyebab angka kematian bayi di indonesia yang mencapai angka
presetasi 18,1 % (Riskesdas, 2007).
Di RSPAD khususnya diruang IKA satu penderita atresia ani termasuk
10 penyakit terbanyak berdasarkan data 3 bulan terakhir yaitu bulan oktober-
desember 2017 didapatkan jumlah total seluruh pasien yaitu 9 orang (RSPAD,
2017).
Angka kejadian atresia ani di jogjakarta menurut hasil survei menurut
survei kelainan bawaan periode september 2014 sampai agustus 2015
menunjukkan 231 bayi yang mengalami kelainan bawaan atau atresia ani
tersebut (Kemenkes RI, 2015).

1
Manifestasi klinis atresia ani terjadi dalam waktu 24-48 jam gejalanya
dapat berupa perut kembung, muntah pada meconium tidak keluar dalam 24
jam, dan tidak bisa buang air besar. Tanda dan gejala yang membedakan
antara penderita laki-laki dan perempuan adalah terjadinya fistel, pada bayi
perempuan sering terjadi fistel rectovaginal. Sedangkan pada bayi laki-laki
sering terjadi fistel rectourinal (Dewi, 2013).
Penatalaksanaan pada jenis kelainan bawaan atresia ani tergantung
klasifikasinya pada atresia ani letak tinggi harus dilakukan kolostomi terlebih
dahulu. Pada penelitian sebelumnya penanganan atresia ani menggunakan
prosedur abdominoperineal pullthrough, tapi metode ini banyak menimbulkan
inkontinen feses dan prolapse mukosa usus yang lebih tinggi. Pena dan
Defries pada tahun 1982 yang dikutip oleh faradilla memperkenalkan metode
operasi dengan pendekatan postero sagital anorektoplasti, yaitu dengan cara
membelah muskulus sfingter eksternus dan muskulus levator untuk
memudahkan mobilitasi kantong rectum dan pemotongan fistel (Faradilla,
2009) .
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang dapat diambil dari makalah ini yaitu;
1. Apa itu atresia ani?
2. Apa etiologi atresia ani?
3. Apa manifestasi klinis atresia ani?
4. Apa patofisiologi atresia ani ?
5. Apa komplikasi atresia ani ?
6. Bagaimana penatalaksanaan atresia ani?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran umum atresia ani
2. Tujuan Khusus

2
 Untuk mengetahui pengertian atresia ani
 Untuk mengetahui etiologi atresia ani
 Untuk mengetahui manifestasi klinis atresia ani
 Untuk mengetahui patofisiologi
 Untuk mengetahui komplikasi atresia ani
 Untuk mengetahui komplikasi atresia ani
D. Manfaat
1. Bagi institusi pendidikan
Memberikan informasi sebagai bahan pertimbangan atau acuan
penelitian lebih lanjut serta peningkatan mutu pendidikan dimasa yang
akan datang.
2. Bagi pelayanan keperawatan
Sebagai bahan wacana untuk meningkatkan mutu dan pelayanan
keperawatan pada pasien anak dengan masalah luka pada kolostomi, agar
derajat kesehatan anak meningkat.
3. Bagi penulis lain
Menambah wawasan ilmu pengetahuan dalam mengkaji permasalahan
tentang luka kolostomi serta memberikan asuhan keperawatan pada klien
anak dengan luka kolostomi.

3
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Definisi

Istilah atresia ani berasal dari bahasa yunani yaiti ‘a’ yang berarti tidak
ada dan trepsis yang berarti makanan atau nutrisi. Dalam istilah kedokteran,
atresia suatu keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang badan normal.

Atresia ani adalah malformasi congenital dimana rectum tidak mempunyai


lubang keluar. Atresia ani adalah tidak lengkapnya perkembangan embrionik
pada distal anus atau tertutupnya anus secara abnormal. Sumber lain
menyebutkn atresia ani adalah kondisi dimana rectal terjadi gangguan
pemisahan kloaka selama pertumbuhan dalam kandungan. Dengan kata lain
tidak adanya lubang anus atau buntunya saluran atau rongga tubuh, hal ini
bisa terjadi karena bawaan sejak lahir atau terjadi kemudian karena proses
penyakit yang mengenai saluran itu. Atresia ani dapat terjadi pada semua
saluran tubuh. Atresia ani memiliki nama lain yaitu anus imperforata. Jika
atresia terjadi maka memerlukan tindakan operasi untuk membuat saluran
seperti keadaan normalnya (Haryono, 2012).

B. Etiologi

Etiologi secara pasti atresia ani belum diketahui secara pasti, namun
sebagian besar kelainan bawaan pada anus, anus disebabkan oleh kegagalan
pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau 3 bulan.
Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik didaerah usus,
rektum bagian distal serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara minggu ke
empat sampai keenam usia kehamilan. Pada kelainan bawaan anus umumnya
tidak ada kelainan rectum, sfingter dan otot dasar panggul. Namun demikian
pada anus, sfingter internal mungkin tidak memadai.

4
Menurut penelitian beberapa ahli masih jarang terjadi bahwa gen
autosomal resesif yang menjadi penyebab artesia ini. Orang tua yang
mempunyai gen carrier penyakit ini mempunyai peluang sekitar 25% untuk
diturunkan pada anaknya saat kehamilan. 30% anak yang mempunyai sindrom
genetic, kelainan kromosom atau kelainan congenital lain juga beresiko untuk
menderita atresia ani. Sedangkan kelainan bawaan rectum terjadi karena
gangguan pemisahan kloaka menjadi rectum dan sinus urogenital sehingga
biasanya disertai dengan gangguan perkembangan septum urorektal yang
memisahkannya (Haryono, 2012).

C. Manifestasi klinis
1. Mekonium tidak keluar dalam waktu 24 jam pertama setelah kelahiran.
2. Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu pada rectal bayi.
3. Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang salah letaknya.
4. Distensi bertahap dan adanya tanda- tanda obstruksi usus (bila tidak ada
fistula).
5. Bayi muntah-muntah pada usia 24-48 jam.
6. Pada pemeriksaan rectal touche terdapt adanya membran anal.
7. Perut kembung (Haryono, 2012).

D. Patofisologi Atresia Ani

Pada bayi dengan malformasi anorektal (atresia ani) terjadi beberapa


kondisi abnormal sebagai berikut: lubang anus sempit atau salah letak di
depan tempat semestinya, terdapat membrane pada saat pembukaan anal,
rectum tidak terhubung dengan anus, rectum terhubung dengan saluran kemih
atau sistem reproduksi melalui fistula, dan tidak terdapat pembukaan anus.

Anus dan rectum berkembang dari embrionik bagian belakang. Ujung


ekor dari bagian belakang berkembang menjadi kloaka yang merupakan bakal

5
genitoury dan struktur anorectal. Terjadi stenosis anal karena adanya
penyempitan pada kanal anorectal. Terjadi antresia anal karena tidak ada
kelengkapan migrasi dan perkembangan struktur kolon antara 7 dan 12
minggu dalam perkembangan fetal. Kegagalan migrasi dapat juga karena
kegagalan dalamagenesis sacral dan abnormalitas pada uretra dan vagina.
Tidak ada pembukaan usus besar yang keluar anus menyebabkan fecal tidak
dapat dikeluarkan sehingga intenstinal mengalami obstruksi (Haryono, 2013).

6
E. Pathway Atresia Ani

 Gangguan Pertumbuhan
 Fusi
 Pembentukan anus dari
tonjolan embriogenik

Feses tidak keluar Vistel rektovaginal

Feses masuk ke uretra


Peningkatan
Reabsorbsi
tekanan intra
metabolisme
abdominal
oleh tubuh
Mikro Organisme
masuk saluran kemih

Operasi
Mual keracunan G3
anoplasti,
mutah G3 rasa Resti eliminasi
nyaman nyeri BAK

Resiko nutrisi kurang


Perubahan dari kebutuhan
defaksi

Trauma Jaringan

Pengeluaran
tidak terkontrol
Nyeri
Perawatan
tidak adekuat

Resiko kerusakan Gangguan rasa


integritas kulit nyaman Resti infeksi
Sumber : (Haryono, 2012).

7
F. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan radiologis, dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya
obstruksi intestinal.
2. Sinar X abdomen, dilakukan untuk dapat mengetahui kejelasan
keseluruhan bowel dan untuk mengetahui jarak pemanjangan kantung
rectum dari sfingternya.
3. Pemeriksaan ultrasound di abodemen, digunakan untuk dapat melihat
bagaimana fungsi organ internal terutama dalam system pencernaan dan
untuk mencari adanya faktor reversible seperti obstruksi karena adanya
massa tumor.
4. Ct scan, digunakan untuk dapat mengetahui ada tidaknya lesi.
5. Pyelografi intra vena, digunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter.
6. Pemeriksaan fisik rectum, kepatenan rectal dapat dilakukan dengan
memasukkan selang atau jari ke dalam bagian dubur.
7. Rotgenogram abdomen dan pelvis juga bisa digunakan untuk
mengkonfirmasi adanya fistula yang berhubungan dengan traktus urinarius
(Nurhayati, 2009).

G. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita atresia ani antara lain:

1. Infeksi sakuran kemih yang bisa berkepanjangan.


2. Kerusakan uretra (akibat prosedure pembedahan).
3. Komplikasi jangka panjang; Eversi mukosa anal dan Stenosis (akibat
kontriksi jaringan perut dianastomosis).
4. Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toileting training.
5. Inkontinesia (akibat stenosis awal atau impaksi).
6. Prolaps mukosa anorectal.

8
7. Fistula kambuhan (karena terjadi ketegangan diare pembedahan dan
Infeksi), (Nurhayati, 2009).
H. Penatalaksanaan
1. Preventif
Menurut Nurhayati (2009), penatalaksanaan preventif yaitu:
a. Diberikan nasihat pada ibu hamil bahwa selama hamil muda untuk
berhati-hati atau menghindari obat-obatan, makanan yang diawetkan
dan alcohol karena dapat menyebabkan atresia ani.
b. Pemeriksaan lubang dubur/anus bayi pada saat lahir sangat penting
dilakukan sebagai diagnosis awal adanya atresia ani. Sebab jika sampai
tiga hari diketahui bayi menderita atresia ani, nyawa bayi dapat
terancam karena feses yang tertimbun dapat mendesak paru-paru dan
organ yang lain.
2. Pasca bayi lahir
Menurut Rukiyah dan Yulianti (2012), bagi pengidap kelainan tipe I
dengan stenosis yang ringan dan tidak mengalami kesulitan mengeluarkan
tinga maka tidak membutuhkan penanganan apapun. Sementara pada stenosis
yang berat perlu dilakukan dilatasi setiap haro dengan kateter uretra, dilatasi
Hegar, atau speculum hidung berukuran kecil. Selanjutnya orang tua dapat
melakukan dilatasi sendiri dirumah dengan jari tangan. Dilatasi dikerjakan
beberapa kali seminggu selama kurang lebih 6 bulan sampai daerah stenosis
melunak dan fungsi defekasi mencapai keadaan normal. Konstipasi dapat
dihindari dengan pengaturan diet yang baik dan pemberian lactulose.
Bentuk operasi yang diperlukan pada tipe II, baik tanpa atau dengan fistula,
adalah anoplasti perineum, kemudian dilanjutkan dengan dilatasi pada anus
selama 23 bulan. Tindakan ini paling baik dilakukan dengan dilator Hegar
selama bayi di rumah sakit dan kemudian orang tua penderita dapat memakai
jari tangan dirumah sampai tepi anus lunak serta mudah dilebarkan. Pada
tippe III, apabila jarak antara ujung rectum uang buntu kelekukan anus kurang

9
1,5 cm, pembedahan rekontruktif dapat dilakukan melalui anoproktoplasti
pada masa neonates. Akan tetapi, pada tipe III biasanya perlu dilakukan
pembedahan definitive pada usia 12-15 bulan.

Kolostomi bermanfaat untuk :

a. Mengatasi obstruksi usus, memungkinkan pembedahan rekontruktif dapat


dikerjakan dengan lapangan operasi yang bersih.
b. Kolostomi dapat dilakukan pada kolon transversum atau kolon
sigmoideum. Beberapa metode pembedahan rekontruktif yang dapat
dilakukan adalah operasi abdominoperineum terpadu pada usia 1 tahun,
anorektoplasti sagittal posterior pada usia 8-12 bulan, dan pendekatan
dakrum menurut metode Stephen setelah bayi berumur 6-9 bulan. Dilatasi
anus baru bisa dilakukan 10 hari setelah operasi dan selanjutnya dapat
dilakukan oleh orang tua dirumah, mula-mula dengan jari kelingking
kemudian dengan jari telunjuk selama 23 bulan setelah pembedahan
definit. Sedangkan pada penanganan tipe IV dilakukan dengan kolostomi,
untuk kemudian dilanjutkan dengan operasi abdominal puul-through
seperti kasus pada megakolon congenital.
Pemberian antibiotic seperti cefotaxim dan garamicin untuk mencegah
infeksi pada pasca operasi. Pemberian vitamin C untuk daya tahan tubuh.

10
BAB III
ASUHAN KEPERERAWATAN

A. Pengkajian
1. Konsep teori

Konsep teori yang digunakan penulis adalah model konseptual


keperawatan dari Gordon. Menurut Gordon data dapat dikelompokkan
menjadi 11 konsep yang meliputi :
a. Pola Persepsi Kesehatan
Mengkaji kemampuan pasien dan keluarga melanjutkan perawatan di
rumah.
b. Pola Nutrisi dan Metabolik
Anoreksia, penurunan BB dan malnutrisi umumnya terjadi pada pasien
dengan atresia ani post tutup kolostomi. Keinginan pasien untuk
makan mungkin terganggu oleh mual dan muntah dampak dari
anastesi.
c. Pola Eliminasi
Dengan pengeluaran melalui saluran kencing, usus, kulit dan paru
maka tubuh dibersihkan dari bahan-bahan yang melebihi kebutuhan
dan dari produk buangan. Oleh karena itu pada pasien atresia ani tidak
terdapatnya lubang pada anus, sehingga pasien akan mengalami
kesulitan dalam defekasi.
d. Pola Aktivitas dan Latihan
Pola latihan dan aktivitas dipertahankan untuk menghindari kelemahan
otot.
e. Pola Persepsi Kognitif
Menjelaskan tentang fungsi penglihatan, pendengaran, penciuman dan
daya ingatan masa lalu dan ketanggapan dalam menjawab pertanyaan.

11
f. Pola Tidur dan Istirahat
Pada pasien mungkin pola istirahat dan tidur terganggu karena nyeri
pada luka insisi.
g. Pola Konsep Diri dan Persepsi Diri
Menjelaskan konsep diri dan persepsi diri misalnya body image, body
comfort. Tidak terjadi perilaku distraksi, gelisah, penolakan karena
dampak luka jahitan operasi.
h. Pola Peran dan Pola Hubungan
Bertujuan untuk mengetahui peran dan hubungan sebelum dan sesudah
sakit. Perubahan pola biasa dalam tanggung jawab atau perubahan
kapasitas fisik untuk melaksanakan peran.
i. Pola Reproduksi dan Seksual
Pola ini bertujuan untuk menjelaskan fungsi sosial sebagai alat
reproduksi.
j. Pola Pertahanan Diri, Stress dan Toleransi
Adanya faktor stress lama, efek hospitalisasi, masalah keuangan, dan
rumah.
k. Pola Keyakinan
Untuk menerapkan sikap, keyakinan klien dalam melaksanakan agama
yang dipeluk dan konsekuensinya dalam keseharian. Dengan ini
diharapkan perawat memberikan motivasi dan pendekatan terhadap
klien dalam upaya pelaksanaan ibadah.

2. Pemeriksaan Fisik
Hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan pada pasien atresia ani
biasanya anus tampak merah, usus melebar, termometer yang
dimasukkan melalui anus tertahan oleh jaringan, pada auskultasi

12
terdengar hiperperistaltik, tanpa mekonium dalam waktu 24 jam
setelah bayi lahir, tinja dalam urine dan vagina (Haryanto, 2007).

B. Diagnosa
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul menurut (Kusuma, 2015).
1. Pre Operasi
a. Resiko kekurangan volume cairan b.d muntah.
b. Ansietas orang tua b.d kurang pengetahuan tentang penyakit dan
prosedur perawatan.
2. Post Operasi
a. Gangguan rasa nyaman nyeri b.d insisi pembedahan.
b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d
anoreksia.
c. Resiko infeksi b.d prosedur pembedahan.
d. kerusakan integritas kulit b.d kolostomi.
e. Gangguan eliminasi urine b.d obstruksi anatomi.

13
C. Catatan Penanganan Kasus Pre Operasi
No Diagnose Intervensi
Tujuan Rencana tindakan Rasional
1. Resiko kekurangan Setelah dilakukan tindakan (2080) Manajemen 1. Dapat
volume cairan b.d keperawatan selama 3x24 jam Elektrolit/cairan. mengidentifikasi
muntah, Domain 2 diharapkan resiko kekurangan volume 1. Monitor intake-output cairan. status cairan klien.
Kelas 5 (0028).
cairan dapat teratasi dengan kriteria 2. Pantau TTV. 2. Mengetahui
hasil : 3. Monitor hasil laboratorium. kehilangan cairan
1. Volume cairan terpenuhi. 4. Edukasi untuk pemberian dengan suhu yang
2. Turgor kulit baik dan bibir tidak cairan sedikit tapi sering. tinggi.
kering 5. Kolaborasi pemberian cairan 3. Memantau
3. TTV dalam batas normal yang sesuai. keadaan apakah
berbahaya atau
tidak.
4. Untuk
meminimalkan
kehilangan cairan.
5. Mencegah
dehidrasi.

2. Ansietas orang tua Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1. Kaji status mental dan tingkat 1. Derajat ansietas
b.d kurang selama 3x24jam masalah ansietas dapat ansietas dari klien dan akan dipengaruhi
pengetahuan diatasi dengan kriteria hasil : keluarga. bagaimana
tentang penyakit (1211) Tingkat Kecemasan. 2. Jelaskan dan persiapkan untuk informasi tersebut
dan prosedur 1. Tidak dapat beristirahat dari skala 2 tindakan prosedur sebelum diterima.
pembedahan (cukup berat) menjadi skala 4 dilakukan operasi. 2. Dapat

14
(00146). (ringan). 3. Beri kesempatan klien untuk meringankan
2. Perasaan gelisah dari skala 2 (cukup mengungkapkan isi pikiran dan ansietas terutama
berat) menjadi skala 4 (ringan). perasaan takutnya. ketika tindakan
3. Gangguan tidur dari skala 2 (cukup 4. Ciptakan lingkungan yang operasi tersebut
berat) menjadi skala 4 (ringan). tenang dan nyaman. dilakukan.
(0907) Memproses Informasi. 3. Mengungkapkan
1. Menunjukkan proses berfikir yang rasa takut secara
terorganisasi dari skala 2 (banyak terbuka dimana
terganggu) menjadi skala 4 (sedikit rasa takut dapat
terganggi) ditujukan.
4. Lingkungan yang
nyaman dapat
mengurangi
ansietas.

D. Intervensi Keperawatan Post Operasi

No Diagnose Intervensi
Tujuan Rencana Tindakan Rasional
1. Nyeri akut b.d Setelah dilakukan tindakan Manajemen Nyeri (1400). Manjamene Nyeri (1400).
adanya luka post keperawatan selama 3x24 jam 1. Lakukakan pengkajian nyeri 1. Untuk mengontrol dan

15
operasi (00132). diharapkan nyeri akut berkurang secara komprehensif. menentukan implementasi
dengan kriteria hasil: 2. Observasi adanya petunjuk lanjut dalam penanganan
(1605) Kontrol Nyeri. nonverbal mengenai nyeri.
1. Mengenali kapan nyeri terjadi ketidaknyamanan. 2. Untuk mengurangi nyeri
dari skala 2 (jarang 3. Berikan informasi pada yang dirasakan.
menunjukkan) dtingkatkan keluarga mengenai nyeri dan 3. Untuk mengatasi nyeri
menjadi skala 4 (sering penanganannya. dengan cara farmakologi
menunjukkan). 4. Kolaborasi dalam pemberian dan non farmakologi.
2. Menggambarkan factor obat-obat analgesic. 4. Untuk meredakan nyeri.
penyebab dari skala 2 (jarang
menunjukkan) dtingkatkan
menjadi skala 4 (sering
menunjukkan).
(3016) Kepuasan klien :
manajemen nyeri.
1. Nyeri terkontrol dari skala 2
(agak puas) menjadi skala 4
(sangat puas).
2. Tingkat nyeri dari skala 2
ditingkatkan menjadi skala 4
(sangat puas).
2. Ketidakseimbangan Setelah dilakukan tindakan (1100) Manajemen Nutrisi 1. Menentukan pemilihan jenis
nutrisi kurang dari keperawatan selama 3x24 jam 1. Tentukan status gizi pasien dan makanan sehingga mencegah
kebutuhan b.d mual diharapkan gangguan pemenuhan kemampuan pemenuhan. terjadinya aspirasi.
muntah, Domain 2 nutrisi kurang dari kebutuhan 2. Identifikasi adanya alergi atau 2. Mengevaluasi keadekuatan
Kelas 1 (00002). dapat teratasi dengan kriteria intoleransi pada makanan tertentu. rencana pemenuhan nutrisi.
hasil : 3. Pantau BB pasien. 3. Memantau keadaan tubuh
(1000) Keberhasilan menyusui: 4. Jaga keamanan saat memberikan klien.
bayi. makan klien seperti kepala sedikit 4. Menurunkan resiko terjadinya

16
1. Menyusui minimal 5-10 menit fleksi. aspirasi dan mengurangi rasa
perpayudara dari skala 2 5. Berikan makanan lembut dalam nyeri pada saat menelan.
( sedikit adekuat) menjadi skala porsi sedikit tapi sering. 5. Meningkatkan pemasukan dan
4 (sebagian besar adekuat). menurunkan distress gaster.
2. Penambahan berat badan dari
skala 2 (sedikit adekuat)
menjadi skala 4 (sebagian besar
adekuat).
(1006) Berat badan : massa
tubuh.
1. Berat badan dari skala 2
( deviasi cukup besar) menjadi
4 (deviasi ringan).
3. Resiko infeksi b.d Setelah dilakukan tindakan Kontrol Infeksi (6540) Kontrol Infeksi (6540)
prosedur keperawatan selama 3x24 jam 1. Observasi tanda-tanda infeksi 1. Untuk mencegah
pembedahan diharapkan resiko infeksi dapat peradangan. terjadinya infeksi yang
(00004). teratasi dengan kriteria hasil : 2. Tingkatkan upaya pencegahan lebih parah.
(1908) Deteksi Resiko dengan cara cuci tangan pada 2. Penanggulangan infeksi
1. Mengenali tanda dan gejala semua orang yang dengan cara sesimpel
resiko dari skala 2 (jarang berhubungan dengan pasien mungkin, agar infeksi
menunjukkan) ditingkatkan termasuk pasien sendiri. dapat dicegah.
menjadi skala 4 (sering 3. Pertahankan teknik aseptic 3. Untuk mengurangi
menunjukkan). pada prosedur invasive. terjadinya pertumbuhan
2. Memonitor perubahan status 4. Lakukan perubahan posisi. bakteri.
kesehatan dari skala 2 (jarang Perlindungan Infeksi (6550) 4. Untuk mencegah
menunjukkan) ditingkatkan 1. Monitor terhadap kerentanan terjadinya iritasi pada area
menjadi skala 4 (sering infeksi. pembedahan.
menunjukkan). 2. Berikan perawatan kulit tepat. Perlindungan Infeksi (6550)
(1909) Kontrol Resiko Periksa kulit dan selaput 1. Untuk mengetahui secara

17
1. mengidentifikasi factor resiko lender untuk adanya dini terhadap infeksi.
dari skala 2 (jarang menunjukkan) kemerahan, kehangatan 2. Agar infeksi tidak mudah
ditingkatkan menjadi skala 4 ekstrem, atau drainase. menyerang.
(sering menunjukkan). 3. Ajarkan pasien dan keluarga 3. Agar setelah dirumah
2. Mengenali factor resiko dari cara menghindari infeksi. infeksi tetap dapat
skala 2 (jarang menunjukkan) dicegah.
ditingkatkan menjadi skala 4
(sering menunjukkan).
4. Kerusakan Setelah dilakukan tindakan Pengecekan kulit (3590) Pengecekan kulit (3590)
integritas kulit b.d keperawatan selama 3x24 jam 1. Gunakan alat pengkajian 1. Mengurangi kontak langsung
kolostomi (00044). diharapkan kerusakan integritas untuk mengidentifiksdi dengan area rentan
kulit dapat diatasi dengan kriteria pasien yang beresiko mengalami kerusakan.
hasil : mengalami kerusakan 2. Warna yang berubah dan
(0401) Status Sirkulasi. kulit. suhu yang tinggi adalah salah
1. Kekuatan nadi radialis kanan 2. Monitor warna dan suhu satu tanda adanya kerusakan
dan kiri dari skala 2 (devisiasi kulit. integritas kulit.
cukup besar dari normal) 3. Periksa pakaian yang 3. Pakaian terlalu ketat dapat
ditingkatkan menjadi skala 4 terlalu ketat. mengakibatkan kerusakan
(devisiasi ringan dari normal). 4. Monitor kulit dan selaput integritas kulit.
2. Edema perifer tidak ada. lender terhadap area 4. Agar bisa segera ditangani.
(1101) Integritas Jaringan : kulit perubahan warna, memar. 5. Agar kerusakan integritas
dan membran mukosa. 5. Ajarkan keluarga kulit dapat segera ditangani.
1. Perfusi jaringan dari skala 2 mengenal tanda-tanda
(banyak terganggu) kerusakan kulit.
ditingkatkan menjadi skala 4
(sedikit terganggu).
2. Integritas kulit dari skala 2
(banyak terganggu)
ditingkatkan menjadi skala 4

18
(sedikit terganggu).
(1102) Penyembuhan luka:
primer.
1. Memperkirakan kondisi tepi
luka dari skala 2 (terbatas)
menjadi skala 4 (besar).

5. Gangguan Setelah dilakukan asuhan (0590) Manajemen Eliminasi (0590) Manajemen Eliminasi
eliminasi urine b.d keperawatan selama 3x24 jam Perkemihan Perkemihan
obstruksi anatomi, gangguan eliminasi urine dapat
Domain 3 Kelas 1 teratasi dengan kriteria hasil : 1. Kaji pola eliminasi BAK 1. Untuk mengetahui
(00016). (0503) Eliminasi Urin. pasien  keadaan berkemih klien.
1.Pola eliminasi urin dari skala 2 2. Awasi pemasukan dan 2. Untuk mengetahui pola
(banyak terganggu) menjadi pengeluaran serta karakteristik eliminasi.
skala 4 (sedikit terganggu). urine  3. Untuk menetukan
2.Tidak ada perubahan jumlah 3. Identifikasi factor penyebab intervensi lanjutan.
pada urine dari skala 2 (banyak inkontinensia urine. 4. Agar dapat segera
terganggu) menjadi skala 4 4. Ajarkan pada keluarga klien ditangani lebih lanjut.
(sedikit terganggu). tentang tanda dan gejala 5. Untuk mencegah terjadi
infeksi saluran kemih. gangguan eliminasi urine.
5. Kolaborasi pemberian obat
sesuai indikasi

19
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Atresia ani adalah malformasi congenital dimana rectum tidak
mempunyai lubang keluar. Atresia ani adalah tidak lengkapnya
perkembangan embrionik pada distal anus atau tertutupnya anus secara
abnormal.
Pada bayi dengan malformasi anorektal (atresia ani) terjadi beberapa
kondisi abnormal sebagai berikut: lubang anus sempit atau salah letak di
depan tempat semestinya, terdapat membrane pada saat pembukaan anal,
rectum tidak terhubung dengan anus, rectum terhubung dengan saluran
kemih atau sistem reproduksi melalui fistula, dan tidak terdapat pembukaan
anus

B. Saran
dengan dibuatnya makalah ini diharapkan dapat menambah pengetahuan
serta wawasan pembaca. Selanjutnya kami membuat makalah
mengharapkan kritik dan saran pembaca demi kesempurnaan makalah ini
untuk kedepannya.

20
DAFTAR PUSTAKA

Dewi, Vivian N L. 2013. Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita. Jakarta: Salemba
Medika
Faradilla, Nova. 2009. Ileus Obstruksi. Pekanbaru: FKUNRI

Haryanto. 2007. Konsep Dasar Keperawatan dengan Pemetaan Konsep (Concept


Mapping. Jakarta: Salemba Medika.

Haryono, Rudi. 2012. Keperawatan Medical Bedah Sistem Pencernaan. Yogyakarta:


Gosyen Publisher
Haryono, Rudi. 2013. Penanganan Kejadian Atresia Ani Pada Anak. Jurnal
Keperawatan Notokusumo. Vol 1 (1) : 57
Kartono, D. 2004. Penyakit Atresia Ani. Jakarta : Sagung Seto.

Kementrian Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan
Anak. 2015. Pedoman Surveilans Kelainan Bawaan Berbasis Rumah
Sakit (Hospital-Based). Jakarta : Kementrian Kesehatan RI
Nurafif, Kusuma. 2015. Aplikasi Askep NANDA NIC-NOC. Yogyakarta: MediAction.

Nurhayati. 2009. Asuhan Kegawatdaruratan dan Penyulit Neonatus. Jakarta: Trans


Info Media.
RISKESDAS. 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Yeyen, Rukiyah Ai, dkk. 2009. Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita. Jakarta:
Trans Media Info.

21

Anda mungkin juga menyukai