Anda di halaman 1dari 20

A.

Triger Case
An. R dibawa oleh ibunya ke RSKJ dengan keluhan belum bisa bicara.
Ibunya mengatakan pada saat usia 1,5 tahun pasien belum bisa bicara maupun
mengeluarkan kata-kata seperti anak pada umumnya, jika pasien diajak bicara
tidak mau menatap muka lawan bicaranya. Pasien tidak melihat bila dipanggil
oleh ibunya. An.R lebih suka bermain sendiri dengan mainannya, yaitu senang
bermain alat listrik milik kakek pasien dan menonton televisi. Ibunya
mengatakan saat pasien mendapat mainan yang di sukanya pasien hanya fokus
pada main itu saja, tidak memperdulikan lagi lingkungan sekitarnya. An.R juga
tidak suka bermain dengan teman-teman seumurannya. Saat pasien berada di
tempat yang ramai, pasien selalu meminta pulang dan ingin bermain sesuai
keinginannya. Ketika pasien tidak dituruti keinginannya An. R akan menarik
tangan ibunya, jika tidak dipenuhi pasien akan menangis dan baru bisa diam jika
diberikan apa yang pasien inginkan. Pasien selalu melakukan gerakan berulang
dan selalu mengibaskan tangan kanannya. Hal-hal lain yang sering dilakukan
An.R ialah memainkan lidah dengan tangannya dan An. R suka memasukkan
barang kedalam mulut selayaknya tahap tumbuh kembang anak usia 1-2 tahun.

B. Dokumentasi Asuhan Keperawatan


1. Pengertian
Autisme berasal dari kata ‘auto’ yang artinya sendiri. Istilah tersebut
digunakan pada seseorang yang memiliki gejala autisme kadang kelihatan
seperti seseorang yang memiliki hidup sendiri. Mereka merasa seperti hidup
di dunianya sendiri dan terlepas dari kontak sosial yang ada di sekitarnya
(Sunu, 2012) dalam (Sianipar, Furqon, and Adikara 2017)
Autisme merupakan salah satu gangguan perkembangan anak.
Gangguan autis biasanya ditunjukkan dengan kurangnya kemampuan anak
pada kemampuan interaksi sosial, komunikasi verbal dan non-verbal, dan
adanya perilaku berulang. Penanganan sejak dini akan menghasilkan
prognosis yang sangat baik juga. Biasanya anak dengan autis akan
mengalami gangguan dalam belajar, berkaitan dengan kurangnya
kemampuan sosial dan pola perilaku yang tidak sama dengan anak pada
umumnya (National Institute of Mental Health, 2008) dalam (Ballerina
2017).
Autisme merupakan gangguan perkembangan kompleks yang gejalanya
sudah muncul sebelum anak berusia 3 tahun. Gangguan neurologi pervasif
ini terjadi pada aspek neurobiologis otak dan mempengaruhi proses
perkembangan anak. Akaibat gangguan ini anak tidak dapat secara otomatis
belajar untuk beristeraksi dan berkomunikasi dengan lingkungan sekitarnya,
seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri (Taryadi & Ichawan Kurniawan.
2017).
Autisme merupakan kelaian perkembangan system saraf yang
mempengaruhi kemampuan penderita dalam komunikasi. Emosi, dan
interaksi dengan orang lain, baik dilingkungan keluarga maupun
dilingkungan sosial. Kemampuan interaksi dan komunikasi pada anak autism
berbeda-beda pada setiap individunya. Penanganan yang diberikan pada
masing-masing anak autism juga tidak sama. Anak autism mengalami
kesulitan dalam kontak mata dengan orang lain, agresif, self stimulation
serta terpukau terhadap benda-benda yang berputar atau bergerak. Mereka
juga lebih memahami Bahasa secara konkrit, dan sulit memahami makna
tersirat. Oleh karena itu, mereka perlu bantuan untuk mampu memahami
proses interaksi dan komunikasi dengan lingkungannya terutama
lungkungan keluarga. Jika dibiarkan saja anak tidak mengenal anggota
keluarganya sendiri akan berdampak terhadap kemampuan interkasi dan
komunikasi, selain itu juga akan berdampak pada proses mengajar anak
(Nurlatifah & Darmi. 2019).
2. Etiologi
Penyebab autisme adalah multifaktorial. Faktor genetik maupun
lingkungan diduga mempunyai peranan yang signifikan. Sebuah studi
mengemukakan bahwa apabila 1 keluarga memiliki 1 anak autis maka risiko
untuk memiliki anak kedua dengan kelainan yang sama mencapai 5%, risiko
yang lebih besar dibandingkan dengan populasi umum. Di lain pihak,
lingkungan diduga pula berpengaruh karena ditemukan pada orang tua
maupun anggota keluarga lain dari penderita autistik menunjukkan
kerusakan ringan dalam kemampuan sosial dan komunikasi atau
mempunyai kebiasaan yang repetitif. Akan tetapi penyebab secara pasti
belum dapat dibuktikan secara empiris.(Pérez et al. 2017)
Menurut Dewo (2006) :
a. Genetis, abnormalitas genetic dapat menyebabkan abnormalitas
pertumbuhan sel-sel saraf dan otak.
b. Keracunan pada makanan yang dikomsumsi ibu yang sedang hamil
c. Terjadi kegagalan pertumbuhan otak
d. Terjadi autoimun pada tubuh penderita
3. Klasifikasi autisme
Menurut Veskarisyanti (2008), ada beberapa klasifikasi autism,
diantaranya :
1) Aloof
Anak dengan autisme dari tipe ini senantiasa berusaha menarik
diri dari kontak sosial, dan cenderung untuk menyendiri di pojok.
2) Passive
Anak dengan autisme tipe ini tidak berusaha mengadakan kontak
sosial melainkan hanya menerima saja.
3) Active but odd
Sedangkan pada tipe ini, anak melakukan pendekatan namun
hanya bersifat repetitif dan aneh.(Wulandarin 2010)
Menurut Puspitaningrum (2004) autistik klasik adalah adalah autisme
yang disebabkan kerusakan syaraf sejak lahir. Kerusakan syaraf disebabkan
oleh virus rubella (dalam kandungan) atau terkena logam berat (merkuri dan
timbal). Sedangkan autistik regresif adalah autisme yang muncul saat anak
berusia antara 12-24 bulan. Perkembangan anak sebelumnya relatif normal,
namun setelah usia 2 tahun kemampuan anak menjadi merosot.(Siwi and
Anganti 2017)
4. Tanda dan Gejala
Biasanya tidak ada riwayat perkembangan yang jelas, tetapi jika
dijumpai abnormalitas tampak sebelum usia 3 tahun. Selalu dijumpai
hendaya kualitatif dalam interaksi sosialnya yang berupa tidak adanya
apresiasi adekuat terhadap isyarat sosio- emosional, yang tampak sebagai
kurangnya respon terhadap emosi orang lain dan atau kurang modulasi
terhadap perilaku dalam konteks sosial; buruk dalam menggunakan isyarat
sosial dan lemah dalam integrasi perilaku sosial, emosional dan komunikatif;
dan khususnya, kurang respon timbal balik sosio-emosional.(Pérez et al.
2017)
Menurut (DSM IV-TR) dalam (Raga et al. 2017) gejala-gejala dari autis
adalah hambatan dalam interaksi sosial, misalnya :
1) Kesulitan berbicara
2) Kesulitan dalam memahami bahasa
3) Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain atau objek disekitarnya.
4) Kesulitan mengubungkan peristiwa-peristiwa yang terjadi.
5) Bermain dengan mainan atau benda-benda lain secara tidak wajar
6) Sulit menerima perubahan pada rutinitas dan lingkungan yang dikenali.
7) Gerakan tubuh yang berulang-ukang atau adanya pola-pola perilaku
tertentu.

Autisme tidak termasuk kedalam golongan gejala kelaian perilaku dan


kelaianan kemajuan perkembangan. Dengan kata lain pada anak anak
autism terjadi kelainan emosi, intelektual, dan kemampuan (gangguan
pervasif).

5. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada autisme harus secara terpadu, meliputi semua
disiplin ilmu yang terkait: tenaga medis (psikiater, dokter anak, neurolog,
dokter rehabilitasi medik) dan non medis (tenaga pendidik, psikolog, ahli
terapi bicara/okupasi/fisik, pekerja sosial).
Tujuan terapi pada autis adalah untuk mengurangi masalah perilaku dan
meningkatkan kemampuan belajar dan perkembangannya terutama dalam
penguasaan bahasa. Dengan deteksi sedini mungkin dan dilakukan
manajemen multidisiplin yang sesuai yang tepat waktu, diharapkan dapat
tercapai hasil yang optimal dari perkembangan anak dengan autisme.
Manajemen multidisiplin dapat dibagi menjadi dua yaitu non
medikamentosa dan medika mentosa.
a. Non medikamentosa
1) Terapi edukasi
2) Terapi perilaku
3) Terapi wicara
4) Terapi okupasi/fisik
5) Sensori integrasi
6) AIT (Auditory Integration Training)
7) Intervensi keluarga
b. Medikamentosa
Individu yang destruktif seringkali menimbulkan suasana yang
tegang bagi lingkungan pengasuh, saudara kandung dan guru atau
terapisnya. Kondisi ini seringkali memerlukan medikasi dengan
medikamentosa yang mempunyai potensi untuk mengatasi hal ini dan
sebaiknya diberikan bersama-sama dengan intervensi edukational,
perilaku dan sosial.
1) Jika perilaku destruktif yang menjadi target terapi, manajemen
terbaik adalah dengan dosis rendah antipsikotik/neuroleptik tapi
dapat juga dengan agonis alfa adrenergik dan antagonis reseptor
beta sebagai alternatif.
Neuroleptik
a) Neuroleptik tipikal potensi rendah-Thioridazin-dapat
menurunkan agresifitas dan agitasi.
b) Neuroleptik tipikal potensi tinggi-Haloperidol-dapat
menurunkan agresifitas, hiperaktifitas, iritabilitas dan
stereotipik.
c) Neuroleptik atipikal-Risperidon-akan tampak perbaikan dalam
hubungan sosial, atensi dan absesif.
d) Agonis reseptor alfa adrenergik
e) Klonidin, dilaporkan dapat menurunkan agresifitas, impulsifitas
dan hiperaktifitas. Beta adrenergik blocker
f) Propanolol dipakai dalam mengatasi agresifitas terutama yang
disertai dengan agitasi dan anxietas.
2) Jika perilaku repetitif menjadi target terapi
Neuroleptik (Risperidon) dan SSRI dapat dipakai untuk mengatasi
perilaku stereotipik seperti melukai diri sendiri, resisten terhadap
perubahan hal-hal rutin dan ritual obsesif dengan anxietas tinggi.
3) Jika inatensi menjadi target terapi Methylphenidat (Ritalin,
Concerta) dapat meningkatkan atensi dan mengurangi
destruksibilitas.
4) Jika insomnia menjadi target terapi
Dyphenhidramine (Benadryl) dan neuroleptik (Tioridazin) dapat
mengatasi keluhan ini.
5) Jika gangguan metabolisme menjadi problem utama
Ganguan metabolisme yang sering terjadi meliputi gangguan
pencernaan, alergi makanan, gangguan kekebalan tubuh, keracunan
logam berat yang terjadi akibat ketidak mampuan anak-anak ini
untuk membuang racun dari dalam tubuhnya. Intervensi biomedis
dilakukan setelah hasil tes laboratorium diperoleh. Semua gangguan
metabolisme yang ada diperbaiki dengan obat- obatan maupun
pengaturan diet.(Pérez et al. 2017)
6. Patofisiologi
Saat ini telah diketahui bahwa autisme merupakan suatu gangguan
perkembangan, yaitu suatu gangguan terhadap cara otak berkembang.
Akibat perkembangan otak yang salah maka jaringan otak tidak mampu
mengatur pengamatan dan gerakan, belajar dan merasakan serta fungsi-
fungsi vital dalam tubuh. Penelitian post-mortem menunjukkan adanya
abnormalitas di daerah-daerah yang berbeda pada otak anak-anak dan
orang dewasa penyandang autisme yang berbeda-beda pula. Pada beberapa
bagian dijumpai adanya abnormalitas berupa substansia grisea yang
walaupun volumenya sama seperti anak normal tetapi mengandung lebih
sedikit neuron. Kimia otak yang paling jelas dijumpai abnormal kadarnya
pada anak dengan autis adalah serotonin 5-hydroxytryptamine (5-HT), yaitu
sebagai neurotransmiter yang bekerja sebagai pengantar sinyal di sel-sel
saraf. Anak-anak penyandang autisme dijumpai 30-50% mempunyai kadar
serotonin tinggi dalam darah. Perkembangan norepinefrine (NE), dopamin
(DA), dan 5-HT juga mengalami gangguan.(Pérez et al. 2017)
C. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian Keperawatan
a. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. R
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 5 tahun
Anak ke : 1 dari 2 bersaudara
Status Perkawinan : Belum Menikah
Agama : Islam
Pendidikan : Belum sekolah
Warga Negara : Indonesia
Suku Bangsa : Serawai
Pekerjaan : Tidak ada
Alamat : Jl xxxxxxxxxxxxxx
No. RM : xxxxxxxxxxxxxxxxx
Tanggal Pemeriksaan : 12 Desember 2019
b. IDENTITAS IBU
Nama : Ny. NS
Umur : 38 Tahun
Alamat : Jl. Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
c. RIWAYAT KESEHATAN
1) Keluhan Utama
Belum bisa bicara
2) Riwayat gangguan sekarang
An. R dibawa ibunya ke RSKJ dengan keluhan belum bisa
bicara. Ibunya mengatakan pada saat usia 1,5 tahun pasien belum
bisa bicara maupun mengeluarkan kata-kata seperti anak pada
umunya, jika pasien diajak bicara tidak mau menatap muka lawan
bicaranya. Pasien tidak melihat bila dipanggil oleh ibunya. An.R
lebih suka bermain sendiri dengan mainannya, yaitu senang
bermain alat listrik milik kakek pasien dan menonton televisi.
Ibunya mengatakan saat pasien mendapat mainan yang di sukanya
pasien hanya fokus pada main itu saja, tidak memperdulikan lagi
lingkungan sekitarnya. An.R juga tidak suka bermain dengan teman-
teman seumurannya. Saat pasien berada di tempat yang ramai,
pasien selalu meminta pulang dan ingin bermain sesuai
keinginannya. Ketika pasien tidak dituruti keinginannya An.R akan
menarik tangan ibunya, jika tidak dipenuhi pasien akan menangis
dan baru bisa diam jika diberikan apa yang pasien inginkan. Pasien
selalu melakukan gerakan berulang dan selalu mengibaskan tangan
kanannya. Hal-hal lain yang sering dilakukan ialah oleh An.R ialah
memainkan lidah dengan tangannya dan An.R suka memasukkan
barang kedalam mulut selayaknya tahap tumbuh kembang anak
usia 1-2 tahun.
3) Riwayat Gangguan Sebelumnya
Ibu pasien mengatakan tidak ada gangguan sebelumya.
4) Riwayat Kehidupan Pribadi
a) Riwayat Pranatal dan Perinatal
(1) Pasien merupakan anak yang diharapkan, buah pernikahan
dari ayah dan ibunya. Tidak ada niat ingin digugurkan.
(2) Riwayat Kehamilan Ibu: Ibu rajin memeriksakan kandungan
ke Bidan, Menurut Ibu nafsu makan baik, pada trimester
pertama sempat mengalami mual muntah yang berat, Ibu
pasien rajin meminum vitamin penambah darah yang
diberikan bidan.
(3) Riwayat Persalinan: Usia gestasi 38 minggu, lahir spontan,
langsung menangis, BBL:2800g, PBL: 40cm
b) Riwayat Masa Kanak Awal ( Usia 1-3 tahun)
BB pada usia 1 tahun  hanya 3kg. Riwayat mulai duduk,
tengkurap, merangkak dan tumbuh gigi.
c) Riwayat masa kanak pertengahan (usia 4-11 tahun)
Ibu pasien menyadari bahwa pertumbuhan dan perkembangan
anaknya terhambat.
d) Riwayat kehidupan keluarga
Di keluarga pasien tidak terdapat keluarga yang memiliki
keluhan serupa dengan pasien.
e) Riwayat kehidupan sekarang
Pasien merupakan anak kedua dari 2 bersaudara. Pasien
tinggal ibu dan adiknya. Pasien lebih sering dirumah, namun
apabila keluarga berencana jalan-jalan pasien selalu
diikutsertakan.
f) Persepsi pasien tentang diri dan kehidupannya :  Sulit
dievaluasi.
d. PEMERIKSAAN STATUS MENTAL
Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 12 Desember 2019, hasil
pemeriksaan ini menggambarkan situasi keadaan pasien saat dilakukan
pemeriksaan di ruang poli RSKJ.
1) Deskripsi Umum :
a) Penampilan umum :
Tampak gelisah, tidak kooperatif, kontak mata inadekuat.
b) Kesadaran : Komposmentis
c) Perilaku dan aktivitas psikomotor : Baik, aktivitas psikomotor
pasien cenderung melakukan gerakan berulang.
d) Pembicaraan : delayed speech. Pasien hanya bisa berbicara
sebatas mama.
e) Sikap terhadap pemeriksa : Tidak kooperatif, kontak mata
inadekuat
2) Keadaan afektif (mood), perasaan, dan empati : Sulit di evaluasi
3) Gangguan persepsi : sulit di evaluasi
4) Proses berfikir : sulit di evaluasi
5) Fungsi intelektual :
a) Taraf pendidikan, pengetahuan umum, dan kecerdasan : sulit
Dievalusi
b) Orientasi (waktu, tempat, dan orang) : Sulit di evaluasi
c) Daya ingat : pasien dapat mengingat dengan baik.
d) Daya konsentrasi dan perhatian : sulit dievalusi
e) Pikiran abstrak : sulit dievalusi
f) Bakat kreatif : sulit dievalusi
g) Kemampuan menolong diri sendiri : Pasien dapat menolong diri
sendiri.
6) Pengendalian impuls : sulit dievalusi
7) Daya nilai dan tilikan : Sulit di evaluasi
8) Taraf dapat dipercaya : sulit dievalusi
e. PEMERIKSAAN FISIK
1) Status Generalis
- N : 120x/ menit
- P : 22x/ menit
- S : 36,80C axillar
Antropometri
- TB: 92 cm
- BB: 7 kg
2) Status Internus
- Kepala Normosefali, rambut hitam, tidak mudah dicabut
- Mata Edema palpebra tidak ada,sklera ikterik (-/-), konjungtiva
palpebra anemis (-/)
- Hidung Simetris, deformitas (-), deviasi (-), tidak ada sekret.
- Telinga Simetris,bentuk dalam batas normal, menggantung,
deformitas (-),sekret (-), nyeri tekan tragus mastoid tidak ada
- Mulut Bibir tidak sianosis, lidah kotor (-), papil lidah tersebar
merata, mukosa lidah merah Leher Dalam batas normal, tiroid
tidak membesar
- Thorax Tidak terdapat skar, spider naevi (-), simetris kiri dan
kanan
- Paru I: Pernapasan statis-dinamis kiri = kanan.
P: Stemfremitus simetris kiri dan kanan
P: Sonor disemua lapang paru
A: Suara nafas vesikuler normal (+/+), wheezing (-/-), rhonki
(-/)
- Jantung I: Iktus kordis tidak  terlihat
P: Iktus kordis tidak teraba
P: Tidak dilakukan
A: Bunyi jantung I dan II normal, gallop (-), murmur (-)
- Abdomen I: Datar, tampak benjolan (-)
A: Bising usus (+)
P: Timpani (+) di seluruh regio abdomen
P: Nyeri tekan (-)
- Ektremitas Akral hangat +/+, edema -/-, CRT <2’
3) Status Neurologis :
a) Saraf kranial : dalam batas normal
b) Refleks fisiologis : dalam batas normal
c) Refleks Patologis : (-)
d) Sensibilitas : dalam batas normal
e) Fungsi vegetatif : dalam batas normal

2. Analisa Data

Symptom Problem Etiologi


DS : Hambatan Gangguan
- Ibunya mengatakan saat usia 1,5 tahun komunikasi verbal neuromuskuler
pasien belum bisa bicara maupun
mengeluarkan kata-kata seperti anak
pada usianya
- Ibu pasien mengatakan saat pasien diajak
bicara tidak menatap muka lawan
bicaranya
- Pasien biasa tidak melihat saat dipanggil
ibunya.
- Pasien lebih senang bermain sendiri
dengan
benda-benda atau mainan, dia juga senang
bermain alat listrik milik kakeknya dan
menonton televisi.
- Ibu pasien mengatakan saat pasien
mendapat mainan yang di sukanya dia
hanya fokus pada mainannya saja, dia tidak
menghiraukan lingkungan sekitarnya
- Setiap mendambakan sesuatu pasien
Biasanya menarik tangan ibunya untuk
memenuhi keinginannya, jika tidak
dipenuhi dia akan menangis dan bisa diam
jika diberikan apa yang dia inginkan.

DO:
- An. R dibawa oleh ibunya ke RSKJ dengan
keluhan belum bisa bicara
- Pasien sering melakukan gerakan berulang
dan terus menerus yaitu mengibaskan
tangan kanannya. Kebiasaan lain yang
sering dia lakukan adalah memainkan
lidah dengan tangannya dan masih suka
memasukkan barang kedalam mulut
selayaknya tahap tumbuh kembang anak
usia 1-2 tahun
- Penampilan umum : Tampak gelisah, tidak
kooperatif, kontak mata inadekuat.
- aktivitas psikomotor pasien cenderung
melakukan gerakan berulang
- Pasien hanya bisa berbicara sebatas mama.
DS : Gangguan Hambatan
- Ibu pasien mengatakan saat pasien Interaksi Sosial Perkembangan
mendapat mainan yang di sukanya dia
hanya fokus pada mainannya saja, dia
tidak menghiraukan lingkungan
sekitarnya. Pasien juga tidak mau bermain
dengan teman-teman seumunya.
- Saat berada ditempat ramai, pasien
meminta pulang dan ingin bermain sesuai
keinginannya.

DO :
- Sikap terhadap pemeriksa :
Tidak kooperatif, kontak mata inadekuat

3. Diagnosa Keperawatan
1. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan Gangguan neuromuskuler
2. Gangguan Interaksi Sosial berhubungan dengan Hambatan Perkembangan
4. Intervensi Keperawatan

N
Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
O
1 Hambatan NOC NIC
komunikasi verbal · Anxiety self control 1. Gunakan penerjemah, jika diperlukan 1. Agar komunikasi dapat
berhubungan · Coping 2. Beri satu kalimat simple setiap tersampaikan dengan
dengan Gangguan · Sensory function: hearing & vision bertemu, jika diperlukan jelas dan benar
neuromuskuler · Fear sef control 3. Konsultasikan dengan dokter 2. Dengan memberikan
kebutuhan terapi bicara kalimat simple dapat
Kriteria Hasil : 4.  Dengarkan dengan penuh perhatian melatih komunikasi
1.  Komunikasi:penerimaan, 5. Berdiri didepan pasien ketika pasien
intrepretasi dan ekspresi pesan berbicara 3. Agar kebutuhan terapi
lisan, tulisan, dan non verbal 6. Gunakan kartu baca, kertas, pensil, pasien dapat terpenuhi
meningkat bahasa tubuh, gambar, daftar 4. Untuk memberikan rasa
2.  Komunikasi ekspresif (kesulitan kosakata bahasa asing, computer, saling percaya, sehingga
berbicara) : ekspresi pesan dan lain-lain untuk memfasilitasi komunikasi dapat
verbal dan atau non verbal yang komunikasi dua arah yang optimal berjalan dengan baik
bermakna (METODE PECS (PICTURE EXCHANGE 5. Kontak mata
3. Komunikasi reseptif (kesutitan COMMUNICATION SYSTEM) mengekspresikan minat
mendengar) : penerimaan yang murni terhadap dan
komunikasi dan intrepretasi hormat kepada seseorang
pesan verbal dan/atau non (lawan bicara)
verbal 6. Agar komunikasi dua arah
4. Gerakan Terkoordinasi : mampu dapat berjalan dengan
mengkoordinasi gerakan dalam optimal
menggunakan isyarat
5. Pengolahan informasi : klien
mampu untuk memperoleh,
mengatur, dan menggunakan
informasi
6. Mampu mengontrol respon
ketakutan dan kecemasan
terhadap ketidakmampuan
berbicara
7. Mampu memanajemen
kemampuan fisik yang di miliki
8. Mampu mengkomunikasikan
kebutuhan dengan lingkungan
sosial

2 Gangguan Interaksi  Self esteem, situational NIC


Sosial berhubungan Communication impaired verbal 1. Buat interaksi terjadwal 1. Agar rencana kegiatan
dengan Hambatan Kriteria Hasil : 2. Identifikasi perubahan perilaku dapat tarsusun dengan
Perkembangan 1. Lingkungan yang suportif yang tertentu baik dan terarah
bercirikan hubungan dan tujuan 3. Berikan umpan balik positif jika 2. Untuk mengetahui
anggota keluarga pasien berinteraksi dengan orang perubahan perilaku
2. Menggunakan aktivitas yang lain tertentu
menenangkan, menarik, dan 4. Gunakan teknik bermain peran 3. Untuk meningkatkan
menyenangkan untuk untuk meningkatkan keterampilan interaksi pasien ke orang
meningkatkan dan teknik berkomunikasi lain
3. Kesejahteraan, interaksi sosial 5. Minta dan harapkan adanya 4. Untuk meningkatkan
dengan orang, kelompok, atau komunikasi verbal stimulus pasien
organisasi 5. Agar komunikasi bisa
4. Memahami dampak dari perilaku tetap terjalin
diri pada interaksi sosial
5. Mendapatkan/ meningkatkan
keterampilan interaksi sosial,
kerjasama,  ketulusan dan saling
memahami
6. Mengungkapkan keinginan untuk
berhungan dengan orang lain
7. Perkembangan fisik, kognitif, dan
psikososial anak sesuai dengan
usianya
5. Simpulan
Autisme merupakan salah satu gangguan perkembangan anak, seringkali
disebut dengan gangguan kebutuhan khusus. Gangguan autis biasanya
ditunjukkan dengan kurangnya kemampuan anak pada kemampuan interaksi
sosial, komunikasi verbal dan non-verbal, dan adanya perilaku berulang.
Berdasarkan data diatas anak dengan autisme disapatkan diagnose gangguan
komunikasi verbal dan gangguan interaksi social.
Intervensi pada gangguan komunikasi verbal yang direncanakan sesuai
dengan EBN adalah Gunakan kartu baca, kertas, pensil, bahasa tubuh, gambar,
daftar kosakata bahasa asing, computer, dan lain-lain untuk memfasilitasi
komunikasi dua arah yang optimal (METODE PECS (PICTURE EXCHANGE
COMMUNICATION SYSTEM). Penerapan metode PECS ini akan
mengembangkan kemampuan komunikasi pada anak dengan menggunakan
alat bantu komunikasi berupa buku komunikasi dan kartu gambar. Metode ini
diharapkan dapat membantu anak dalam berkomunikasi dengan orang lain.

6. Lampiran Jurnal Ilmiah


a. Judul
Efektivitas Metode Pecs (Picture Exchange Communication System)
Pada Anak Autis
Volume 1/Nomor 1/September 2019
Zhakaria Firmansyah
b. Latar belakang
Autis merupakan suatu penyakit yang dapat menyebabkan
seseorang yang menderitanya mengalami gangguan pada
perkembangan kerja otaknya secara normal dalam kemampuan
sosialitasnya dan juga kemampuannya dalam berkomunikasi (baik verbal
maupun nonverbal) dengan lawan bicaranya (Taufik 2016). Gangguan
Spektrum Autisme yang merupakan gangguan perkembangan dalam
pertumbuhan manusia yang secara umum tampak di tiga tahun pertama
kehidupan anak tersebut. Autisme Spectrum Disorder yang dialami oleh
anak autis berpengaruh pada cara mereka berkomunikasi, berinteraksi
sosial, daya imajinasi dan sikap yang merupakan suatu kumpulan
sindrom yang mengganggu syaraf. (Rasyid 2014:3).
Hambatan komunikasi tersebut terjadi pada anak autis. Anak autis
mengalami kesulitan dalam berkomunikasi karena mereka mengalami
hambatan dalam perkembangan bahasanya. Pada tahun 2007
diperkirakan lebih dari 400.000 anak, pada tahun 2013 menurut
Direktur Bina Kesehatan Jiwa pernah menduga jumlah anak dengan
autisme di Indonesia sekitar 112 orang dengan rentang usia 5 sampai 19
tahun. Di Indonesia, pada tahun 2015 data dari klinikautisme per 250
anak mengalami gangguan autisme dan terdapat kurang lebih 12.800
anak dengan autisme dan 134.000 orang dengan autisme di Indonesia.
Pada dasarnya komunikasi nonvebal dibutuhkan oleh anak autis
sebagai media alat bantu untuk menyampaikan proses pembelajaran.
Hal ini sejalan dengan pendapat Christie yang menjelaskan bahwa Anak-
anak penderita autis umumnya mengalami kesulitan memahami bahasa
lisan. Sebagian anak autis lainnya secara alamiah menggunakan bahasa
tubuh orang lain sebagai petunjuk tambahan untuk membantu mereka
belajar dan memahami kata (Christie. Dkk, 2009 : 94). Dengan menuntut
anak untuk berbicara lancar akan membuatnya semakin tegang dan
ketegangan itu menghambatnya untuk berpikir leluasa. Tuntutan agar
anak autis terus dilatih bicara lancar tidak hanya muncul dari orang tua
saja tapi datang juga dari para terapis, melalui metode PECS. Penerapan
metode PECS dalam penelitian ini akan mengembangkan kemampuan
komunikasi pada anak dengan menggunakan alat bantu komunikasi
berupa buku komunikasi dan kartu gambar.
Metode PECS merupakan bagian dari metode AAC (Alternative,
Augmentative Communication). Penerapan metode PECS dalam
penelitian ini akan mengembangkan kemampuan komunikasi pada anak
dengan menggunakan alat bantu komunikasi berupa buku komunikasi
dan kartu gambar dan diterapkan hanya dalam empat dari enam fase
metode PECS. Hal ini didasarkan pada target perilaku yang diteliti pada
penelitian ini adalah kemampuan anak dalam menjawab pertanyaan
dengan menyusun kalimat.
c. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas metode PECS
pada anak autis di UPT PLA Malang.
d. Metodologi
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kuantitatif dengan populasi penelitian anak autis yang ada di UPT PLA
Malang yang berumur 4-10 tahun. Dalam penelitian ini pengambilan
sampel menggunakan sampling jenuh atau sensus yang berjumlah 31
anak. Selanjutnya data diolah dengan menggunakan uji t. signifikasi
efektifitas metode PECS diperoleh setelah menghitung akhir uji t
( signifikasi 0,05)
e. Hasil
Hasil penelitian ini adalah Ho ditolak H1 diterima yang artinya ada
perbedaan antara hasil pretes dengan posttes dan hasil posttest lebih
besar daripada hasil pretest. Dengan kata lain metode PECS efektif
digunakan untuk anak autis di UPT PLA Malang. Hal ini dituntujakkan
dengan nilai thitung 15.7 yang lebih besar dari ttabel yaitu 1.67.
f. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan analisis penelitian ini, efektifitas metode
PECS pada anak autis diUPT PLA Malang, maka dapat disimpulkan
bahwa metode PECS efektif digunakan untuk anak autis di UPT PLA
Malang. Yang artinya metode PECS efektif dalam memberikan pesan
kepada anak autis . Dari soal test yang diberikan terapis kepada anak
autis, pada test membedakan benda anak autis hanya mampu
membedakan dua benda, pada melakukan perintah paling banyak hanya
dapat melakukan satu perintah dan pada menyusun kalimat semua anak
autis hanya mampu menyusun satu kalimat. Setelah mendapatkan
treatment metode PECS terdapat peningkatan pada anak autis. Dapat
dilihat dari hasil posttest yang mana hasil posttest anak autis mampu
melaksanakan lima perintah yang diberikan.(Firmansyah 2019)
DAFTAR PUSTAKA

Ballerina, Titisa. 2017. “Meningkatkan Rentang Perhatian Anak Autis Dalam


Pembelajaran Pengenalan Huruf.” Inklusi 3(2): 245.

Firmansyah, Zhakaria. 2019. “EFEKTIVITAS METODE PECS ( PICTURE EXCHANGE


COMMUNICATION SYSTEM ) PADA ANAK AUTIS ( Studi Desktiptif Kuantitatif
Metode PECS Dalam Komunikasi Non Verbal Anak Autis Di UPT PLA Malang ).”
1(September): 38–44.

Herdma T, Heather dan Shigemi Kamitsu (Eds 2018). NANDA 1 Diagnosis Keperawatan
Definisi dan Klasifikasi 2018-2020. Jakarta : EGC

Nurlatifah & Darmi. 2019. Meningkatkan Kemampuan Mengenal Anggota Keluarga


melalui Media PECS (Picture Excange Communication System) pada Anak Autisme
Kelas TKLB di SLB Luak Nan Bungsu Payakambuh. Jurnal Penelitian Pendidikan
Kebutuhan Khusus, Vol. 7 (2)

Nurarif .A.H. dan Kusuma. H. (2015). APLIKASI Asuhan Keperawatan Berdasarkan


Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Jogjakarta:  MediAction

Pérez, Ashley et al. 2017. “No 主観的健康感を中心とした在宅高齢者における 健康


関連指標に関する共分散構造分析 Title.” BMC Public Health 5(1): 1–8.
https://ejournal.poltektegal.ac.id/index.php/siklus/article/view/298%0Ahttp://rep
ositorio.unan.edu.ni/2986/1/5624.pdf
%0Ahttp://dx.doi.org/10.1016/j.jana.2015.10.005%0Ahttp://www.biomedcentral.c
om/1471-2458/12/58%0Ahttp://ovidsp.ovid.com/ovidweb.cgi?T=JS&P.

Raga, Adolfus D. Dkk. 2017. Pengaruh PECS (Picture Exchange Communication System)
Terhadap Perkembangan Interaksi Sosisial Anak Austis. Nursing News, Vol.2 (3)

Sianipar, Jojor Jennifer, M Tanzil Furqon, and Putra Pandu Adikara. 2017. “Identifikasi
Diagnosis Gangguan Autisme Pada Anak Menggunakan Metode Modified K-
Nearest Neighbor ( MKNN ).” 1(9): 825–31.

Siwi, Aisti Rahayu Kharisma, and Nisa Rachmah Nur Anganti. 2017. “Strategi Pengajaran
Interaksi Sosial Pada Anak Autis.” Indigenous: Jurnal Ilmiah Psikologi 2(2): 184–92.

Wulandarin. 2010. “Jurnal Autis.” (2008): 7–30.

Taryadi dan Ichwan Kurniawan. 2017. Pemebelajaran Anka Autis Dengan Metode Picture
Exchange Communication System (PECS) Berbasis Multimedia Augmented Reality.
Seminar Nasional Informatika Medis (SNIMed), Vol, p. 29, 2017.

Anda mungkin juga menyukai