Anda di halaman 1dari 117

1

BAB I

KONSEP DASAR MEDIK

GAGAL GINJAL KRONIK

A. PENGERTIAN

Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan

gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversibel dimana kemampuan

tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan

dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain

dalam darah). (Brunner dan Suddarth, 2002)

Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang progresif yang

berakibat fatal dan ditandai dengan adanya uremia (urea dan limbah nitrogen

lainnya yang beredar dalam darah serta komplikasinya jika tidak dilakukan

dialisis atau transplantasi ginjal). (Nursalam, 2006)

Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan

penurunan fungsi ginjal yang irreversible pada suatu derajat yang memerlukan

terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialysis atau transpantasi ginjal.

(Suwitro, 2006)

Gagal ginjal kronik adalah jejas pada ginjal yang lebih bersifat perlahan-

lahan sering tidak reversibel dan mengarah pada penghancuran massa nefron

yang sifatnya progresif. (Isselbacher, 2000)

Gagal ginjal kronik adalah penurunan fungsi ginjal yang bersifat

persisten dan irreversibel. (Mansjoer, 2000)


2

B. ANATOMI FISIOLOGI

1. Anatomi ginjal

Gambar 1. Letak Ginjal

Anatomi ginjal menurut Price dan Wilson (2005) dan Smletzer dan

Bare (2002), ginjal merupakan organ berbentuk seperti kacang yang

terletak pada kedua sisi kolumna vertebralis. Ginjal kanan sedikit lebih

rendah dibandingkan ginjal kiri karena tekanan ke bawah oleh hati. Katub

atasnya terletak setinggi iga kedua belas. Sedangkan katub atas ginjal kiri

terletak setinggi iga kesebelas. Ginjal dipertahankan oleh bantalan lemak

yang tebal agar terlindung dari trauma langsung, disebelah posterior

dilindungi oleh iga dan otot-otot yang meliputi iga, sedangkan anterior

dilindungi oleh bantalan usus yang tebal. Ginjal kiri yang berukuran

normal biasanya tidak teraba pada waktu pemeriksaan fisik karena dua
3

pertiga atas permukaan anterior ginjal tertutup oleh limfa, namun katub

bawah ginjal kanan yang berukuran normal dapat diraba secara bimanual.

Ginjal terbungkus oleh jaringan ikat tipis yang dikenal sebagai

kapsula renis. Disebelah anterior ginjal dipisahkan dari kavum abdomen

dan isinya oleh lapisan peritoneum. Disebelah posterior organ tersebut

dilindungi oleh dinding toraks bawah. Darah dialirkan kedalam setiap

ginjal melalui arteri renalis dan keluar dari dalam ginjal melalui vena

renalis. Arteri renalis berasal dari aorta abdominalis dan vena renalis

membawa darah kembali kedalam vena kava inferior.

Pada orang dewasa panjang ginjal adalah sekitar 12 sampai 13 cm

(4,7-5,1 inci) lebarnya 6 cm (2,4 inci) tebalnya 2,5 cm (1 inci) dan

beratnya sekitar 150 gram. Permukaan anterior dan posterior katub atas

dan bawah serta tepi lateral ginjal berbentuk cembung sedangkan tepi

lateral ginjal berbentk cekung karena adanya hilus. Gambar anatomi ginjal

dapat dilihat dalam gambar. 2

Gambar 2. Anatomi khusus Ginjal


4

Apabila dilihat melalui potongan longitudinal, ginjal terbagi

menjadi dua bagian yaitu korteks bagian luar dan medulla di bagian dalam.

Medulla terbagi-bagi menjadi biji segitiga yang disebut piramid, piranid-

piramid tersebut diselingi oleh bagian korteks yang disebut kolumna

bertini. Piramid-piramid tersebut tampak bercorak karena tersusun oleh

segmen-segmen tubulus dan duktus pengumpul nefron. Papilla (apeks)

dari piramid membentuk duktus papilaris bellini dan masukke dalam

perluasan ujung pelvis ginjal yang disebut kaliks minor dan bersatu

membentuk kaliks mayor, selanjutnya membentuk pelvis ginjal. Gambar

penampang ginjal dapat dilihat pada gambar. 3

Gambar 3. Penampang Ginjal

Ginjal tersusun dari beberapa nefron. Struktur halus ginjal terdiri

atas banyak nefron yang merupakan satuan fungsional ginjal, jumlahnya

sekitar satu juta pada setiap ginjal yang pada dasarnya mempunyai struktur
5

dan fungsi yang sama. Setiap nefron terdiri dari kapsula bowmen yang

mengintari rumbai kapiler glomerulus, tubulus kontortus proksimal,

lengkung henle dan tubulus kontortus distal yang mengosongkan diri ke

duktus pengumpul. Kapsula bowman merupakan suatu invaginasi dari

tubulus proksimal. Terdapat ruang yang mengandung urine antara rumbai

kapiler dan kapsula bowman dan ruang yang mengandung urine ini

dikenal dengan nama ruang bowmen atau ruang kapsular. Kapsula

bowman dilapisi oleh sel - sel epitel. Sel epitel parielalis berbentuk gepeng

dan membentuk bagian terluar dari kapsula, sel epitel veseralis jauh lebih

besar dan membentuk bagian dalam kapsula dan juga melapisi bagian luar

dari rumbai kapiler. Sel viseral membentuk tonjolan - tonjolan atau kaki -

kaki yang dikenal sebagai pedosit, yang bersinggungan dengan membrana

basalis pada jarak - jarak tertentu sehingga terdapat daerah-daerah yang

bebas dari kontak antar sel epitel. Daerah - daerah yang terdapat diantara

pedosit biasanya disebut celah pori - pori.

Gambar 4. Anatomi Nefron


6

Vaskilari ginjal terdiri dari arteri renalis dan vena renalis.setiap

arteri renalis bercabang waktu masuk kedalam hilus ginjal. Cabang

tersebut menjadi arteri interlobaris yang berjalan diantara pyramid dan

selanjutnya membentuk arteri arkuata yang melengkung melintasi basis

pyramid-piramid ginjal. Arteri arkuata kemudian membentuk arteriola-

arteriola interlobaris yang tersusun oleh parallel dalam korteks, arteri ini

selanjutnya membentuk arteriola aferen dan berakhir pada rumbai-rumbai

kapiler yaitu glomerolus. Rumbai-rumbai kapiler atau glomeruli bersatu

membentuk arteriola eferen yang bercabang-cabang membentuk sistem

portal kapiler yang mengelilingi tubulus dan kapiler peritubular.

Gambar 5. Anatomi Glomerolus

Darah yang mengalir melalui system portal akan dialirkan ke

dalam jalinan vena menuju vena intelobaris dan vena renalis selanjutnya

mencapai vena kava inferior. Ginjal dilalui oleh darah sekitar 1.200 ml

permenit atau 20%-25% curah jantung (1.500 ml/menit).


7

2. Fisiologi ginjal

a. Fungsi ginjal

Menurut Price dan Wilson (2005), ginjal mempunyai berbagai macam

fungsi yaitu ekskresi dan fungsi non-ekskresi. Fungsi ekskresi

diantaranya adalah :

1) Mempertahankan osmolaritas plasma sekitar 285 mOsmol dengan

mengubah-ubah ekskresi air.

2) Mempertahankan kadar masing-masing elektrolit plasma dalam

rentang normal.

3) Mempertahankan pH plasma sekitar 7,4 dengan mengeluarkan

kelebihan H+ dan membentuk kembali HCO3

4) Mengekresikan produk akhir nitrogen dari metabolism protein,

terutama urea, asam urat dan kreatinin.

Sedangkan fungsi non-ekresi ginjal adalah :

1) Menghasilkan rennin yang penting untuk pengaturan tekanan

darah.

2) Menghasilkan eritropoetin sebagai factor penting dalam stimulasi

produksi sel darah merah olehsumsum tulang.

3) Metabolism vitamin D menjadi bentuk aktifnya.

4) Degradasi insulin.

5) Menghasilkan prostaglandin.
8

b. Fisiologi pembentukan urine

Pembentukan urine diginjal dimulai dari proses filtrasi plasma

pada glomerolus. Sekitar seperlima dari plasma atau 125 ml/menit

plasma dialirkan di ginjal melalui glomerolus ke kapsula bowman.

Halini dikenal dengan istilah laju filtrasi glomerolus/glomerular

filtration rate (LFG) dan proses filtrasi pada glomerolus disebut

ultrafiltrasi glomerulus. Tekanan darah menentukan beberapa tekanan

dan kecepatan alirn darah yang melewati glomeruls. Ketika darah

berjalan melewati struktur ini, filtrasi terjadi. Airdan molekul-molekul

yang kecila akan dibiarka lewat sementara molekul-molekul besar

tetap bertahan dalam aliran darah. Cairan disaring melalui dinding

jonjot-jonjot kapilerglomerulus dan memasukitubulus.cairan ini

disebut filtrate. Filrat terdiri dari air, elektrolit dan molekul kecil

lainnya. Dalam tubulus sebagian substansi ini secara selektif diabsobsi

ulang kedalam darah. Substansi lainnya diekresikan dari darah

kedalam filtrat ketika filtrat tersebut mengalir di sepanjang tubulus.

Filtrate akan dipekatkan dalam tubulus distal serta duktud pengumpul

dan kemudian menjadi urine yang akan mencapainpelvis ginjal.

Sebagian substansi seperti glukosa normalnya akan diabsorbsi

kembali seluruhnya dalam tubulus dan tidak akan terlihat dalam urine.

Berbagai substansi yang secara normal disaring oleh glomerulus,

diabsorbsi oleh tubulus dan diekresikan kedalam urine mencakup


9

natrium, klorida, bikarbinat, kalium, glukosa, ureum, kreatinin dan

asam urat.

Terdapat 3 proses penting yang berhubungan dengan proses

pembentukan urine, yaitu :

a. Filtrasi (penyaringan) : kapsula bowman dari badan malpighi

menyaring darah dalam glomerus yang mengandung air, garm,

gula, urea dan zat bermolekul besar (protein dan sel darah)

sehingga dihasilkan filtrat glomerus (urine primer). Di dalam filtrat

ini terlarut zat yang masih berguna bagi tubuh maupun zat yang

tidak berguna bagi tubuh, misal glukosa, asm amino dan garam-

garam.

b. Reabsorbsi (penyerapan kembali) : dalam tubulus kontortus

proksimal zat dalam urine primer yang masih berguna akan

direabsorbsi yang dihasilkan filtrat tubulus (urine sekunder)

dengan kadar urea yang tinggi.

c. Ekskesi (pengeluaran) : dalam tubulus kontortus distal, pembuluh

darah menambahkan zat lain yang tidak digunakan dan terjadi

reabsornsi aktif ion Na+ dan Cl- dan sekresi H+ dan K+. Di tempat

sudah terbentuk urine yang sesungguhnya yang tidak terdapat

glukosa dan protein lagi, selanjutnya akan disalurkan ke tubulus

kolektifus ke pelvis renalis.


10

Perbandingan jumlah yang disaring oleh glomerulus setiap hari

dengan jumlah yang biasanya dikeluarkan kedalam urine maka

dapat dilihat besar daya selektif sel tubulus:

Tabel 1. Daya Selektif Sel Tubulus


Komponen Disaring Dikeluarkan
Air 150 Liter 1, 5 Liter
Garam 750 Liter 15 Gram
Glukosa 150 Liter 0 gram
Urea 50 Gram 30 Gram

Tabel 2. Proses Filtrasi, reabsorpsi, dan sekresi selama 24 jam.


Senyawa Normal Reabsorpsi Ekskresi Sekresi Satuan
Na + 26.000 25.850 150 - m Eq
K+ 600 566 90 50 m Eq
Cl- 18.000 17.850 150 - m Eq
HCO3 4.900 4.900 0 - m Eq
Urea 870 460 410 - m Mol
Kreatinin 12 1 12 1 m Mol
Asam 50 49 5 4 m Mol
urat
Glukosa 800 800 0 - m Mol
Solut 54.000 53.400 700 100 m Osl
total
Air 180.000 179.000 1.000 - Ml

Fungsi lain dari ginjal yaitu memproduksi renin yang berpperan

dalam pengaturan tekanan darah. Apabila tekanan darah turun, maka sel-

sel otot polos meningkatkan pelelepasan reninnya. Apabila tekanan darah

naik maka sel - sel otot polos mengurangi pelepasan reninnya. Apabila

kadar natrium plasma berkurang, maka sel-sel makula dansa memberi

sinyal pada sel-sel penghasil renin untuk meningkatkan aktivitas mereka.

Apabila kadar natrium plasma meningkat, maka sel-sel makula dansa

memberi sinyal kepada otot polos untuk menurunkan pelepasan renin.

Setelah renin beredar dalam darah dan bekerja dengan mengkatalisis


11

penguraian suatu protein kecil yaitu angiotensinogen menjadi angiotensin I

yang terdiri dari 10 asam amino, angiotensinogen dihasikna oleh hati dan

konsentrasinya dalam darah tinggi. Pengubahan angiotensinogen menjadi

angiotensin I berlangsung diseluruh plasma, tetapi terutama dikapiler paru-

paru. Angoitensi I kemudian dirubah menjadi angiotensin II oleh suatu

enzim konversi yang ditemukan dalam kapiler paru-paru. Angiotensin II

meningkatkan tekanan darah melalui efek vasokontriksi arteriola perifer

dan merangsang sekresi aldosteron. Peningkatan kadar aldosteron akan

merangsang reabsorbsi natrium dalam tubulus distal dan duktus

pengumpul selanjutnya peningkatan reabsorbsi natrium mengakibatkan

peningkatan reabsorbsi air, dengan demikian volume plasma akan

meningkat yang ikut berperan dalam peningkan tekanan darah yang

selanjutnya akan mengurangi iskemia ginjal.

                                                     

C. PROSES TERJADINYA MASALAH

1. Faktor Presipitasi

a) Diabetes Mellitus

Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit metabolik yang

penyebabnya multifaktor, ditandai dengan kadar gula darah tinggi

(hiperglikemi) dan terjadi gangguan metabolisme karbohidrat, lemak

dan protein. Pada tahun 2000, prevalensi DM diperkirakan 0,19% pada

orang umur <20 th dan 8,6% pada orang umur >20 th. Pada lansia >65

th prevalensi DM adalah 20,1%. Prevalensi pada pria dan wanita sama,


12

kecuali pada usia >60 th lebih tinggi pria dibanding wanita. Nefropati

diabetik (ND) merupakan komplikasi penyakit diabetes mellitus yang

termasuk dalam komplikasi mikrovaskular, yaitu komplikasi yang

terjadi pada pembuluh darah halus (kecil). Tingginya kadar gula dalam

darah akan membuat struktur ginjal berubah sehingga fungsinyapun

terganggu. Kerusakan glomerolus menyebabkan protein (albumin)

dapat melewati glomerolus sehingga dapat ditemukan dalam urin yang

disebut dengan mikroalbuminuria. Sekali nefropati diabetik muncul,

interval antara onset hingga terjadi kerusakan ginjal terminal bervariasi

antara empat sampai sepuluh tahun, dan hal ini berlaku untuk diabetes

mellitus tipe 1 maupun tipe 2.

b) Glomerulonefritis Kronis

Glomerulonefritis kronis ditandai dengan kerusakan glomerulus

secara progresif lambat akibat glomerulonefritis yang sudah

berlangsung lama. Pada glomerulonefritis kronik lanjut maka ginjal

tampak mengkerut, kadang-kadang beratnya hanya tinggal 50 gram

dan permukaannya bergranula. Perubahan-perubahan ini terjadi akibat

berkurangnya jumlah nefron karena iskemia dan hilangnya nefron.

c) Pielonefritis

Diagnosis pielonefritis kronik biasanya ditegakkan apabila

pasien memperlihatkan gejala insufisiensi ginjal kronik atau hipertensi

atau temuan proteinuria saat pemeriksaan rutin. Pielonefritis kronik

lanjut sering memperlihatkan gejala azotemia, meskipun


13

perkembangannya sampai menjadi gagal ginjal bersifat progresif

lambat.

d) Hipertensi

Hipertensi dan gagal ginjal kronik memiliki kaitan yang erat.

Hipertensi mungkin merupakan penyakit primer dan menyebabkan

kerusakan pada ginjal. Sebaliknya, penyakit ginjal kronik yang berat

dapat menyebabkan hipertensi melalui mekanisme retensi natrium dan

air, pengaruh vasopresor dari sistem renin-angiotensin dan mungkin

pula melalui defisiensi prostaglandin. Nefrosklerosis (pengerasan

ginjal) menunjukkan adanya perubahan patologis pada pembuluh

darah ginjal akibat hipertensi. Keadaan ini merupakan salah satu

penyebab utama gagal ginjal kronik. (Price dan Wilson, 2005)

2. Faktor Predisposisi

1) Gaya hidup tidak banyak bergerak (sedentary, low physical activity)

2) Pola makan buruk, tinggi lemak dan karbohidrat yang tidak diimbangi

serat dalam jumlah cukup

3) Kurang minum

Kurang minum membuat darah menjadi kental dan mineral (kalsium)

mudah mengendap di ginjal menjadi batu ginjal yang dapat

mengganggu fungsi ginjal

4) Lingkungan yang buruk. (Syamsir, 2007)


14

D. PATOFISIOLOGI

Patofisiologi gagal ginjal kronik menurut Suwitra (2006) adalah sebagai

berikut :

Pada gagal ginjal kronik, fungsi ginjal mengalami penurunan sehingga

tidak mampu menjalankan fungsinya. Perjalanan gagal ginjal kronik dapat

diperoleh dengan memperhatikan hubungan antara proses kliren kreatinin dan

kecepatan glomerulus dalam filtrasi (LFG) sebagai presentase keadaan normal

terhadap keratin serum dan kadar nitrogen urea darah (BUN). Waktu masa

nefron secara progresif dirusak oleh penyakit ginjal kronik.

Perjalanan umum gagal ginjal kronik dapat dibagi 3 stadium, yaitu:

a) Stadium Penurunan Cadangan Ginjal

Selama stadium ini kreatinin serum dan kadar BUN normal, pasien

asimtomatik gangguan fungsi ginjal mungkin hanya dapat diketahui

dengan membebani kerja yang berat pada ginjal tersebut, seperti tes

pemekatan urine yang lama atau dengan mengadakan tes LFG yang teliti.

b) Stadium Insufisiensi Ginjal

Pada stadium ini lebih dari 75 % jaringan yang berfungsi telah rusak.

Pada keadaan ini kadar BUN baru meningkat diatas batas normal. Pada

stadium ini kadar kreatinin serum juga mulai meningkat diatas melebihi

normal. Manifestasi klinis yang nampak adalah lelah, lemah, sakit kepala,

mual, dan pruritus. Pasien juga mungkin mengalami nokturia dan poliuri

yang disebabkan oleh penurunan kemampuan ginjal untuk

mengkonsentrasikan urine.
15

c) Stadium Gagal Ginjal atau Stadium Uremia

Nilai LFG hanya 10 % dari keadaan normal dan kliren kreatinin

mungkin 5 – 10 ml/menit atau kurang. Pada keadaan ini kreatinin serum

dan kadar BUN akan meningkat dengan menyolok sekali sebagai respon

terhadap LFG yang mengalami sedikit penurunan. Pada stadium akhir

gagal ginjal, pasien mulai merasakan gejala-gejala yang cukup parah

karena ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan homeostatis cairan dan

elektrolit dalam tubuh. Pada stadium akhir gagal ginjal, pasien akan

meninggal kecuali kalau ia mendapat pengobatan dalam bentuk

transplantasi ginjal atau dialisis.

Meskipun perjalanan klinik gagal ginjal kronik dibagi menjadi 3

stadium tetapi dalam prakteknya tidak ada batas-batas yang jelas antara

stadium-stadium tersebut.

Stadium gagal ginjal kronik menurut Price dan Wilson (2005) antara

lain:

1) Stadium I ( perubahan fungsional dini )

a) Hipertrofi ginjal

b) Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau turun

c) LFG : ≥ 90 ml/menit

2) Stadium II ( perubahan struktur dini )

a) Penebalan membran basalis kapiler glomerulus

b) Kerusakan ginjal dengan penurunan ringan fungsi ginjal

c) LFG normal atau sedikit meningkat ( 60 – 89 ml/menit )


16

3) Stadium III ( Nefropati Insipien )

a) Mikroalbuminuria ( 30 – 300 mg / 24 jam )

b) Tekanan darah meningkat, pusing, mual, nafsu makan menurun

c) Penurunan LFG sedang (30 – 59 ml/menit)

4) Stadium IV ( Nefropati klinis atau menetap )

a) Proteinuria ( > 300 mg / 24 jam )

b) Penurunan LFG berat ( 15 – 29 ml/menit )

5) Stadium V ( Gagal Ginjal Progresif )

a) Gagal ginjal tahap akhir, dimana pasien memerlukan hemodialisis

maupun transplantasi ginjal

b) Ginjal kehilangan fungsinya setiap bulan hingga 3%

c) LFG < 15 ml/menit

Rounded Rectangle: TKK (Laki-laki) = (140-umur) X BB (Kg)/72

X Kreatinin serum. (Wanita) = 0,85 X TKK (Laki-laki)

Secara laboratorik CKD dinilai dari tes klirens kreatinin (TKK).

Nilai tes klirens kreatinin dianggap mendekati Laju Filtrasi Glomerulus

(LFG).

Tabel 3. Klasifikasi CKD di lihat dari penurunan fungsi LFG


Stadium Diskripsi LFG
1 Gangguan fungsi ginjal dengan LFG normal atau > 90 ml/menit
meningkat
2 Kerusakan ginjal dengan penurunan ringan LFG 60-89 ml/menit
3 Penurunan sedang LFG 30-59 ml/menit
4 Penurunan berat LFG 15-29 ml/menit
5 Gagal ginjal < 15 ml/menit
17

E. MANIFESTASI KLINIS

Menurut Brunner dan Suddarth (2002) manifestasi klinis gagal ginjal

kronik antara lain :

a) Kardiovaskuler: hipertensi, gagal jantung kongestif, edema pulmoner,

edema perikarditis

b) Dermatologi: pruritis ( rasa gatal yang parah )

c) Gastrointestinal: anoreksia, mual, muntah

d) Neuromuskuler: perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu

berkonsentrasi, kedutan otot, kejang, kelemahan dan keletihan

e) Kelainan hematologi: anemia

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Menurut Doengoes, dkk (2000) pemeriksaan penunjang pada pasien

Gagal Ginjal Kronik dalah:

a) Pemeriksaan Urin

1) Volume urine: Biasanya kurang dari 400 ml/ 24 jam (fase oliguria)

terjadi dalam 24 – 48 jam setelah ginjal rusak.

2) Warna Urine: Kotor, sedimen kecoklatan menunjukkan

adanya darah.

3) Berat jenis urine: Kurang dari l, 020 menunjukkan penyakit ginjal

contoh: glomerulonefritis, pielonefritis dengan kehilangan kemampuan

memekatkan: menetap pada l, 0l0 menunjukkan kerusakan ginjal berat.


18

Esbach test adalah pemeriksaan kuantitatif albumin dalam urin dengan

cara mencampurkan larutan asam pikrat 1% dalam air dan larutan

asam sitrat 2% dalam air dengan urin. Hasil positif dilihat dari adanya

kekeruhan dan tingkat kekeruhan sesuai dengan kuantitatif protein.

4) PH: Lebih besar dari 7 ditemukan pada ISK,

nekrosis tubular ginjal dan rasio urine / serum saring (1 : 1).

5) Kliren kreatinin: Peningkatan kreatinin serum menunjukkan kerusakan

ginjal.

6) Natrium: Biasanya menurun tetapi dapat lebih dari 40 mEq/ ltr bila

ginjal tidak mampu mengabsorpsi natrium.

7) Bikarbonat: Meningkat bila ada asidosis metabolik.

8) Protein: Proteinuria derajat tinggi ( +3 – +4 ) sangat menunjukkan

kerusakan glomerulus bila sel darah merah dan warna sel darah merah

tambahan juga ada. Protein derajat rendah (+1 – +2 ) dapat

menunjukkan infeksi atau nefritis intertsisial.

9) Warna tambahan: Biasanya tanda penyakit ginjal atau infeksi

tambahan warna merah diduga nefritis glomerulus.

b) Darah

1) Hemoglobin: Menurun pada anemia

2) Sel darah merah: Sering menurun mengikuti peningkatan kerapuhan /

penurunan hidup

3) PH: Asidosis metabolik

4) Kreatinin: Biasanya meningkat pada proporsi rasio (l0:1)


19

5) Osmolalitas: Lebih besar dari 28,5 m Osm/ kg, sering sama dengan

urine

6) Kalium: Meningkat sehubungan dengan retensi urine dengan

perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan(hemolisis sel

darah merah)

7) Natrium: Biasanya meningkat, tetapi dapat bervariasi

8) PH, Kalium & bikarbonat: Menurun

9) Klorida fosfat & Magnesium: Meningkat

10) Protein: Penurunan pada kadar serum dapat menunjukkan kehilangan

protein melalui urine, perpindahan cairan penurunan pemasukan dan

penurunan sintesis karena kekurangan asam amino esensial

c) USG ginjal: Menentukan ukuran ginjal dan adanya massa/kista (obstruksi

pada saluran kemih bagian atas)

d) Biopsi ginjal: Dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel jaringan

untuk diagnosis histologis

e) Endoskopi ginjal/ nefroskopi: Untuk menentukan pelvis ginjal (adanya

batu, hematuria)

f) EKG: Mungkin abnormal menunjukkan ketidak seimbangan asam / basa

g) Pemeriksaan foto dada: Dapat terlihat tanda-tanda bendungan paru akibat

kelebihan air, efusi pleura, kardiomegali dan efusi perikardial. Tidak

jarang ditemukan juga infeksi oleh karena imunitas tubuh yang menurun
20

h) Foto polos abdomen: Sebaiknya tanpa puasa karena dehidrasi akan

memperburuk fungsi ginjal. Menilai bentuk dan besar ginjal dan apakah

ada batu atau obstruksi lain.

G. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan gagal ginjal kronik menurut Suharyanto (2009) antara

lain :

a) Tindakan konservatif

Tujuan pengobatan pada tahap ini adalah merendahkan atau

memperlambat gangguan fungsi ginjal progresif.

Pengobatan :

1) Pengaturan diet protein, kalium, natrium dan cairan

a. Pembatasan protein.

Pembatasan protein tidak hanya mengurangi kadar BUN, tetapi

juga mengurangi asupan kalium dan fosfat, serta mengurangi

produksi ion hidrogen yang berasal dari protein. Pembatasan

asupan protein telah terbukti menormalkan kembali kelainan ini

dan memperlambat terjadinya gagal ginjal.

b. Diet rendah kalium

Hiperkalemia biasanya merupakan masalah pada gagal ginjal

lanjut. Asupan kalium dikurangi. Diet yang dianjurkan adalah 40 –

80 mEq / hari. Penggunaan makanan dan obat-obatan yang tinggi

kadar kaliumnya dapat menyebabkan hiperkalemia.


21

c. Diet rendah natrium

Diet Natrium yang dianjurkan adalah 40 – 90 mEq / hari (1 – 2 g

Na). Asupan natrium yang terlalu longgar dapat mengakibatkan

retensi cairan, edema perifer, edema paru, hipertensi dan gagal

jantung kongestif.

d. Pengaturan cairan

Cairan yang diminum penderita gagal ginjal tahap lanjut harus

diawasi dengan seksama. Parameter yang tepat untuk diikuti selain

data asupan dan pengeluaran cairan yang dicatat dengan tepat

adalah pengukuran berat badan harian.

Asupan yang bebas dapat menyebabkan beban sirkulasi menjadi

berlebihan, dan edema. Sedangkan asupan yang terlalu rendah

mengakibatkan dehidrasi, hipotensi dan gangguan fungsi ginjal.

2) Pencegahan dan Pengobatan Komplikasi

a. Hipertensi

Hipertensi dapat dikontrol dengan pembatasan natrium dan cairan.

Pemberian obat antihipertensi : metildopa (aldomet), propranolol,

klonidin (catapres).

Apabila penderita sedang mengalami terapi hemodialisa,

pemberian antihipertensi dihentikan karena dapat mengakibatkan

hipotensi dan syok yang diakibatkan oleh keluarnya cairan

intravaskuler melalui ultrafiltrasi. Pemberian diuretik : furosemid

(lasix).
22

b. Hiperkalemia

Hiperkalemia merupakan komplikasi yang paling serius, karena

bila kalium serum mencapai sekitar 7 mEq / L, dapat

mengakibatkan aritmia dan juga henti jantung. Hiperkalemia dapat

diobati dengan pemberian glukosa dan insulin intravena, yang akan

memasukkan kalium kedalam sel, atau dengan pemberian kalsium

glukonat 10 %.

c. Anemia

Anemia pada gagal ginjal kronik diakibatkan penurunan sekresi

eritropoeitin oleh ginjal. Pengobatannya adalah pemberian hormon

eritropoeitin, selain dengan pemberian vitamin dan asam folat, besi

dan tranfusi darah.

d. Asidosis

Asidosis ginjal biasanya tidak diobati kecuali HCO3 plasma turun

dibawah angka 15 mEq/L. Bila asidosis berat akan dikoreksi

dengan pemberian Na HCO3 (Natrium Bikarbonat) parenteral.

e. Diet rendah fosfat

Diet rendah fosfat dengan pemberian gel yang dapat mengikat

fosfat di dalam usus. Gel yang dapat mengikat fosfat harus

dimakan bersama dengan makanan.

f. Pengobatan hiperurisemia

Obat pilihan untuk mengobati hiperurisemia pada penyakit ginjal

lanjut adalah alopurinol. Obat ini mengurangi kadar asam urat


23

dengan menghambat biosintesis sebagian asam urat total yang

dihasilkan tubuh.

b) Dialisis dan transplantasi

Pengobatan gagal ginjal stadium akhir adalah dengan dialisis dan

transplantasi ginjal. Dialisis dapat digunakan untuk mempertahankan

penderita dalam keadaan klinis yang optimal sampai tersedia donor ginjal.

Dialisis dilakukan apabila kadar kreatinin serum diatas 6 mg/100 ml

pada laki-laki atau 4mg/100 ml pada wanita, dan LFG kurang dari

4ml/menit.

H. KOMPLIKASI

Menurut Soeparman (2001) antara lain:

a. Komplikasi kardiovaskuler dapat terjadi kongesti sirkulasi, hipertensi,

anemia dan perikarditis

b. Komplikasi gastrointestinal : anoreksia, vomitus, nausea

c. Hiperkalemia

d. Asidosis metabolik

e. Kejang uremik yang disebabkan terjadinya hiponatremia, hipokalsemia,

hipertensi ensefalopati
24

I. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Diagnosa keperawatan pada pasien Gagal Ginjal Kronik menurut

Doengoes, dkk (2000 ) antara lain sebagai berikut:

1) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan penurunan

filtrasi glumerolus

2) Penurunan curah jantung berhubungan dengan ketidakseimbangan

cairan yang mempengaruhi volume sirkulasi kerja miokardial dan

tahanan vaskuler sistemik.

3) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

menurunnya nafsu makan, intake yang tidak adekuat.

4) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan status metabolik,

sirkulasi (anemia dengan iskemia jaringan) dan sensasi (neuropati

perifer).

5) Kerusakan membran mukosa oral berhubungan dengan kurang atau

penurunan saliva, iritasi kimia, perubahan urea dalam saliva jadi

ammonia.

6) Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi, prognosis

dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan keterbatasan kognitif,

kurang mengingat, salah interpretasi informasi.


25

J. FOKUS INTERVENSI

Menurut Doengoes, dkk (2000) antara lain sebagai berikut :

1) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan laju filtrasi

glumerolus

a. Tujuan :

Kelebihan volume cairan dapat teratasi.

b. Kriteria hasil :

a) Berat badan stabil

b) Oedem berkurang atau bahkan tidak ada

c) Nilai laboratorium elektrolit dalam batas normal

c. Intervensi :

a) Pantau dan dokumentasikan masukan dan haluaran cairan

b) Timbang berat badan pasien setiap hari

c) Pantau peningkatan tekanan darah

d) Pantau elektrolit darah, laporkan hasil laboratorium abnormal atau

tanda dan gejala ketidakseimbangan elektrolit

e) Kaji adanya edema

f) Kelola pemberian diuretik

d. Rasional :

a) Penting pada pengkajian fungsi ginjal dan keefektifan terapi

diuretik

b) Perubahan tiba-tiba pada berat badan menunjukkan gangguan

keseimbangan cairan
26

c) Peningkatan tekanan darah di atas normal dapat menunjukkan

kelebihan cairan khususnya bila terjadi tiba-tiba

d) Nilai elektrolit berubah sebagai respon diuretik dan gangguan

oksigenasi

e) Retensi cairan berlebihan dapat dimanifestasikan pembendungan

vena dan pembentukan edema

f) Meningkatkan volume pengeluaran urin

2) Penurunan curah jantung berhubungan dengan ketidakseimbangan cairan

yang mempengaruhi volume sirkulasi kerja miokardial dan tahanan

vaskuler sistemik.

a. Tujuan

Mempertahankan curah jantung

b. Kriteria hasil :

a) Tekanan darah dan frekuensi jantung dalam batas normal

b) Nadi perifer kuat

c. Intervensi :

a) Auskultasi bunyi jantung dan evaluasi adanya oedem perifer dan

keluhan dyspnea

b) Kaji adanya / derajat hipertensi, awasi tekanan darah

c) Kaji tingkat aktivitas , respon terhadap aktivitas

d) Berikan obat anti hipertensi, contoh : captopril, catapres

d. Rasional :
27

a) Tachikardi, frekuensi jantung tidak teratur, dyspnea dan oedem

menunjukkan gagal ginjal kronik

b) Hipertensi bermakna dapat terjadi karena gangguan pada sistem

aldosteron renin angiotensin

c) Kelelahan dapat menyertai gagal ginjal kronik juga anemia

d) Menurunkan tahanan vaskuler sistematik dan atau pengeluaran

renin untuk menurunkan kerja miokardial dan membantu

mencegah gagal ginjal kronik

3) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan status metabolik, sirkulasi

(anemia dengan iskemia jaringan) dan sensasi (neuropati perifer)

a. Tujuan :

Kerusakan integritas kulit tidak terjadi

b. Kriteria hasil :

a) Kulit utuh dan hangat kering

b) Memajukan perilaku / teknik mencegah kerusakan / cedera kulit

c) Turgor kulit kenyal / baik

c. Intervensi :

a) Inspeksi turgor kulit, vaskuler, perhatikan kemerahan, eksoriasi,

observasi terhadap ekimosis dan paru-paru terhadap perubahan

b) Pantau masukan cairan, hidrasi kulit dn membran mukosa

c) Inspeksi daerah edema

d) Ubah posisi dengan sering, gerakkan pasien dengan perlahan, beri

bantalan pada benjolan tulang dengan pelindung siku/tumit


28

e) Berikan perawatan kulit, berikan salep atau krim

f) Pertahankan linen tetap kering

d. Rasional :

a) Menandakan area sirkulasi buruk / dapat menimbulkan dekubitus

atau infeksi

b) Mendeteksi adanya dehidrasi atau hidrasi yang berlebihan yang

mempengaruhi sirkulasi dan integritas jaringan pada tingkat seluler

c) Jaringan edema lebih cenderung rusak

d) Menurunkan tekanan pada edema, jaringan dengan perfusi buruk

yang dapat menyebabkan iskemik

e) Lotion atau krim mungkin dingin, karena untuk menghilangkan

kering atau robekan kulit

f) Menurunkan iritasi dermal dan resiko kerusakan kulit

4) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

menurunnya nafsu makan, intake yang tidak adekuat.

a. Tujuan : Mempertahankan status nutrisi yang adekuat

b. Kriteria hasil :

a) Individu mampu meningkatkan masukan oral

b) Berat badan pasien ideal

c) Nafsu makan meningkat, makan habis 1 porsi

c. Intervensi :

a) Timbang berat badan setiap hari, pantau hasil pemeriksaan

laboratorium
29

b) Ajarkan pasien untuk beristirahat sebelum makan

c) Pertahankan kebersihan mulut yang baik ( sikat gigi, membilas

mulut ) sebelum dan sesudah makan

d) Tawarkan makan porsi kecil tapi sering untuk mengurangi

perasaan tegang pada lambung

e) Pantau hasil laboratorium

f) Kolaborasi ke ahli gizi diet yang sesuai indikasi

d. Rasional :

a) Perubahan berat badan menunjukkan status nutrisi

b) Membantu menurunkan kelemahan sewaktu makan

c) Menjaga kebersihan mulut pasien

d) Memberikan nutrisi secara continue

e) Hasil laboratorium dapat menunjukkan adanya perubahan nutrisi

pasien

f) Menentukan kebutuhan kalori sesuai dengan kebutuhan pasien

5) Kerusakan membran mukosa oral berhubungan dengan kurang atau

penurunan saliva, iritasi kimia, perubahan urea dalam saliva jadi ammonia.

a. Tujuan :

Kerusakan membran mukosa oral tidak terjadi

b. Kriteria hasil :

a) Mempertahankan integritas membran mukosa yang normal

b) Pasien dapat mengidentifikasi / melakukan intervensi femulus

untuk meningkatkan kesehatan mukosa oral


30

c. Intervensi :

a) Inspeksi rongga mulut, perhatikan kelembaban, adanya inflamasi,

ulserasi

b) Berikan cairan sepanjang 24 jam, dalam batas yang ditentukan

c) Berikan perawatan mulut, cuci dengan larutan asam aseptik 25%

d) Anjurkan hygiene gigi yang baik setelah makan dan minum pada

saat akan tidur

e) Anjurkan pasien menghentikan merokok dan menghindari produk /

pencuci mulut yang mengandung alkohol

d. Rasional :

a) Memberikan kesempatan untuk intervensi segera dan mencegah

infeksi

b) Mencegah kekeringan mulai berlebihan dari periode lama tanpa

masukan oral

c) Membran mukosa menjadi kering dan pecah-pecah, perawatan

mulut, menyejukkan, melumati dan membantu menyegarkan rasa

mulut yang sering tidak menyenangkan karena uremia

d) Menurunkan pertumbuhan bakteria dan potensial terhadap infeksi

e) Bahan ini mengiritasi mukosa dan mempunyai efek mengeringkan,

menimbulkan ketidaknyamanan mengandung alkohol

6) Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi, prognosis dan

kebutuhan pengobatan berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang

mengingat, salah interpretasi informasi.


31

a. Tujuan : Pasien dan keluarga pasien paham tentang tindakan yang

dilakukan

b. Kriteria hasil :

a) Menyatakan pemahaman kondisi / proses penyakit dan pengobatan

b) Menunjukkan perubahan pola hidup yang penuh

c) Berpartisipasi dalam program pengobatan

c. Intervensi :

a) Kaji ulang proses penyakit dan kemungkinan yang akan dialami

b) Dorong pemasukan kalori tinggi, khususnya dari karbohidrat

c) Pantau demam, menggigil, perubahan karakteristik urin / sputum,

pembengkakan jaringan, ulkus oral

d) Pantau kram / kesemutan pada jari, abdominal / kram otot

e) Pantau pembengkakan sendi / nyeri tekan, penurunan ROM,

penurunan kekuatan otot

f) Pantau sakit kepala, penglihatan kabur, mata memerah

d. Rasional :

a) Memberikan dasar pengetahuan dimana pasien dapat membuat

pilihan berdasarkan informasi

b) Penyimpanan protein, mencegah penggunaan dan memberikan

energi

c) Depresi sistem imun, anemia, malnutrisi, semua meningkatkan

neuropati perifer
32

d) Uremia dan penurunan absorpsi kalsium dapat menimbulkan

neuropati perifer

e) Hiperfosfatemia dengan pergeseran kalsium dapat mengakibatkan

deposisi kelebihan fosfat kalsium sebagai klasifikasi

f) Dugaan terjadinya / control hipertensi buruk, perubahan warna

mata disebabkan oleh kalsium


33

KONSEP DASAR MEDIK

CONGESTIF HEART FAILURE

(CHF)

A. PENGERTIAN

Gagal jantung Kongestif adalah ketidakmampuan Jantung untuk

memompa darah yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan jaringan akan

oksigen dan nutrisi (Brunner & Suddarth, 2002).

Gagal jantung adalah keadaan patofisiologis ketika jantung sebagai

pompa tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan

(Price dan Wilson, 2005).

Gagal jantung Kongestif adalah keadaan patofisiologis yaitu jantung tidak

stabil untk menghasilkan curah jantung yang adekuat sehingga perfusi

jaringan tidak adekuat, dan/atau peningkatan tekanan pengisian diastolic pada

ventrikel kiri, sehingga tekanan kapiler paru meningkat (Braskes, 2007)

Gagal jantung Kongestif adalah keadaan patofisiologis berupa

kelainan fungsi jantung sehingga jantung tidak mampu memompa darah

untukmemenuhi kebutuhan metabolisme jaring an dan/atau kemampuannya

hanya ada kalau disertai peninggian volume diastolik secara abnormal

(Mansjoer, 2001).
34

B. ANATOMI FISIOLOGI

Gambar 1. Anatomi jantung


(Sumber : Price & Wilson, 2005)

Jantung adalah organ otot dengan 4 ruang yang terletak di rongga

dada dibawah perlindungan tulang iga, sedikit ke sebelah kiri sternum.

Jantung dilapisi kantung longgar berisi cairan disebut perikardium

keempat ruang jantung tersebut adalah atrium kiri dan dan kanan serta

ventrikel kiri dan kanan.

Tujuan sistem kordiovaskuler adalah untuk mengambil oksigen di

paru-paru dan zat-zat gizi yang diserap dari usus untuk disalurkan ke

semua sel tubuh. Pada saat yang sama, sistem kardiovaskuler mengangkut
35

produk-produk sisa metabolik yang dihasilkan oleh setiap sel untuk

dibuang melalui paruatau ginjal.

Sisi kiri jantung memompa darah ke seluruh tubuh kecuali sel-sel

yang berperan dalam pertukaran gas di paru. Ini disebut sirkulasi sistemik,

sisi kanan jantung memompa darah ke paru untuk mendapat oksigen ini

disebut sirkulasi paru (pulmoner)

Arteri pulmonaris dan aorta adalah pembuluh-pembuluh yang

berotot membesar saat aliran darah dari ventrikel datang. Tekaan sistolik

adalah tekanan darah arteri yang dihasilkan selama kontraksi ventrikel.

Tekanan diastolik adalah tekanan darah arteri yang dihasilkan sewaktu

ventrikel melemas.

Bunyi jantung pertama terdengar saat katup AV (katup mitralis dan

semilunaris) tertutup karena ventrikel. Bunyinya sedikit memanjang

bernada rendah. Bunyi jantung kedua belangsung lebih singkat dan timbul

saat katupoutlet dari vertikel, pulmonaris dan aorta menutup. Bunyi jantng

III dan IV kadang-kadang terdengar , berkaitan dengan bunyi getaran

aliran darah di ventrikel (bunyi III, I dan masuk atrium bunyi IV).

Medula adrenal adalah suatu perluasan sistem saraf simpatis. Pada

perangsangan simpatis, medula melepaskan norepenfin dan epinefin

kedalam sirkulasi. Hormon-hormon ini mencapai jantung dan

menimbulkan respon kronotropik dan morropik positif. (Corwin. J.

Elizabeth, 2001)
36

Jantung merupakan organ yang terdiri dari otot jantug. Otot

jantung merupakan jaringan yang istimewa karena jika dilihat bentuk dan

susunannya sama dengan otot tentang (lurik) tetapi cara kerjanya

menyerupai otot polos di luar kesadaran (dipengaruhi susunan saraf

otonom. Bentuknya menyerupai jantung pisang, bagian atasnya tumpul

(pangkal jantung) yang disebut basis cordis. Dibagian bawah agak runcing

yang disebut apeks cordis.

Ukurannya kurang lebih sebesar genggaman tangan kanan dan

beratnya ±250-300 gr lapisan-lapisan :

1. Endokardium

Lapisan jantung paling dalam terdiri dari jaringan endotel/selaput

lendir

2. Miokardium

Lapisan ini jantung terdiri dari otot-otot jantung

3. Perikardium

Lapisan jantung paling luar yang merupakan lapisan pembungkus

terdiri dari lapisan yaitu lapisan perieatal dan viseral.

Kerja jantung mempunyai 3 periode:

1. Periode konstriksi (periode sistolik)

Saat ventrikel menguncu. Katup bicus dan mikuspidal tertutup, vavula

semilunaris aorta dab semilunaris arteri pulmonal terbuka sehingga

darah dapat diedarkan keseluruh tubuh.

2. Periode dilatasi (periode diatolik)


37

Saat jantung mengembang. Katup bicus dan micuspidal membuka

3. Periode istirahat

Waktu antara periode konstriksi dan dilatasi dimana jantung berhenti

kia-kira 1/10 detik. Pada tiap-tiap konstriksi jantung, akan

memindahkan darah sebanyak 60-70 cc. (Syaifuddin, 2006)

C. PROSES TERJADINYA MASALAH

1. Faktor Presipitasi

Yang merupakan faktor pencetus gagal jantung antara lain: meningkatnya

asupan (intake) garam, merokok, ketidakpatuhan menjalani pengobatan

anti gagal jantung, infark miokard akut.

2. Faktor Predisposisi

Penyakit yang dapat menimbulkan penurunan fungsi ventrikel seperti :

a. Penyakit Arteri Koroner

Penyakit arteri koroner menyebabkan berkurangan aliran darah ke otot

jantung. Jika arteri menjadi tersumbat, maka jantung menjadi

kelaparan akan oksigen dan zat nutrisi (iskemia). Dalam jangka waktu

pendek, kerusakan otot jantung (serangan jantung) terjadi. Daerah

yang rusak tidak dapat memompa secara normal, yang menyebabkan

gagal jantung.

b. Hipertensi

Hipertensi menyebabkan otot jantung bekerja sangat keras untuk

memompa darah keseluruh tubuh, sehingga mengakibatkan jantung


38

mengalami kecapekan atau istilahnya gangguan. Jika hal ini dibiarkan

terus-menerus tanpa ada penanganan khusus maka otot-otot jantung

akan rusak dan jantung tidak bisa berfungsi dengan baik, sehingga

mengakibatkan penyakit jantung.

c. Kardiomiopati

Kardiomiopati menyebabkan otot jantung menjadi lemah. Beberapa

kelainan medikal menyebabkan berbagai tipe kardiomiopati, tetapi

semua tipe kardiomiopati mempunyai satu persamaan yaitu

menurunkan fungsi efisiensi dari otot jantung dan menghilangkan

kemampuan jantung untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Ketika jantung

tidak dapat lagi memompa cukup darah untuk memenuhi keperluan

tubuh, terjadilah apa yang disebut gagal jantung.

Kardiomiopati tergolongkan pada 3 tipe berdasarkan keadaan anatomis

dan gangguan fisiologis dari ventrikel kiri.

a. Kardiomiopati dilatasi ditandai pembesaran ruang ventrikel dan

gangguan fungsi sistolik.

b. Kardiomiopati hipertropik menunjukkan penebalan ventrikel

secara abnormal dan gangguan relaksasi diastolik, namun fungsi

sistolik masih baik.

c. Kardiomiopati restriktif ditandai miokardium yang kaku karena

fibrosis ataupun proses infiltratif, yang berujung pada gangguan

relaksasi diastolik, sementara fungsi sistolik normal ataupun

sedikit terganggu.
39

Kardiomiopati dilatasi (KD) mempunyai karakteristik

peningkatan volume sistolik dan diastolik ventrikel kiri yang

ditandai dengan terdilatasinya kedua ventrikel terutama ventrikel

yang kiri, jarang yang kanan, yang berakibat menurunnya

kontraktilitas miokardium sehingga menurunkan curah jantung

d. Penyakit jantung Kongenital

Gagal jantung merupakan komplikasi yang paling sering dijumpai dari

segala jenis penyakit jantung congenital (bawaan) maupun didapat.

Mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal jantung mencakup

keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal, beban akhir, atau

menurunkan kontraktilitas miokardium. Keadaan-keadaan yang

meningkatkan beban awal meliputi regurgitasi aorta dan cacat septum

ventrikel, dan beban akhir meningkat pada keadaan dimana terjadi

stenosis aorta dan hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat

menurun pada infark miokardium dam kardiomiopati. Gagal jantung

merupakan komplikasi yang paling sering dijumpai dari segala jenis

penyakit jantung kongenital (bawaan) maupun didapat. Mekanisme

fisiologis yang menyebabkan gagal jantung mencakup keadaan-

keadaan yang meningkatkan beban awal, beban akhir, atau

menurunkan kontraktilitas miokardium. Keadaan-keadaan yang

meningkatkan beban awal meliputi regurgitasi aorta dan cacat septum

ventrikel; dan beban akhir meningkat pada keadaan dimana terjadi

stenosis aorta dan hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat


40

menurun pada infark miokardium dam kardiomiopati. (Smeltzer,

2002).

D. PATOFISIOLOGI

Gagal jantung kongestif terjadi sewaktu kontraktilitas jantung berkurang

dan ventrikel tidak mampu memompa keluar darah sebanyak yang masuk

sewaktu diastole. Pada orang yang sedang istirahat jantungnya berdebar

sekitar 70 kali semenit dan memompa 70 ml setiap denyut (volume denyutan

70 ml). Jumlah darah yang setiap menit dipompa dengan demikian adalah 70 x

70 ml atau sekitar 500 liter. Sewaktu banyak bergerak kecepatan jantung dapat

menjadi 150 setiap menit dan volume denyut lebih dari 150 ml, yang membuat

daya pompa jantung 20 sampai 25 liter setiap menit. Hal ini menyebabkan

volume diastolik – akhir ventrikel secara progresif bertambah. Seiring dengan

peningkatan progresif volume diastolik – akhir, sel-sel otot vebtrikel

mengalami peregangan melebihi panjang optimumnya. Tegangan yang

dihasilkan menjadi berkurang karena ventrikel teregang oleh darah. Semakin

terisi berlebihan ventrikel, semakin sedikit darah yang dapat dipompa keluar

sehingga akumulasi darah dan peregangan serat otot bertambah. Akibatnya

volume sekuncup, curah jantung dan tekan darah turun. Respon-respon reflek

tubuh yang mulai bekerja sebagai jawaban terhadap penurunan tekanan darah

akan secara bermakna memperburuk situasi. (Corwin, 2001).

Mekanisme yang mendasari gagal jantung meliputi gangguan

kontraktilitas jantung yang menyebabkan curah jantung lebih rendah dari


41

curah jantung normal. Konsep curah jantung paling baik dijelaskan dengan

persamaan CO = HR x SV , dimana curah jantung (CO : Cardiac Output)

adalah fungsi frekuensi jantung (HR : Heart Rate) x volume sekuncup (SV:

Stroke Volume). Bila curah jantung berkurang maka sistem saraf simpatis

akan mempercepat frekuensi jantung untuk mempertahankan curah jantung.

Bila mekanisme kompensasi ini gagal untuk mempertahankan perfusi jaringan

yang memadai, maka volume sekuncup jantunglah yang harus menyesuaikan

diri untuk mempertahankan curah jantung.

Tetapi pada gagal jantung dengan masalah utama kerusakan dan kekuatn

serabut otot jantung, volume sekuncup berkurang dan curah jantung normal

dapat dipertahankan.

Volume sekuncup jantung adalah jumlah darah yang dipompakan pada

setiap kontraksi tergantung pada tiga factor yaitu preload, kontraktilitas, dan

afterload.

Preload adalah jumlah darah yang mengisi jantung berbanding dengan

tekanan yang ditimbulkan oleh panjangnya renggangan serabut jantung.

Kontraktilitas mengacu pada perubahan kekuatan kontraksi yang terjadi

pada tingkat sel dan berhubungan dengan perubahan panjang serabut jantung

dan kadar kalsium.

Afterload tergantung pada besarnya tekanan ventrikel yang harus

dihasilkan untuk memompa darah melawan perbedaan tekanan yang

ditimbulkan oleh tekanan afterload. Pada gagal jantung , jika salah satu atau
42

lebih dari tiga factor tersebut terganggu mengakibatkan curah jantung

berkurang. (Smeltzer, 2000).

E. MANIFESTASI KLINIK

Tanda dan gejala gagal jantung secara umum :

a. Dispnea, atau perasaan sulit bernafas, adalah manifestasi gagal jantung

yang paling umum. Dispnea disebabkan oleh peningkatan kerja pernafasan

akibat kongesti vaskuler paru yang mengurangi kelenturan paru.

b. Kelemahan fisik, manifestasi utama dari penurunan curah jantung adalah

kelemahan dan kelelahan dalam melakukan aktifitas.

c. Ortopnea (dispnea saat berbaring).

d. Dispnea Nokturnal Proksismal (DNP) atau mendadak terbangun karena

dispnea, dipicu oleh timbulnya edema paru interstisial.

e. Edema perifer terjadi akibat penimbunan cairan dalam ruang intertisial

f. Foto rontgen: oedem paru, cor membesar.

Tanda dan gejala gagal jantung kanan :

a. Peningkatan tekanan vena jugularis (JVP)

b. Hepatomegali (pembesaran hati) : nyeri tekan hati dapat terjadi akibat

peregangan kapsula hati.

c. Gejala saluran cerna, seperti anoreksia, rasa penuh atau mual dapat

disebabkan oleh kongesti hati dan usus.


43

d. Edema Perifer terjadi akibat penimbunan cairan dalam ruang interstisial.

Edema mula-mula tampak pada bagian tubuh yang tergantung (tunkai

bawah, tumit).

e. Nokturia (diuresis malam hari) yang mengurangi retensi cairan.

Tanda dan gejala gagal jantung kiri :

a. Sesak nafas (dispnea)

b. Dispnea Nokturnal Paroksismal (DNP)

c. Ortopnea

d. Batuk-batuk

e. Sianosis

f. Jantung membesar, tachycardia.

g. Foto rontgent : Oedema Paru, Cor membesar. (Price dan Wilson, 2005)

Tanda dan gejala lain menurut Smeltzer, 2002 antara lain:

a. Oedem pada exstremitas bawah

Jika terjadi tekanan vena sentral naik ke saluran kelenjar toraks

kemudian perintah untuk mengalirkan cairan ke jaringan akan

terhambat, adanya gagal jantung berat yang merupakan salah satu

kondisi yang paling melelahkan bagi penderita sehingga cenderung

menghabiskan waktu untuk duduk untuk membuat bernafas lebih

mudah dan menggantungkan kaki mereka bergerak di lantai.

Immobilitas yang paling umum menjadi faktor penyebab oedem pada

exstremitas bawah.
44

b. Hepatomegali dan nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen

terjadi akibat pembesaran vena hepar

c. Asites

Jika pembesaran vena di hepar berkembang maka tekanan dalam

pembuluh portal meningkat sehingga cairan terdorong keluar

kerongga perut. Pengumpulan cairan tersebut dapat menyebabkan

tekanan pada diagfragma dan distress pernafasan.

d. Anoreksia dan mual

Terjadi karena pembesaran vena dan stasis vena dalam rongga

abdomen

e. Nocturia

Terjadi karena perfusi renal yang didukung oleh posisi penderita pada

saat berbaring karena curah jantung akan membaik dengan istirahat.

f. Kelemahan

Tejadi karena menurunnya curah jantung, gangguan sirkulasi dan

pembuangan produk ssampah,katabolisme yang tidak adekuat dari

jaringan.

Klasifikasi

Menurut New York Heart Association (NYHA) gagal jantung dapat di

klasifikasikan menurut derajatnya, yaitu :

a. Derajat I : Tidak ada gejala (seperti nafas pendek, nyeri dada) bila

melakukan kegiatan fisik biasa.


45

b. Derajat II : Timbul gejala (nafas pendek, nyeri dada) yang terjadi pada

kegiatan fisik biasa.

c. Derajat III : Timbul gejala sewaktu melakukan kegiatan fisik ringan.

d. Derajat IV : kegiatan fisik hamper tidak bisa dilakukan oleh karena

dengan istirahat saja telah timbul gejala (nafas pendek, nyeri dada).

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Ekokardiografi

Ekokardiografi sebaiknya digunakan sebagai alat pertama dalam diagnosis

dan manajemen gagal jantung. Pemeriksaan ekokardiografi dapat

digunakan untuk memperkirakan ukuran dan fungsi ventrikel kiri.

Ultrasonografi Doppler, termasuk aliran warna dapat digunakan untuk

menilai regurgitasi katup dan pirau intrakardiak. Aneurisma ventrikel kiri,

thrombus dalam ventrikel, Efusi Perikardial, dan berbagai bentuk penyakit

jantung korgenital juga dapat dideteksi.

b. Rontgent Dada

Foto sinar X dada Posterior – Anterior dapat menunjukkan adanya

Hipertensi Vena, Edema paru, atau Kardiomegali.

c. Elektrokardiografi (EKG)

Pada pemeriksaan EKG untuk klien dengan gagal jantung dapat ditemukan

kelainan EKG seperti dibawah ini :

1) Left bundle branch block, kelainan ST/T menunjukkan disfungsi

venrikel kiri kronis.


46

2) Gelombang Q menunjukkan infark sebelumnya dan kelainan segmen

ST, menunjukkan penyakit jantung Iskemik.

3) Hipertrofi Ventrikel kiri dan gelombang T terbalik menunjukkan

Stenosisa Aorta dan penyakit hipertensi.

4) Aritmia : Deviasi Aksis ke kanan, Right Bundle Branch block dan

Hipertrofi ventrikel kanan menunjukkan adanya disfungsi ventrikel

kanan.

d. Pemeriksaan Laboratorium

1) Elektrolit, BUN, Creatimin, Serum Albumin. (Muttaqin Arif, 2009)

G. PENATALAKSANAAN MEDIS

1. Mengurangi beban kerja jantung

a) Istirahat jasmani dan Emosional

b) Berat badan yang berlebihan (obesitas) sebaiknya dikurangi/

diturunkan

c) Terapi vasodilator

2. Memperbaiki daya pompa jantung atau meningkatkan

Digitalis, obat-obatan Simptomatik, pacu jantung

3. Pengendalian Retensi garam dan cairan

a) Diit rendah garam atau rendah natrium

b) Diuretic
47

H. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Diagnosa Keperawatan pada pasien gagal jantung menurut Doenges dkk, 2000

adalah :

1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan isi sekuncup

jantung

2. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan menurunnya laju filtrasi

glomelorus (menurunnya curah jantung)/meningkatnya produksi ADH dan

retensi Natrium/air

3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai

oksigen/kebutuhan

4. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring lama,

oedem, dan penurunan perfusi jaringan

5. Resiko kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan

membran kapiler/alveoli

6. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan program pengobatan

berhubungan dengan pemahaman/kesalahan persepsi tentang hubungan

fungsi jantung/penyakit/gagal

I. FOKUS INTERVENSI

Menurut Doengoes (2000)

Diagnosa 1: Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan isi

sekuncup jantung.

a. Tujuan :
48

1) Peningkatan frekuensi jantung

2) Curah jantung meningkat

b. Kriteria hasil : pasien menunjukkan tanda vital dalam batas normal,

disritmia terkontrol, bebas gejala jantung, terjadi penurunan dispnea, ikut

sertakan dalam aktivitas yang mengurangi beban kerja jantung.

c. Intervensi :

1. Auskultasi nadia pical, kaji frekuensi irama jantung

2. Catat bunyi jantung

3. Palpasi nadi Perifer

4. Pantau tekanan darah

5. Kaji adanya kulit pucat dan sianosis

6. Pantau keluaran urine, catat penurunan dan kepekatan konsentrasi

urine

7. Beri posisi nyaman pada tempat tidur atau kursi

8. Berikan O2 tambahan dengan kanul nasal/masker sesuai indikasi

9. Berikan obat sesuai indikasi

10. Diuretic : Furosemid (Lasix), Asam Etakrinik (Enderic), Bumetamid

(Bumex)

11. Captopril (Capoten), Usinopril (Prinivil), Eralapri (Vasotec)

12. Pantau EKG

d. Rasional :

1. Biasanya terjadi takikardi untuk mengkompensasi penurunan

kontraktilitas ventrikuler
49

2. S1 dan S2 mungkin lemah karena menurunnya kerja pompa jantung

3. Penurunan curah jantung dapat menunjukkan menurunnya nadi

4. Pada gagal jantung kongestif dini, sedang atau kronik, TD dapat

meningkat sehubungan dengan Septum Ventriculler Right (SVR)

5. Pucat menunjukkan menurunnya Perfusi Perifer Sekunder terhadap

tidak adekuatnya curah jantung dan anemia Sianosis dapat terjadi

sebagai refraktori gagal jantung kronik

6. Ginjal berrespon untuk menurunkan curah jantung dengan menahan

cairan dan natrium

7. Istirahat fisik dipertahankan untuk memperbaiki efisiensi kontraksi

jantung den menurunnya kebutuhan oksigen

8. Meningkatnya persediaan O2 untuk kebutuhan miokard untuk

melawan efek iskemik

9. Banyaknya obat dapat digunakan untuk meningkatkan volume

sekuncup

10. Penurunan preload paling banyak digunakan dalam mengobati pasien

curah jantung

11. Untuk mengontrol gagal jantung dengan menghambat konversi

angiotesin dalam paru dan menurunkan tekanan darah

12. Depresi segmen ST dan datarnya gelombang T dapat terjadi karena

peningkatan kebutuhan oksigen miokard


50

Diagnosa 2 : Kelebihan volume cairan berhubungan dengan menurunnya

laju filtrasi glomelorus (menurunnya curah jantung)/meningkatnya

produksi ADH dan retensi Natrium / air

a. Tujuan : Volume cairan pasien berkurang sampai dengan normal

b. Kriteria hasil : Volume cairan stabil dengan keseimbangan masukan

dan pengeluaran bunyi nafas bersih, tanda vital dalam batas normal,

berat badan normal dan tidak oedema, menyatakan tentang pembatasan

cairan.

c. Intervensi :

1. Pertahankan duduk/tirah baring dengan posisi Semi Fowler

2. Pantau haluaran urine, catat jumlah dan warna

3. Pantau masukan dan keluaran cairan tiap hari

4. Timbang berat badan setiap hari

5. Auskuhasi bunyi nafas, catat penurunan dan atau bunyi tambahan

6. Pantau tekanan darah dan CVP

7. Ubah posisi sesering mungkin. Tinggikan kaki bila duduk

8. Kaji bising usus. Catat keluahan anoreksia, mual, distensi abdomen,

kontipasi

9. Berikan makanan yang mudah dicerna

10. Ukur lingkaran abdomen sesuai indikasi

11. Palpasi hepatomegali. Catat keluhan nyeri abdomen kuadran kanan

atas/nyeri
51

12. Pemberian obat sesuai indikasi : Diuretik contoh : Furosemid

(Lasix)

13. Mempertahankan cairan/pembatasan natrium sesuai indikasi

14. Pantau Foto thorax

d. Rasional :

1. Meningkatkan Filtrasi Ginjal dan menurunkan produksi ADH

sehingga meningkatkan dieresis

2. Haluaran urine mungkin sedikit karena penurunan perfusi ginjal

3. Terapi diuretic menyebabkan kehilangan cairan tiba-tibaberlebihan

4. Catat perubahan ada/hilangnya oedema sebagai respon terhadap

terapi

5. Kelebihan volume cairan sering menimbulkan kongesti paru

6. Menunjukkan kelebihan volume cairan dan dapat menunjukkan

terjadinya gagal jantung

7. Pembentukan edema, sirkulasi melambat, gangguan pemasukan

nutrisi dan immobilisasi merupakan stressor yang mempengaruhi

intregritas

8. Kongesti visceral dapat menggangu fungsi gaster/intestinas

9. Penurunan motilitas gaster dapat berefek merugikan pada digestif

dan absorsi

10. Pada gagal jantung kanan, cairan dapat berpindah ke dalam area

peritoneal, menyebabkan lingkar abdomen (asites)


52

11. Perluasan gaga jantung menimbulkan kongesti vena, menyebabkan

distensi, pembesaran hati dan nyeri

12. Meningkatkan laju aliran urine dan dapat menghambat reabsorsi

natrium/klorid pada tubulus ginjal

13. Menurunkan air total tubuh/reakumulasi cairan

14. Menunjukkan perubahan indikatif peningkatan/perbaikan kongesti

paru

Diagnosa 3 : Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan

antara suplai O2 / kebutuhan

a. Tujuan : Pasien mampu melakukan aktivitas fisik

b. Kriteria hasil : Berpartisipasi pada aktivitas yang diinginkan memenuhi

kebutuhan perawatan diri sendiri, mencapai peningkatan toleransi

aktivitas.

c. Intervensi :

1. Catat respon Kardiopulmonal terhadap aktivitas, catat tachicardi

disritmia, dispnea, pucat dan berkeringat dan tanda-tanda vital

2. Evaluasi peningkatan intoleransi aktivitas

3. Kaji penyebab kelemahan, contoh : pengobatan, nyeri

4. Berikan bantuan dalam aktivitas perawatan diri sesuai indikasi

5. Implementasikan program rehabilitasi jantung/aktivitas


53

d. Rasional :

1. Penurunan/ketidakmampuan miokardium untuk meningkatkan

volume sekuncup selama aktifitas dapat menyebabkan peningkatan

frekuensi jantung

2. Dapat menunjukkan peningkatan Decompensasi jantung daripada

kelebihan aktivitas

3. Kelemahan merupakan efek samping beberapa obat

4. Memenuhi kebutuhan perawatan diri tanpa mempengaruhi stress

5. Peningkatan aktivitas secara bertahap menghindari kerja

jantung/konsumsi oksigen berlebihan

Diagnosa 4 : Resiko kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan

perubahan membran kapiler/alveoli

a. Tujuan : Pasien tidak mengalami kerusakan pertukaran gas

b. Kriteria hasil : mendemonstrasikan ventilasi dan oksigenasi adekuat

pada jaringan ditunjukkan oleh GDA/oksiometri dalam rentang normal

dan bebas gejala distress pernafasan.

c. Intervensi :

1. Auskuitasi bunyi nafas, catat krekel, mengi

2. Anjurkan pasien batuk efektif, nafas dalam

3. Anjurkan pasien selalu merubah posisi

4. Pertahankan duduk di kursi, tirah baring dengan kepala tempat

tidur lebih tinggi (Semi Fowler)


54

5. Pantau GDA oksimetri

6. Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi

7. Berikan obat sesuai indikasi : Diuretik, Furosemid (lasix)

d. Rasional :

1. Menyatakan adanya kongesti paru/pengumpulan secret

menunjukkan untuk intervensi lanjut

2. Membersihkan jalan nafas dan memudahkan aliran O2

3. Membantu mencegah atelektasis dan pneumonia

4. Menurunkan konsumsi oksigen/kebutuhan dan meningkatkan

ekpansi paru maksimal

5. Hipoksemia dapat menjadi berat selama edema paru.

6. Meningkatkan konsentrasi alveolar yang dapat

memperbaiki/memudahkan hipoksemia jaringan

7. Menurunkan kongesti alveolar, meningkatkan pertukaran gas

Diagnosa 5 : Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tirah

baring lama, oedema, dan penurunan perfusi jaringan

a. Tujuan : Pasien tidak mengalami kerusakan intregritas kulit

b. Kriteria hasil : mempertahankan integritas kulit, mendemonstrasikan

perilaku/tehnik mencegah kulit.

c. Intervensi :

1. Ubah posisi saat ditempat tidur, bantu rentang gerak pasif/aktif

2. Berikan perawatan kulit, meminimalkan dengan kelembapan/ekresi


55

3. Lihat kulit, catat penonjolan tulang, adanya edema

4. Pijat area kemerahan atau yang memutuh

5. Hindari obat intramuskuler

d. Rasional :

1. Memperbaiki sirkulasi/menurunkan waktu satu area yang

menggangu aliran darah

2. Terlalu kering atau lembab merusak kulit dan mempercepat

kerusakan

3. Kulit berisiko karena gangguan sirkulasi perifer, imobilitas fisik,

dan gangguan status nutris

4. Meningkatkan aliran darah, meminimalkan hipoksia jaringan

5. Edema interstitial dan gangguan sirkulasi memperlambat absorsi

obat dan predisposisi untuk kerusakan kulit/terjadi infeksi

Diagnosa 6 : Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan program

pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi

a. Tujuan : Pengetahuan pasien meningkat

b. Kriteria hasil :

1) Mengidentifikasi hubungan terapi untuk menurunkanepisod

berulang dan mencegah komplikasi

2) Menyatakan tanda/gejala yang memerlukan intervensi cepat

3) Mengidentifikasi stress pribadi/faktor resiko untuk menangani

4) Melakukan perubahan pola hidup/perilaku yang perlu


56

c. Intervensi :

1. Diskusikan pentingnya fungsi jantung sehat

2. Kuatkan rasional pengobatan

3. Diskusikan pentingnya pembatasan natrium

4. Diskusikan obat, tujuan, dan efek samping

5. Anjurkan makan diet pada pagi hari

6. Jelaskan dan diskusikan peran pasien dalam mengontrol faktor

resiko dan faktor pencetus

7. Bahas ulang tanda/gejala yang memerlukan tindakan medik cepat,

contohnya peningkatan berat badan, edema, nafas pendek,

peningkatan kelelahan,

d. Rasional :

1. Pengetahuan proses penyakit dan harapan dapat memudahkan

ketaatan pada program pengobatan

2. Pengubahan program pascapulang dibolehkan bila merasa baik dan

bebas dari atau merasa lebih sehat

3. Pembatasan diit natrium diatas 3gr/hari akan menghasilkan efek

diuretic

4. Pemahaman teraupetik dan pentingnya upaya pelaporan efek

samping dapat mencegah terjadinya komplikasi obat

5. Memberikan waktu yang adekuat untuk fek obat sebelum tidur

untuk mencegah/membatasi menghentikan tidur


57

6. Menambahkan pengetahuan dan memungkinkan pasien untuk

membentuk keputusan berdasarkan informasi

7. Pemantauan sendiri meningkatkan tanggung jawab pasien dalam

pemeliharaan kesehatan
58

KONSEP DASAR MEDIK

DIABETES MILITUS

A. PENGERTIAN

Menurut WHO 1980 dikatakan bahwa diabetes melitus merupakan

sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan

singkat tapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema

anatomik dan kimiawi yang merupakan akibat dari sejumlah faktor di mana

didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin.

(PERKENI 2011)

Diabetes mellitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada

seseorang yang disebabkan oleh karena adalah peningkatan kadar glukosa

darah akibat penurunan sekresi insulin yang progresif dilatar belakangimoleh

resistensi insulin. (Suyono, 2009)

Diabetes mellitus adalah “suatu penyakit yang kronis yang disebabkan

oleh gangguan metabolisme H.A. yang berhubungan dengan insulin dalam

badan”. (Murwani, 2008)

Diabetes Mellitus adalah gangguan metabolisme yang secara Genetik dan

klinik termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi

karbohidrat. (Price, 2005)

Diabetes Mellitus adalah sekelompok kelainan yang ditandai oleh

peningkatan kadar gula darah (hiperglikemi), mungkin terdapat penurunan

dalam kemempuan tubuh untuk berespon terhadap insulin atau tidak


59

terhadapnya pembentukan insulin oleh pancreas. (Brunner dan Suddarth,

2002)

Diabetes Mellitus (DM) adalah keadaan hiperglikemi kronik disertai

berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal, yang menimbulkan

berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah,

disertai lesi pada membran basilis. (Mansjoer Arif, 2002)

Diabetes Mellitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada

seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula

(glukosa) darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif.

(Tjokronegoro, 2002)

B. PROSES TERJADINYA MASALAH

1. Faktor Prespitasi

a. Beberapa faktor yang menyebabkan diabetes mellitus, ialah:

1) Kelainan fungsi atau jumlah sel Beta yang bersifat genetic

2) Faktor-faktor lingkungan yang mengubah fungsi integritas sel

Beta

3) Gangguan sistem imun

4) Kelainan aktivitas insulin

5) Faktor-faktor harmonal, misal : Thyroid (Price dan Wilson, 2005)

b. Beberapa faktor yang menyuburkan dan sering merupakan faktor

pencetus diabetes mellitus, ialah:

1) Makanan berlebihan
60

2) Kehamilan

3) Penyakit hormon yang kerjanya berlawanan dengan insulin

(Subekti, 2005)

2. Faktor Predisposisi

Faktor resiko tidak hanya fungsi keturunan saja, tetapi ada juga faktor lain

seperti :

a. Kegemukan

b. Pola makan yang salah

c. Minum obat-obatan yang bisa meningatkan kadar glukosa darah

d. Proses menua dan stres (Suyono, 2002)

C. PATOFISIOLOGI

Penyakit DM disebabkan karena gagalnya hormon insulin maka glukosa

tidak diubah menjadi glikogen, sehingga kadar gula darah meningkat dan

menjadi hiperglikemi. Ginjal tidak dapat menahan hiperglikemi ini. Karena

ambang batas ginjal tidak dapat menyaring dan mengobsorbsi sejumlah

glukosa dalam darah. Berhubungan dengan sifat gula yang menyerap air

maka semua kelebihan dikeluarkan bersama urine yang disebut glukosuria.

Bersama dengan keadaan glukosuria maka jumlah air hilang dalam urine

yang disebut poliuria. Keadaan air intraseluler ditarik ke ekstraseluler. Hal ini

akan merangsang pusat haus sehingga pasien merasa haus terus yang disebut

polidipsi. Produksi insulin yang berkurang menyebabkan menurunnya

transport glukosa ke sel-sel sehingga sel-sel kekurangan makanan dan


61

simpanan karbohidrat, lemak, protein menipis karena digunakan untuk

pembakaran dalam tubuh, maka pasien akan merasa lapar sehingga

menyebabkan banyak ( poliphagi).

Terlalu banyak lemak yang dibakar, maka akan menyebabkan terjadinya

penumpukan aceton dalam darah yang akan mengakibatkan keasaman darah

meningkat/asidosis. Zat ini akan meracuni tubuh bila terlalu banyak sehingga

tubuh berusaha mengeluarkan melalui urine dan pernafasan, akibatnya bau

urine dan nafas penderita berbau aceton. Keadaan asidosis ini bila tidak

segera diobati akan menjadi koma yang disebut koma diabetikum. (Price dan

Wilson, 2005)

D. MANIFESTASI KLINIS

Tanda dan gejala Diabetes Millitus adalah:

1. Diabetes Mellitus Tipe I (DMTII) adalah

a. Poliuria (Peningkatan pengeluaran urine)

b. Polidipsi (Peningkatan rasa haus)

c. Polifagi (Peningkatan rasa lapar)

d. Gangguan penglihatan

e. Lemah akibat hipotensi postural (Sabella, 2010)

2. Diabetes Mellitus Tipe II (DMTTI) adalah

Gejala-gejala klasik yaitu poliuria, rasa haus, rasa lapar, penglihatan kabur

berulang. Kesemutan/ parasthesia dan kelemahan merupakan manifestasi

dari hiperglikemi dan karenanya lazim dijumpai pada kedua bentuk


62

diabetes. Infeksi kulit kronik yang sering terjadi, pruritus genetalia.

(Tjokronegoro, 2002)

E. KLASIFIKASI DIABETES MELLITUS

Menurut American Diabetes Association (ADA) (2005):

1. DM Tipe I (IDDM)

Insulin Dependent Diabetes Melitus atau disebut dengan DMTI (Diabetes

Melitus Tergantung Insulin).

a. Terjadi pada usia muda

b. Tergantung insulin eksogen

c. Peningkatan kadar glukosa darah

2. DM Tipe II (NIDDM)

Non Insulin Independent Diabetes Melitus atau disebut dengan DMTTI

(Diabetes mellitus Tidak Tergantung Insulin)

a. Tidak Gemuk

b. Gemuk

3. Malnutrition Relacted Diabetes Melitus ( MRDM) atau Diabetes Melitus

Tergantung Makanan (DMTM)

4. DM tipe lain yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom tertentu:

a. Penyakit Pankreas

b. Penyakit Hormonal

c. Karena obat atau bahan kimia lain

d. Kelainan rseptor insulin


63

e. Sindrom Genetik tertentu

f. Sirosis Hepatis

5. DM Gestasional (GDM)

Awitan selama kehamilan , biasanya terjadi pada trimester kedua atau

ketiga.Disebabkan oleh hormone yang disekresikan plasenta dan

menghambat kerja insulin.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tes diagnosis untuk Diabetes Mellitus harus dilakukan bila terdapat gejala

DM seperti : poliuri, polidipsi dan poliphagi atau penurunan berat badan.

Diagnistik dilakukan berdasarkan :

1. Pemeriksaan glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl dengan gejala DM

2. Kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl puasa adalah tanpa intake cairan /

kalori selama 8 – 10 jam.

3. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan

diagnostik.

Tabel 1. Kadar gula darah sewaktu, puasa dan GD2PP sebagai patokan
penyaring diagnosis DM
No. Pemeriksaan Bukan DM Belum Pasti DM
1. Kadar glukosa sewaktu
- Plasma darah vena < 110 mg/dl 110 – 199 mg/dl > 200 mg/dl
- Darah kapiler < 90 mg/dl 90 – 199 mg/dl > 200 mg/dl

2. Kadar glukosa puasa


- Plasma darah vena < 110 mg/dl 110 – 125 mg/dl > 126 mg/dl
- Darah kapiler < 90 mg/dl 90 – 199 mg/dl 2 > 110 mg/dl
jam
3. Kadar glukosa 2 jam PP
( Post prandial ) < 140 mg/dl < 120 mg/dl >200 mg/dl
2 jam
(PERKENI, 2006)
64

Catatan:
Untuk kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan kelainan hasil, dilakukan
ulangan tiap tahun. Bagi mereka yang berusia > 45 tahun tanpa faktor risiko
lain, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.

Tabel 2. Kriteria Pengendalian DM


No. Pemeriksaan Baik Sedang Buruk
1. Kadar glukosa sewaktu 80-109 mg/dl 110-199 mm/dl ≥200 mg/dl
≥126 mg/dl
2. Kadar glukosa puasa 80-109 mg/dl 110-125 mm/dl
≥180 mg/dl
3. Kadar glukosa 2 jam 110-144 mg/dl 145- 179 mg/dl
PP ( Post prandial )

G. PENATALAKSANAAN

Tujuan penatalaksanaan Diabetes Melitus yaitu:

1. Tujuan jangka pendek yaitu untuk menghilangkan keluhan atau gejala

DM.

2. Tujuan jangka panjang adalah untuk mencegah komplikasi.

Kerangka utama penatalaksanaan Diabetes Melitus yaitu perencanaan

makan, latihan jasmani, obat hipoglikemik dan penyuluhan.

a. Perencanaan makan

Pada Konsensus Perkumpulan Endrokrinologi Indonesia (PERKENI) telah

ditetapkan bahwa standar yang dianjurkan adalah makanan dengan

komposisi seimbang berupa :

a) Karbohidrat 60-70 %

b) Protein 10-15 %

c) Lemak 20-25 %
65

Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, sters

akut, dan kegiatan jasmani untuk mencapai berat badan ideal. Jumlah

kandungan kolesterol < 300 mg/hr. Jumlah kandungn serat ±29 gr/hr

diutamakan jenis serat larut. Konsumsi garam dibatasi bila terdapat

hipertensi. Pemanis dapat digunakan secukupnya.

Pedoman dalam memberikan diet Diabetes Melitus yaitu 3 J:

1) Jumlah kalori

2) Jadwal diet harus sesuai dengan interval

3) Jenis makanan manis harus dihindari

b. Latihan jasmani

Dianjurkan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu) selama ±30

menit. Yang sifatnya sesuai CRIPE (Continous, Rtymical, Interval,

Progresive, Endurance training). Latihan dilakukan terus menerus tanpa

berhenti, otot-otot berkontraksi dan relaksasi secara teratur, selang – seling

antara gerak cepat dan lambat, berangsur –angsur dari sedikit latihan yang

lebih berat secara bertahap dan bertahan dalam waktu tertentu. Sedapat

mungkin mencapai zona sasaran 78-85% denyut nadi maksimal (220-

umur), disesuaikan kemampuan dan kondisi penyakit penyerta. Sebagai

contoh olahraga ringan adalah berjalan kaki biasa selama 30 menit,

olahraga sedang adalah jalan cepat selama 20 menit dan olahraga berat

misalnya jogging.
66

c. Penyuluhan

Penyuluhan untuk rencana pengelolaan sangat penting untuk mendapatkan

hasil yang maksimal. Edukasi diabetes adalah pendidikan dan pelatihan

mengenai pengetahuan dan keterampilan bagi pasien diabetes yang

bertujuan menunjang perubahan perilaku untuk meningkatkan pemahaman

pasien akan penyakitnya. Yang diperlukan untuk mencapai keadaan sehat

optimal dan penyesuaian keadaan psikologik serta kualitas hidup yang lebih

baik.

Dengan berbagai macam usaha tersebut, diharapkan sasaran pengendalian

diabetes mellitus seperti yang dianjurkan oleh pakar diabetes di Indonesia

dapat dicapai, sehingga pada gilirannya nanti komplikasi kronik Diabetes

Melitus juga dapat dicegah.

d. Obat-obatan

Pengobatan dengan insulin, Insulin diberikan tiga kali sehari 15-30 menit

sebelum makan

Ada 3 jenis aturan insulin yang penting menurut cara kerjanya:

1) Insulin masa kerja cepat ( Reguler insulin ) 2 - 4 jam

2) Insulin masa kerja sedang ( NPH : Netral Protamin Hegedom) 6-12 jam

3) Insulin masa kerja panjang ( PZI: Protamin Zine Insulin) 18-24 jam

Indikasi pengobatan dengan insulin

a) Ketoasidosis diabetik

b) Diabetes dengan berat badan kurang

c) Diabetes yang mengalami stress ( infeksi, operasional dan lain-lain)


67

d) Diabetes hamil (gestasional DM)

e) Diabetes tipe I

f) Kegagalan pemakaian obat hipoglikemi oral. (Soegondo, 2002)

H. KOMPLIKASI

Komplikasi akut pada diabetes mellitus menurut Boedisantoso (2009) adalah:

a. Hipoglikemia

Hipoglikemia adalah keadaan klinik gangguan saraf yang disebabkan

penurunan glukosa darah < 60 mg/dl. Gejala hipoglikemia terdiri dari

gejala adrinergic (berdebar, banyak keringat, gemetar, rasa lapar) dan

gejala neuroglikopenik (pusing, gelisah, kesadaran menurun sampai

koma). Penyebab tersering hipoglikemia adalah akibat obat hipoglikemia

oral golongan sulfonilurea, khususnya klorpropamida dan glibenklamida.

Penyebab tersering lainnya antara lain : makan kurang dari aturan yang

ditentukan, berat badan turun, sesudah olahraga, sesudah melahirkan dan

lain-lain.

b. Ketoasidosis Diabetik

Ketoasidosis diabetik (KAD) merupakan defisiensi insulin berat dan akut

dari suatu perjalanan penyakit DM yang ditandai dengan trias

hiperglikemia, asidosi dan ketosis. Timbulnya KAD merupakan ancaman

kematian pada pasien DM.

c. Hiperglikemia Non Ketotik


68

Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik ditandai dengan hiperglikemia,

hiperosmolar tanpa disertai adanya ketosis. Gejala klinis utama adalah

dehidrasi berat, hiperglikemia berat dan sering kali gangguan neurologis

dengan atau tanpa adanya ketosis.

Akibat kadar gula darah yang tidak terkontrol dan meninggi terus menerus

yang dikarenakan tidak dikelola dengan baik mengakibatkan adanya

pertumbuhan sel dan juga kematian sel yang tidak normal. Perubahan

dasar itu terjadi pada endotel pembuluh darah, sel otot pembuluh darah

maupun pada sel masingeal ginjal, semuanya menyebabkan perubahan

pada pertumbuhan dan kematian sel yang akhirnya akan menjadi

komplikasi vaskular DM. Struktur pembuluh darah, saraf dan struktur

lainnya akan menjadi rusak. Zat kompleks yang terdiri dari gula di dalam

dinding pembuluh darah menyebabkan pembuluh darah menebal dan

mengalami kebocoran. Akibat penebalan ini maka aliran darah akan

berkurang, terutama menuju kulit dan saraf.

Akibat mekanisme di atas akan menyebabkan beberapa komplikasi antara

lain (Waspadji, 2006) :

a. Retinopati

Terjadinya gangguan aliran pembuluh darah sehingga mengakibatkan

terjadi penyumbatan kapiler. Semua kelainan tersebut akan

menyebabkan kelainan mikrovaskular. Selanjutnya sel retina akan

berespon dengan meningkatnya ekspresi faktor pertumbuhan endotel

vaskular yang selanjutnya akan terbentuk neovaskularisasi pembuluh


69

darah yang menyebabkan glaukoma. Hal inilah yang menyebabkan

kebutaan.

b. Nefropati

Hal-hal yang dapat terjadi antara lain : peningkatan tekanan glomerular

dan disertai dengan meningkatnya matriks ektraseluler akan

menyebabkan terjadinya penebalan membran basal yang akan

menyebabkan berkurangnya area filtrasi dan kemudian terjadi

perubahan selanjutnya yang mengarah terjadinya glomerulosklerosis.

Gejala-gejala yang akan timbul dimulai dengan mikroalbuminuria dna

kemudian berkembang menjadi proteinuria secara klinis selanjutnya

akan terjadi penurunan fungsi laju filtrasi glomerular dan berakhir

dengan gagal ginjal.

c. Neuropati

Yang paling sering dan paling penting gejala yang timbul berupa

hilangnya sensasi distal atau seperti kaki terasa terbakar dan bergetar

sendiri dan lebih terasa sakit dimalam hari.

d. Penyakit jantung koroner

Kadar gula darah yang tidak terkontrol juga cenderung menyebabkan

kadar zat berlemak dalam darah meningkat, sehingga mempercepat

aterosklerosis (penimbunan plak lemak di dalam pembuluh darah).

Aterosklerosis ini 2-6 kali lebih sering terjadi pada penderita DM.

Akibat aterosklerosis akan menyebabkan penyumbatan dan kemudian

menjadi penyakit jantung koroner.


70

e. Penyakit pembuluh darah kapiler

Mengenali dan mengelola berbagai faktor risiko terkait terjadinya kaki

diabetes dan ulkus diabetes merupakan hal yang paling sering pada

penyakit pembuluh darah perifer yang dikarenakan penurunan suplai

darah di kaki.

I. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Diagnosa keperawatan pada penyakit Diabetes Melitus menurut Doengoes,

dkk (2000) antara lain sebagai berikut:

1. Kekurangan volume cairan , berhubungan dengan diuresis osmotic (dari

hiperglikemia), kehilangan gastrik berlebihan diare, muntah, masukan di

batasi : mual, kacau mental.

2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, berhubungan dengan

ketidakcukupan insulin (penurunan ambilan dan penggunaan glukosa oleh

jaringan mengakibatkan peningkatan metabolisme protein, lemak),

penurunan mukosa oral, anoreksia, mual, lambung penuh, nyeri abdomen,

perubahan kesadaran, status hipermetabolisme, pelepasan hormon stress

(misalnya epineprin, kortisol dan hormone pertumbuhan ), proses infeksi.

3. Resiko tinggi terhadap infeksi berhungan dengan kadar glukosa tinggi,

penurunan fungsi, leukosit, perubahan pada sirkulasi, infeksi pernafasan

yang ada sebelumnya, atau infeksi saluran kemih.


71

4. Resiko tinggi terhadap perubahan sensori perceptual, berhubungan dengan

peubahan kimia endogen, ketidakseimbangan glukosa atau insulin atau

elektrolit

5. Kelelahan berhubungan dengan penurunan produksi energi atau metabolik,

perubahan kimia darah, insufisiensi insulin, peningkatan kebutuhan energi,

status hipermetabolik atau infeksi.

6. Ketidakberdayaan berhungan dengan penyakit jangka panjang atau

progresif yang tidak dapat di obati , ketergantungan pada orang lain

7. Kurang pengetahuan ( kebutuhan belajar ), mengenai penyakit prognosis,

dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang pemahaman atau

mengingat, kesalahan intepretasi informasi, tidak mengenal sumber

informasi.

Diagnosa keperawatan pada penyakit Diabetes Melitus menurut NANDA

(2012) antara lain sebagai berikut:

1. Resiko ketidakstabilan kadar gula darah berhubungan dengan kurang

pengetahuan tentang manajemen diabetes

2. Resiko jatuh berhubungan dengan Retinopati


72

J. FOKUS INTERVENSI

Rencana asuhan keperawatan pada pasien diabetes mellitus menurut

Doengoes (2000):

1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotic

hilangnya cairan lambung, yang berlebihan ditandai dengan pengeluaran

urine yang meningkat, kelemahan, haus, kehilangan keseimbangn cairan,

kulit kering, turgor kulit jelek, hipotensi, takikardi

Kriteria hasil:

a. Pasien menunjukkan tanda-tanda hidrasi secara adekuat (turgor kulit

baik, nilai elektrolit dalam batas normal).

b. Tanda-tanda vital stabil (tekanan darah, nadi, respirasi, dalam batas

normal )

Intervensi:

a. Kaji lama dan intensitas terjdinya muntah , poliuri, dan diare.

Rasional : mengetahui volume cairan yang hilang sehingga

memudahkan dalam tindakan perawatan selanjutnya

b. Monitor tanda-tanda vital seperti pernafasan kusmaul, nafas bau

aseton , kecepatan dan mutu pernafasan, warna dan kelembaban kulit

Rasional : Hipovolemia mungkin dapat dimanifestasikan dengan

hipotensi, dan takikardi sehingga dapat menilai hipovolemia yang

mungkin dapat terjadi

c. Monitor intake dan output


73

Rasional : Menilai kekuatan cairan pengganti, mengetahui

keseimbangan cairan dan pengembangan fungsi ginjal

d. Lakukan pemasangan kateter

Rasional : Menilai volume cairan yang hilang sehingga memudahkan

tindakan selanjutnya

e. Pertahankan pemasukan cairan paling sedikit 2500 ml/hari

Rasional : Mempertahankan hidrasi atau sirkulasi volume

f. Ciptakan lingkungan yang nyamn dan tenang

Rasional : Hindari kemarahan pasien yang mana dpat menambah

hilangnya cairan lebih lanjut

g. Catat hasil sensori pasien

Rasional : Pengurangan perfusi serebral dapat menyebabkan hipoksia

h. Monitor hasil laboratorium seperti HCT, BUN, osmolalitas serum,

sodium, potassium.

Rasional : Monitor HCT untuk mengetahui tingkat yang meninggi,

BUN yang tinggi memggambarkan kesalahan dari ginjal, nilai

osmolalitas memperlihatkan adanya hiperglikemia.

i. Berikan potassium dan elektrolit lewat intra vena, atau oral untuk

mengganti cairan yang hilang

Rasional : Pemberian bikarbonat dengan hati-hati untuk mencegah

terjadinya hipotensi atau shock


74

2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

defisiensi insulin, status metabolik, intake yang tidak adekuat, ditandai

dengan kelemahan, penurunan kekuatan otot, diare.

Kriteria hasil :

a. Jumlah intake atau kalori terpenuhi

b. Tingkat energy kembali normal

c. Perkembangan BB stabil sesuai dengan usia pasien

d. Hasil laboratorium menunjukkan nilai normal

Intervensi :

a. Timbang BB tiap hari

Rasional : Mengkaji keadekuatan pemasukan nutrisi (penyerapannya

dan penggunaannya)

b. Auskultasi peristaltik usus

Rasional : Hiperglikemi, gangguan cairan dan elektrolit dapat

menurunkan peristaltik lambung

c. Identifikasi makanan yang disukai, termasuk kebiasaan makanan klien

Rasional : Jika makanan kesukaan pasien dapat disatukan dalam

program rencana diet akan mudah kerjasama dalam perawatan dan

pengobatan

d. Observasi tanda-tanda hipoglikemi (perubahan tingkat keadaan, kulit

dingin, nadi tidak terarur, sakit kepala, pusing, gemetar).

Rasional : Hipoglikemia dapat terjadi sehingga dalam keadaan darurat

dapat dilakukan tindakan perawatan secara cepat


75

e. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian RI

Rasional : Membantu keefektifan insulin

f. Kolaborasi dengan ahli gizi dalam pemberian nutrisi

Rasional : Memberikan pemenuhan kebutuhan nutrisi secara cepat

3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan kadar glukosa yang tinggi

penurunan fungsi leukosit, perubahan sirkulasi

Kriteria hasil :

a. Pasien mampu mengidentifikasi tindakan untuk mencegah infeksi

b. Pasien mampu menunjukkan tehnik perubahan gaya hidup

untukmencegah terjadinya infeksi

Intervensi :

a. Observasi tanda-tanda infeksi seperti demam, urin keruh, sputum

purulen

Rasional : Infeksi merupakan faktor presipitasi terjadinya ketoasidisis

b. Anjurkan untuk mencuci tangan baik staf maupun pasien sebelum

melakukan tindakan

Rasional : Mengurangi resiko trjadinya infeksi silang

c. Pelihra tehnik aseptik dalam prosedur pemberian pengobatan secara

IV

Rasional : Keadaan glukosa yang tinggi dalam darah merupakan

medium yang baik untuk pertumbuhan bakteri

d. Berikan diet dan intake cairan yang adekuat


76

Rasional : Mengurangi terjadinya infeksi, meningkatkan kelancaran

aliran darah

e. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antibiotik secara tepat

Rasional : Pengobatan awal dapat mencegah terjadinya sepsis

4. Resiko tinggi terhadap perubahan persepsi sensori berhubungan dengan

perubahan kimia endogen, ketidakseimbangan glukosa, insulin, elektrolit

Kriteria hasil :

a. Pasien mempertahankan tingkat status mental

b. Pasien mampu mengenal adanya kerusakan sensori

Intervensi :

a. Monitot tanda-tanda vital dan status mental

Rasional : Status dasar perbadingan tingkat abnormal

b. Orientasi terhadap orang, waktu, dan tempat cara memberi penjelasan

singkat

Rasional : Mengurangi kebingungan pasien

c. Lakukan penjelasan perawatan secara rutin dan ikutsertakan pasien

dalam perawatan sehari-hari

Rasional :Membantu pasien dalam melihat hubungan dengan

kenyataan

d. Monitor adanya hyperesthesia, nyeri, dan penurunan sensori

Rasional : Mengetahui adanya perubahan persepsi sensori dan

mencegah kerusaan saraf lebih lanjut


77

e. Monitor pemeriksaan laboratorium seperti glukosa darah, serum

osmolalitas, Hemoglobin/Hematokrit, BUN

Rasional : Ketidakseimbanan cairan dapat mempengaruhi perubahan

kesadaran

5. Kelelahan berhubungan dengan penurunan produksi metabolik,

insufisiensi insulin ditandai dengan kelelahan, tidak dapat beraktifitas,

penurunan kekuatan otot, elastisitas otot menurun

Kriteria hasil:

a. Pasien menunjukkan perkembangan tingkat energi seperti semula/

energi pasien kembali normal

b. Pasien mampu melakukan aktivitas rutin dan tidak terjadi kecelakaan

Intervensi :

a. Diskusikan dengan pasien aktivitas yang dibutuhkan dan aktivitas

yang melelahkan

Rasional : Meningkatkan motivasi pasien dalam melakukan aktivitas

b. Beri alternative aktivitas dengan adanya periode istirahat

Rasional : Mencegah kelelahan yang berlebihan

c. onitor tanda-tanda vital sebelum dan sesudah aktivitas

Rasional : Mengidentifikasikan tingkat toleransi fisik pasien

d. Diskusikan dengan pasien aktivitas yang dapat mengurangi energi

Rasional : Pasien akan lebih banyak menyelesaikan aktivitas yang

lebih kecil

e. Tingkatkan partisipasi pasien dalam ADL sesuai toleransi


78

Rasional : Meningkatkan kemandirian pasien secara bertahap

Intervensi

Diagnosa keperawatan pada penyakit Diabetes Melitus menurut NANDA

(2012) antara lain sebagai berikut:

1. Resiko ketidakstabilan kadar glukosa darah berhubungan dengan kurang

pengetahuan tentang manajemen diabetes

Kriteria hasil :

a. GDS : 80-109

b. GD2 jam PP : 110-139

c. Tidak terjadi Poliuri, polipagi dan polidipsi

Intervensi :

a. Kaji tanda dan gejala hipoglikemi dan hiperglikemi

Rasional : Pengkajian dilakukan sebagai petunjuk dalam memberikan

penangan lebih cepat

b. Pantau kadar gula darah

Rasioanal : Gula darah akan menurun perlahan dan penggantian cairan

dan terapi insulin terkontrol

c. Edukasi materi hipoglikemi dan hiperglikemi serta tanda gejala dan

penangannya

Rasional : Penyuluhan dapat membantu dalam mengurangi tanda dan

gejala serta mengatur dan menjaga Gaya hidup pada penderita

diabetes
79

d. Kolaborasi dengan dokter dalam penanganan jika terjadi tanda

hipoglikemi dan hiperglikemi

Rasional : Membantu dalam memberikan terapi jika terjadi

hipoglikemi dan hiperglikemi

2. Resiko jatuh berhubungan dengan Retinopati

Kriteria hasil :

a. Pasien terbatas dari cidera

b. Pasien mampu menjelaskan faktor resiko dari lingkungan/perilaku

personal

c. Pasien/keluarga pasien mengerti tentang cara/metode untuk mencegah

injuri

Intervensi :

a. Sediakan lingkungan aman untuk pasien

Rasional : Mencegah timbulnya resiko cedera

b. Pasang side rail tempat tidur

Rasional : Side rail yang berfungsi sebagai pengaman di tempat tidur

c. Sediakan tempat tidur yang nyaman dan bersih

Mencegah terjadinya infeksi silang dari tempat tidur yang kotor


80

KONSEP DASAR MEDIK

ANEMIA

A. PENGERTIAN

Anemia berarti kekurangan sel darah merah dapat disebabkan oleh

hilangnya darah terlalu cepatatau kerena terlalu lambatnya produksi sel darah

merah. (Guyton, 1997)

Anemia adalah gejala dari kondisi yang mendasari, seperti kehilangan

komponen darah, elemen tak adekuat atau kurangnya nutrisi yang dibutuhkan

untuk pembentukan sel darah merah, yang mengakibatkan penurunan

kapasitas pengangkut oksigen darah. (Doenges, 2000)

Anemia adalah keadaan rendahnya jumlah sel darah merah dan kadar

HB atau hematokrit dibawah normal. Anemia bukan merupakan penyakit,

melainkan merupakan pencerminan keadaan sutu penyakit atau gangguan

fungsi tubuh. (Smeltzer, 2002)

Anemia adalah istilah yang menunjukan rendahnya hitungan sel darah

merah dan kadar hemoglobin dan hematokrit di bawah normal. (Smeltzer,

2002)

Anemia ialah keadaan dimana massa eritrosit dan/atau massa

hemoglobin yang beredar tidak dapat memenuhi fungsinya untuk

menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh. (Bakta, 2003)


81

Anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal sel darah

merah, kualitas hemoglobin dan volume packed red bloods cells (hematokrit)

per 100 ml darah. (Price, 2005)

B. PROSES TERJADINYA MASALAH

1. Faktor Prespitasi (Faktor Pencetus)

a. Produksi sel darah merah tidak mencukupi

b. Sel darah merah prematur atau penghancuran sel darah merah yang

berlebihan

c. Kehilangan darah

d. Kekurangan nutrisi

e. Faktor keturunan

f. Penyakit kronis (Rematoid arthriks, TBC, abses paru, osteomeiliks).

(Brunner & Suddart, 2002)

2. Faktor Predisposisi (Faktor Pendukung)

a. Defisiensi vit B12

b. Defisiensi asam folat

c. Gangguan metabolisme vit B12 dan asam folat

d. Gangguan sinteks DNA, akibat dari:

1) Defisiensi enzim kongenetal

2) Didapat setelah pemberian obat atau sitostatik tertentu

e. Tradiasi : dapat berpengaruh pada stroma sumsum tulang

f. Kelainan imunologis. (Boedi Warsono, 2003)


82

C. PATOFISIOLOGI

Timbulnya anemia mencerminkan adanya kegagalan sumsum tulang

atau kehilangan sel darah merah berlebihan atau keduanya. Kegagalan

sumsum tulang dapat terjadi akibat kekurangan nutrisi, pajanan toksik, invasi

tumor, atau kebanyakan akibat penyebab yang tidak diketahui. Sel darah

merah dapat hilang melalui perdarahan atau hemolisis (destruksi) pada kasus

yang disebut terakhir, masalah dapat akibat efek sel darah merah yang tidak

sesuai dengan ketahanan sel darah merah normal atau akibat beberapa faktor

diluar sel darah merah yang menyebabkan destruksi sel darah merah.

Lisis sel darah merah (disolusi) terjadi terutama dalam sistem fagositik

atau dalam sistem retikuloendotelial terutama dalam hati dan limpa. Sebagai

hasil samping proses ini bilirubin yang sedang terbentuk dalam fagosit akan

masuk dalam aliran darah. Setiap kenaikan destruksi sel darah merah

(hemolisis) segera direpleksikan dengan meningkatkan bilirubin plasma

(konsentrasi normalnya 1 mg/dl atau kurang ; kadar 1,5 mg/dl mengakibatkan

ikterik pada sclera. (Smeltzer & Bare. 2002)

D. MANIFESTASI KLINIS

Tanda dan Gejala yang muncul merefleksikan gangguan fungsi dari

berbagai sistem dalam tubuh antara lain penurunan kinerja fisik, gangguan

neurologik (syaraf) yang dimanifestasikan dalam perubahan perilaku,

anorexia (badan kurus), pica, serta perkembangan kognitif yang abnormal

pada anak. Sering pula terjadi abnormalitas pertumbuhan, gangguan fungsi


83

epitel, dan berkurangnya keasaman lambung. Cara mudah mengenal anemia

dengan 5L, yakni lemah, letih, lesu, lelah, lalai. Kalau muncul 5 gejala ini,

bisa dipastikan seseorang terkena anemia. Gejala lain adalah munculnya

Gejala lain adalah wajah pucat, membran mukosa bibir pucat, ujung jari

tangan dan kaki teraba dingin dan tampak pucat, konjungtiva pucat.

Anemia bisa menyebabkan kelelahan, kelemahan, kurang tenaga dan

kepala terasa melayang. Jika anemia bertambah berat, bisa menyebabkan

stroke atau serangan jantung. (Price,2000)

Tabel 1. Manifestasi klinis anemia

Area Manifestasi klinis


Keadaan umum Pucat, penurunan kesadaran, keletihan berat,
kelemahan, nyeri kepala, demam, dipsnea, vertigo,
sensitive terhadap dingin, BB turun.
Kulit Jaundice (anemia hemolitik), warna kulit pucat,
sianosis, kulit kering, kuku rapuh, clubbing finger,
CRT > 2 detik, elastisitas kulit munurun,
perdarahan kulit atau mukosa (anemia aplastik)
Mata Penglihatan kabur, jaundice sclera, konjungtiva
pucat.
Telinga Vertigo, tinnitus
Mulut Mukosa licin dan mengkilat, stomatitis,
perdarahan gusi, atrofi papil lidah, glossitis, lidah
merah (anemia deficiency asam folat)
Paru – paru Dipsneu, takipnea, dan orthopnea
Kardiovaskuler Takikardia, lesu, cepat lelah, palpitasi, sesak
waktu kerja, angina pectoris dan bunyi jantung
murmur, hipotensi, kardiomegali, gagal jantung
Gastrointestinal Anoreksia, mual-muntah, hepatospleenomegali
(pada anemia hemolitik)
Muskuloskletal Nyeri pinggang, sendi
System persyarafan Sakit kepala, pusing, tinnitus, mata berkunang-
kunang, kelemahan otot, irritable, lesu perasaan
dingin pada ekstremitas.
(Bakta, 2003)
84

E. KLASIFIKASI

1. Klasifikasi Anemia Menurut Faktor Morfologi

a. Anemia hipokromik mikrositer : MCV < 80 fl dan MCH < 27 pg

Sel darah merah memiliki ukuran sel yang kecil dan pewarnaan yang

berkurang atau kadar hemoglobin yang kurang (penurunan MCV dan

penurunan MCH)

1) Anemia defisiensi besi

2) Thalasemia major

3) Anemia akibat penyakit kronik

4) Anemia sideroblastik

b. Anemia normokromik normositer : MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg

Sel darah merah memiliki ukuran dan bentuk normal serta

mengandung jumlah hemoglobin dalam batas normal.

1) Anemia pasca perdarahan akut

2) Anemia aplastik

3) Anemia hemolitik didapat

4) Anemia akibat penyakit kronik

5) Anemia pada gagal ginjal kronik

6) Anemia pada sindrom mielodisplastik

7) Anemia leukemia akut

c. Anemia normokromik makrositer : MCV > 95 fl


85

Sel darah merah memiliki ukuran yang ukuran yang lebih besar dari

pada normal tetapi tetapi kandungan hemoglobin dalam batas normal

(MCH meningkat dan MCV normal).

1) Bentuk megaloblastik

a) Anemia defisiensi asam folat

b) Anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa

2) Bentuk non-megaloblastik

a) Anemia pada penyakit hati kronik

b) Anemia pada hipotiroidisme

c) Anemia pada sindrom mielodisplastik

2. Klasifikasi anemia menurut faktor etiologi

a. Anemia karena produksi eritrosit menurun

1) Kekurangan bahan unuk eritrosit (anemia defisiensi besi, dan

anemia deisiensi asam folat/ anemia megaloblastik)

2) Gangguan utilisasi besi (anemia akibat penyakit kronik, anemia

sideroblastik)

3) Kerusakan jaringan sumsum tulang (atrofi dengan penggantian

oleh jaringan lemak:anemia aplastik/hiplastik, penggantian oleh

jaringan fibrotic/tumor:anemia leukoeritoblastik/mielopstik)

4) Fungsi sumsum tulang kurang baik karena tidak diketahui. (anemia

diserotropoetik, anemia pada sindrom mielodiplastik)

b. Kehilangan eritrosit dari tubuh.

1) Anemia pasca perdarahan akut.


86

2) Anemia pasca perdarahan kronik

c. Peningkatan penghancuran eritrosit dalam tubuh (hemolisis)

a. Faktor ekstrakorpuskuler

a) Antibody terhadap eritrosit: (Autoantibodi-AIHA, isoantibodi-

HDN)

b) Hipersplenisme

c) Pemaparan terhadap bahan kimia

d) Akibat infeksi

e) Kerusakan mekanik

b. Faktor intrakorpuskuler

a) Gangguan membrane (hereditary spherocytosis, hereditary

elliptocytosis)

b) Gangguan enzim (defisiensi piruvat kinase, defisiensi G6PD)

c) Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati structural,

thalasemia) (Bakta, 2003)

3. Klasifikasi Anemia yang terjadi akibat menurunnya produksi SDM antara

lain

a. Anemia defisiensi besi

Anemia defisiensi besi merupakan gejala kronis dengan keadaan

hipokromik (konsentrasi Hb kurang), mikrositik yang disebabkan oleh

suplai besi kurang dalam tubuh. kurangnya besi berpengaruh dalam

pembentukan Hb sehingga konsentrasinya dalam SDM berkurang, hal

ini akan mengakibatkan tidak adekuatnya pengangkutan oksigen


87

keseluruh jaringan tubuh. Pada keadaan normal kebutuhan besi orang

dewasa adalah 2- 4 gm. Pada laki-laki kebutuhan besi adalah 50

mg/kgBB dan pada wanita 35 mg/kgBB ( Lawrence M Tierney, 2003)

dan hamper 2/3 terdapat dalam Hb. Absorbsi besi terjadi dilambung,

duodenum dan jejunum bagian atas adanya erosi esofagitis, gaster,

ulser duodenum, kanker dan adenoma kolon akan mempengaruhi

absobsi besi.

b. Anemia megaloblastik

Anemia yang disebabkan karena rusaknya sintesis DNA yang

mengakibatkan tidak sempurnanya SDM. Keadaan ini disebabkan

karena defisiensi vitamin B12 dan asam folat.karakteristik SDM ini

adalah adanya megaloblas abnormal, Prematur dengan fungsi yang

tidak normal dan dihancurkan semasa dalam sumsum tulang sehingga

terjadinya eritropoeisis dengan masa hidup eritrosit yang lebih pendek

yang akan mengakibatkan leucopenia, trombositopenia .

c. Anemia defisiensi vitamin B12

Merupakan gangguan autoimun karena tidak adanya faktor intrinsik

yang diproduksi di sel parietal lambung sehingga terjadi gangguan

absobsi vitamin B12 .

d. Anemia defisiensi asam folat

Kebutuhan folat sangat kecil biasanya terjadi pada orang yang kurang

makan sayuran dan buah-buahan, gangguan pada pencernaan, alkolik

dapat meningkatkan kebutuhan folat, wanita hamil, masa


88

pertumbuhan. Defisiensi asam folat juga dapat mengakibatkan sindrom

malabsobsi

e. Anemia aplastik

Terjadi akibat ketidak sanggupan sumsum tulang untuk membentuk

sel – sel darah. Kegagalan tersebut disebabkan oleh kerusakan primer

atau zat yang dapat merusak sumsum tulang (Mielotoksin).

4. Klasifikasi Anemia karena meningkatnya destruksi atau kerusakan SDM

apat terjadi karena hiperaktifnya RES.

Meningkatnya destruksi SDM dan tidak adekuatnya produksi SDM

biasanya karena faktor-faktor :

a. Kemampuan respon sumsum tulang terhadap penurunan SDM kurang

karena meningkatnya jumlah retikulosit dalam sirkulasi darah

b. Meningkatnya SDM yang masih muda dalam sumsum tulang

dibandingkan yang matur atau matang .

c. Ada atau tidaknya hasil destruksi SDM dalam sirkulasi (peningkatan

kadar bilirubin)

5. Anemia yang terjadi akibat meningkatnya destruksi/kerusakan SDM

antara lain

a. Anemia hemolitik

Anemia hemolitik terjadi akibat peningkatan hemolisis dari eritrosit

sehingga usia SDM lebih pendek yang disebabkan oleh : 5% dari jenis

anemia, herediter, Hb abnormal, membran eritrosit rusak, thalasemia,


89

anemia sel sabit, reaksi autoimun, toksik, kimia, pengobatan, infeksi,

kerusakan fisik .

b. Anemia sel sabit

Anemia sel sabit adalah anemia hemolitk berat yang ditandai dengan

SDM kecil sabit, dan pembesaran limfa akibat kerusakan molekul Hb

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan laboratorium pada pasien anemia menurut (Doenges, 2000)

1. Jumlah eritrosit: menurun (AP), menurun berat (aplastik); MCV (volume

korpuskular rerata) dan MCH (hemoglobin korpuskular rerata) menurun

dan mikrositik dengan eritrosit hipokronik (DB), peningkatan (AP).

Pansitopenia (aplastik). Nilai normal eritrosit (juta/mikro lt): 3,9 juta per

mikro liter pada wanita dan 4,1 -6 juta per mikro liter pada pria

2. Jumlah darah lengkap (JDL): hemoglobin dan hemalokrit menurun.

3. Jumlah retikulosit : bervariasi, misal : menurun (AP), meningkat (respons

sumsum tulang terhadap kehilangan darah/hemolisis).

4. Pewarna sel darah merah: mendeteksi perubahan warna dan bentuk

(dapat mengindikasikan tipe khusus anemia).

5. LED: Peningkatan menunjukkan adanya reaksi inflamasi, misal:

peningkatan kerusakan sel darah merah: atau penyakit malignasi.

6. Masa hidup sel darah merah: berguna dalam membedakan diagnosa

anemia, misal: pada tipe anemia tertentu, sel darah merah mempunyai

waktu hidup lebih pendek.


90

7. Tes kerapuhan eritrosit: menurun (DB).

8. Sel Darah Putih: jumlah sel total sama dengan sel darah merah

(diferensial) mungkin meningkat (hemolitik) atau menurun (aplastik)

Nilai normal Leokosit (per mikro lt) : 6000 – 10.000 permokro liter

9. Jumlah trombosit: menurun caplastik; meningkat (DB); normal atau

tinggi (hemolitik)

Nilai normal Trombosit (per mikro lt): 200.000 – 400.000 per mikro liter

darah

Hemoglobin elektroforesis: mengidentifikasi tipe struktur hemoglobin.

Nilai normal Hb (gr/dl): Bilirubin serum (tak terkonjugasi): meningkat

(AP, hemolitik).

10. Folat serum dan vitamin B12 membantu mendiagnosa anemia

sehubungan dengan defisiensi masukan/absorpsi

11. Besi serum: tak ada (DB); tinggi (hemolitik)

12. TBC serum: meningkat (DB)

13. Feritin serum: meningkat (DB)

14. Masa perdarahan: memanjang (aplastik)

15. LDH serum: menurun (DB)

16. Tes schilling: penurunan eksresi vitamin B12 urine (AP)

17. Guaiak: mungkin positif untuk darah pada urine, feses, dan isi gaster,

menunjukkan perdarahan akut / kronis (DB).

18. Pemeriksaan andoskopik dan radiografik: memeriksa sisi perdarahan :

perdarahan GI
91

19. Analisa gaster: penurunan sekresi dengan peningkatan pH dan tak adanya

asam hidroklorik bebas (AP).

20. Aspirasi sumsum tulang/pemeriksaan/biopsi: sel mungkin tampak

berubah dalam jumlah, ukuran, dan bentuk, membentuk, membedakan

tipe anemia, misal: peningkatan megaloblas (AP), lemak sumsum dengan

penurunan sel darah (aplastik).

G. PENATALAKSANAAN MEDIS

Tujuan utama dari terapi anemia adalah untuk identifikasi dan perawatan

karena penyebab kehilangan darah,dekstruksi sel darah atau penurunan

produksi sel darah merah.pada pasien yang hipovelemik:

1. Pemberian tambahan oksigen, pemberian cairan intravena

2. Resusitasi pemberian cairan kristaloid dengan normal salin

3. Tranfusi kompenen darah sesuai indikasi. (Catherino, 2003)

Evaluasi Airway, Breathing, Circulation dan segera perlakukan setiap

kondisi yang mengancam jiwa. Kristaloid adalah cairan awal pilihan. (Daniel,

direvisi tanggal 22 Oktober 2009)

Acute anemia akibat kehilangan darah:

1. Pantau pulse oksimetri, pemantau jantung, dan Sphygmomanometer.

2. Berikan glukokortikoid serta agen antiplatelet (aspirin) sesuai indikasi.

3. Berikan 2 botol besar cairan intravena dan berikan 1-2 liter cairan

kristaloid dan juga pantau tanda-tanda dan gejala gagal jantung kongestif

iatrogenik pada pasien..


92

4. Berikan plasma beku segar (FFP), faktor-faktor koagulasi dan platelet,

jika diindikasikan.

5. Pasien dengan hemofilia harus memiliki sampel terhadap faktor

deficiency yang dikirim untuk pengukuran.

6. Pasien hamil dengan trauma yang ada kecurigaan terhadap adanya Feto-

transfer darah ibu harus diberikan imunoglobulin Rh-(Rhogam) jika

mereka Rh negatif.

7. Setelah pasien stabil, mulailah langkah-langkah spesifik untuk mengobati

penyebab pendarahan. (Daniel, direvisi tanggal 22 Oktober 2009)

Terapi yang diberikan pada pasien dengan anemia dapat berbeda-beda

tergantung dari jenis anemia yang diderita oleh pasien. Berikut ini beberapa

terapi yang diberikan pada pasien sesuai dengan jenis anemia yang diderita:

1. Anemia Deficiensi Besi

Setelah diagnosa ditegakkan maka dibuat rencana pemberian terapi

berupa:

a. Terapi kausal: tergantung pada penyebab anemia itu sendiri, misalnya

pengobatan menoragi, pengobatan hemoroid bila tidak dilakukan

terapi kausal anemia akan kambuh kembali.

b. Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi di dalam

tubuh. Besi per oral (ferrous sulphat dosis 3x200 mg, ferrous

gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate, ferrous suuccinate). Besi

parentral, efek sampingnya lebih berbahaya besi parentral


93

diindikasikan untuk intoleransi oral berat, kepatuhan berobat kurang,

kolitis ulseratif, dan perlu peningkatan Hb secara cepat seperti pada

ibu hamil dan preoperasi. (preparat yang tersedia antara iron dextran

complex, iron sorbitol citric acid complex)Pengobatan diberikan

sampai 6 bulan setelah kadar hemoglobin normal untuk cadangan besi

tubuh.

c. Pengobatan lain misalnya: diet, vitamin C dan transfusi darah.

Indikasi pemberian transfusi darah pada anemia kekurangan besi

adalah pada pasien penyakit jantung anermik dengan ancaman payah

jantung, anemia yang sangat simtomatik, dan pada penderita yang

memerlukan peningkatan kadar hemoglobin yang cepat.dan jenis

darah yang diberikan adalah PRC untuk mengurangi bahaya overload.

Sebagai premediasi dapat dipertimbangkan pemberian furosemid

intravena. (Bakta, 2003)

2. Anemia Akibat Penyakit Kronis

Dalam terapi anemia akibat penyakit kronik, beberapa hal yang perlu

mendapat perhatian adalah:

a. Jika penyakit dasar daat diobati dengan baik, anemia akan sembuh

dengan sendirinya.

b. Anemia tidak memberi respon pada pemberian besi, asam folat, atau

vitamin B12.

c. Transfusi jarang diperlukan karena derajaat anemia ringan.


94

d. Sekarang pemberian eritropoetin terbukti dapat menaikkan

hemoglobin, tetapi harus diberikan terus menerus.

e. Jika anemia akibat penyakit kronik disertai defisiiensi besi pemberian

preparat besi akan meningkatkan hemoglobin, tetapi kenaikan akan

berhenti setelah hemoglobin mencapai kadar 9-10 g/dl. (Bakta, 2003)

3. Anemia Sideroblastik

Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan anemia

sideroblastik adalah:

a. Terapi untuk anemia sideroblastik herediter bersifat simtomatik

dengan transfusi darah.

b. Pemberian vittamin B6 dapat dicoba karena sebagian kecil penderita

responsif terhadap piridoxin. (Bakta, 2003)

4. Anemia Megaloblastik

Terapi utama anemia defisiensi vitamin B12 dan deficiensi asam folat

adalah terapi ganti dengan vitamin B12 atau asam folat meskipun

demikian terapi kausal dengan perbaikan gizi dan lain-lain tetap harus

dilakukan:

a. Respon terhadap terapi: retikulosit mulai naik hari 2-3 dengan puncak

pada hari 7-8. Hb harus naik 2-3 g/dl tiap 2 minggu. Neuropati

biasanya dapat membaik tetapi kerusakan medula spinalis biasanya

irreverrsible. (Bakta, 2003)

b. Untuk deficiensi asam folat, berikan asam folat 5 mg/hari selama 4

bulan.
95

c. Untuk deficiensi vitamin B12: hydroxycobalamin intramuskuler 200

mg/hari, atau 1000 mg diberikan tiap minggu selama 7 minggu. Dosis

pemeliharaan 200 mg tiap bulan atau 1000 mg tiap 3 bulan.

5. Anemia Perniciosa

Sama dengan terapi anemia megaloblastik pada umumnya maka terapi

utama untuk anemia pernisiosa adalah:

a. Terapi ganti (replacement) dengan vitamin B12

b. Terapi pemeliharaan

c. Monitor kemungkinan karsinoma gaster. (Bakta, 2003: 49)

6. Anemia Hemolitik

Pengibatan anemia hemolitik sangat tergantung keadaan klinik kasus

tersebut serta penyebab hemolisisnya karena itu sangat bervariasi dari

kasus per kasus. Akan tetapi pada dasarnya terapi anemia hemolitik dapat

dibagi menjadi 3 golongan besar, yaitu:

a. Terapi gawat darurat

Pada hemolisis intravaskuler, dimana terjadi syok dan gagal ginjal

akut maka harus diambil tindakan darurat untuk mengatasi syok,

mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit, sertaa

memperbaiki fungsi ginjal. Jika terjadi anemia berat, pertimbangan

transfusi darah harus dilakukan secara sangat hati-hati, meskipun

dilakukan cross matchng, hemolisis tetap dapat terjadi sehingga

memberatkan fungsi organ lebih lanjut. Akan tetapi jika syok berat

telah teerjadi maka tidak ada pilihan lain selain transfusi.


96

b. Terapi Kausal

Terapi kausal tentunya menjadi harapan untuk dapat memberikan

kesembuhan total. Tetapi sebagian kasus bersifat idiopatik, atau

disebabkan oleh penyebab herediter-familier yang belum dapat

dikoreksi. Tetapi bagi kasus yang penyebabnya telah jelas maka terapi

kausal dapt dilaksanakan. (Bakta, 2003:69)

c. Terapi Suportif-Simtomatik

Terapi ini diberikan untuk menek proses hemolisis terutama di limpa.

Pada anemia hemolitik kronik familier-herediter sering diperlukan

transfusi darah teratur untuk mempertahankan kadar hemoglobin.

Bahkan pada thalasemia mayor dipakai teknik supertransfusi atau

hipertransfusi untuk mempertahankan keadaan umum dan

pertumbuhan pasien.

Pada anemia hemolitik kronik dianjurkan pemberian asam folat 0,15-

0,3 mg/hari untuk mencegah krisis megaloblastik.

H. KOMPLIKASI

Anemia juga menyebabkan daya tahan tubuh berkurang. Akibatnya, penderita

anemia akan mudah terkena infeksi. Gampang batuk-pilek, gampang flu, atau

gampang terkena infeksi saluran napas, jantung juga menjadi gampang lelah,

karena harus memompa darah lebih kuat. Pada kasus ibu hamil dengan

anemia, jika lambat ditangani dan berkelanjutan dapat menyebabkan

kematian, dan berisiko bagi janin. Selain bayi lahir dengan berat badan
97

rendah, anemia bisa juga mengganggu perkembangan organ-organ tubuh,

termasuk otak. Anemia berat, gagal jantung kongesti dapat terjadi karena otot

jantung yang anoksik tidak dapat beradaptasi terhadap beban kerja jantung

yang meningkat. Selain itu dispnea, nafas pendek dan cepat lelah waktu

melakukan aktivitas jasmani merupakan manifestasi berkurangnya

pengurangan oksigen (Price & Wilson, 2006)

I. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien dengan anemia menurut

Doengoes (2000) meliputi:

1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi

2. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penurunan O2

ke otak

3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

kegagalan untuk mencerna atau ketidak mampuan mencerna

makanan/absorpsi nutrient yang diperlukan untuk pembentukan sel darah

merah ditandai dengan mual-muntah, anoreksia, penurunan BB

4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara

suplai oksigen (pengiriman) dan kebutuhan.

J. FOKUS INTERVENSI

1. Pola nafas tidak efektif b.d hiperventilasi ditandai dengan dispnea,

takikardia
98

Tujuan: diharapkan pola nafas pasien kembali efektif

Kriteria hasil :

a. pasien melaporkan sesak napas berkurang

b. pernafasan teratur

c. takipneu atau dispneu tidak ada

d. tanda vital dalam batas normal (TD 120-90/90-60 mmHg, nadi 80-

100 x/menit, RR : 18-24 x/menit, suhu 36,5º – 37,5º C)

Intervensi :

a. Pantau tanda-tanda vital

Rasional: Untuk mengetahui keadaan umum pasien

b. Monitor usaha pernapasan, pengembangan dada, keteraturan

pernapasan, napas bibir dan penggunaan otot bantu pernapasan

Rasional: Untuk mengetahui derajat gangguan yang terjadi, dan

menentukan intervensi yang tepat

c. Berikan posisi semifowler jika tidak ada kontraindikasi

Rasional: Untuk meningkatkan ekspansi dinding dada

d. Ajarkan pasien napas dalam

Rasional: Untuk meningkatkan kenyaman

e. Tanyakan mengenai kondisi pasien setelah diberi intervensi

Rasional: Mengetahui intervensi dapat bermanfaat untuk pasien dan

mengkaji apakah keluhan sesak pasien sudah berkurang.

f. Berikan O2 sesuai indikasi

Rasional:Untuk memenuhi kebutuhan O2


99

g. Bantu intubasi jika pernapasan semakin memburuk dan siapkan

pemasangan ventilator sesuai indikasi

Rasional: Untuk membantu pernapasan adekuat

2. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penurunan O2

ke otak

Tujuan: diharapkan terjadi peningkatan perfusi jaringan

Kriteria hasil:

a. menunjukkan perfusi adekuat

b. pasien mengatakan nyeri kepala berkurang

c. TTV dalam batas normal Tekanan darah (140/90-90/60mmHg), Nadi

(60-100x/menit), RR (18-22x/menit), Suhu (36,5-37,50C))

d. Membrane mukosa warna merah muda

e. GCS > 13

Intervensi :

a. Awasi tanda vital kaji pengisian kapiler, warna kulit/membrane

mukosa, dasar kuku.

Rasional: memberikan informasi tentang derajat/keadekuatan perfusi

jaringan dan membantu menetukan kebutuhan intervensi.

b. Tinggikan kepala tempat tidur sesuai toleransi.

Rasional: meningkatkan ekspansi paru dan memaksimalkan

oksigenasi untuk kebutuhan seluler. Catatan : kontraindikasi bila ada

hipotensi. 
100

c. Selidiki keluhan nyeri kepala

Rasional: iskemia serebral mempengaruhi status kesadaran pasien

d. Kolaborasi pengawasan hasil pemeriksaan laboraturium. Berikan sel

darah merah lengkap/packed produk darah sesuai indikasi.

Rasional: mengidentifikasi defisiensi dan kebutuhan

pengobatan/respons terhadap terapi.

e. Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi.

Rasional: memaksimalkan transport oksigen ke jaringan.

3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

kegagalan untuk mencerna atau ketidak mampuan mencerna

makanan/absorpsi nutrient yang diperlukan untuk pembentukan sel darah

merah ditandai dengan mual-muntah, anoreksia, penurunan BB

Tujuan: diharapkan intake nutrisi pasien adekuat

Kriteria hasil:

a. mual muntah (-)

b. makan habis 1 porsi

Intervensi :

a. Kaji riwayat nutrisi, termasuk makan yang disukai.

Rasional: mengidentifikasi defisiensi, memudahkan intervensi

b. Observasi dan catat masukkan makanan pasien.

Rasional: mengawasi masukkan kalori atau kualitas kekurangan

konsumsi makanan.
101

c. Berikan makan sedikit dengan frekuensi sering dan atau makan

diantara waktu makan.

Rasional: menurunkan kelemahan, meningkatkan pemasukkan dan

mencegah distensi gaster.

d. Observasi dan catat kejadian mual/muntah, flatus dan dan gejala lain

yang berhubungan.

Rasional:gejala GI dapat menunjukkan efek anemia (hipoksia) pada

organ.

e. Berikan dan Bantu hygiene mulut yang baik ; sebelum dan sesudah

makan, gunakan sikat gigi halus untuk penyikatan yang lembut.

Berikan pencuci mulut yang di encerkan bila mukosa oral luka.

Rasional: meningkatkan nafsu makan dan pemasukkan oral.

Menurunkan pertumbuhan bakteri, meminimalkan kemungkinan

infeksi. Teknik perawatan mulut khusus mungkin diperlukan bila

jaringan rapuh/luka/perdarahan dan nyeri berat.

f. Kolaborasi pada ahli gizi untuk rencana diet.

Rasional: membantu dalam rencana diet untuk memenuhi kebutuhan

individual.

g. Pantau hasil pemeriksaan laboraturium.

Rasional: meningkatakan efektivitas program pengobatan, termasuk

sumber diet nutrisi yang dibutuhkan.

h. Berikan obat sesuai indikasi.


102

Rasional: kebutuhan penggantian tergantung pada tipe anemia dan

atau adanyan masukkan oral yang buruk dan defisiensi yang

diidentifikasi.

4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara

suplai oksigen (pengiriman) dan kebutuhan

Tujuan: diharapkan dapat mempertahankan/meningkatkanambulasi/

aktivitas

Kriteria hasil:

a. Melaporkan peningkatan toleransi aktivitas (termasuk aktivitas

sehari-hari)

b. TTV dalam batas normal (TD 120-100/70-80 mmHg), nadi (60-100

x/menit), napas (18-22 x/menit), suhu (36,5-37,50 C)

Intervensi :

a. Kaji kemampuan ADL pasien.

Rasional: mempengaruhi pilihan intervensi/bantuan.

b. Kaji kehilangan atau gangguan keseimbangan, gaya jalan dan

kelemahan otot.

Rasional: menunjukkan perubahan neurology karena defisiensi

vitamin B12 mempengaruhi keamanan pasien/risiko cedera.

c. Observasi tanda-tanda vital sebelum dan sesudah aktivitas.

Rasional: manifestasi kardiopulmonal dari upaya jantung dan paru

untuk membawajumlah oksigen adekuat ke jaringan.


103

d. Berikan lingkungan tenang, batasi pengunjung, dan kurangi suara

bising, pertahankan tirah baring bila di indikasikan.

Rasional: meningkatkan istirahat untuk menurunkan kebutuhan

oksigen tubuh dan menurunkan regangan jantung dan paru.

e. Gunakan teknik menghemat energi, anjurkan pasien istirahat bila

terjadi kelelahan dan kelemahan, anjurkan pasien melakukan aktivitas

semampunya (tanpa memaksakan diri).

Rasional: meningkatkan aktivitas secara bertahap sampai normal dan

memperbaiki tonus otot/stamina tanpa kelemahan. Meingkatkan

harga diri dan rasa terkontrol.


104

KONSEP DASAR MEDIK

HIPERTENSI

A. PENGERTIAN

Suatu keadaan dimana tekanan systole dan diastole mengalami

kenaikan yang melebihi batas normal ( tekanan systole diatas 140 mmHg dan

tekanan diastole diatas 90 mmHg) (Murwani, 2009)

Kondisi abnormal dari hemodinamik, dimana menurut WHO tekanan

sistolik ≥140 mmHg dan atau tekanan diastolic >90 mmHg (untuk usia <60

tahun) dan tekanan sistolik ≥160 mmHg dan atau tekanan diastolic >95

mmHg (untuk usia >60 tahun) (Nugroho, 2011)

Hipertensi dapat didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana

tekanan sistoliknya di atas 140 mmHg dan diastolik di atas 90 mmHg.

(Smeltzer, 2002)

Hipertensi dikategorikan ringan apabila tekanan diastoliknya antara

95–104 mmHg, hipertensi sedang jika tekanan diastoliknya antara 105 dan

114 mmHg, dan hipertensi berat bila tekanan diastoliknya 115 mmHg atau

lebih. Pembagian ini berdasarkan peningkatan tekanan diastolic karena

dianggap lebih serius dari peningkatan sistolik. (Smith, 1995 )

Hipertensi adalah tekanan darah sistolik  140 mmHg dan tekanan

darah diastolik  90 mmHg atau bila pasien memakai obat hipertensi.


105

B. PROSES TERJADINYA MASALAH

1. FAKTOR PREDISPOSISI DAN PRESIPITASI

1) Factor Predisposisi

Hipertensi berdasarkan penyebabnya dapat dibedakan menjadi 2

golongan besar yaitu : (Gunawan, 2001)

a. Hipertensi essensial ( hipertensi primer ) yaitu hipertensi yang

tidak diketahui penyebabnya, biasanya berhubungan dengan

faktor - faktor sebagai berikut :

a) Ciri perseorangan

Ciri perseorangan yang mempengaruhi timbulnya hipertensi

adalah umur (jika umur bertambah maka TD meningkat),

jenis kelamin (laki-laki lebih tinggi dari perempuan) dan ras

(ras kulit hitam lebih banyak dari kulit putih).

b) Kebiasaan hidup

Kebiasaan hidup yang sering menyebabkan timbulnya

hipertensi adalah konsumsi garam yang tinggi (melebihi dari

30 gr), kegemukan atau makan berlebihan, stress dan

pengaruh lain misalnya merokok, minum alcohol, minum

obat-obatan (ephedrine, prednison, epineprin).

b. Hipertensi sekunder yaitu hipertensi yang penyebabnya dapat

diketahui secara pasti, seperti gangguan pembuluh darah dan

penyakit ginjal.
106

2) Faktor Presipitasi

Faktor Pencetus terjadinya Hipertensi

a. Obesitas / kegemukan

b. Kebiasaan merokok

c. Minuman beralkohol

d. Penyakit kencing manis dan jantung

e. Wanita yang tidak menstruasi

f. Stress

g. Kurang olah raga

h. Diet yang tidak seimbang, makanan berlemak dan tinggi

kolesterol.

C. PATOFISIOLOGI

Mekanisme yang mengontrol konnstriksi dan relaksasi pembuluh

darah terletak dipusat vasomotor, pada medulla diotak. Dari pusat vasomotor

ini bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis

dan keluar dari kolumna medulla spinalis ganglia simpatis di toraks dan

abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls

yang bergerak ke bawah melalui system saraf simpatis ke ganglia simpatis.

Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan

merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan

dilepaskannya noreepineprin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah.

Berbagai factor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhirespon


107

pembuluh darah terhadap rangsang vasokonstriksi. Individu dengan hipertensi

sangat sensitive terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas

mengapa hal tersebut bisa terjadi.

Pada saat bersamaan dimana system saraf simpatis merangsang

pembuluh darah sebagai respons rangsang emosi, kelenjar adrenal juga

terangsang, mengakibatkan tambahan aktivitas vasokonstriksi. Medulla

adrenal mensekresi epinefrin, yang menyebabkan vasokonstriksi. Korteks

adrenal mensekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat

respons vasokonstriktor pembuluh darah. Vasokonstriksi yang

mengakibatkan penurunan aliran ke ginjal, menyebabkan pelepasan rennin.

Rennin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah

menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya

merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini

menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan

peningkatan volume intra vaskuler.


108

PATHWAY

Obesitas Iskemia ginjal


Stress Kelebihan Na

Insulin  Katekolamin H. Natrioretik Renin Angiotensin 

Perubahan fungsi
membran sel

Kalsium Intrasel Pertukaran Na+ / H+

Kontraksi otot polos Hipertrofi Vaskulen

Tahanan perifer 

Hipertensi

Brunner & Suddarth (2002). Keperawatan Medikal-Bedah edisi 8.


109

D. KLASIFIKASI

Menurut Mansjoer (2000) berdasarkan etiologinya hipertensi dibagi menjadi

2 golongan yaitu :

a. Hipertensi Esensial (Primer)

Penyebab tidak diketahui namun banyak faktor yang mempengaruhi

seperti genetik, efek dari skresi Na, obesitas, merokok dan stress.

b. Hipetensi Sekunder

Pengebab spesifikasi diketahui, karena penggunaan kontrasepsi oral,

penyakit injal, hipertensi vascular renal, hiperaldosteronisme primer dan

lain-lain.

Adapun Klasifikasi tekanan darah orang dewasa berusia 18 tahun keatas

menurut Joint National Committee on Prevenion, Detectoion, Evaluation,

and Treatment of High Blood pressure, dalam buku Brunner dan suddarth

2002 yaitu :

Tabel 1. Derajat Hipertensi


No Kategori Sistolik(mmHg) Diastolik(mmHg)
1. Optimal <120 <80
2. Normal 120 – 129 80 – 84
3. High Normal 130 – 139 85 – 89
4. Hipertensi
Grade 1 (ringan) 140 – 159 90 – 99
Grade 2 (sedang) 160 – 179 100 – 109
Grade 3 (berat) 180 – 209 100 – 119
Grade 4 (sangat berat) >210 >120
110

E. MANISFESTASI KLINIS

Adapun manifestasi klinis yang dapat ditemukan pada pederita hipertensi

menurut Elizabeth J. Corwin (2009), antara lain :

1. Sakit kepala saat terjaga kadang-kadang disertai mual dan muntah, akibat

peningkatan tekanan darah intrakranium.

2. Penglihatan kabur akibat kerusakan hipertensif pada retina.

3. Cara berjalan yang tidak mantap karena kerusakan susuna saraf pusat.

4. Nokturia yang disebabkan peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi

glomerulus.

5. Edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan kapiler

Sedangkan menurut Marllyn Doengoes (2000). Tanda dari

hipertensi adalah kelemahan, napas pendek, frekuensi jantung meningkat,

ansietes, depresi, obesitas, pusing, sakit kepala, tekanan darah meningkat.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Riwayat dan pemeriksaan fisik secara menyeluruh

2. Pemeriksaan retina

3. Pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui kerusakan organ seperti

ginjal dan jantung

4. EKG untuk mengetahui hipertropi ventrikel kiri

5. Urinalisa untuk mengetahui protein dalam urin, darah, glukosa

6. Pemeriksaan: renogram, pielogram intravena arteriogram renal,

pemeriksaan fungsi ginjal terpisah dan penentuan kadar urin.


111

7. Foto dada dan CT scan (Soeparman, 2001).

G. PENATALAKSANAAN MEDIS

Menurut Mansjoer (2000) Tujuan tiap program penanganan bagi setiap

pasien adalah mencegah terjadinya morbiditas dan mortalitas penyerta dengan

mencapai dan mempertahankan tekanan darah dibawah 140/90 mmHg.

Efektifitas setiap program ditentukan oleh derajat hipertensi, komplikasi,

biaya perawatan, dan kualtas hidup sehubungan dengan terapi.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pendekatan nonfarmakologis

termasuk: penurunan berat badan, pembatasan alcohol, natrium, tembakau,

latihan dan relaksasi merupakan intervensi wajib yang harus dilakukan pada

setiap terapi antihipertensi. Apabila penderita ringan berada dalam resiko

tinggi (pria, perokok) atau bila tekanan darah diastoliknya menetap diatas 85

atau 95 mmHg dan sistoliknya di atas 130 – 139 mmHg, maka perlu dimulai

terapi obat-obatan.

H. KOMPLIKASI

Komplikasi yang dapat terjadi pada hipertensi menurut Corwin (2000) antara

lain :

a. Stroke

b. Infark miokard

c. Gagal ginjal

d. Ensefalopati (kerusakan otak)


112

e. Kejang

Sedangkan menurut Sjaifoellah (2002) komplikasi pada hipertensi

adalah angina pectoris, infark miokard, hipertropi ventrikel kiri menyebabkan

kegagalan jantung kongestif dan kerusakan ginjal permanen menyebabkan

kegagalan ginjal.

Stroke dapat timbul akibat perdarahan tekanan tinggi di otak, atau

akibat embolus yang terlepas dari pembuluh non otak yang terpajan tekanan

tinggi. Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronik apabila arteri-arteri yang

memperdarahi otak mengalami hipertropi dan menebal, sehingga aliran darah

ke daerah-daerah yang diperdarahinya berkurang.

Arteri-arteri otak yang mengalami arterosklerosis dapat melemah

sehingga meningkatkan kemungkinan terbentuknya aneurisma (Corwin,

2000).

Gejala terkena stroke adalah sakit kepala secara tiba-tiba, seperti, orang

bingung, limbung atau bertingkah laku seperti orang mabuk, salah satu bagian

tubuh terasa lemah atau sulit digerakan (misalnya wajah, mulut, atau lengan

terasa kaku, tidak dapat berbicara secara jelas) serta tidak sadarkan diri secara

mendadak (Santoso, 2006).

Infark Miokard dapat terjadi apabila arteri koroner yang arterosklerosis

tidak dapat menyuplai cukup oksigen ke miokardium atau apabila terbentuk

trombus yang menghambat aliran darah melalui pembuluh darah tersebut.

Karena hipertensi kronik dan hipertensi ventrikel, maka kebutuhan oksigen

miokardium mungkin tidak dapat terpenuhi dan dapat terjadi iskemia jantung
113

yang menyebabkan infark. Demikian juga hipertropi ventrikel dapat

menimbulkan perubahan-perubahan waktu hantaran listrik melintasi ventrikel

sehingga terjadi disritmia, hipoksia jantung, dan peningkatan resiko

pembentukan bekuan (Corwin, 2000).

Gagal ginjal dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat tekanan

tinggi pada kapiler-kepiler ginjal, glomerolus. Dengan rusaknya glomerolus,

darah akan mengalir keunit-unit fungsional ginjal, nefron akan terganggu dan

dapat berlanjut menjadi hipoksia dan kematian. Dengan rusaknya membran

glomerolus, protein akan keluar melalui urin sehingga tekanan osmotik koloid

plasma berkurang, menyebabkan edema yang sering dijumpai pada hipertensi

kronik (Corwin, 2000).

Gagal jantung atau ketidakmampuan jantung dalam memompa darah

yang kembalinya kejantung dengan cepat mengakibatkan cairan terkumpul di

paru,kaki dan jaringan lain sering disebut oedem.Cairan didalam paru – paru

menyebabkan sesak napas,timbunan cairan ditungkai menyebabkan kaki

bengkak atau sering dikatakan edema. (Amir, 2002)

Ensefalopati dapat terjadi terjadi terutama pada hipertensi maligna

(hipertensi yang cepat). Tekanan yang tinggi pada kelainan ini menyebabkan

peningkatan tekanan kapiler dan mendorong cairan ke dalam ruang

intertisium diseluruh susunan saraf pusat. Neron-neron disekitarnya kolap dan

terjadi koma serta kematian. (Corwin, 2000)


114

I. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Menurut NANDA 2012-2014:

1. Nyeri (akut/kronis) berhubungan dengan peningkatan tekanan vaskular

serebral.

2. Ketidakseimbangan nutrisi lebih dari kebutuhan tubuh berhubungan

dengan masukan berlebihan kebutuhan metabolik.

3. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan peningkatan

afterload vasokontriksi.

J. FOKUS INTERVENSI

Menurut NANDA, 2012-2014

1. Nyeri (akut/kronik) berhubungan dengan peningkatan tekanan vaskular

serebral.

Kriteria hasil :

a. pasien akan melaporkan nyeri hilang atau terkontrol

b. pasien akan mengungkapkan metode yang memberikan pengurangan

c. pasien akan mengikuti regimen farmakologi yang diresepkan

Intervensi :

a. Mempertahankan tirah baring selama fase akut.

Rasional: meminimalkan stimulasi atau meningkatkan relaksasi.

b. Memberi tindakan non farmakologis untuk menghilangkan sakit

kepala (kompres dingin, tehnik relaksasi)


115

Rasional: tindakan yang menurunkan tekanan vaskular serebral dan

yang memperlambat respon simpatis efektif menghilangkan sakit

kepala dan komplikasinya.

c. Meminimalkan aktivitas vasokontriksi yang meningkatkan sakit

kepala (mengejan saat BAB, batuk dan membungkuk)

Rasional: aktivitas yang meningkatkan vasokontriksi menyebabkan

sakit kepala pada adanya peningkatan tekanan vaskular serebral.

d. Kolaborasi dokter dengan pemberian analgesic

Rasional: menurunkan atau mengontrol nyeri dan menurunkan

rangsang sistem saraf simpatis.

2. Ketidakseimbangan nutrisi lebih dari kebutuhan tubuh berhubungan

dengan masukan berlebihan kebutuhan metabolik.

Kriteria hasil :

a. pasien akan mengidentifikasi hubungan hipertensi dan kegemukan

b. pasien akan menunjukkan perubahan pola makan

c. pasien akan melakukan olahraga yang tepat rasional

Intervensi :

a. Kaji pemahaman pasien tentang hubungan antara hipertensi dengan

kegemukan

Rasional: kegemukan adalah resiko tekanan darah tinggi karena

disproporsi antara kapasitas norta dan peningkatan curah jantung

berkaitan erat dengan peningkatan massa tubuh.


116

b. Bicara tentang pentingnya menurunkan masukan kalori dan batasi

lemak, garam, gula sesuai indikasi.

Rasional: kesalahan kebiasaan makan menunjang terjadinya

ateroskerosis dan kegemukan merupakan predisposisi untuk

hipertensi dan komplikasinya.

c. Tetapkan keinginan pasien untuk menurunkan berat badan.

Rasional: motivasi untuk penurunan berat badan adalah intern

individu harus berkeinginan untuk menurunkan berat badan agar

program berhasil.

d. Kaji ulang masukan kalori harian dan pilihan diet

Rasional: mengidentifikasi kekuatan atau kelemahan dalam program

diit terakhir, membantu menentukan kebutuhan individu untuk

penyesuaian atau penyuluhan.

e. Kolaborasi dengan ahli gizi sesuai indikasi

Rasional: memberikan konseling dan bantuan dengan memenuhi

kebutuhan diet individual.

3. Resiko penurunan jantung berhubungan dengan peningkatan afterload

vasokontriksi.

Kriteria hasil :

a. pasien berpartisipasi dalam aktivitas yang menurunkan beban yang

dapat diterima.

b. pasien memperlihatkan irama dan frekuensi jantung stabil dalam

rengtang normal.
117

Intervensi :

a. Pantau tekanan darah untuk evaluasi awal

Rasional: perbandingan tekanan memberikan gambaran tentang

keterlibatan atau bidang masalah vaskular.

b. Catat keberadaan, kualitas denyutan sentral dan perifer

Rasional: denyut karoitis, jugularis, radialis dan femoralis dap

terpalpasi sedangkan denyut tungkai mungkin menurun.

c. Akultasi tonus jantung dan bunyi nafas

Rasional: S4 terdengar pada pasien hipertensi berat karena ada

hipertropi atrium (peningkatan volume atau tekanan atrium)

perkembangan S3 menunjukkan hipertropi ventrikel dan kerusakan

fungsi.

d. Catat edema umum atau tertentu

Rasional: mengindikasikan gagal jantung, kerusakan ginjal atau

vaskular.

e. Berikan lingkungan yang tenang, nyaman, kurangi aktivitas atau

keributan dan batasi jumlah pengunjung dan lamanya tinggal.

Rasional: membantu menurunkan rangsang simpatis dan

meningkatkan relaksasi.

Anda mungkin juga menyukai