Anda di halaman 1dari 5

NAMA : Rufus Setiyo Andrianto

NIM : 19050514068
KELAS : PTE B 2019

FILSAFAT ILMU

Wahai para budak dunia cintailah bijaksana, pahamilah dirimu sendiri dalam
fenomena pandemik covid-19 yang begitu mengerikan ini, ada waktunya dimana setiap
individu dengan individu yang lain harus saling sadar dan merefleksikan diri. Oleh karena
itu, dibutuhkan sebuah kerendahhatian dari seluruh elemen masyarakat untuk menyerahkan
penanganan pandemi Covid-19 kepada pihak-pihak yang memiliki otoritas terkait seperti
WHO, Kemenkes dan pemerintah (via Satgas Pencegahan Covid-19). Selebihnya, lembaga-
lembaga non-otoritatif harus “tahu diri” untuk tidak mengintervensi lembaga-lembaga
otoritatif dan memperburuk situasi. Seolah dalam diri ingin berteriak dan bergejolak dalam
sepi , mungkin ada baiknya jika Anda tidak dapat membantu menyelesaikan masalah maka
jangan menjadi bagian dari masalah tersebut.
Dilihat dari sudut pandang yang berbeda apakah masih merasa dunia ini sedang
baik-baik saja atau mungkinkah Tuhan sudah mulai bosan melihat tingkah para umatnya
yang selalu berdosa dan membuat kecewa padaNya. Kita sebagai manusia hanya bisa
meminta-minta kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ditengah situasi seperti ini Adakah diantara
manusia manusia yang masih sombong dan tidak peduli. Virus corona atau yang biasa
disebut Covid-19 ini telah menyebabkan banyak korban yang berjatuhan atau meninggal
dunia, entah sengaja atau tidak sengaja virus tersebut diciptakan oleh manusia atau yang
lainya kita tidak tahu pasti dan detailnya , ini semacam rahasia ilahi atau rahasia dari sang
pencipta. Terdapat 14.423 orang dalam pemantauan (ODP), 1.447 pasien dalam
pengawasan (PDP), 438 dinyatakan positif COVID-19, dan yang sembuh 76 orang.
Sementara itu, total pasien meninggal dunia 40 orang , ini menunjukan bahwa begitu
cepatnya virus Covid-19 ini menyebar dan merasuk ke dalam tubuh manusia, mungkin
alam mulai enggan bersahabat dengan kita , ingin rasanya berbicara empat mata dengan
virus corona ini dan menyampaikan sesuatu pesan yang bemakna demi kepentingan sosial
secara internal dan external.
Banyak cerita dan kejadian yang telah disaksikan langsung oleh para tenaga medis
yang menangani pasien penderita virus corona ini atau covid-19, sungguh sangat mulia
sekali para tenaga medis yang ada di dunia ini yang memiliki perasaan yang tulus dan
lemah lembut. Semoga vitus corona ini dapat segera bertekuk lutut dihadapan para dokter
dan tenaga medis karena sungguh benar sungguh mahkluk hidup yang satu ini telah banyak
meresahkan manusia atau mahkluk hidup lainya yang ada dibumi ibarat hidup telah diujung
tanduk. Maka dari itu kita sebagai masyarakat biasa hanya bisa mendoakan dan menuruti
saran dari pemerintah yaitu diam di rumah saja, akan tetapi mengapa masih banyak sekali
orang keluar rumah, apakah mereka meremehkan serangan mematikan dari virus corona
atau mereka sudah bosan hidup? Tentu kita tidak bisa mengetahui jawabanya dengan
menanyakan satupersatu pertanyaan ini kepada masyarakat yang ada disekitar. Khususnya
kota Surabaya yang saya tempati ini telah melakukan penambahan kuota dan pembangunan
laboratorium dan tempat untuk menampung para pasien yang terjangkit virus corona atau
covid-19 ini. Ibarat perut yang sudah makan tetapi masih lapar dan harus menambah lagi
agar kenyang.
Jika dilihat-lihat corona ini seperti mahkluk halus atau mahkluk astral yang
melakukan eksistensi tapi tidak terlihat oleh kasat mata , sungguh mengerikan bukan, akan
tetapi kita sebagai mahkluk yang memiliki iman dan agama tidak boleh takut dan gentar
akan virus ini, pernah terbayang dalam jiwa saya yang paling dalam akan bagaimana cara
membasmi dan mematikan virus ini?mungkinkah dengan banyak berdoa atau berperilaku
baik dapat menghilangkan virus corona ini dari muka bumi, virus corona atau covid-19 ini
telah mengelilingi banyak destinasi wisata dan negara secara gratis dan tidak membayar
sepeserpun, saya kadang sebenernya iri dengan corona ini, karena bisa mengelilingi dunia
tanpa harus membayar.
Sudah waktunya mulai sadar dan dewasa akan menanggapi virus corona ini,
mahkluk ini sudah bukan teman lagi bagi kita kaum manusia ,mahkluk corona ini perlu
diberi pelajaran agar mengerti akan kebaikan, kita harus juga berterima kasih kepada para
relawan,pemadam kebakaran ,satpol pp dan masih banyak lagi unit unit yang membantu
dalam membrantas virus corona ini dengan cara menyemprotkan cairan disenfektan ke
jalan jalan,rumah rumah dan yang lainnya. Banyak upaya yang telah dilakukan oleh
pemerintahan kita seperti layaknya seorang petani atau pemilik sebuah kebun yang
memberantas hama atau hewan penganggu di sekitar area miliknya. Pemerintah juga
melakukan sebuah pengerebekan pada warung warung yang masih disinggahi para tikus
tikus atau orang yang tidak mau menurut atau bebal, mereka yang berada di warung
tersebut harus melakukan tes covid-19.
Dalam kebersamaan manusia sebagai warga, kita sebenarnya memiliki kerapuhan. Asumsi
dasarnya, kita tampaknya menjadi kuat karena kebersamaan dan bisa lemah dengan
berjalan sendiri. Ringkasnya, solidaritas mendahului soliteritas. Ini bisa benar dalam logika
ideologi, karena kebersatuan dengan banyak orang bisa memperkuat kita. Namun,
kebersamaan itu mulai rapuh, mulai keropos karena kita panik dan curiga satu dengan yang
lain akibat wabah covid-19.
Secara berjalanya Waktu semakin banyaknya tempat-tempat wisata atau tempat
umum menjadi tutup dan sepi akibat perbuatan virus corona ini. Hubungan antar saudara
semakin jauh dan jauh, yang dulunya dekat dan sering menyapa sekarang menjadi patung
yang membisu diantaranya, akankah dunia ini menjadi sunyi seperti lilin yang dinyalakan
di hutan pada malam hari,mungkinkah ada sesuatu dibalik ini semua? Atau mungkin juga
Tuhan ingin manusia mengupgrade pribadinya menjadi lebih baik lagi.
Angka pasien yang terus bertambah diluar logika membuat semakin susah saja
menjadi manusia yang manusia. Penghasilan dan omset yang menurun diakibatkan virus
corona membuat warga desa,pengusaha,buruh pabrik,karyawan dan profesi pekerjaan
lainnya menderita dan sengsara,bukankah setiap tetes air yang berkucuran dalam tubuh atau
air keringat yang keluar harus dibayar dengan sesuai. Banyak pegawai-pegawai yang
diliburkan dan dikeluarkan dari pekerjaanya akibat virus ini dan adanya juga aturan jaga
jarak dan tidak boleh bersalaman atau bersentuhan dengan orang lain semakin membuat
was was saja.Cara terbaik menurut saya adalah dengan Usaha dalam bentuk doa merupakan
bagian dari upaya kita sebagai orang yang beriman. Namun, Allah sendiri tidak memberi
kepastian kapan doa akan dikabulkan. Apakah seketika atau jangka waktu yang kita sendiri
tidak tahu. Sains, yang didasarkan pada empirisme mampu melakukan pengujian atas
proses sebab akibat. Misalnya, sebuah virus dapat menyebar dengan cara tertentu, seperti
karena interaksi dengan orang lain. Vaksin dengan formulasi tertentu dapat menyembuhkan
sebuah virus tertentu. Akan tetapi untuk virus corona ini masih belum ditemukan vaksinya,
para ilmuan sedang bertempur dengan mahkluk yang tak kasat mata yang bernama
corona,para ilmuwan memprediksikan bahwa untuk menciptakan sebuah vaksin corona
tidaklah begitu cepat butuh proses yang sangat lama. Harapan saya semoga dapat dengan
segera mendapatkan vaksinnya.
Yang harus dipikirkan dan disadari bersama sekarang ini adalah resiko tingkat
mortalitas akibat hadirnya faktor-faktor penghambat penanganan wabah ini. Salah satu
faktor yang dapat memperlambat, bahkan memperburuk, penanganan persebaran Covid-19
adalah anakronisme perspektif yang beredar luas di masyarakat. Yang dimaksud
anakronisme perspektif di sini adalah cara pandang yang kurang tepat dalam menyikapi dan
merespons persebaran virus ini. Dalam banyak kasus, anakronisme ini membuncah menjadi
semacam “kengototan” untuk tidak mengatakan kekonyolan sosial yang pada gilirannya
turut menghambat penanganan Covid-19 ini. Di antara sekian banyak anakronisme
perspektif yang beredar di masyarakat, sekurangnya ada dua contoh yang paling mencolok.
Pertama, anakronisme sosial-budaya. Sebagaimana dimaklumi, masyarakat kita dicirikan
oleh budaya komunitarian-komunalistik dalam sebuah unit sosial yang saling berjejaring.
Masyarakat kita dikenal memiliki ikatan sosiologis yang kuat melalui pola hidup gotong-
royong sebagai bentuk kepedulian dan empati sosial kita kepada sesama. Ikatan sosiologis
tersebut seringkali dimanifestasikan melalui sentuhan fisik seperti bersalaman, berpelukan,
cium pipi, dan semacamnya.
Menghentikan setidaknya untuk sementara manifestasi komunitarian tersebut demi
mencegah persebaran Covid-19 tentu saja bukan persoalan mudah bagi masyarakat kita.
Tentu saja ada perasaan ganjil, kikuk, dan tidak lazim ketika mereka mengabaikan “ritual
sosial” sebagaimana biasanya. Pasti ada sesuatu yang hilang ketika masyarakat kita dipaksa
menanggalkan kebiasaan sosial tersebut karena ada kontradiksi kognitif antara nalar
kesehatan seperti menjaga jarak sosial (social distancing) dengan nalar komunitarian
tersebut.
Pengabaian terhadap norma-norma sosial di atas tentu saja dapat menimbulkan
gangguan sosial-budaya karena norma-norma tersebut telanjur membentuk gugusan
kebermaknaan eksistensial di kalangan masyarakat kita. Dari sinilah sebagian masyarakat
kita cenderung mengacuhkan protokol medis pencegahan Covid-19 sebagaimana
dikeluarkan oleh lembaga-lembaga otoritatif. Bagi sebagian mereka, protokol medis
dimaknai sebagai upaya mereduksi kebermaknaan sosial yang telah menancap kuat di
masyarakat.
Anakronisme kedua adalah konstruksi pemahaman keagamaan masyarakat kita
yang berlawanan dengan protokol pencegahan Covid-19. Melalui beragam media sosial,
kita disuguhi berbagai macam narasi keagamaan yang mengacuhkan, mereduksi, bahkan
“melawan” protokol medis pencegahan Covid-19. Di antara narasi keagamaan yang cukup
populer di masyarakat adalah menyangkut teologi kematian sebagai hak prerogatif Tuhan,
pandemi Covid-19 sebagai adzab (hukuman) Tuhan atas dosa-dosa manusia, tidak perlu
takut kepada siapapun termasuk kepada Covid-19 kecuali hanya kepada Tuhan,social
distancing merupakan strategi mendangkalkan iman, dan seterusnya.
Anakronisme pemahaman keagamaan yang kontraproduktif dengan protokol medis
pencegahan Covid-19 menjadi batu sandungan serius di tengah kerja keras semua
pihakterutama tim medis sebagai garda depan paling beresiko dalam menjinakkan dan
menghentikan persebaran Covid-19. Padahal, masyarakat yang memiliki perspektif
anakronistik tersebut pada ujungnya akan menjadi kelompok rentan terpapar terhadap virus
ini jika mereka tetap melakukan pembangkangan. Ketika mereka menjadi mata rantai
penularan, maka efek domino persebarannya jelas akan merepotkan tim satgas penanganan
Covid-19 dan pemerintah. Semoga alam semestaku yang indah ini lekas sembuh dan bisa
berdiri lagi.

Anda mungkin juga menyukai