Anda di halaman 1dari 26

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP ILEUS OBSTRUKTIF

1. Pengertian
Ileus adalah suatu kondisi hipomotilitas (kelumpuhan) saluran

gastrointestinal tanpa disertai adanya obstruksi mekanik pada intestinal.

Pada kondisi klinik sering disebut dengan Ileus paralitik (Mansjoer, 2011

dalam Chahayaningrum, 2012). Obstruksi usus adalah sumbatan total atau

parsial yang mencegah aliran normal melalui saluran pencernaan. (Brunner

& Suddarth, 2002 dalam Chahayaningrum, 2012). Ileus obstruktif adalah

hambatan pasase isi usus yang disebabkan oleh sumbatan mekanik

misalnya oleh strangulasi, invaginasi, atau sumbatan di dalam lumen usus.

(Sjamsuhidayat, 2005 dalam Chahayaningrum, 2012).

Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa obstruksi usus adalah

sumbatan total atau parsial yang menghalangi aliran normal melalui

saluran pencernaan atau gangguan usus disepanjang usus. Sedangkan Ileus

obstruktif adalah kerusakan atau hilangnya pasase isi usus yang

disebabkan oleh sumbatan mekanik ( Chahayaningrum, 2012).

2. Klasifikasi
Menurut sifat sumbatannya Menurut sifat sumbatannya, ileus obstruktif

dibagi atas 2 tingkatan :

a. Obstruksi biasa (simple obstruction) yaitu penyumbatan mekanis di

dalam lumen usus tanpa gangguan pembuluh darah, antara lain karena

atresia usus dan neoplasma


b. Obstruksi strangulasi yaitu penyumbatan di dalam lumen usus disertai

oklusi pembuluh darah seperti hernia strangulasi, intususepsi, adhesi,

dan volvulus.

Menurut letak sumbatannya, maka ileus obstruktif dibagi menjadi 2 :

a. Obstruksi tinggi, bila mengenai usus halus

b. Obstruksi rendah, bila mengenai usus besar

Menurut etiologinya, maka ileus obstruktif dibagi menjadi 3 :

a. Lesi ekstrinsik (ekstraluminal) yaitu yang disebabkan oleh adhesi

(postoperative), hernia (inguinal, femoral, umbilical), neoplasma

(karsinoma), dan abses intraabdominal.

b. Lesi intrinsik yaitu di dalam dinding usus, biasanya terjadi karena

kelainan kongenital (malrotasi), inflamasi (Chron’s disease,

diverticulitis), neoplasma, traumatik, dan intususepsi.

c. Obstruksi menutup (intaluminal) yaitu penyebabnya dapat berada di

dalam usus, misalnya benda asing, batu empedu.

3. Etiologi
Ileus obstruktif dapat disebabkan oleh (Doherty et al 2002 dalam Faradilla,

2009) :

a. Adhesi (perlekatan usus halus) merupakan penyebab tersering ileus

obstruktif, sekitar 50-70% dari semua kasus. Adhesi bisa disebabkan

oleh riwayat operasi intraabdominal sebelumnya atau proses inflamasi

intraabdominal. Obstruksi yang disebabkan oleh adhesi berkembang

sekitar 5% dari pasien yang mengalami operasi abdomen dalam


hidupnya. Perlengketan kongenital juga dapat menimbulkan ileus

obstruktif di dalam masa anak-anak.

b. Hernia inkarserata eksternal (inguinal, femoral, umbilikal, insisional,

atau parastomal) merupakan yang terbanyak kedua sebagai penyebab

ileus obstruktif , dan merupakan penyebab tersering pada pasien yang

tidak mempunyai riwayat operasi abdomen. Hernia interna

(paraduodenal, kecacatan mesentericus, dan hernia foramen Winslow)

juga bisa menyebabkan hernia.

c. Neoplasma. Tumor primer usus halus dapat menyebabkan obstruksi

intralumen, sedangkan tumor metastase atau tumor intraabdominal

dapat menyebabkan obstruksi melalui kompresi eksternal.

d. Intususepsi usus halus menimbulkan obstruksi dan iskhemia terhadap

bagian usus yang mengalami intususepsi. Tumor, polip, atau

pembesaran limphanodus mesentericus dapat sebagai petunjuk awal

adanya intususepsi.

e. Penyakit Crohn dapat menyebabkan obstruksi sekunder sampai

inflamasi akut selama masa infeksi atau karena striktur yang kronik.

f. Volvulus sering disebabkan oleh adhesi atau kelainan kongenital,

seperti malrotasi usus. Volvulus lebih sering sebagai penyebab

obstruksi usus besar.

g. Batu empedu yang masuk ke ileus. Inflamasi yang berat dari kantong

empedu menyebabkan fistul dari saluran empedu ke duodenum atau

usus halus yang menyebabkan batu empedu masuk ke traktus

gastrointestinal. Batu empedu yang besar dapat terjepit di usus halus,


umumnya pada bagian ileum terminal atau katup ileocaecal yang

menyebabkan obstruksi.

h. Striktur yang sekunder yang berhubungan dengan iskhemia, inflamasi,

terapi radiasi, atau trauma operasi.

i. Penekanan eksternal oleh tumor, abses, hematoma, intususepsi, atau

penumpukan cairan.

j. Benda asing, seperti bezoar.

k. Divertikulum Meckel yang bisa menyebabkan volvulus, intususepsi,

atau hernia Littre.

l. Fibrosis kistik dapat menyebabkan obstruksi parsial kronik pada ileum

distalis dan kolon kanan sebagai akibat adanya benda seperti

mekonium.
4. Patofisiologi

5. Manifestasi Klinik
Terdapat 4 tanda kardinal gejala ileus obstruktif (Winslet, 2002; Sabiston,

1995 dalam Fadilla 2009)

a. Nyeri abdomen

b. Muntah

c. Distensi

d. Kegagalan buang air besar atau gas (konstipasi).


Gejala ileus obstruktif tersebut bervariasi tergantung kepada (Winslet,

2002; Sabiston, 1995 dalam Fadilla 2009):

a. Lokasi obstruksi

b. Lamanya obstruksi

c. Penyebabnya

d. Ada atau tidaknya iskemia usus

Gejala selanjutnya yang bisa muncul termasuk dehidrasi, oliguria, syok

hypovolemik, pireksia, septikemia, penurunan respirasi dan peritonitis.

Terhadap setiap penyakit yang dicurigai ileus obstruktif, semua

kemungkinan hernia harus diperiksa (Winslet, 2002).

Hipokalemia bukan merupakan gejala yang sering pada ileus obstruktif

sederhana. Peningkatan nilai potasium, amilase atau laktat dehidrogenase

di dalam serum dapat sebagai pertanda strangulasi, begitu juga leukositosis

atau leukopenia (Winslet, 2002).

Pireksia di dalam ileus obstruktif dapat digunaklan sebagai petanda

(Winslet, 2002) :

a. Mulainya terjadi iskemia

b. Perforasi usus

c. Inflamasi yang berhubungan denga penyakit obsruksi

Hipotermi menandakan terjadinya syok septikemia. Nyeri tekan

abdomen yang terlokalisir menandakan iskemia yang mengancam atau

sudah terjadi. Perkembangan peritonitis menandakan infark atau

perforasi (Winslet, 2002).


Sangat penting untuk membedakan antara ileus obstruktif dengan

strangulasi dengan tanpa strangulasi, karena termasuk operasi emergensi.

Penegakan diagnosa hanya tergantung gejala kilnis. Sebagai catatan perlu

diperhatikan (Winslet, 2002):

a. Kehadiran syok menandakan iskemia yang sedang berlansung

b. Pada strangulasi yang mengancam, nyeri tidak pernah hilang total

c. Gejala-gejala biasanya muncul secara mendadak dan selalu berulang

d. Kemunculan dan adanya gejala nyeri tekan lokal merupakan tanda yang

sangat penting, tetapi, nyeri tekan yang tidak jelas memerlukan

penilaian rutin.

Manifestasi yang biasa timbul pada pasien post laparatomi ileus

menurut Dermawan, 2010:

a. Nyeri kram pada perut yang terasa seperti gelombang dan bersifat kolik.

Pasien dapat mengeluarkan darah dan mucus, tetapi bukan materi fekal

dan tidak dapat flatus (sering muncul).

b. Muntah mengakibatkan dehidrasi dan juga dapat mengalami syok.

Konstipasi mengakibatkan peregangan pada abdomen dan nyeri tekan.

c. anoreksia dan malaise menimbulkan demam dengan tanda terjadinya

takikardi. Pasien mengalami diaphoresis dan terlihat pucat, lesu, haus

terus menerus, tidak nyaman, dan mukosa mulut kering.

6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium tidak mempunyai ciri-ciri khusus. Pada

urinalisa, berat jenis bisa meningkat dan ketonuria yang menunjukkan

adanya dehidrasi dan asidosis metabolik. Leukosit normal atau sedikit


meningkat, jika sudah tinggi kemungkinan sudah terjadi peritonitis. Kimia

darah sering adanya gangguan elektrolit.

Foto polos abdomen sangat bernilai dalam menegakkan diagnosa

ileus obstruksi.Sedapat mungkin dibuat pada posisi tegak dengan sinar

mendatar. Posisi datar perlu untuk melihat distribusi gas, sedangkan sikap

tegak untuk melihat batas udara dan air serta letak obstruksi. Secara

normal lambung dan kolon terisi sejumlah kecil gas tetapi pada usus halus

biasanya tidak tampak.

Gambaran radiologi dari ileus berupa distensi usus dengan multiple

air fluid level,distensi usus bagian proksimal, absen dari udara kolon pada

obstruksi usus halus. Obstruksi kolon biasanya terlihat sebagai distensi

usus yang terbatas dengan gambaran haustra, kadang-kadang gambaran

massa dapat terlihat. Pada gambaran radiologi, kolon yang mengalami

distensi menunjukkan gambaran seperti ‘pigura’ dari dinding abdomen.

Kemampuan diagnostik kolonoskopi lebih baik dibandingkan

pemeriksaan bariumkontras ganda. Kolonoskopi lebih sensitif dan spesifik

untuk mendiagnosis neoplasma dan bahkan bisa langsung dilakukan

biopsi.

Untuk menegakkan diagnosa secara radiologis pada ileus obstruktif

dilakukan foto abdomen 3 posisi. Yang dapat ditemukan pada pemeriksaan

foto abdomen ini antara lain :

a. Ileus obstruksi letak tinggi :

a) Dilatasi di proximal sumbatan (sumbatan paling distal di ileocecal

junction) dankolaps usus di bagian distal sumbatan.


b) Coil spring appearance

c) Herring bone appearance

d) Air fluid level yang pendek-pendek dan banyak (step ladder sign)

b. Ileus obstruksi letak rendah :

a) Gambaran sama seperti ileus obstruksi letak tinggi

b) Gambaran penebalan usus besar yang juga distensi tampak pada

tepi abdomen

c) Air fluid level yang panjang-panjang di kolon. Sedangkan pada

ileus paralitik gambaran radiologi ditemukan dilatasi usus yang

menyeluruhdari gaster sampai rectum.

7. Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan adalah dekompresi bagian yang mengalami

obstruksiuntuk mencegah perforasi. Tindakan operasi biasanya selalu

diperlukan. Menghilangkan penyebab obstruksi adalah tujuan kedua.

Kadang-kadang suatu penyumbatan sembuh dengansendirinya tanpa

pengobatan, terutama jika disebabkan oleh perlengketan. Penderita

penyumbatan usus harus di rawat di rumah sakit.

a. Persiapan

Pipa lambung harus dipasang untuk mengurangi muntah, mencegah

aspirasi dan mengurangi distensi abdomen (dekompresi). Pasien

dipuasakan, kemudian dilakukan juga resusitasi cairan dan elektrolit

untuk perbaikan keadaan umum. Setelah keadaanoptimum tercapai

barulah dilakukan laparatomi. Pada obstruksi parsial atau

karsinomatosis abdomen dengan pemantauan dan konservatif.


b. Operasi

Operasi dapat dilakukan bila sudah tercapai rehidrasi dan organ-organ

vital berfungsi secara memuaskan. Tetapi yang paling sering dilakukan

adalah pembedahan sesegera mungkin. Tindakan bedah dilakukan bila:

a) Strangulasi

b) Obstruksi lengkap

c) Hernia inkarserata

d) Tidak ada perbaikan dengan pengobatan konservatif (dengan

pemasangan NGT, infus,oksigen dan kateter).

c. Pasca Bedah

Pengobatan pasca bedah sangat penting terutama dalam hal cairan dan

elektrolit.Kita harus mencegah terjadinya gagal ginjal dan harus

memberikan kalori yang cukup.Perlu diingat bahwa pasca bedah usus

pasien masih dalam keadaan paralitik.

8. Komplikasi
a. Nekrosis usus, perforasi usus, dikarenakan obstruksi yang sudah terjadi

selalu lama pada organ intra abdomen.

b. Sepsis, infeksi akibat dari peritonitis, yang tidak tertangani dengan


baik dan cepat.
c. Syok-dehidrasi, terjadi akibat dehidrasi dan kehilangan volume
plasma.
d. Abses Sindrom usus pendek dengan malabsorpsi dan malnutrisi,
karena absorbsi toksin dalam rongga peritonium sehinnga terjadi
peradangan atau infeksi yang hebat pada intra abdomen.
e. Pneumonia aspirasi dari proses muntah,
f.   Gangguan elektrolit, karena terjadi gangguan absorbsi cairan dan
elektrolit pada usus.
g. Kematian
( Brunner and Suddarth, 2002 ) dan ( Sabara, 2007 dikutip dari
(http://www.Files-of-DrsMed.tk ).

B. KONSEP LAPARATOMI

1. Pengertian
Suatu tindakan pembedahan dengan membuka dinding depan abdomen. Ada
4 cara, yaitu;
a. Midline incision

b. Paramedian, yaitu ; sedikit ke tepi dari garis tengah ( 2,5 cm), panjang

(12,5 cm).

c. Transverse upper abdomen incision, yaitu ; insisi di bagian atas,

misalnya pembedahan colesistotomy dan splenektomy.

d. Transverse lower abdomen incision, yaitu; insisi melintang di bagian

bawah  4 cm di atas anterior spinal iliaka, misalnya; pada operasi

appendictomy.

2. Indikasi Laparatomi
a. luka tajam/tembus abdomen

b. trauma tumpul abdomen dengan internal bleeding

c. peritonitis umum

d. obstruksi usus

e. tumor intra abdomen

f. atresia intestinal

1. Kontra Indikasi :
Jika keadaan umum penderita yang jelek

2. Pemeriksaan Penunjang

DPL, foto polos, USG, CT scan/ CT angio

3. Teknik Operasi
a. Desinfeksi lapangan operasi dengan antiseptik → dipersempit dengan

linen steril.

b.Irisan dapat transversal supra umbilical/infra umbilikal incisions.

c. Incisi midline khusus untuk trauma dengan shock hipovolemi dengan

mempertimbangkan accessibility dan extensibility.

d.Dilanjutkan irisan di subkutis sampai tampak fascia.

e. Fascia diiris secukupnya → dilanjutkan pemotongan fascia dengan gunting

jaringan sampai tampak mm. rectus abdominis → splitting pada otot

tersebut; lemak preperitoneal disisihkan sampai terlihat peritoneum

parietale.

f. Peritoneum di buka dengan gunting → kemudian dengan perlindungan

tangan operator peritoneum dibuka sepanjang irisan.

g.Pada kedua tepi luka dipasang hak untuk memperluas akses ke rongga

abdomen dilanjutkan dengan tindakan sesuai temuan operasi.

h.Penutupan luka operasi dimulai dengan menjahit peritoneum dengan

catgut plain secara continous- locking, kemudian kedua otot rectus

abdominis di jahit dengan catgut plain secara simple interrupted.


i. Fascia dijahit dengan vicryl secara continous-locking; kemudian lemak

subkutis dijahit dengan catgut plain simple interrupted.

j. Kulit dijahit dengan vicryl secara subcuticuler jika operasi

nonkontaminasi, tetapi jika kontaminasi dengan monofilament non

absorbable atau silk secara simple interrupted.

k. Untuk teknik upper transverse incisions dilakukan irisan 2 jari di

superior umbilicus transversal, diperdalam sampai lemak subkutis hingga

tampak fascia; dilakukan irisan pada fascia.

l. Otot rectus abdominis dan otot obliqus externus, internus dan transversus

abdominis  dipotong dengan electrocauter yang juga berguna untuk

mengendalikan perdarahan.

m. Peritoneum parietale di buka dengan gunting jaringan, kemudian dengan

perlindungan tangan operator peritoneum dibuka sepanjang irisan.

n. Ligamentum teres hepatis dipotong dan di ligasi dengan silk.

o. Kedua sisi luka operasi dipasang hak dan dilakukan tindakan sesuai

temuan operasi.

p. Penutupan luka operasi dimulai dengan menjahit peritoneum dengan

catgut plain secara continous- locking, kemudian jaringan  otot  abdominis

di jahit dengan catgut plain/vicryl secara simple.

q. Penjahitan lemak subcutis dengan catgut  plain secara simple intrupted


r. Kulit dijahit dengan vicryl secara subcuticuler jika operasi

nonkontaminasi, tetapi jika kontaminasi dengan monofilament non

absorbable atau silk secara simple interrupted.

s. Untuk tehnik lower transverse incisions dilakukan irisan 2 jari di

inferior umbilicus transversal atau interspina, diperdalam sampai lemak

subkutis hingga tampak fascia; dilakukan irisan pada fascia.

t. Otot rectus abdominis dan otot obliqus externus, internus dan transversus

abdominis  dipotong dengan electrocauter yang juga berguna untuk

mengendalikan perdarahan.

u. Peritoneum parietale di buka dengan gunting jaringan, kemudian dengan

perlindungan tangan operator peritoneum dibuka sepanjang irisan.

v. Urachus dipotong dan di ligasi dengan silk.

w. Kedua sisi luka operasi dipasang hak dan dilakukan tindakan sesuai

temuan operasi.

x. Penutupan luka operasi dimulai dengan menjahit peritoneum dengan

catgut plain secara continous- locking, kemudian jaringan  otot  abdominis

di jahit dengan catgut plain/vicryl secara simple.

y. Penjahitan lemak subcutis dengan catgut  plain secara simple intrupted

z. Kulit dijahit dengan vicryl secara subcuticuler jika operasi

nonkontaminasi, tetapi jika kontaminasi dengan monofilament non

absorbable atau silk secara simple interrupted


4. Komplikasi

Komplikasi dini setelah pembedahan yaitu perdarahan. Komplikasi lanjut à

infeksi luka operasi, dehisensi, burst abdomen, peritonitis umum, fistel

enterokutan, hernia incisionalis.

5. Perawatan Pascabedah

Pasca bedah penderita dirawat dengan diobservasi kemungkinan tanda-tanda

komplikasi dini, dengan monitor vital sign, local abdomen dan produk drain

intraperitoneal. Lama perawatan tidak bisa ditentukan secara pasti. Drain

dilepas jika kondisi local baik dan produk minimal.

6. Follow Up

Penderita pasca laparotomi di monitor :

a. keadaan umum

b. ABCD/vital sign

c. Tanda-tanda perdarahan intraperitoneal

d. Tanda-tanda peritonitis generalisata\

e. Tanda-tanda obstruksi usus

f.Follow up hasil patologi anatomi


C. LANDASAN TEORI ASUHAN KEPERAWATAN ILEUS OBSTRUKTIF

1. Pengkajian

Pengkajian merupakan dasar pertama atau langkah awal dari proses

keperawatan secara keseluruhan dan merupakanh suatu proses yang

sistematis dan pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk

mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan pasien. Pada tahap ini

semua data dan informasi tentang klien yang dibutuhkan, dikumpulkan

dan di analisa untuk menentukan diagnosa keperawatan. Tujuan dari

pengkajian adalah untuk mengumpulkan data, menganalisa data sehingga

ditemukan diagnosa keperawatan. Adapun langkah-langkah dalam

pengkajian ini adalah sebagai berikut:

a. Riwayat keperawatan

Identitas pasien meliputi nama, umur, berat badan, jenis kelamin,

alamat rumah, suku bangsa, agama dan nama orang tua. Keluhan utama

pasien biasanya mengeluh nyeri dibagian operasi, mual, muntah,

pusing, nafsu makan berkurang, susah BAB, mukosa bibir kering,

lemas.

Riwayat penyakit sekarang meliputi : biasanya pasien mengeluh

nyeri kram pada perut yang terasa seperti gelombang dan bersifat kolik.

Pasien dapat mengeluarkan darah dan mucus, tetapi bukan materi fekal

dan tidak dapat flatus (sering muncul). Muntah mengakibatkan

dehidrasi dan juga dapat mengalami syok. Konstipasi mengakibatkan

peregangan pada abdomen dan nyeri tekan. Kemudian anoreksia dan

malaise menimbulkan demam dengan tanda terjadinya takikardi.


Pasien mengalami diaphoresis dan terlihat pucat, lesu, haus terus

menerus, tidak nyaman, dan mukosa mulut kering.

Riwayat penyakit dahulu yang perlu ditanyakan yaitu riwayat

penyakit yang pernah di derita oleh anak maupun keluarga dalam hal

ini orang tua. Apakah dalam keluarga pernah mempunyai riwayat

penyakit keturunan atau pernah menderita penyakit kronis sehingga

harus dirawat di rumah sakit.

Riwayat kehamilan dan kelahiran yang ditanyakan meliputi

keadaan ibu saat hamil, gizi, usia kehamilan, dan obat-obatan. Hal

tersebut juga mencakup kesehatan anak sebelum lahir, saat lahir dan

keadaan anak setelah lahir.

Riwayat tumbuh kembang yang perlu ditanyakan adalah hal-hal

yang berhubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan anak

sesuai dengan usia anak sekarang yang meliputi motorik kasar, motorik

halus, perkembangan kognitif atau bahasa dan personal sosial atau

kemandirian.

Imunisasi yang ditanyakan kepada orang tua adalah apakah anak

mendapat imunisasi secara lengkap sesuai dengan usianya dan jadwal

pemberian serta efek samping dari pemberian imunisasi seperti panas,

alergi dan sebagainya.

Psikososial yang ditanyakan meliputi tugas perkembangan sosial

anak, kemampuan beradaptasi selama sakit, mekanisme koping yang

digunakan oleh anak dan keluarga. Respon emosional keluarga dan


penyesuaian keluarga terhadap stres mencakup juga harapan-harapan

keluarga terhadap kesembuhan penyakit anak.

Kesehatan fisik meliputi pola nutrisi seperti frekuensi makanan,

jenis makanan, makanan yang disukai atau tidak disukai dan keinginan

untuk makan dan minum. Pola eliminasi seperti frekuensi buang air

besar dan buang air kecil di rumah dan di rumah sakit. Selain itu juga

ditanyakan tentang konsistensi, warna dan bau dari objek eliminasi.

Kebiasaan tidur seperti tidur siang, malam, kebiasaan sebelum dan

sesudah tidur. Pola aktivitas juga ditanyakan baik dirumah dan juga

bagaimana pola hygiene tubuh seperti mandi, keramas dan ganti baju.

Kesehatan mental meliputi pola interaksi anak, pola emosi anak

saat dirawat, pola psikologi keluarga serta kopingnya dan pengetahuan

keluarga dalam mengenali penyakit anaknya.

Kesehatan sosial dan spiritual yang perlu ditanyakan adalah pola

kultural atau norma yang berlaku dalam keluarga dan pola rekreasi serta

keadaan lingkungan rumah.

b. Pemeriksaan fisik

a) Pengukuran panjang badan, berat badan menurun, lingkar lengan

mengecil, lingkar kepala, lingkar abdomen membesar.

b) Keadaan umum : klien lemah, gelisah, rewel, lesu, kesadaran

menurun.

c) Kepala : ubun-ubun tak teraba cekung karena sudah menutup pada

anak umur 1 tahun lebih


d) Mata : cekung, kering, sangat cekung, konjungtiva anemis/ananemis,

sklera ikterik/anikterik

e) Sistem pencernaan : mukosa mulut kering, distensi abdomen,

peristaltik meningkat >35x/menit, nafsu makan menurun, mual

muntah, minum normal atau tidak hasu, minum lahap dan keliahatan

haus, minum sedikit atau kelihatan bisa minum

f) Sistem pernafasan : dispnea, pernafasan cepat >40x/ menit karena

asidosis metabolik (kontraksi otot pernafasan)

g) Sistem kardiovaskuler : nadi cepat > 120x/ menit dan lemah, tensi

menurun pada diare sedang

h) Sistem integumen : warna kulit pucat, turgor menurun > 2 detik,

suhu meningkat >37.50C, akral hangat, akral dingin (waspada syok),

capillary refill time memanjang >2 detik, kemerahan pada daerah

perianal

i) Sistem perkemihan : urin produksi oliguria sampai anuria (200-

400ml/24jam), frekuensi berkurang dari sebelum sakit

j) Dampak hospitalisasi : semua anak yang masuk rumah sakit bisa

mengalami stress yang berupa perpisahan, kehilangan waktu

bermain, terhadap tindakan invasive respon yang ditunjukan adalah

proses, putus asa, dan kemudian menerima.

2. Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul

Ada 9 diagnosa yang mungkin muncul pada asuhan keperawatan

dengan post op laparatomi atas indikasi ileus obstruktif.


1. Nyeri (akut) berhubungan dengan insisi bedah, distensi abdomen,

batuk, mual muntah, adanya selang Nasogastrik.

2. Risiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan

kehilangan berlebihan melalui muntah, diare, penghisap Nasogastrik/

intestinal.

3. Intoleran aktivitas berhubungan dengan nyeri post operasi, kelemahan

sekunder terhadap pembedahan.

4. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan prosedur invasif

adanya luka insisi pembedahan dengan kemungkinan kontaminasi.

5. Risiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

berhubungan dengan ketidakmampuan mencerna makanan atau

mengabsorpsi, status puasa.

6. Kerusakan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan insisi bedah.

7. Konstipasi berhubungan dengan efek-efek anestesi, manipulasi

pembedahan, ketidakaktifan fisik, immobilisasi.

8. Kurang perawatan diri (uraikan) berhubungan dengan kelemahan,

kehilangan mobilitas.

9. Kurang pengetahuan mengenai kondisi, prognosis, dam kebutuhan

pengobatan berhubungan dengan kurang terpapar informasi, kesalahan

interpretasi informasi, tidak mengenal sumber informasi.


3. Intervensi Keperawatan

1) Nyeri b/d discontinuitas jaringan


Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam,

diharapkan nyeri teratasi dengan kriteria hasil :

a) K/U baik

b) Kooperatif

c) Skala nyeri 0 dari 6

d) Pasien terlihat tenang

e) TTV dalam batas normal

RR : 18-30x/m

S : 36,5-37,5°C

N : 70-120x/m

TD : 80-110 mmHg /80-120 mmHg

Intervensi :

Mandiri :

a. Kaji nyeri secara komprehensip

a. Monitor TTV

b. Berikan Posisi senyaman mungkin

c. Ajarkan pasien tekhnik relaksasi napas dalam

d. Ajarkan pasien relaksasi napas dalam

e. Anjurkan orang tua untuk memotivasi pasien relaksasi napas dalam

Kolaborasi :

a. Berikan obat analgetik sesuai indikasi

a. Terapi IVFD
2) Risiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan

kehilangan berlebihan melalui muntah, diare, penghisap Nasogastrik/

intestinal.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam

keseimbangan dan elektrolit dipertahankan secara maksimal

Kriteria hasil :

a. Tanda vital dalam batas normal (N : 120-160x/menit, S : 36.5-37.5 0C, R

: <40x/menit)

b. Turgor kulit elastis, membran mukosa bibir lembab, mata tidak cekung

c. Konsistensi BAB lembek, frekuensi 1 kali perhari

Intervensi :

a. Pantau tanda dan gejala kekurangan cairan dan elektrolit

b. Pantau intake dan output

c. Timbang berat badan setiap hari

d. Anjurkan keluarga untuk memberi minum banyak pada klien, 2-3liter/

hari

e. Kolaborasi :

a) Pemeriksaan laboratorium serum elektrolit (Na, K, Cl)

b) Cairan parenteral (IV line) sesuai dengan umur

c) Obat-obatan : (antisekresin, antispasmolitik, antibiotik)

3) Intoleran aktivitas berhubungan dengan nyeri post operasi, kelemahan

sekunder terhadap pembedahan

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 7x24 jam

toleransi aktivitas pasien akan meningkat


Kriteria Hasil :

a. Saturasi oksigen dalam rentang yang diharapkan dalam respon

aktivitas

b. Heart rate dalam rentang yang diharapkan dalam respon aktivitas

c. RR dalam rentang yang diharapkan dalam respon aktivitas

d. Tekanan darah dalam rentang yang diharapkan dalam respon aktivitas

Intervensi :

a. Kaji tanda dan gejala yang menunjukan ketidaktoleransi terhadap

aktivitas dan memerlukan pelaporan terhadap perawat dan dokter

b. Tingkatkan pelaksanaan ROM pasif sesuai indikasi

c. Buat jadwal latihan aktivitas secara bertahap untuk pasien dan berikan

periode istirahat

d. Berikan suport dan libatkan keluarga dalam program terapi

e. Berikan berikan reinforcemen untuk pencapaian aktivitas sesuai

program latihan

f. Kolaborasi ahli fisioterapi

4) Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan prosedur invasif

adanya luka insisi pembedahan dengan kemungkinan kontaminasi


Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam

status kekebalan pasien meningkat dengan indilaktor: tidak didapatkan

infeksi berulang, tidak didapatkan tumor, status rspirasi sesuai yang

diharapkan, temperatur badan sesuai yang diharapkan, integritas kulit,

integritas mukosa, tidak didapatkan fatigue kronis, reaksi skintes sesuai

paparan

Intervensi :

a. Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain

b. Cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan keperawatan

c. Gunakan universal precaution dan gunakan sarung tangan selma

kontak dengan kulit yang tidak utuh

d. Tingkatkan intake nutrisi dan cairan

e. Berikan terapi antibiotik bila perlu

f. Observasi dan laporkan tanda dan gejal infeksi seperti kemerahan,

panas, nyeri, tumor

g. Kaji temperatur tiap 4 jam

h. Catat dan laporkan hasil laboratorium, WBC

i. Gunakan strategi untuk mencegah infeksi nosokomial

j. Istirahat yang adekuat

k. Kaji warna kulit, turgor dan tekstur, cuci kulit dengan hati-hati
l. Berikan antibiotik sesuai autran

m. Ajari pasien dan keluarga tanda dan gejal infeksi dan kalau terjadi

melaporkan pada perawat

n. Ajarkan klien dan anggota keluarga bagaimana mencegah infeksi

5) Risiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

berhubungan dengan ketidakmampuan mencerna makanan atau

mengabsorpsi, status puasa

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 7 x 24 jam

kebutuhan nutrisi teratasi dengan kriteria hasil :

- K/U baik

- Kooperatif

- BB batas normal :

IMT 18-25

- TTV dalam batas normal

RR : 18-30x/m

S : 36,5-37,5°C

N : 70-120x/m

TD : 80-110 mmHg /80-120 mmHg

- Hb batas normal : 10 th : 10,8-15,6 kg/dl

Intervensi :

a. Kaji pemenuhan nutrisi pasien

a. Kaji penyebab gangguan pemenuhan nutrisi pasien

b. Kaji intake output pasien


c. Monitor TTV

d. Timbang BB/hari

e. Anjurkan makan dalam porsi kecil tetapi sering dalam kondisi

hangat

f. Motivasi pasien untuk tetap memenuhi kebutuhan nutrisi

g. Anjurkan orangtua untuk memotivasi pasien

Kolaborasi :

a. Terapi pemberian cairan

a. Konsulkan kepada ahli gizi dalam pemenuhan nutrisi

Cek hema I sesuai indikasi

Anda mungkin juga menyukai