Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

“KONSEP DASAR TRAUMA”

KELOMPOK 4 KLS B13-B:


1. Ni Made Budi Astiti (203221155)
2. I Gusti Ayu Wintan (203221156)
3. Sri Astiti Padma Parashita (203221157)
4. Luh Ayu Dwi Prapti Maharani (203221158)
5. Dewi Edy Tirtawati (203221159)
6. Ni Wayan Ekayanti (203221160)
7. Putu Eka Setiawati (203221161)

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI KESEHATAN WIRA MEDIKA BALI
TAHUN AJARAN 2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Ida Sang Hyang widhi Wasa karena kami
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “KONSEP DASAR TRAUMA” tepat
pada waktunya.
Dalam penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan, baik pada
teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami miliki. Untuk
itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan
pembuatan makalah ini.
Dalam penyusunan makalah ini kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada
pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini.Semoga makalah ini
bermanfaat bagi pembaca, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang
bersifat membangun penulis harapkan demi mencapai kesempurnaan makalah
berikutnya.
Sekian penulis sampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu.
Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa senantiasa melancarkan segala usaha kita.

Denpasar, 6 April 2021

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………….……………i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………ii
BAB I PENDAHULUAN…………...………………………………………………….1
Latar Belakang………………………………………………………….........................1
1.1 Rumusan Masalah……………………………………………………..………...…1
1.2 Tujuan……………………………………………………………………………….2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………………….3


2.1 Pengertian Trauma Mekanik……………………………...………………………3
2.2 Jenis-jenis Trauma Mekanik……………………...……………………………….3
2.3 Penanganan Trauma Mekanik………………………………………………..….20
BAB III PENUTUP………………..………………………………………………….24
3.1 Simpulan……………………………………………………………...……………24
3.2 Saran……………………………………………………………………………….24
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………….25
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Trauma adalah penyebab paling umum kematian pada orang usia 16-44 tahun di
seluruh dunia (WHO, 2004). Proporsi terbesar dari kematian (1,2 juta pertahun)
kecelakaan di jalan raya. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi bahwa pada
tahun 2020, cedera lalu lintas menduduki peringkat ketiga dalam penyebab kematian
dini dan kecacatan (Peden, 2004). Secara medis, luka atau cedera adalah
putusnya/rusaknya kontinuitas alami jaringan mana pun dari tubuh yang hidup (Reddy &
Murty, 2014). Apakah cedera terjadi setelah penerapan energi, dalam bentuk apa pun,
itu bergantung padanya faktor fisika (derajat, luas, durasi dan arah gaya diterapkan) dan
faktor biologis (mobilitas tubuh bagian, antisipasi dan koordinasi serta sifat jaringan)
(Paul & Verma, 2015).
Terdapat beberapa jenis trauma, yaitu: trauma mekanik, trauma termis, trauma
kimiawi, dan cedera lain-lain. Trauma mekanik dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu:
trauma tajam, trauma tumpul, dan trauma tembak. Kemudian trauma termal dibagi
menjadi dua jenis, yaitu trauma panas dan trauma dingin. Trauma kimiawi juga dibagi
menjadi 2 jenis, yaitu trauma iritatif dan trauma korosif. Sedangkan trauma lain-lain
biasanya berupa trauma akibat listrik, dan trauma akibat substansi radioaktif, dan trauma
akibat ledakan (Paul & Verma, 2015).
Dari hasil data Riskesdas di Indonesia tahun 2013, prevelensi jenis cedera di
Indonesia didominasi oleh luka lecet/memar sebesar 70,9%. Jenis cedera terbanyak ke
dua adalah terkilir/teregang, ratarata di Indonesia sebesar 27,5%. Luka robek
menduduki urutan ketiga jenis cedera terbanyak dengan 23,2%. Kemudian diikuti
dengan cedera patah tulang sebesar 5,8% dan cedera lainnya dengan 1,8%. Prevelensi
penyebab cedera karena jatuh sebesar 43%, karena benda tajam/tumpul dengan 7,9%,
dan terbakar 0,4% (Kemenkes RI, 2013). Hal ini sejalan dengan penelitian Rieskariesha
Kiswara dkk. (2015), yang menyatakan bahwa jenis kekerasan tumpul merupakan
peristiwa terbanyak yang dimintakan VeR di RSUD Arifin Ahmad Pekanbaru yaitu
sebanyak 125 kasus (83,3%).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah pengertian dari trauma mekanik?
2. Sebutkan & jelaskan jenis-jenis trauma mekanik!
3. Bagaimana penanganan trauma mekanik?
1.3 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1) Tujuan Umum
Penulisan makalah ini ditujukan untuk memperdalam wawasan tentang
konsep dasar trauma dalam keperawatan gawat darurat.
2) Tujuan Khusus
1. Memahami pengertian dari trauma mekanik
2. Memahami jenis-jenis trauma mekanik
3. Memahami penanganan trauma mekanik
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Trauma Mekanik
Semua luka yang diderita akibat kekerasan fisik pada tubuh merupakan trauma
mekanik atau cedera mekanis. Biasanya ada dua mekanisme yang dihadapi, yaitu
benturan terhadap benda yang bergerak dan benda yang hampir tidak bergerak
berbenturan terhadap korban yang bergerak secara aktif (Rao, 2010).
Terdapat beberapa jenis trauma mekanik, yaitu: trauma tumpul, trauma tajam,
dan trauma tembak. Trauma tumpul dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu: luka lecet
(abrasion wound), luka memar (contusion wound), dan luka robek (lacerated wound).
Kemudian trauma tajam juga dibagi menjadi tiga jenis, yaitu luka iris (incised/cut
wound), luka tusuk (stab/penetrating wound), dan luka bacok(chop wound). Sedangkan
trauma tembak dibagi menjadi 2 jenis, yaitu trauma tembak masuk (entery/entrance
wound) dan trauma tembak keluar (exit wound) (Paul & Verma, 2015).

2.2 Jenis-jenis Trauma Mekanik

Trauma
Mekanik

Trauma Trauma Trauma


Tumpul Tajam Tembak

Tembak Tembak
Lecet Robek Iris Tusuk Masuk Keluar

Mema Bacok
r

Gambar 2.2. Klasifikasi Trauma Mekanik (Paul & Verma, 2015).


2.2.1 Trauma Tumpul
Trauma benda tumpul biasanya disebabkan oleh benda, tanpa ujung yang tajam,
berdampak pada tubuh atau tubuh menabrak objek. Tingkat keparahan, luas, dan
penampilan cedera trauma tumpul bergantung pada (Biswas, 2012):
1) Jumlah gaya yang dikirim ke tubuh
2) Waktu pengiriman gaya
3) Wilayah melanda
4) Luas permukaan tempat gaya dialirkan
5) Sifat senjata
6) Untuk jumlah gaya tertentu, semakin besar areanya lebih dari mana itu disampaikan,
semakin ringan lukanya
2.2.2.1 Luka Memar (Contusion Wound)
Luka memar (contusion wound) adalah ekstravasasi atau penggumpalan darah karena
pecahnya pembuluh darah akibat penerapan gaya mekanis yang bersifat tumpul tanpa kehilangan
kontinuitas jaringan. Memar disebabkan oleh benturan gaya tumpul yang menyebabkan
penghancuran atau robeknya jaringan subkutan atau dermis tanpa rusaknya kulit di atasnya.
Karena pecahnya pembuluh darah, terjadi ekstravasasi darah keluar dari pembuluh dan
terkumpul di bawah jaringan. Penggumpalan darah disertai dengan pembengkakan dan nyeri.
Luka murni terletak di bawah epidermis utuh disertai dengan pembengkakan dan nyeri (Bardale,
2011).
Faktor-faktor yang mempengaruhi luka memar, yaitu (Paul & Verma, 2015) :
1. Jenis jaringan/situs yang terlibat :
a. Jaringan lunak, lemah dan yang berpembuluh darah, seperti wajah, skrotum dan
kelopak mata bahkan akan mengalami memar yang besar dengan sedikit kekuatan
b. Dalam jaringan yang sangat mendukung, yang mengandung jaringan serat (fibrous
tissue) yang kokoh dan ditutupi oleh dermis yang tebal, mis. perut, punggung, kulit
kepala, telapak tangan dan sol, bahkan kekerasan tingkat sedang dapat menghasilkan
hanya memar kecil
c. Memar pada kulit kepala lebih terasa daripada terlihat
d. Memar lebih ditandai pada jaringan di bagian atas tulang
e. Pada petinju dan atlet, memar jauh lebih sedikit, karena memiliki otot yang bagus
2. Usia
Anak-anak dan orang tua lebih mudah memar karena jaringan lebih lembut dan
kulitnya lebih tipis.
3. Jenis kelamin
Wanita cenderung lebih mudah memar daripada pria karena jaringan lebih halus
dan subkutan lemak lebih banyak.
4. Warna kulit
Memar lebih jelas terlihat dan diakui pada orang berkulit putih dibandingkan
dengan mereka yang kulit gelap.
Gambar 2.3. Luka memar (contusion wound) (Shetty et al., 2014).
Usia cedera dapat ditentukan oleh perubahan warna. Memar yang masih baru (fresh) akan
berwarna kemerahan, selanjutnya akan membiru dalam beberapa jam, hingga kemudian akan
hilang atau kembali normal dalam waktu 2 minggu. Perubahan-perubahan warna tersebut pada
luka memar, yaitu (Paul & Verma, 2015).

Tabel 2.1. Perubahan warna pada luka memar (Paul & Verma, 2015).

Durasi Ciri
Baru (Fresh) Merah
Beberapa jam hingga 3 hari Biru
4-5 hari Hitam kebiruan sampai coklat
5-6 hari Hijau

7-12 hari Kuning


2 minggu Normal

Luka antemortem biasanya tidak terdapat elevasi pada kulit dan tidak memiliki perbedaan
warna. Namun pada luka postmortem memiliki gambaran berupa pembengkakan karena resapan
darah. Memar postmortem lama memiliki warna yang bervariasi, tetapi memar yang baru
biasanya memiliki warna yang lebih tegas daripada warna memar mayat disekitarnya. Beberapa
perbedaan luka antemortem dan postmortem dirangkum dalam tabel berikut (Paul & Verma,
2015):
Tabel 2.2. Perbedaan memar antemortem dan postmortem (Paul & Verma, 2015).

No. Ciri Antemortem Contusion Postmortem Contusion

1 Penyebab Pelebaran pembuluh darahyang Ruptur pembuluh darah yang


tampak sampai ke letaknya bisa superfisial atau
permukaan kulit. lebih dalam.
2 Kutikula Tidak rusak Rusak
3 Lokasi Terdapat pada daerah yang luas, Terdapat disekitar, bisa dimana
terutama luka pada bagian tubuh saja pada bagian tubuh dan tidak
yang letaknya meluas.
rendah.

4 Gambaran Tidak ada elevasi Biasanya membengkak karena


(peninggian) kulit resapan darah.
5 Pinggiran Jelas Tidak jelas
6 Warna Sama semua Memar yang lama warnanya
bervariasi. Memar yang baru
warnanya lebih tegas dari pada
warna lebam mayat disekitarnya.

7 Pada pemotongan Darah tampak dalam pembuluh Menunjukkan resapan darah ke


darah dan mudah jaringan sekitar, susah
dibersihkan jika hanya dengan

dibersihkan, jaringan air mengalir. Jaringan subkutan


subkutan tampak pucat berwarna merah kehitaman.
8 Dampak dari penekanan Yang masih baru akan hilang Warnanya berubah sedikit saja,
walaupun hanya diberi jika diberi penekanan.
penekanan yang ringan.
2.2.1.2 Luka Lecet (Abrasion Wound)
Abrasi (luka lecet) adalah cedera superfisial pada kulit yang ditandai dengan traumatic
removal, pelepasan atau pengerusakan epidermis, dan sebagian besar disebabkan oleh gesekan
dan/atau tekanan (Madea, 2014). Abrasi murni hanya melibatkan epidermis, dan biasanya tidak
berdarah karena adanya pembuluh darah terletak di dermis. Namun karena sifatnya bergelombang
papila kulit, cukup sering, dermis juga terlibat dan dengan demikian abrasi menunjukkan
perdarahan. Abrasi tidak meninggalkan bekas luka saat penyembuhan (Bardale, 2011)
Luka antemortem (luka pada korban hidup) biasanya berwarna merah terang dan sembuh
tanpa jaringan parut. Abrasi yang dihasilkan setelah kematian (abrasi postmortem) berwarna
kuning dan tembus dengan tampilan seperti perkamen (Paul& Verma, 2015).
Tabel 2.3. Perbedaan antara Antemortem dan Postmortem Abrasion (Paul & Verma, 2015).

No. Ciri Antemortem Abrasion Postmortem Abrasion

1 Lokasi Di mana saja di tubuh Biasanya terdapat di


bagian atas penonjolan
tulang
2 Warna Merah terang Kekuningan, tembus cahaya
dan seperti kertas
Kulit

3 Eksudasi Banyak, keropeng Sedikit, tidak ada


sedikit terangkat Keropeng
4 Reaksi vital Ada Tidak Ada

5 Proses Mungkin ada Tidak Ada


penyembuhan
Ada beberapa tipe abrasi, yaitu (Rao, 2010):
1. Scratch Abrasion (Goresan)
Ini adalah cedera yang berbentuk linier.

Gambar 2.4. Goresan (scratch abrasion) (Rao, 2010).

2. Grazes (Abrasi geser, gesekan, atau gerinda)


Ini adalah luka karena gaya gesek gesekan oleh benda tumpul yang bergerak dengan kekuatan
besar, mis. tendangan sepatu, menyeret di jalan yang kasar dengan kendaraan, dll.
3. Rope Burns
Luka bakar tali disebabkan oleh panas yang dihasilkan oleh gaya gesek dari tali di kulit. Ini
menyebabkan lecet karena ekspresi cairan jaringan ke lapisan atas kulit.

Gambar 2.6. Luka bakar tali (Tanda pengikat gantung — Panah) (Rao, 2010).
4. Pressure Abrasion (Friction Abrasion, Crushing Abrasion)
Ini akan disebabkan oleh benturan langsung atau tekanan linier yang kasar benda di
atas kulit disertai dengan sedikit gerakan terarah ke dalam mengakibatkan penghancuran
lapisan superfisial kutikula dengan beberapamemar di bawahnya. Jenis abrasi akan menjadi
ditemukan dalam tanda pengikat di gantung dan pencekikan, jika terkena cambuk atau
cambukan, hal ini juga diperhatikan anak kecil berkulit lembut di sepanjang area gesekan di
bawah tekanan garmen, dll. Gesekan gesekan ini saat mendapatkan kering tampak coklat dan
dikeringkan.

Gambar 2.7. Jenis lecet: Lecet tekanan (tali pengikat gantung tandai dengan bahan pengikat utuh)(Rao, 2010).

5. Impact Abrasion (Imprint Abrasion, Contact Abrasion, Patterned Abrasion)


Ini disebabkan oleh benturan langsung atau tekanan dari beberapa orang objek, yang
saat menghancurkan kutikula menghasilkan bentuk dan tanda permukaannya pada kulit,
misalnya tanda kerikil, tanda tapak ban, tanda kuku dan ibu jari saat mencekik, tanda gigi
saat menggigit, cambuk tanda pemukulan dengan cambuk, bekas moncong luka tembak, dll.
Abrasi jejak menjadi lebih jelas, bila kutikula terluka mengering dan menjadi kecoklatan dan
perkamen, sebaliknya dengan permukaan kulit yang tidak terluka di sekitarnya.
Gambar 2.8. Jenis abrasi: abrasi tapak jejak / benturan tanda (Rao, 2010).

Perjalanan luka lecet dalam waktu dapat diperkirakan dengan melihat


perkembangan luka termasuk warna pada luka. Pada luka yang masih segar, luka
berwarna merah terang dan ditemukan sedikit darah dan serum, kudis atau keropeng belum
ada. Selanjutnya eksudasi akan mengering untuk membentuk keropeng kemerahan.
Kemudian dalam 2-3 hari, keropeng akan berwarna cokelat kemerahan,lalu akan berwarna
coklat tua dalam 4-5 hari. Keropeng akan berwarna coklat kehitaman dalam 5-7 hari dan
mulai terkelupas dari margin luka yang menandakan dimulainya regenerasi epitel. Saat 7-
12 hari, keropeng akan mengering dan mengelupas, dan setelah 12 hari akan muncul
serat kolagen baru yang menggantikan keropeng (Paul & Verma, 2015).

Tabel 2.4. Waktu terjadinya luka lecet (Paul & Verma, 2015).

Durasi Ciri
2-24 jam Merah terang, mengalir dari serum dan beberapa darah. Eksudasi
mengering untuk membentuk keropeng kemerahan, terdiri sel darah,
getah bening dan epitel. Polymorphonuclear sel
menginfiltrasi (pembentukan keropeng).

2-3 hari Keropeng coklat kemerahan, kurang empuk.


4-5 hari Keropeng berwarna coklat tua.
5-7 hari Keropeng berwarna hitam kecoklatan dan mulai jatuh dari atas
margin. Epitel tumbuh dan menutupi cacat di bawah keropeng
(regenerasi epitel).

7-12 hari Keropeng mengering, menyusut dan jatuh, meninggalkan


depigmentasi area di bawahnya. Secara bertahap menjadi berpigmen
pada waktunya perjalanan waktu (granulasi
subepidermal).

>12 hari Epitel menjadi lebih tipis dan atrofi. Serat kolagen baru akan
menonjol. Membran dasar hadir dan vaskularisasi dermis
berkurang (regresi).

2.2.1.3 Luka Robek (Laceration Wound)


Laserasi adalah sobek atau terbelahnya kulit, selaput lendir (mucous membrane), otot
atau organ dalam disebabkan oleh gaya geser atau penghancur, dan diproduksi oleh aplikasi gaya
tumpul ke luas area tubuh (Paul & Verma, 2015). Laserasi bisa linier, bergerigi, berbentuk tidak
teratur, atau kadang-kadang berpola. Laserasi linier terkadang menjadi tidak bisa dibedakan
dengan cedera kekuatan yang tajam. Ciri yang membedakan antara laserasi dengan cedera
kekuatan yang tajam adalah adanya ―jaringan penghubung‖ (tissue bridging), yang
menggambarkan keberadaan saraf yang utuh, pembuluh darah, dan untaian jaringan lain yang
―menjembatani celah‖ (bridge the gap). Penghubung jaringan cenderung tidak terjadi dengan
cedera kekuatan yang tajam, karena struktur ini kemungkinan akan terputus bersama dengan
kulit dan jaringan lunak yang mendasarinya (Prahlow, 2010).
Luka robek memiliki beberapa ciri umum, yaitu (Paul & Verma, 2015):
1. Terjadi paling sering pada tonjolan tulang
2. Ditandai dengan untaian ―jaringan penghubung‖ di dalam laserasi; ciri ini digunakan
untuk membedakan laserasi (robekan) dari luka iris (incised wound) yang tidak memiliki
―jaringan penghubung‖ (Gambar 2.7).
3. Sebagai aturan umum dalam pukulan ke kepala, benda panjang dan tipis (seperti pipa)
cenderung menghasilkan laserasi linier atau memanjang, sedangkan benda datar
cenderung menyebabkan ireguler, atau laserasi berbentuk Y
4. Pukulan tangensial atau miring dapat menghasilkan laserasi yang menunjukkan
kerusakan jaringan pada satu sisi atau tepi, dengan ujung lainnya terkikis atau miring.
Gambar 2.9. Karateristik luka robek (Paul & Verma, 2015).

Gambar 2.10. Laserasi pada kulit kepala (Prahlow, 2010).

2.2.2 Trauma Tajam


Trauma tajam didefinisikan sebagai cedera yang diakibatkan oleh instrumen dengan ujung
atau ujung tipis, seperti pisau, botol kaca pecah, pecah jendela kaca, gunting, mata gergaji,
kapak, parang dan sebagainya (Catanese, 2016). Trauma tajam ditandai dengan pemisahan
traumatis yang relatif baik pada jaringan, terjadi ketika benda tajam atau runcing bersentuhan
dengan kulit dan jaringan di bawahnya. Tiga subtipe spesifik dari trauma tajam, yaitu: luka tusuk
(stab wound),luka gores/iris (incised wound), dan luka potong (chop wound) (Prahlow, 2016).
2.2.2.1 Luka Iris (Incised wound)
Luka iris, merupakan luka yang dhasilkan ketika suatu benda dengan ujung yang tajam
membuat kontak dengan kulit (dengan atau tanpa jaringan di bawahnya), dengan arah gaya
dalam kaitannya dengan kulit yang terjadi pada arahtangensial lebih atau kurang. Meskipun pisau
merupakan senjata utama yang sering digunakan dalam menghasilkan sebagian besar luka irisan
yang dijumpai pada sebagian besar praktik forensik, benda apa pun dengan ujung yang tajam
dapat mengakibatkan luka irisan. Contohnya termasuk pisau cukur, pecahan kaca, gunting, kawat
berduri, dan pemotong kotak. Banyak dari luka-luka yang dihasilkan oleh alat-alat ini sangat mirip
dengan luka yang dihasilkan oleh pisau (Prahlow, 2010).
Karateristik dari luka iris, yaitu (Biswas, 2012):
1. Margin
Tepi terpotong bersih dan tegas. Tepinya bebas dari kontusio dan lecet. Luka
keriput diproduksi di tempat kulit keriput (yaitu lipatan) dan lebih dari satu sayatan luka
terlihat.
2. Lebar
Lebar lebih besar dari tepi senjata yang disebabkan oleh karena retraksijaringan.
3. Panjang
Panjang lebih besar dari lebar dan kedalamannya dan tidak ada hubungannya
dengan ujung tombak senjata.
4. Bentuk
Biasanya berbentuk spindel karena retraksi yang hebat di tepi bagian tengah tepi
di tengah.
5. Kedalaman dan arah
Biasanya lebih dalam diawal, kecuali dalam kasus bunuh diri dengan cedera
penggorokan tenggorokan, dengan potongan ragu-ragu di awal. Ini dikenal sebagai
kepala luka. Menjelang selesai, potongan menjadi semakin dangkal, yang dikenal sebagai
ekor luka. Akibatnya, kedalaman dari luka yang diiris dengan ekor luka akan
menunjukkan arah dari mana gayaditerapkan.
6. Perdarahan
Saat pembuluh darah terpotong bersih, maka akan terjadi perdarahan yang lebih.
7. Potongan miring
Jika mata/ujung senjata masuk dengan miring, jaringan akan terlihat pada satu
margin dan margin lainnya akan rusak.
Gambar 2.11. Luka iris (incised wound) yang dihasilkan oleh sebuah pisau
(Catanese, 2016).

2.2.2.2. Luka Tusuk (Stab wound)


Luka tusuk merupakan luka yang disebabkan oleh benda runcing, biasanya memiliki
ujung yang tajam, ketika benda tersebut dipaksa masuk ke kulit (dan jaringan di bawahnya)
dengan arah gaya dalam sudut tegak lurus yang kurang lebih dengan kulit. Luka tusuk biasanya
lebih dalam (melalui kulit dan ke dalam tubuh) daripada luka iris. (pada permukaan kulit)
(Prahlow, 2016).
Secara klinis, luka tusuk dibedakan menjadi dua jenis, yaitu (Paul & Verma, 2015):
1. Luka tembus (penetrating) : senjata masuk ke tubuh menghasilkan hanya satu luka,
yaitu luka masuk.
2. Luka perforasi (perforating): senjata smasuk ke salah satu sisi tubuh akankeluar melalui
sisi tubuh yang lain, menghasilkan dua luka:
3. Luka masuk: masuk ke dalam tubuh dengan luka yang lebih besar.
4. Luka keluar: keluar dari dalam tubuh dengan luka yang lebih kecil.

Gambar 2.12. Klasifikasi luka tusuk (Paul & Verma, 2015).


Luka tusuk memliki tepi luka yang terlihat bersih, biasanya tidak ada abrasi atau
memar pada tepi luka. Tetapi bila penetrasi penuh, abrasi yang terpola atau memar akan
bisa dihasilkan oleh pangkal senjata yang menyerang kulit. Tepi luka tusuk terlihat
teratur, tajam dan jelas. Luka tusuk memiliki panjangnya sedikit kurang dari lebar senjata
karena peregangan kulit. Kemudian kedalaman luka tusuk adalah dimensi terbesar dari
tikaman luka. Kedalaman sesuai dengan panjang badan pisau dari senjata yang memasuki
tubuh, ketika keseluruhan panjang senjata memasuki tubuh, tetapi belum menghasilkan
luka keluar (Paul & Verma, 2015)

Gambar 2.13. Luka tusuk (stab wound) (Shetty et al., 2014).

2.2.2.3 Luka Bacok (Chop wound)


Luka bacok paling baik dianggap sebagai kombinasi dari cedera tumpul dan cedera tajam
yang dihasilkan oleh benda yang relatif tajam yang dipegang dengan kekuatan yang luar biasa.
Senjata yang digunakan sering kali memiliki berat yang cukup besar dan bergerak dengan
kecepatan tinggi. Karena jumlah kekuatan yang lebih besar, luka bacok memiliki ciri-ciri baik
ciri cedera tajam maupun cedera tumpul. Dengan demikian, luka bacok sering memiliki lecet dan
memar marginal, dan kadang-kadang laserasi (Prahlow, 2016).
Senjata yang biasanya digunakan adalah kapak, pedang atau parang daging. Dimensi luka
sesuai dengan penampang dari pisau penembus. Tepi lukanya tajam, dan mungkin menunjukkan
abrasi, memar dan beberapa laserasi dengan kemungkinan cedera parah pada organ yang
mendasarinya (Paul & Verma, 2015).
Gambar 2.14. Luka bacok (chop wound) (Shetty et al., 2014).

2.2.3 Trauma Tembak


Ciri-ciri luka senjata api bergantung pada (Biswas, 2012):
1. Sifat senjata api, baik shotgun atau rifle
2. Bentuk dan komposisi rudal
3. Rentang (jarak) tembakan
4. Bagian tubuh dipukul
5. Arah tembakan

2.2.3.1 Luka Tembak Masuk (Entery/Entrance Wound)


Luka tembak masuk yang khas memiliki cacat kulit berbentuk bulat atau oval, dan
dikelilingi oleh tepi abrasi. Pinggiran atau tepi ini secara bervariasi disebut sebagai ''kerah abrasi
(abrasion collar)'' atau ''abrasi marjinal lingkaran (circumferential marginal abrasion)''. Lebar
abrasi marjinal dapat memberikan suatu indikasi tentang sudut relatif peluru saat memasuki kulit.
Jika abrasi marjinal memiliki lebar yang konsisten, berarti peluru memasuki kulit dengan cara
yang relatif tegak lurus. Jika peluru mengalami sesuatu yang lain sebelum menyerang kulit, itu
berarti peluru telah melewati sebuah ''perantara'' atau ''sela''. Berdasarkan pada karakteristik
perantara atau sela tersebut, peluru tersebut dapat menghasilkan luka yang berbentuk tidak
beraturan dengan marjinal abrasi yang lebar. Ini dikenal sebagai ''luka masuk atipikal'' (Prahlow
& Byard, 2012)
Gambar 2.15. Luka tembak masuk. Perhatikan bahwa abrasi marginal lebih lebar di sebelah kiri samping,
menunjukkan bahwa peluru lebih banyak datang dari kiri, bukan lurus (Prahlow & Byard, 2012)

Gambar 2.16. Luka tembak masuk yang tidak biasa (atipikal), ditandai dengan ukuran
besar dan lecet pinggir yang relatif luas. Biasanya luka seperti itu terjadi ketika peluru
telah melewati perantara sebelum mengenai korban (Prahlow & Byard, 2012)
Luka masuk bisa bervariasi secara keseluruhan dalam bentuk dan penampilan berdasarkan
seberapa jauh moncong senjatanya dari korban, yang disebut ring of fire. Salah satunya adalah
luka masuk yang terjadi di atas tengkorak, kemudian gas dan asap peledak yang keluar dari
senjata dapat membelah antara kulit dan tulang di daerah sekitar area masuk luka, menyebabkan
munculnya ''stellate'' atau ''starburst‖.

Gambar 2.17. Kontak luka masuk pada kulit kepala (dahi), menunjukkan karakteristik bentuk
seperti bintang (stellate) karena kulit pecah karena gas telah membelah antara kulit dan tulang
tengkorak yang mendasari (Prahlow & Byard, 2012).

2.2.3.2. Luka Tembak Keluar (Exit Wound)


Luka keluar dari senjata api dengan kecepatan rendah cenderung menjadi relatif kecil,
dan dapat memiliki berbagai bentuk, berkisar dari seperti celah, berbentuk koma, berbentuk X
hingga berbentuk tidak beraturan. Luka keluar mungkin tidak memiliki pusat, bulat ke cacat oval,
tetapi luka keluar khas tidak memiliki marginal lecet. Dengan amunisi kecepatan rendah, hal ini
tidak jarang terjadi untuk peluru yang kekurangan energi untuk benar-benar keluar dari tubuh,
terutama bila amunisi kaliber kecil digunakan. Luka keluar dari senjata api dengan kecepatan
tinggi cenderung sangat besar dan merusak.

Gambar 2.18. Luka tembak keluar yang berbentuk seperti celah (Prahlow & Byard, 2012).

Gambar 2.19. Luka keluar berbentuk tidak beraturan. Perhatikan tidak adanya lecet marjinal
(Prahlow & Byard, 2012).
Gambar 2.20. Luka keluar berkecepatan tinggi, dengan kerusakan jaringan yang luas(Prahlow & Byard, 2012).

2.3 Penanganan Trauma Mekanik


2.3.1 ABCDE dalam Trauma
Pengelolaan trauma ganda yang berat memerlukan kejelasan dalam menetapkan prioritas.
Tujuannya adalah segera mengenali cedera yang mengancam jiwa dengan Survey Primer
seperti :
1. Obstruksi jalan nafas
2. Cedera dada dengan kesukaran bernafas
3. Perdarahan berat eksternal dan internal
4. Cedera abdomen
Jika ditemukan lebih dari satu orang korban maka pengelolaan dilakukan berdasar prioritas
(triage). Hal ini tergantung pada pengalaman penolong dan fasilitas yang ada.
Survei ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability, Exposure) ini disebut survei primer
yang harus selesai dilakukan dalam 2 – 5 menit . Terapi dikerjakan serentak jika korban
mengalami ancaman jiwa akibat banyak sistim yang cedera :
1. Airway
Menilai jalan nafas bebas. Apakah pasien dapat bicara dan bernafas dengan bebas? Jika ada
obstruksi maka lakukan :
a. Chin lift / jaw thrust (lidah itu bertaut pada rahang bawah)
b. Suction / hisap (jika alat tersedia)
c. Guedel airway / nasopharyngeal airway
d. Intubasi trakhea dengan leher di tahan (imobilisasi) pada posisi netral
2. Breathing
Menilai pernafasan cukup. Sementara itu nilai ulang apakah jalan nafas bebas. Jika
pernafasan tidak memadai maka lakukan :
a. Dekompresi rongga pleura (pneumotoraks)
b. Tutuplah jika ada luka

3. Sirkulasi
Menilai sirkulasi / peredaran darah. Sementara itu nilai ulang apakah jalan nafas bebas
dan pernafasan cukup. Jika sirkulasi tidak memadai maka lakukan :
a. Hentikan perdarahan eksternal
b. Segera pasang dua jalur infus dengan jarum besar (14 – 16 G)
c. Berikan infus cairan

4. Disability
Menilai kesadaran dengan cepat, apakah pasien sadar, hanya respons terhadap nyeri atau
sama sekali tidak sadar. Tidak dianjurkan mengukur Glasgow Coma Scale
AWAKE = A
RESPONS BICARA (verbal) = V RESPONS NYERI = P
TAK ADA RESPONS = U
Cara ini cukup jelas dan cepat.

5. Eksposure
Lepaskan baju dan penutup tubuh pasien agar dapat dicari semua cedera yang
mungkin ada. Jika ada kecurigaan cedera leher atau tulang belakang, maka imobilisasi in-line
harus dikerjakan.
2.3.2 . Pengelolaan Jalan Nafas
Prioritas pertama adalah membebaskan jalan nafas dan mempertahankannya agar tetap bebas.

1. Bicara kepada pasien


Pasien yang dapat menjawab dengan jelas adalah tanda bahwa jalan nafasnya
bebas. Pasien yang tidak sadar mungkin memerlukan jalan nafas buatan dan bantuan
pernafasan. Penyebab obstruksi pada pasien tidak sadar umumnya adalah jatuhnya
pangkal lidah ke belakang. Jika ada cedera kepala, leher atau dada maka pada waktu
intubasi trachea tulang leher (cervical spine) harus dilindungi dengan imobilisasi in- line.
2. Berikan oksigen dengan sungkup muka (masker) atau kantung nafas ( selfinvlating)
3. Menilai jalan nafas
Tanda obstruksi jalan nafas antara lain :
a. Suara berkumur
b. Suara nafas abnormal (stridor, dsb)
c. Pasien gelisah karena hipoksia
d. Bernafas menggunakan otot nafas tambahan / gerak dada paradox
e. Sianosis
4. Menjaga Stabilitas Tulang Leher
5. Pertimbangkan Untuk Memasang Jalan Nafas Buatan Indikasi tindakan ini adalah :
a. Obstruksi jalan nafas yang sukar diatasi
b. Luka tembus leher dengan hematoma yang membesar
c. Apnea
d. Hipoksia
e. Trauma kepala berat
f. Trauma dada
g. Trauma wajah / maxillo-facial

2.3.3 Pengelolaan Nafas (Ventilasi )


Prioritas kedua adalah memberikan ventilasi yang adekuat.
a. Inspeksi / lihat frekwensi nafas (LOOK) Adakah hal-hal berikut :
b. Sianosis
c. Luka tembus dada
d. Flail chest
e. Sucking wounds
f. Gerakan otot nafas tambahan
g. Palpasi / raba (FEEL)
● Pergeseran letak trachea
● Patah tulang iga
● Emfisema kulit
● Dengan perkusi mencari hemotoraks dan atau pneumotoraks
● Auskultasi / dengar (LISTEN)
• Suara nafas, detak jantung, bising usus
• Suara nafas menurun pada pneumotoraks
• Suara nafas tambahan / abnormal
• Tindakan Resusitasi

2.3.4 Survei Sekunder


Survei Sekunder hanya dilakukan bila ABC pasien sudah stabil. Bila sewaktu survei
sekunder kondisi pasien memburuk maka kita harus kembali mengulangi primary survey. Semua
prosedur yang dilakukan harus dicatat dengan baik. Pemeriksaan dari kepala sampai ke jari kaki
(head-to-toe examination) dilakukan dengan perhatian utama :
1. Pemeriksaan kepala
a. Kelainan kulit kepala dan bola mata
b. Telinga bagian luar dan membrana timpan
c. Cedera jaringan lunak periorbital

2. Pemeriksaan leher
a. Luka tembus leher
b. Emfisema subkutan
c. Deviasi trachea
d. Vena leher yang mengembang

3. Pemeriksaan neurologis
a. Penilaian fungsi otak dengan Glasgow Coma Scale (GCS)
b. Penilaian fungsi medula spinalis dengan aktivitas motorik
c. Penilaian rasa raba / sensasi dan reflex

4. Pemeriksaan dada
a. Clavicula dan semua tulang iga
b. Suara napas dan jantung
c. Pemantauan ECG (bila tersedia)

5. Pemeriksaan rongga perut (abdomen)


a. Luka tembus abdomen memerlukan eksplorasi bedah
b. Pasanglah pipa nasogastrik pada pasien trauma tumpul abdomen kecuali bila ada
c. trauma wajah
d. Periksa dubur (rectal toucher)
e. Pasang kateter kandung seni jika tidak ada darah di meatus externus

6. Pelvis dan ekstremitas


a. Cari adanya fraktura (pada kecurigaan fraktur pelvis jangan melakukan tes gerakan
b. apapun karena memperberat perdarahan)
c. Cari denyut nadi-nadi perifer pada daerah trauma
d. Cari luka, memar dan cedera lain

7. Pemeriksaan sinar-X (bila memungkinkan) untuk :


a. Dada dan tulang leher (semua 7 ruas tulang leher harus nampak)
b. Pelvis dan tulang panjang
c. Tulang kepala untuk melihat adanya fraktura bila trauma kepala tidak disertai defisit
d. neurologis foka
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Traumatologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari tentang trauma
atau perlukaan, cedera serta hubungannya dengan berbagai kekerasan (rudapaksa), yang
kelainannya terjadi pada tubuh karena adanya diskontinuitas jaringan akibat kekerasan
yang menimbulkan jejas.
Klasifikasi trauma (berdasarkan sifat dan penyebab) : Trauma Mekanik
(Kekerasan oleh benda tajam, kekerasan oleh benda tumpul, tembakan senjata), Trauma
Fisik (Suhu, listrik dan petir, akustik, radiasi, tekanan udara), Trauma Kimia (Asam
basa atau kuat). Trauma mekanik diantaranya adalah trauma tumpul, trauma tajam, luka
tembak, Penanganan trauma mekanik yaitu Survei ABCDE (Airway, Breathing,
Circulation, Disability, Exposure) ini disebut survei primer yang harus selesai
dilakukan dalam 2 – 5 menit dan Survei Sekunder hanya dilakukan bila ABC pasien
sudah stabil
3.2. Saran
Demikianlah makalah ini disusun dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi
kita semua. Sebaiknya para pembaca menumbuhkan minat untuk lebih mencari tahu
dalam menambah wawasan dan pengetahuan mengenai konsep dasar trauma dalam
keperawatan gawat darurat. Penulis sadar bahwa dalam penulisan makalah ini masih
sangat jauh dari kesempurnaan. Jadi, kritik dan saran yang membangun sangat
diharapkan demi penyempurnaan makalah ini lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Bardale, R. 2011, Principles of Forensic Medicine & Toxicology, Jaypee Brothers Medical
Publishers (P) Ltd, New Delhi.
Biswas, G. 2012, Review of Forensic Medicine & Toxicology, 2nd edn, Jaypee Brothers Medical
Publishers (P) Ltd, New Delhi.
Catanese, C. (ed) 2016, Color Atlas of Forensic Medicine and Pathology, 2nd edn, CRC Press,
Boca Raton.
Iswara, R.A.F.W., Relawati, R., Rohmah, I.N. 2017, ‗Pola Perlukaan Kekerasan terhadap Anak
dan Perempuan‘, Medica Hospitalia, vol. 4, no. 3, pp. 191- 194.
Prahlow, J. A. 2016, ‗Forensic Autopsy of Sharp Force Injuries‘, Medscape, [online], Available
at: https://emedicine.medscape.com/article/1680082- overview
TG Situmorang. 2021, Prevalensi Trauma Mekanik. http://repositori.usu.ac.id Diakses pada tgl 5
April 2021
World Health Organization 2014, Global Status Report on Violence Prevention 2014, WHO
Library Cataloguing-in-Publication Data, Geneva.

Anda mungkin juga menyukai