Anda di halaman 1dari 35

1

MAKALAH

INTEGRASI HASIL PENELITIAN KE DALAM ASUHAN


KEPERAWATAN PADA SISTEM KARDIOVASKULER,
RESPIRASI, PERSYARAFAN,
MUSKULOSKELETAL

Mata Kuliah : Keperawatan Kritis


Dosen Pengajar : Takesi Arisandi, Ners., M. Kep

Di Susun Oleh :
Yulita ( 2017.C.09a.0921 )

YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PRODI SARJANA KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2020/2021
2

KATA PENGANTAR

Puji syukur khadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat-Nya
sehingg kami dapat menyelesaikan pembuatan makalah ini. Di makalah ini
memaparkan beberapa hal terkait “ Integrasi Hasil Penelitian ke Dalam Asuhan
Keperawatan pada Sistem Kardiovaskuler, Respirasi, Persyarafan,
Muskuloskeletal”. Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas
bantuan dari pihak telah memberikan motivasi baik materi maupun pikirannya.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman, kami yakin masih
banyak kekurangan dalam makalah ini, oleh karena itu kami sangat mengharapkan
saran dan kritik yang membangun dari para pembaca demi kesempurnaan
makalah ini ke depannya.

Palangka Raya, 17 Maret 2020

Penyusun

iii
i
3

DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1


1.2 Rumusan Masalah2
1.3 Tujuan Masalah 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi 3
2.2 Patofisiologi 8
2.3 Farmakologi 19
2.4 Terapi Diet 24
BAB 3 PENUTUP

3.1 Kesimpulan 31

3.2 Saran 31

DAFTAR PUSTAKA

ii
1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Integrasi berasal dari bahasa Latin dan bahasa Inggris, dalam bahasa latin
integrasi berasal dari kata Integer, Integra, Integrum yang memiliki arti utuh,
seluruhnya. Sedangkan dalam bahasa Inggris berasal dari kata Integration, yang
memiliki arti kesempurnaan atau keseluruhan. Sehingga dapat didefinisikan
integrasi merupakan penyatuan unsur-unsur dari sesuatu yang berbeda atau
beraneka ragam sehingga menjadi satu kesatuan dan pengendalian terhadap
konflik atau penyimpangan dari penyatuan unsur-unsur tersebut. Proses integrasi
akan terjadi jika perubahan itu membawa unsur-unsur yang cocok dengan
penambahan unsur-unsur baru di dalam proses perubahan itu menyatu di dalam
kerangka kepentingan struktur yang ada. Pada proses integrasi juga akan ada
proses saling menarik, saling tergantung, dan saling menyesuaikan (adaptasi).
Dalam era globalisasi sekarang ini, perawat dituntut untuk meningkatkan
kinerja dan daya saing sebagai tenaga kerja dengan tidak mengurangi misi sosial
yang dibawanya. Perawat harus merumuskan kebijakan-kebijakan strategis antara
lain efisiensi serta harus mampu secara cepat dan tepat mengambil keputusan
untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat agar dapat menjadi tenaga kerja
yang responsif, inovatif, efektif, efisien dan menguntungkan. Sistem terintegrasi
merupakan sistem informasi yang melibatkan berbagai unit fungsional di dalam
perusahaan maupun hubungan perusahaan dengan pihak luar seperti pelanggan
dan pemasok. Namun masih banyak yang belum tau tentang bagaimana sistem
intergasi itu berjalan dan dan pembuatan sistem terintegrasitersebut.
Perkembangan ilmu pengetahuan melalaui tranformasi teknologi sudah
dapat dirasakan manfaatnya khususnya dalam bidang kesehatan. Mahalnya biaya
kesehatan mendorong pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan melalui
telemonitoring. Keberhasilan penerapan teknologi informasi ditentukan oleh
perngkat keras dan perngkat lunak, namun yang terpenting adalah persiapan
pengguna teknologi tersebut.

1
2

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana integrasi hasil penelitian terkait ke dalam asuhan
keperawatan pada sistem kardiovasler, respirasi, persyarafan, dan
muskuloskeletal ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui integrasi hasil penelitian terkait ke dalam asuhan
keperawatan pada sistem kardiovasler, respirasi, persyarafan, dan
muskuloskeletal
3

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Kardiovaskuler


Hubungan Tingkat Kecemasan Dengan Mekanisme Koping Pada Pasien
Gagal Jantung Kongestif Di RSU Pandan Arang Boyolali
Atina Inayah Ihdaniyati *
Winarsih Nur A **
2.1.1 Abstract
Intisari Latar belakang: Kecemasan pada pasien gagal jantung kongestif
terjadi karena mereka mengalami sesak napas dan nyeri dada sehingga mereka
cenderung khawatir. Kecemasan dapat memotivasi individu untuk
menyesuaikan diri dengan stresor dan melakukan tindakan untuk
memperbaikinya. Mekanisme koping adalah hasil dari tindakan individu untuk
menghadapi stressor. Ketika individu dapat menghadapi stressor dengan sangat
baik, itu akan memberikan adaptasi yang adaptif. Tetapi ketika individu tidak
dapat menemukan solusi yang baik, ia akan melakukan penanganan maladaptif.
Tujuan penelitian: Untuk mengetahui hubungan antara tingkat kecemasan
dengan mekanisme koping pada pasien gagal jantung kongestif.
Metode penelitian: Penelitian ini bersifat non eksperimental dengan metode
deskriptif korelasi menggunakan pendekatan cross sectional. Teknik
pengambilan sampel yang digunakan adalah accidental sampling dengan jumlah
sampel sebanyak 30 responden. Uji validitas menggunakan uji Product Moment
dan uji reliabilitas menggunakan uji Alpha Cronbach. Untuk analisis data,
digunakan uji Kendal tau-b dengan uji normalitas data menggunakan uji z.
Hasil penelitian: Hasil analisis korelasi Kendal tau-b menunjukkan bahwa nilai
hitung sebesar -0,745 dengan probabilitas 0,000 (p <0, 05). Kemudian, uji
signifikansi menggunakan uji z dengan hasil 5,782 yang untuk N = 30, nilai z
tabel adalah 1, 96. Ini berarti nilai z hitung> z tabel. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa ada hubungan negatif yang mampu dan signifikan antara tingkat
kecemasan dengan mekanisme koping.
Kata kunci: tingkat kecemasan, mekanisme koping, gagal jantung kongestif.

3
4

2.1.2 Metode Penelitian


Jenis penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain
penelitian mengunakan rancangan deskriptif korelatif yaitu rancangan penelitian
yang bermaksud untuk mencari hubungan antara dua variabel. Sedangkan
rancangan penelitian yang digunakan adalah cross sectional karena pengumpulan
data kedua variabel dilaksanakan dalam waktu bersamaan atau dalam satu waktu
(Nursalam, 2003).
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah pasien Gagal Jantung
Kongestif yang mengalami kecemasan pada bulan Februari-Maret 2008 dengan
rata-rata pasien perbulan sebanyak 18 pasien. Tehnik pengambilan sampel dalam
penelitian ini adalah Aksidental sampling.
Analisa data dilakukan secara univariat untuk mengetahui
karakteristik responden berdasarkan umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan,
status perkawinan, tingkatan penyakit, tingkat kecemasan dan mekanisme koping.
Sedangkan analisa bivariat menggunakan Kendal tau-b dengan uji signifikansi
menggunakan uji z.
2.1.3 Hasil Penelitian
Hubungan antara tingkat kecemasan dengan mekanisme koping pada
pasien Gagal Jantung Kongestif dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini :

Pada tabel 1 di atas diketahui pasien yang mempunyai kecemasan tingkat


ringan melakukan mekanisme koping adaptif sebanyak 5 orang (16,7%), dan
tidak ada yang melakukan mekanisme koping maladaptif. Pasien dengan
kecemasan tingkat sedang yang melakukan mekanisme koping adaptif
5

sebanyak 20 orang (66,7%), dan tidak ada yang melakukan mekanisme koping
maladaptif. Pasien yang mempunyai kecemasan tingkat berat melakukan
mekanisme koping maladaptif sebanyak 5 orang (16,7%) dan tidak ada yang
melakukan mekanisme koping adaptif.
Uji normalitas data menggunakan metode Kolmogorov-Smirnov. Cara
menguji normalitas yaitu dengan membandingkan probabilitas (p) yang
diperoleh dengan taraf signifikansi (α) 0,05. Apabila nilai p > α maka
terdistribusi normal atau sebaliknya (Singgih, 2000: 179). Hasil uji normalitas
masing-masing variabel dengan program SPSS 10.0 terhadap nilai residual
diperoleh nilai probabilitas di atas 0,05, hal ini menunjukkan bahwa data
berdistribusi secara normal ( p > 0,05). Secara rinci uji normalitas dapat dilihat
pada tabel di bawah ini :

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah statistik non
parametrik teknik bivariabel dengan uji korelasi Kendal tau-b untuk mencari
hubungan dan menguji hipotesis dua variabel. Dalam penelitian ini akan di uji
hubungan antara tingkat kecemasan dengan mekanisme koping pasien Gagal
Jantung Kongestif.
Hasil analisis dengan program SPSS 10.0 diperoleh nilai koefisien korelasi
sebesar -0,745 dengan probabilitas sebesar 0,000 (p < 0,05). Hasil tersebut
menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara tingkat kecemasan dengan
mekanisme koping. Untuk menguji signifikansi korelasi menggunakan rumus z,
hasil perhitungan uji z diperoleh nilai z sebesar 5,782 sedangkan nilai z tabel pada
N = 30 adalah sebesar 1,96, berarti (z hitung > z ) maka Ho ditolak dan Ha
tabel

diterima, maka dapat disimpulkan bahwa tingkat kecemasan mempunyai


hubungan yang kuat dan signifikan dengan mekanisme koping pada pasien Gagal
Jantung Kongestif.
6

2.1.3 Pembahasan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan
antara tingkat kecemasan dengan mekanisme koping. Dari perolehan data
didapatkan 5 responden mengalami kecemasan ringan, 20 responden mengalami
kecemasan sedang dan 5 responden mengalami kecemasan berat. Dari 25
responden yang mengalami kecemasan ringan dan sedang, mereka dapat
melakukan mekanisme koping yang adaptif dan tidak ada yang melakukan
mekanisme koping maladaptif. Hal ini dikarenakan mereka dapat mengendalikan
perasaan cemas yang muncul sehingga mampu mengembangkan mekanisme
koping yang konstruktif. Sedangkan 5 responden yang mengalami kecemasan
berat, semuanya melakukan mekanisme koping yang maladaptif. Hal ini
disebabkan oleh karena mereka tidak mampu mengendalikan kecemasannya dan
takut akan kematian yang sewaktu-waktu dapat mengancam jiwanya sehingga
pada saat mereka jenuh dengan keadaanya, mereka cenderung pasrah pada
keadaan dan melakukan koping yang destruktif dan merugikan.
Dari 5 responden yang mengalami kecemasan ringan, semuanya belum
pernah dirawat dengan penyakit yang sama, sehingga kerusakan organ jantung
belum terlalu parah. Sesak nafas yang mereka alami dapat berkurang ketika
diberikan bantuan nafas berupa oksigen. Pasien dengan kecemasan ringan masih
mampu mengendalikan mekanisme koping untuk menurunkan kecemasannya
(Prasetyo, 2006). Jadi ketika terjadi serangan sesak nafas dan nyeri dada, mereka
segera memeriksakan diri ke dokter atau rumah sakit untuk mendapatkan
penanganan yang tepat.
Dalam penelitian ini sebagian besar responden yaitu sebanyak 20
responden mengalami kecemasan sedang. Pada kecemasan tingkat ini
memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada masalah yang penting dan
mengesampingkan yang lain sehingga seseorang mengalami perhatian yang
selektif namun dapat melakukan sesuatu yang terarah (Townsend, 2005).
Penemuan di lapangan menunjukkan bahwa responden yang mengalami
kecemasan sedang, mereka mengalami sesak nafas, tekanan darah naik dan
denyut nadi yang cepat. Ketika diajak bicara mereka menjawab dengan nada
bicara yang keras dan cepat. Mereka seperti tergesa-gesa dalam menjawab
7

pertanyaan dan terkadang menangis. Akan tetapi mereka masih dapat diajak
untuk kerjasama dan mematuhi prosedur pengobatan.
Menurut Smeltzer (2001) bahwa pada pasien gagal jantung kongestif,
kecemasan yang dialami dikarenakan mereka mengalami kesulitan
mempertahankan oksigenasi yang adekuat, maka mereka cenderung cemas dan
gelisah karena sulit bernafas. Hal ini menyebabkan perhatian menjadi selektif
dan terfokus pada rangsang yang tidak menambah kecemasan. Dalam penelitian
ini responden yang mengalami kecemasan sedang mampu melakukan
mekanisme koping yang adaptif dikarenakan mereka mendapat ketenangan batin
dari dukungan keluarga yang kuat supaya lekas sembuh. Jadi meskipun mereka
mengalami sesak nafas, nyeri dada dan rasa takut akan kematian, akan tetapi
berkat kehadiran anggota keluarga yang selalu menemani dan memberikan
dukungan positif, mereka mampu mengendalikan kecemasan- nya dengan baik
dan mau mematuhi semua prosedur pengobatan sehingga mereka mampu
melakukan mekanisme koping yang adaptif.
Menurut Niven (2002) bahwa dukungan keluarga dapat membantu
meningkatkan mekanisme koping individu dengan memberikan dukungan emosi
dan saran-saran mengenai strategi alternatif yang didasarkan pada pengalaman
sebelumnya dan mengajak orang lain berfokus pada aspek-aspek yang lebih
positif. Dari hasil wawancara dan pengamatan peneliti, bahwa pasien gagal
jantung dengan kecemasan sedang mengharapkan dukungan berupa dukungan
emosi, saran dan informasi dari keluarga dan petugas kesehatan (dokter dan
perawat) yang berkaitan dengan penyakitnya. Sehingga selain pengobatan medis
adanya dukungan sosial yang positif akan membantu seseorang untuk
beradaptasi lebih baik secara emosional dengan mencegah perasaan cemas dan
sedih yang berlarut-larut terhadap penyakit (Atkinson,1997).
Selain mendapat dukungan dari keluarga, pasien gagal jantung kongestif
yang mengalami kecemasan sedang juga melakukan pendekatan religius dengan
cara berdzikir, berdo’a sesuai dengan keyakinan masing-masing dan melakukan
sholat meskipun dengan berbaring. Dengan melakukan pendekatan religius
tersebut, kebanyakan pasien dapat merasakan ketenangan batin sehingga mampu
mengendalikan kecemasannya dan melakukan mekanisme koping yang adaptif.
8

Sedangkan 5 responden yang mengalami kecemasan berat, kesemuanya


sudah pernah mengalami gagal jantung dan dirawat di rumah sakit. Kelima
responden tersebut semuanya melakukan mekanisme koping yang maladaptif.
Pasien gagal jantung yang mengalami kekambuhan tidak hanya menyebabkan
masalah psikologis, sosiologis dan finansial, tetapi beban fisiologis pasien akan
menjadi lebih serius. Organ tubuh menjadi rusak dan serangan berulang dapat
menyebabkan fibrosis paru, sirosis hepatis, pembesaran limpa dan ginjal, bahkan
kerusakan otak akibat kekurangan oksigen selama episode akut (Smeltzer,
2001). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat
kecemasan pasien maka akan semakin rendah atau semakin buruk mekanisme
koping yang dilakukan.
Berdasarkan data yang diperoleh dari penelitian didapatkan bahwa 100%
pasien dengan kecemasan ringan dan sedang mempunyai mekanisme koping
adaptif dan 100% pasien dengan kecemasan berat mempunyai mekanisme
koping maladaptif.

2.2 Sistem Respirasi


Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Gejala Gangguan Sistem
Pernapasan Akibat Paparan Debu Silika (Sio2) Pada Area Hand Moulding I,
Hand Moulding Ii, Hand Moulding Iii, Fetling Dan Melting Pekerja Pabrik 1
Pengecoran Pt Barata Indonesia (Persero)
Aulia Kesuma Wardhani.P1, Siti Rachmawati2, Seviana Rinawati3
1,2,3
Program Studi Diploma III Hiperkes dan Keselamatan Kerja, Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta
Email: 2rachmauns@gmail.com
2.2.1 Abstrak
Silikosis merupakan penyakit ganguan pernapasan paling utama yang
dialami oleh pekerja pengecoran. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
faktor-faktor yang berhubungan dengan gejala gangguan sistem pernapasan akibat
paparan debu silika (SiO2) Pada Area Hand Moulding I, Hand Moulding II, Hand
Moulding III, Fetling dan Melting Pekerja Pabrik 1 Pengecoran PT Barata
Indonesia (Persero). Penelitian ini menggunakan metode observasional analitik.
9

Pengumpulan data dilakukan menggunakan kuisioner yang disebar pada


area HM I, HM II, HM III, Fetling dan Melting. Hasil kuisioner yang diperoleh
diuji menggunakan uji analitik chi square. Sebanyak 15 orang responden laki-laki
atau 50% mengalami gangguan pernafasan. Bedasarkan hubungan gangguan
pernafasan yang dihubungkan dengan pekerja yang memiliki aktivitas merokok
dan mengalami gangguan pernafasan sebanyak 7 orang (p value
0,296>0,05;OR:2.139). Pekerja dengan masa kerja 2-4 tahun sebanyak 13 orang
dan masa kerja > 4 tahun sebanyak 4 orang (p value 0,977>0,05;OR:1.122).
Pekerja yang berpendidikan SMA yaitu sebanyak 14 orang (p value : 0,307>0,05)
dan pekerja yang mempunyai riwayat dahulu 14 orang (p value : 0,002<0,05;OR :
17.500) .
Hasil dari uji berbagai faktor diatas membuktikan bahwa faktor riwayat
pekerjaan dahulu mempunyai tingkat hubungan paling kuat yaitu 0,002 dan
mempunyai risiko 17 kali lebih besar dari pada yang tidak memiliki riwayat
pekerjaan dahulu. Faktor yang tidak berhubungan dengan gejala gangguan sistem
pernapasan akibat paparan debu silika (SiO2) pada Area HM I, HM II, HM III,
Fetling dan Melting Pekerja Pabrik 1 Pengecoran PT Barata Indonesia (Persero)
adalah aktivitas merokok, masa kerja dan pendidikan, sedangkan faktor yang
berhubungan adalah riwayat pekerjaan yang dimiliki pekerja.
Kata kunci : Debu Silika, Gangguan Sistem Pernafasan
2.2.2 Metode Penelitian
Penelitian ini adalah observasional analitik menggunakan metode survei
dengan pendekatan cross sectional di mana data yang menyangkut variabel bebas
atau risiko dan variabel terikat atau variabel akibat akan dikumpulkan dalam
waktu yang bersamaan. Pada penelitian menggunakan total sampling. Total
sampling adalah teknik pengambilan sampel di mana jumlah sampel sama dengan
populasi (Sugiyono, 2007). Sampel penelitian ini berjumlah 30 responden diambil
dari seluruh pekerja pada area yang terpapar debu silika secara langsung yaitu
pada bagian melting, fetling, hand moulding 1 dan hand moulding 3.
2.2.3 Hasil Dan Pembahasan
Pabrik 1 pengecoran PT Barata Indonesia terdiri dari beberapa area
dengan proses kerja yang berbeda-beda. Terdapat beberapa area yang banyak
berhubungan dengan debu. Pekerja yang bekerja dalam area yang memiliki
10

paparan debu melakukan kontak langsung terhadap alat kerja contohnya adalah
pekerja pada mesin shake out. Mesin shake out digunakan untuk memadatkan
pasir silika ke dalam flask. Setiap pekerja memakai masker yang disediakan
perusahaan namun bedasarkan wawancara yang dilakukan, PT Barata
Indonesia belum menggunakan masker N95 sesuai dengan ketentuan B4T.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan pihak safety officer PT Barata
Indonesia diperoleh area dengan proses kerja terpapar debu silika paling sering
adalah pada area hand moulding I, hand moulding II, hand mouding III, fetling
dan melting. Hasil wawancara tersebut juga diperkuat dengan hasil wawancara
pada 5 orang pekerja dari masing-masing area tersebut. Pada setiap proses kerja
area tersebut ditangani oleh pekerja dengan karakteristik dan kebiasaan yang
berbeda-beda yang mampu mempengaruhi tingkat efek paparan debu silika
terhadap pekerja.
2.2.3.1 Karakteristik Pekerja
1) Jenis Kelamin
Jenis kelamin pada area bagian hand moulding I, hand moulding II,
hand mouding III, fetling dan melting adalah pria sehingga dalam
penelitian ini jenis kelamin termasuk dalam subjek penelitian. Data
terkait jumlah pekerja pria pada area hand moulding I, hand moulding
II, hand mouding III, fetling dan melting dapat dilihat pada Table 1.

2) Aktivitas Merokok
Pada pekerja dalam penelitian ini diketahui melalui hasil pengisian
kuisioner dan beberapa wawancara yang dilakukan. Data terkait jumlah
tenaga kerja area hand moulding I, hand moulding II, hand mouding III,
11

fetling dan melting yang mempunyai aktivitas merokok dapat dilihat pada
Tabel 2.

3) Masa Kerja
Masa kerja pada pekerja dalam penelitian ini diketahui melalui hasil
pengisian kuisioner dan beberapa wawancara yang dilakukan. Data terkait
pengelompokan masa kerja sesuai pada tenaga kerjaarea hand moulding I,
hand moulding II, hand mouding III, fetling dan meltin dapat dilihat pada
Tabel 3.

4) Pendidikan
Pendidikan terakhir pada pekerja dalam penelitian ini diketahui melalui
hasil pengisian kuisioner dan beberapa wawancara yang dilakukan. Data
terkait tingkat pendidikan pada tenaga kerjaarea hand moulding I, hand
moulding II, hand mouding III, fetling dan melting dapat dilihat pada
Tabel 4.
12

5) Riwayat Pekerjaan Dahulu


Riwayat pekerjaan pada pekerja dalam penelitian ini diketahui melalui
hasil pengisian kuisioner dan beberapa wawancara yang dilakukan. Data
terkait riwayat pekerjaan dahulu pada tenaga kerjaarea hand moulding I,
hand moulding II, hand mouding III, fetling dan melting dapat dilihat pada
Tabel 5.

6) Gangguan Pernapasan
Keluhan Subjektif gangguan pernafasan pada pekerja dalam penelitian ini
diketahui melalui hasil pengisian kuisioner dan beberapa wawancara yang
dilakukan. Data terkait jumlah keluhan subjektif gangguan pernafasan area
hand moulding I, hand moulding II, hand mouding III, fetling dan melting
pabrik pengecoran 1 PT Barata Indonesia (Persero) dapat dilihat pada
Tabel 6.
13

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari total 30 pekerja yang bekerja pada
area Hand Moulding 1, Hand Moulding 3 Fetling dan Melting diperoleh hasil
bahwa 15 orang atau 50% pekerja mengalami gangguan pernafasan dan 50%
sisanya tidak mengalami gangguan pernapasan. Standar area yang digunakan
untuk penelitian gangguan pernafasan akibat debu silika yang dialami pekerja
diperoleh melalui penelitian Kayhan (2013) menyebutkan bahwa paparan tertinggi
debu silika pada area pengecoran adalah area fetling, core making furnace,
melting, moulding dan penuangan. Penelitian tersebut juga memaparkan bahwa
asma kerja menjadi occupa kedua yang lazim.
Penyakit paru-paru setelah pneumokoniosis. Pekerjaan yang berpotensi
menyebabkan penyakit asma telah dilaporkan. Pekerjaan tersebut antara lain
pekerjaan tekstil, produsen plastik, penata rambut, pengolah makanan, pekerja
pabrik kertas, tukang las, dan pengolaan bahan kimia. Pekerja pengecoran juga
memiliki risiko asma akibat pekerjaan. Dalam banyak kasus lain, sebelumnya
dilaporkan ada yang mengalami peningkatan jumlah kasus kanker paru-paru di
antara pekerja pengecoran. Prevalensi pneumoconiosis dilaporkan sebesar 3,7%
pada 950 pekerja pengecoran.
Penelitian pendukung selanjutnya yaitu bedasarkan Zhang (2010)
menyatakan bahwa resiko terbesar paparan debu silika adalah pada area cast .
Hasil pengukuran kadar debu silika pada masing-masing cerobong menunjukkan
bahwa dalam pengukuran 6 bulan terakhir kadar debu silika dengan hasil 0.252
mg/Nm3. Hal tersebut sesuai dengan Kayhan dkk. (2013) menyebutkan bahwa
hubungan antara tingkat paparan dan kelainan pernafasan, untuk mengukur
perubahan FVC dan FEV1 per tahun berdasarkan pekerjaan dan untuk mengetahui
prevalensi dan faktor yang terkait dengan pneumokoniosis. Sebanyak 583 pekerja
pria dari 50 pengecoran besi di Taiwan tengah diselidiki.
14

Penelitian pendukung selanjutnya adalah Zhang (2010) menyatakan bahwa


apabila insiden paparan silikosis ingin dikurangi sebesar 0,001 maka paparan
keseharian debu silikosis terhadap pekerja perlu dikontrol kurang dari 0.2 mg/m 3
untuk 20 tahun masa paparan atau diantara 0.1 mg/m 3 untuk masa paparan silika
30 hingga 40 tahun masa kerja perusahaan. Tidak adanya pohon pada area sekitar
cerobong yang diukur juga menjadi penyebab kadar debu silika pada cerobong
tersebut lebih tinggi dari cerobong yang lain. Konsentrasi debu dalam suatu
lingkungan tergatung juga pada jumlah pohon. Semakin banyak pohon pada area
tersebut maka semakin rendah konsentrasinya. Hal ini disebabkan karena apbila
ada debu yang tidak masuk ke dalam cerobong dapat diserap secara intensif oleh
jumlah pohon yang banyak. Nurjazuli (2010) menyatakan bahwa konsentrasi debu
di bawah tajuk pohon lebih rendah daripada konsentrasi debu di luar tajuk pohon
pada lingkungan yang jumlah pohonnya banyak. Sebaliknya konsentrasi debu
tertinggi pada lingkungan dengan sedikit pohon terdapat di tempat pohon tersebut
berada. Selain itu, penyumbatan pada cerobong akibat penggumpalan debu juga
dapat menurunkan kapasitas penyerapan debu oleh cerobong. Bedasarkan hasil
observasi, diketahui masih banyak pekerja yang tidak menggunakan masker saat
berada di lingkungan kerja. Hal ini dapat menambah potensi pekerja terkena
gangguan pernafasan.
2.2.3.2 Analisis Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Gejala Gangguan
Fungsi Paru Akibat Debu Silika
1) Hubungan Pekerja Perokok dan Non Perokok dengan Keluhan
Subjektif Gangguan Pernafasan
Analisis bivariat yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa
pekerja perokok yang mengalami gangguan pernafasan dan tidak
mengalami gangguan pernafasan mempunyai presentase yang sama
yaitu sebanyak 7 orang atau 50 %. Analisa selanjutnya adalah
diperoleh nilai p sebesar 0,296 yaitu lebih besar 0,05 sehingga tidak
ada hubungan yang signifikan antara pekerja perokok dan non
perokok terhadap keluhan subjektif gangguan pernafasan yang dialami
pekerja. Penurunan fungsi paru pada orang dewasa normal bukan
perokok sekitar 20– 30 tahun ml/ahun. Pada preokok sekitar 30 – 40
15

ml/tahun serta terdapat hubungan yang sangat jelas antara jumlah


rokok yang dihisap setiap tahun dan lama merokok dengan fungsi paru
Hasil dari perhitungan didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh
Wan dkk. (2000) menyatakan bahwa pada fungsi paru pada pekerja
tambang batubara yang terpapar debu rokok tidak berhubungan
terhadap penurunan fungsi paru atau gejala bronkitis, penurunan
fungsi paru atau gejala bronkitis dan dilaporkan bahwa merokok
memiliki pengaruh yang kecil terhadap paparan debu silika pada
gangguan fungsi paru-paru.
Penelitian lain yang mendukung yaitu penelitian yang dilakukan
oleh Gomes dkk. (2001) menyatakan bahwa meskipun merokok
merupakan faktor independen, bedasarkan studi yang dilakukan
membuktikan bahwa merokok tidak memiliki kontribusi tambahan
yang berpengaruh pada gangguan pernapasan akibat paparan debu
silika. Meskipun intensitas merokok seseorang sering dilaporkan
sebagai faktor yang dapat merusak paru-paru namun, pada penelitian
ini tidak ditemukan sebagai faktor yang memperburuk gangguan
pernapasan akibat paparan debu silika. Penelitian ini menyebutkan
bahwa alasan terhadap kasus tersebut mungkin dikarenakan rendahnya
intensitas merokok di kalangan perokok terkenan pajanan debu dan
perokok yang tidak terkena pajanan debu. Alasan kedua adalah karena
dalam penelitian ini tidak dilakukan pembedaan antara perokok saat
ini dan mantan perokok.
2.2.3.3 Hubungan Masa Kerja dengan
1) Keluhan Subjektif Gangguan Pernafasan
Berdasakan uji analitik chi square diketahui bahwa sebanyak 13
orang pekerja hand moulding I, hand moulding II, hand moulding III,
fetling dan melting PT Barata Indonesia (Persero) cabang Gresik atau
43,3% dengan masa kerja 2-4 tahun mengalami gangguan pernapasan
dan sebanyak 4 pekerja atau 13,3 % mengalami gangguan pernapasan.
Bedasarkan analisa bivariat, didapatkan nilai p value sebesar 0,977
yaitu lebih dari 0,05 sehingga tidak ada hubungan yang signifikan
16

antara masa kerja dengan keluhan subjektif gangguan pernapasan


akibat debu silika pada pekerja pengecoran area hand moulding I,
hand moulding II, hand moulding III, fetling dan melting PT Barata
Indonesia (Persero) Gresik. Nilai odds ratio yang diperoleh hanya
1.122 yang artinya pekerja dengan masa kerja >4 tahun mempunyai
risiko 1 kali lebih besar daripada pekerja dengan masa kerja 2-4 tahun.
Teori menurut Morgan dan Parkes dalam Faidawati (2003)
waktu yang dibutuhkan seseorang yang terpapar oleh debu untuk
terjadinya gangguan fungsi paru kurang lebih 10 tahun. Penelitian
serupa yang dilakukan oleh Yulaekah (2007) pada pekerja industri
kapur juga menyebutkan bahwa tidak ada hubungan antara masa kerja
dengan gangguan fungsi paru. Penelitian yang dilakukan oleh J.Bras
(2008) juga menyebutkan bahwa pada keempat penelitian terakhir,
381 penambang emas dengan kultur sputum positif untuk
mycobacterium tuberculosis dan kontrol mereka dievaluasi. Risiko
tuberkulosis meningkat bagi mereka yang pernah bekerja di
pertambangan selama lebih dari 10 tahun, dengan atau untuk periode
paparan lebih dari 15 tahun, risikonya kira-kira 4 kali lebih tinggi.
Pekerjaan yang dianggap melibatkan paparan debu yang lebih tinggi
(misalnya, kerja di bawah tanah vs. pekerjaan di permukaan) pada
diagnosis menunjukkan kecenderungan yang tidak signifikan terhadap
risiko tuberkolosis (or = 1,3; interval kepercayaan: 0,82-1,94).
2) Hubungan Keluhan Gangguan Subjektif Gangguan Pernafasan dan
Tingkat Pendidikan
Berdasarkan uji analitik yang dilakukan diperoleh hasil
bahwa pekerja yang mengalami gangguan pernafasan dengan
tingkat pendidikan SMP sebanyak 1 orang atau 3,3%, SMA
Sederajat sebanyak 14 orang atau 46.7% dan yang terakhir adalah
tingkat universitas dengan 0 pekerja. Analisa selanjutnya adalah
diperoleh nilai p sebesar 0,307 yaitu lebih besar 0,05 sehingga tidak
ada hubungan yang signifikan antara pendidikan dengan keluhan
subjektif gangguan pernafasan yang dialami pekerja.
17

Berdasarkan dasar teori sebelumnya, pendidikan merupakan


salah satu faktor seorang pekerja dapat memahami bagaimana sikap
yang harus dilakukan untuk bekerja dengan sehat dan selamat.
Helda (2007) menyatakan bahwa pendidikan seorang tenaga kerja
mempengaruhi cara berpikirnya dalam menghadapi pekerjaannya,
termasuk cara pencegahan kecelakaan maupun menghindari
kecelakaan saat ia melakukan pekerjaannya. Harianto dkk. (2014)
menyatakan bahwa hal ini dapat disebabkan oleh adanya faktor lain
yang mempengaruhi terjadinya kecelakaan kerja seperti tingkat
pengetahuan dan keterampilan tenaga kerja serta sikap tenaga kerja
itu sendiri dalam melakukan pekerjaannya. Namun faktor
pendidikan tidak selalu menentukan tindakan tidak aman yang
dilakukan oleh pekerja. Berdasarkan penelitian serupa yang
dilakukan oleh Paskarini (2012) untuk mengetahui kuat hubungan
antar variabel, diperoleh nilai contigency coefficient sebesar 0,173
yang artinya terdapat hubungan antara jenis kelamin pekerja
terhadap keluhan pernapasan pada tenaga kerja bagian pemintalan
di PT. Lotus Indah Textile Industries Surabaya adalah rendah.
3) Hubungan Riwayat Pekerjaan terdahulu yang Berhubungan dengan
Debu Keluhan Subjektif Gangguan Pernafasan
Analisis bivariat yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa
pekerja dengan riwayat pekerjaan berdebu yang mengalami gangguan
pernapasan sebanyak 14 orang atau 77,8%. Analisa selanjutnya adalah
diperoleh nilai p sebesar 0,001 yaitu lebih kecil dari 0,05 sehingga
terdapat hubungan yang signifikan antara pekerja dengan riwayat
pekerjaan berdebu terhadap keluhan subjektif gangguan pernafasan
yang dialami pekerja.
Teori menurut WHO data jumlah jam kerja per minggu pada
aktivitas pekerja terpapar debu dapat digunakan untuk memperkirakan
kumulatif paparan yang diterima oleh seorang pekerja. Timbulnya
gangguan fungsi paru pada pekerja pengecoran dapat sangat
tergantung pada lamanya paparan serta dosis paparan yang diterima.
18

Paparan dengan kadar rendah dalam waktu lama mungkin tidak akan
segera menunjukkan adanya gangguan fungsi paru. Hubungan antara
paparan dan efek ini sangat bergantung pada tiga hal yaitu kadar debu
dalam udara, dosis paparan kumulatif (penjumlahan kadar dalam
udara dan lamanya paparan) dan waktu tinggal atau lamanya debu
berada dalam paru. Paparan dengan kadar rendah dalam jangka waktu
lama menyebabkan penyakit yang kurang berat dibandingkan paparan
terhadap kadar tinggi dalam waktu singkat.
Teori dan hasil tersebut diperkuat oleh penelitian yang
dilakukan oleh Cho, Younmo dkk. (2015) menyatakan bahwa seorang
pekerja dengan pekerjaan yang berhubungan dengan paparan debu
silika, gas dan fume selama 10 tahun terdianosis COPD. Pekerja
tersebut pernah bekerja di pabrik roddsa pada bagian proses heat
treatment dan juga pada bagian boiler selama 25 tahun. Probandus
dalam penelitian tersebut bekerja dua pekerjaan setelah berhenti dari
pabrik manufaktur roddsa kemudian bekerja sebagai operator boiler
selama 25 tahun dan juga bekerja di lokasi konstruksi selama beberapa
waktu dan penelitian ini menyatakan bahwa COPD yang dialami oleh
probandus juga merupakan akumulasi dari pekerjaan sebelumnya
yang juga berhubungan dengan paparan debu silika. Suma’mur (2014)
juga menyatakan bahwa cara menegakkan penyakit diagnosis akibat
kerja pada umumnya berlaku pula terhadap penyakit pnemokoniosis.
Untuk timbulnya pnemokoniosis tentunya harus ada riwayat pekerjaan
yang menghadapi risiko inhalasi debu sebagai etologi pnemokoniosis,
misalnya untuk silicosis pernah atau sedang bekerja di pertambangan,
di pabrik keramik, dan lain-lain. Atau juga untuk silicosis tenaga kerja
yang bersangkutan mungkin pabrik penggilingan baru untuk
keperluan konstruksi jalan bagi pekerjaan umum, Mungkin juga
tenaga kerja berprofesi sebagai sandblaster yaitu penghalus
permukaan misalnya logam dengan menyemprotkan debu pasit
sehingga menghadapi risiko menderita silicosis.
19

2.3 Sistem Persyarafan


Hubungan Pengetahuan Dan Sikap Perawat Terhadap Tindakan
Mobilisasi Dini Pasien Stroke Fase Akut Di Bangsal
Anggrek I RSUD Dr. Moewardi Surakarta
Lilik Farida Tri Hastuti, Lilis Murtutik
2.3.1 Abstrak
Latar Belakang Stroke merupakan penyebab kematian kedua setelah penyakit
jantung. Stroke merupakan penyebab kematian/ kecacatan utama di Indonesia.
Menurut data pada tahun 2008 di RSUD Dr. Moewardi Surakarta kasus stroke
yang ditangani kurang lebih mencapai 976 kasus. Program mobilisasi dini sangat
penting bagi usaha untuk menolong pasien yang mengalami gangguan stroke fase
akut.
Tujuan : Mengetahui hubungan pengetahuan dan sikap perawat terhadap
mobilisasi dini pasien stroke fase akut di RSUD Dr. Moewardi.
Metode : Observasional menggunakan rancangan cross sectional . Alat ukur
adalah kuisioner . Populasi sampel 45 orang sedang Sampel penelitian ialah
perawat dan pernah terlibat mobilisasi dini berjumlah 42 orang. Data diuji dengan
korelasi Kendall Tau..
Hasil Penelitian : Terdapat hubungan positif dengan tingkat signifikasi lemah
antara variabel pengetahuan dan sikap perawat terhadap mobilisasi dini pasien
akut stroke. Korelasi Kendall Tau sebesar 0,224 ( p = 0,59 ) untuk korelasi sikap
dan tindakan dan 0,216 ( p = 0,101) untuk korelasi pengetahuan dan tindakan. Hal
ini menunjukkan bahwa semakin baik tingkat pengetahuan dan semakin positif
sikap perawat semakin besar pula peranannya dalam tindakan mobililisasi.
Simpulan : Terdapat hubungan antara pengetahuan dan sikap perawat terhadap
tindakan mobilisasi dini fase akut pasien stroke di bangsal Anggrek I RSUD Dr.
Moewardi Surakarta.
2.3.2 Metode Penelitian
2.3.2.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini sifatnya observasional dengan menggunakan rancangan
cross sectional untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan sikap
perawat terhadap tindakan mobilisasi dini pasien stroke di ruang
Anggrek I RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
20

2.3.2.2 Populasi dan Sampel


1) Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua perawat 42 orang terdiri dari
26 orang perawat ruang Anggrek I dan 16 orang perawat ruang Melati 3,
di ruang rawat inap pasien stroke RSUD Dr.Moewardi Surakarta.. Sampel
dalam penelitian ini adalah perawat yang bekerja di ruang rawat inap
Anggrek I dan Melati III RSUD Dr. Moewardi Surakarta sebanyak 42
orang.
2.3.3 Hasil Penelitian

Dari data yang telah disusun dengan skala ordinal kemudian diuji dengan
Kendall Tau Hasilnya menunjukkan hubungan yang positif baik dari
variabel pengetahuan. Maupun sikap perawat terhadap pelaksanaan
mobilisasi dini pasien stroke. Masing- masing menunjukkan tingkat
korelasi 0,216 signifikan lemah 0,224 ( p = 0,101 ) ( p = 0,590 ).
21

2.3.4 Analisis Data


2.3.4.1 Analisis Univariat: menampilkan diskripsi setiap variabel, varibel
pengetahuan perawat, sikap perawat, dan tindakan perawat dalam
mobilisasi dini dalam bentuk diagram atau tabel distribusi frekuensi.
2.3.4.2 Analisis Bivariat : bertujuan melihat hubungan antara variabel bebas dan
variable terikat. Mengingat variabel bebas dan variabel terikat adalah
bersekala ordinal dengan jumlah sampel diatas 10 maka digunakan uji
korelasi Kendall tau ( Arikunto, 2002).
Berdasarkan tabel 2 , dapat dilihat bahwa pengetahuan perawat yang tinggi
ternyata 47, 6 % keterlibatan perawat lebih aktif dalam mobilisasi pasien stroke,
dibanding pengetahuan perawat yang lebih rendah ternyata hanya 23,8 % yang
aktif dalam keterlibatannya dalam mobilisasi pasien stroke. Perbedaan tersebut
secara statistik dikatakan ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan
perawat dengan keterlibatannya dalam mobilisasi pasien stroke.

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa sikap perawat yang


mendukung ternyata 50 % perawat terlibat aktif dalam mobilisasi pasien,
dibadingkan sikap perawat yang tidak mendukung hanya 28,6 % yang aktif dalam
mobilisasi pasien
stroke. Hasil analisis di atas memberikan interpretasi bahwa tingginya proporsi
keterlibatan perawat yang aktif dalam mobilisasi pasien srtoke disebabkan oleh
faktor sikap perawat yang mendukung.
22

Berdasarkan tabel 11 di atas, diketahui perawat yang berpendidikan SPK


100 % memiliki sikap yang mendukung dalam mobilisasi pasien stroke, sedang
perawat yang berpendidikan D3 47,6%, memiliki sikap yang mendukung dalam
mobilisasi,
Kendall Tau dapat diketahui bahwa semua karakteristik responden
menunjukkan hubungan positif dengan sikap dan pengetahuan perawat.
Karakteristik responden jenis kelamin, umur, pendidikan dan lama kerja
menunjukkan hubungan positif dan signifikan dengan pengetahuan perawat.
Namun karakteristik responden dengan sikap perawat menunjukkan hubungan
positif tetapi tidak signifikan. Sedangkan perawat yang berpendidikan S1 7,1 %
memiliki sikap mendukung dalam mobilisasi. Hasil analisis di atas menunjukkan
bahwa berpendidikan tinggi tidak selalu memiliki sikap yang positif terhadap
tindakan mobilisasi pasien stroke.
Menurut Aswar (2005) sikap merupakan kondisi sulit diukur karena sangat
personal dipersepsi berbeda-beda oleh setiap orang dan sangat tertutup. Tuhan
menciptakan manusia dengan segala kelebihan dan kekurangan baik laki-laki
maupun perempuan. Sikap belum merupakan tindakan atau aktivitas akan tetapi
merupakan suatu disposisi tindakan atau perilaku. Sikap itu masih merupakan
reaksi tertutup bukan reaksi terbuka atau tingkah laku terbuka (Notoatmojo,
2004). Dari analisis data hubungan antara pengetahuan dan sikap perawat
menunjukkan hasil τ : 0,814 ( p = 0,000). Ini berarti terdapat hubungan positif
antara pengetahuan dan sikap perawat secara signifikan . Atau lebih tegasnya
23

perawat dengan pengetahuan yang baik akan bersikap positif. Pengetahuan


merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah dilakukan penginderaan suatu obyek
tertentu. Pengetahuan merupakan hasil belajar. ini menunjukkan bahwa semakin
tinggi tingkat pengetahuan akan semakin tinggi pula peranannya dalam tindakan
mobilisasi dini pasien akut stroke.
Secara umum juga dapat dikatakan bahwa sikap dan pengetahuan perawat
akan sangat berpengaruh terhadap mobilisasi dini pasien akut stroke. Pengetahuan
merupakan hasil tahu dan terjadi setelah melakukan penginderaan terhadap suatu
obyek tertentu ( Notoatmojo, 2004). Dari pengertian di atas terkandung maksud
bahwa pengetahuan merupakan hasil proses belajar (Dahlan, 2004). Selama proses
belajar berlangsung lama pada seseorang (umur) akan bertambah baik pula
pengetahuannya. Perubahan-perubahan setelah proses belajar dikarenakan usaha
bukan karena kematangan.
Nilai korelasi Uji Kendall Tau adalah antara -1 < 0 < 1 . Pada penelitian ini
menunjukkan korelasi positif dengan tingkat signifikan lemah antara pengetahuan
dan sikap dengan tindakan mobilisasi dini. Masing - masing adalah τ = 0,216 ( p =
0,101) atau 21,6 % serta τ = 0,224 ( p = 0,057 ) atau 22,4 %. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa semakin baik pengetahuan perawat maka akan semakin positif
pula sikap perawat.
Hal ini berarti makin aktif keterlibatannya dalam mobilisasi dini pasien akut
stroke. Havigurst cit Syah (2002) menjelaskan pengetahuan seseorang sangat
dipengaruhi oleh bagaimana proses belajar mengajar dijalankan. Proses belajar
mengajar yang baik dipengaruhi oleh materi yang diajarkan, lingkungan dan
waktu belajar, faktor instrumental yang meliputi perangkat keras dan lunak serta
subyek belajar. Pengetahuan dalam konsep Green cit Notoatmodjo (2004),
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi ( predisposing factors ) perilaku
kesehatan seseorang, kelompok dan masyarakat. Dalam penelitian ini perilaku
kesehatan berbentuk keterlibatan dan peran perawat dalam mobilisasi dini pasien
akut stroke. Menurut Asad (2002) sikap seseorang dipengaruhi oleh pendidikan,
psikologis dan persepsi seseorang terhadap obyek dan budaya. Allport (2000)
menjelaskan bahwa sikap mempunyai tiga komponen pokok yakni a) kepercayaan
(keyakinan) ide dan konsep terhadap suatu obyek, b) kehidupan emosional atau
24

evaluasi terhadap suatu obyek, c) kecenderungan untuk bertindak (trend to


behave). Dari ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang
utuh (total attude).
Jadi umur bukan faktor utama terhadap sikap seseorang. Pengetahuan
dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti tingkat pendidikan, tingkat sosial
ekonomi, tingkat kepercayaan dan kondisi psikologi (Chriswardani ,2000). Dalam
hubungan pendidikan dengan pengetahuan ternyata tidak ada perbedaan secara
statistik bisa dipahami karena ada juga faktor lain, yaitu tingkat sosial ekonomi,
tingkat kepercayaan dan kondisi psikologis. Menurut Azwar (2005), bahwa dalam
pembentukan sikap faktor yang mempengaruhi adalah pengalaman pribadi,
kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, lembaga
pendidikan, lembaga agama dan emosi dari individu. Pengetahuan merupakan
hasil proses belajar yang dipengaruhi beberapa faktor seperti situasi belajar
termasuk lama belajar (Dahlan, 2004). Hasil penelitian ini senada dengan
penelitian yang dilakukan oleh Okti Sri Purwanti (2004) dengan judul ”
Kepatuhan Klien Stroke Dalam Melakukan Mobilisasi Dini Diruang Rawat Inap
RSUD Purworejo. Persamaan di variabel y ( Mobilisasi Dini ). Peneliti tidak bisa
menyimpulkan hasil penelitian ini mendukung atau bertolak belakang dengan
penelitian tersebut karena hasil penelitian Okti Sri Purwanti tidak di publikasikan.

2.4 Sistem Muskuloskeletal


Faktor -Faktor Risiko Osteoporosis Pada
Pasien Dengan Usia Di Atas 50 Tahun
Wisnu Wardhana* , Heri Nugroho**, Rebriarina Hapsari***
2.4.1 Abstrak
Latar Belakang: Osteoporosis menjadi suatu permasalahan global karena
prevalensinya yang semakin meningkat, termasuk di Indonesia. Selain dapat
menurunkan kualitas hidup, biaya kesehatan juga akan meningkat karena
terjadinya fraktur. Salah satu langkah untuk menurunkan angka kejadian
osteoporosis adalah dengan mengetahui dan menghindari faktor - faktor risiko
osteoporosis.
25

Tujuan: Menjelaskan faktor - faktor risiko terjadinya osteoporosis pada pasien


di RSUP Dr. Kariadi Semarang.
Metode: Subyek penelitian adalah pasien RSUP Dr. Kariadi Semarang yang
diperiksa densitas tulang menggunakan alat Dual Dual Energy X – ray
Absorptiometry (DEXA). Penelitian ini menggunakan desain kasus-kontrol.
Data yang digunakan adalah data primer melalui hasil wawancara dan data
sekunder dari catatan medik pasien. Data yang terkumpul diolah dan dianalisis
dengan uji bivariat dan multivariat.
Hasil: Total responden yang diteliti adalah 50 pasien, yaitu 25 pasien
osteoporosis sebagai kasus dan 25 pasien bukan osteoporosis sebagai kelompok
kontrol. Variabel yang terbukti menjadi faktor risiko osteoporosis adalah jenis
kelamin wanita, usia lebih dari 65 tahun, menopause dini, dan diabetes melitus.
Indeks massa tubuh, riwayat keluarga, riwayat fraktur, konsumsi steroid jangka
panjang, konsumsi alkohol, kebiasaan merokok, sirosis hepatis, hipertiroid, dan
gagal ginjal kronik tidak terbukti menjadi faktor risiko osteoporosis.
Kesimpulan: Jenis kelamin wanita, usia, menopause dini, dan diabetes melitus
merupakan faktor - faktor risiko terjadinya osteoporosis pada pasien di RSUP
Dr. Kariadi Semarang.
Kata Kunci: Faktor Risiko, Osteoporosis
2.4.2 Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan pendekatan
kasus kontrol. Penelitian ini dilakukan di RSUP Dr. Kariadi Semarang dari
bulan Maret sampai Juli 2012. Sampel penelitian ini adalah pasien dengan usia
di atas 50 tahun yang diperiksa dengan dual energy x-ray absorptiometry
(DEXA) selama periode bulan Januari 2008 – Desember 2011. Cara sampling
dilakukan dengan metode consecutive sampling. Sampel dikelompokkan
menjadi 2 , yaitu kelompok kasus terdiri dari pasien dengan osteoporosis (hasil
Bone Mineral Density < -2,5 SD dari skor T) dan kelompok kontrol terdiri dari
pasien yang tidak menderita osteoporosis (hasil Bone Mineral Density ≥ -2,5
SD dari skor T)..
Data dari pasien yang bersedia menjadi responden didapatkan melalui
catatan medik dan hasil wawancara. Variabel bebas pada penelitian ini adalah
26

usia, jenis kelamin, indeks massa tubuh, riwayat keluarga, riwayat fraktur,
konsumsi steroid jangka panjang, konsumsi alkohol, kebiasaan merokok,
menopause dini, diabetes melitus, sirosis hepatis, hipertiroid, dan gagal ginjal
kronik, sedangkan variabel terikat adalah osteoporosis. Data yang didapatkan
melalui catatan medik dan wawancara kemudian dikumpulkan dan dilakukan
pengolahan data dengan menggunakan komputer dan dilakukan analisis.
Analisis data yang dilakukan adalah analisis univariat untuk mendeskripsikan
data, analisis bivariat menggunakan uji Chi-square, dan analisis multivariat
untuk variabel-variabel yang memiliki nilai p<0,25 pada analisis bivariat, serta
menghitung odd ratio pada masing-masing variabel.
2.4.3 Hasil Penelitian
Total responden yang didapatkan pada penelitian ini adalah 50 pasien,
yaitu 25 pasien untuk kelompok kasus dan 25 pasien untuk kelompok kontrol.
Rerata responden berusia 65,28 tahun. Responden paling banyak adalah
berjenis kelamin wanita (74 %). Status pekerjaan responden pada penelitian ini
adalah 39 responden (78 %) sudah tidak bekerja, sedangkan 11 responden (22
%) masih aktif berkerja.
2.4.4 Hasil Analisis Bivariat
Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa variabel yang bermakna
terhadap terjadinya osteoporosis adalah jenis kelamin, usia, menopause dini dan
diabetes melitus. Variabel yang tidak bermakna terhadap terjadinya osteoporosis
adalah indeks massa tubuh, riwayat keluarga, riwayat fraktur, konsumsi steroid
jangka panjang, konsumsi alkohol, kebiasaan merokok, sirosis hepatis, hipertiroid,
dan gagal ginjal kronik.
27

2.4.5 Hasil Analisis Multivariat


Setelah dilakukan analisis multivaritat, didapatkan hasil yang
menunjukkan bahwa variabel yang secara independen menjadi faktor risiko
osteoporosis adalah jenis kelamin dan usia (Tabel 2)
Tabel 2. Hasil Analisis Multivariat

Variabel Nilai p aOR 95% CI

Jenis kelamin 0,012 9,16 1,61 – 52,04


Usia 0,003 8,91 2,06 – 38,38
28

2.4.6 Pembahasan
Menurut hasil analisis dari penelitian ini, terdapat hubungan yang signifikan
antara jenis kelamin dengan terjadinya osteoporosis. Penelitian yang dilakukan
oleh Fatmah pada tahun 2008 dengan desain penelitian cross sectional juga
memberikan hasil yang sama dengan penelitian ini, yaitu wanita memiliki risiko 4
kali lebih besar untuk terjadi osteoporosis dibandingkan pria. Wanita mengalami
suatu periode menopause dimana fungsi ovarium menurun sehingga produksi
hormon estrogen dan progesteron menurun. Hormon estrogen diketahui berperan
dalam mempertahankan tingkat remodeling tulang yang normal. Selain itu juga
karena pria memiliki puncak massa tulang yang lebih besar dan cenderung
memiliki massa otot yang lebih besar.
Usia memiliki hubungan yang signifikan dengan terjadinya osteoporosis.
Pernyataan ini juga sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Fatmah
yang menjelaskan bahwa semakin tinggi usia lansia, proporsi osteoporosis juga
semakin besar. Secara teori juga disebutkan bahwa setelah usia 30 tahun, massa
tulang yang hilang akan lebih banyak daripada massa tulang yang dibentuk,
sehingga dengan meningkatnya usia, massa tulang akan semakin berkurang.
Periode menopause berpengaruh terhadap massa tulang karena adanya
penurunan jumlah hormon estrogen dan progesteron. Dengan adanya penurunan
estrogen sebagai pelindung massa tulang, maka massa tulang akan lebih cepat
berkurang. Terjadinya menopause yang lebih awal akan mengakibatkan
penurunan massa tulang yang lebih awal pula. Teori ini sesuai dengan hasil
penelitian ini yaitu terdapat hubungan yang bermakna antara menopause dini
dengan terjadinya osteoporosis. Diabetes melitus merupakan salah satu penyebab
terjadinya osteoporosis sekunder. Penelitian ini menunjukkan bahwa diabetes
melitus sebagai salah satu faktor risiko terjadinya osteoporosis. Hal tersebut
sesuai dengan hasil analisis bivariat yang menunjukkan bahwa responden yang
memiliki penyakit diabetes melitus memiliki risiko terjadinya osteoporosis 3,43
kali lebih besar dibandingkan dengan yang tidak memiliki penyakit diabetes
melitus.
Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa indeks massa tubuh memiliki
nilai p dan confidence interval (CI) yang mendekati nilai bermakna yaitu p=0,047
29

dan nilai CI sebesar 0,99-10,17. Kemungkinan dengan penambahan sampel akan


mendapatkan hasil yang bermakna antara indeks massa tubuh dengan terjadinya
osteoporosis. Menurut teori dan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Fatmah, indeks massa tubuh memiliki peranan dalam terjadinya osteoporosis.
Estrogen sebagai pelindung tulang tidak hanya diproduksi oleh ovarium tetapi
juga dihasilkan oleh kelenjar adrenal dan jaringan lemak. Semakin banyak
jaringan lemak yang dimiliki, maka akan semakin banyak hormon estrogen yang
akan diproduksi.
Ketidaksesuaian antara hasil penelitian ini dan teori yang menyebutkan
bahwa riwayat keluarga berpengaruh terhadap osteoporosis mungkin disebabkan
karena mayoritas responden pada penelitian ini berusia tua dan tidak mengetahui
secara pasti apakah terdapat anggota keluarga yang mengalami osteoporosis
karena tidak pernah melakukan pemeriksaan klinis maupun radiologis. Pada
konsumsi steroid jangka panjang tidak didapatkan hubungan yang bermakna
dengan terjadinya osteoporosis, mungkin disebabkan karena tidak semua pasien
mengetahui secara pasti apakah telah mengonsumsi obat golongan steroid dan
meskipun telah mengonsumsi obat golongan steroid, obat tersebut hanya
dikonsumsi dalam jangka pendek. Steroid dapat mempengaruhi massa tulang
karena dapat mengganggu absorbsi kalsium di usus dan meningkatkan ekskresi
kalsium di ginjal, steroid juga dapat menyebabkan penekanan pada hormon
gonadotropin sehingga mengurangi produksi estrogen dan terjadinya peningkatan
kerja osteoklas. Pada penelitian ini riwayat fraktur tidak memiliki hubungan yang
bermakna dengan terjadinya osteoporosis mungkin disebabkan karena hanya
sedikit responden yang pernah mengalami patah tulang. Pada teori menyebutkan
bahwa orang yang memiliki riwayat fraktur cenderung mempunyai massa tulang
yang lebih rendah daripada orang yang tidak pernah mengalami fraktur, sehingga
akan lebih berisiko mengalami osteoporosis. Proporsi jumlah pria yang lebih
banyak terdapat pada kelompok kontrol mengakibatkan jumlah perokok juga lebih
banyak terdapat pada kelompok kontrol. Hal inilah yang mungkin menyebabkan
tidak ada hubungan yang bermakna antara merokok dan osteoporosis. Menurut
teori tembakau dapat meracuni tulang secara langsung dan menurunkan kadar
estrogen, sehingga meningkatkan risiko terjadinya osteoporosis. Pada variabel
30

sirosis hepatis hanya ditemukan 1 responden yang memiliki riwayat penyakit


tersebut, hal inilah yang menyebabkan hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa
sirosis hepatis memiliki hubungan yang tidak bermakna terhadap terjadinya
osteoporosis. Sirosis hepatis menyebabkan fungsi hepar mengalami penurunan
sehingga kemampuan metabolisme vitamin D akan mengalami gangguan. Hal ini
akan berpengaruh pada massa tulang karena vitamin D berguna dalam proses
mineralisasi tulang dan penyerapan kalsium di usus sehingga massa tulang juga
akan berkurang. Pada variabel konsumsi alkohol, hipertiroid, dan gagal ginjal
kronik tidak ditemukan adanya responden yang memiliki atau pernah
mengalaminya, baik pada kelompok kasus maupun kelompok kontrol, sehingga
tidak bisa dianalisis apakah memiliki hubungan terhadap terjadinya osteoporosis.
Kelemahan dari penelitian ini adalah sulitnya mendapatkan informasi secara
akurat dari responden yang dikarenakan beberapa faktor, diantaranya adalah
karena responden tidak bisa mengingat secara pasti (recall bias) dan karena
sulitnya menggali informasi dari riwayat penyakit sistemik yang dialami
responden. Recall bias dapat terjadi pada jawaban responden terutama pada
pertanyaan mengenai riwayat keluarga dan riwayat konsumsi steroid jangka
panjang. Kemungkinan recall bias yang besar pada penelitian ini juga
dikarenakan faktor usia responden yang mayoritas sudah berusia lanjut.

BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
31

Menurut Smeltzer (2001) bahwa pada pasien gagal jantung kongestif,


kecemasan yang dialami dikarenakan mereka mengalami kesulitan
mempertahankan oksigenasi yang adekuat, maka mereka cenderung cemas dan
gelisah karena sulit bernafas.
Nurjazuli (2010) menyatakan bahwa konsentrasi debu di bawah tajuk pohon
lebih rendah daripada konsentrasi debu di luar tajuk pohon pada lingkungan yang
jumlah pohonnya banyak.
Secara umum juga dapat dikatakan bahwa sikap dan pengetahuan perawat
akan sangat berpengaruh terhadap mobilisasi dini pasien akut stroke. Pengetahuan
merupakan hasil tahu dan terjadi setelah melakukan penginderaan terhadap suatu
obyek tertentu ( Notoatmojo, 2004).
Penelitian yang dilakukan oleh Fatmah pada tahun 2008 dengan desain
penelitian cross sectional juga memberikan hasil yang sama dengan penelitian ini,
yaitu wanita memiliki risiko 4 kali lebih besar untuk terjadi osteoporosis
dibandingkan pria. Wanita mengalami suatu periode menopause dimana fungsi
ovarium menurun sehingga produksi hormon estrogen dan progesteron menurun.

3.2 Saran
Diharapkan dengan adanya penelitian-penelitian di dalam makalah ini
peneliti selanjutnya dapat lebih menciptakan hasil yang baik sehingga peneliti
dapat mengoptimalkan proses belajar mereka.

DAFTAR PUSTAKA

31
32

Arikunto,S, 2001, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta Bina


Sarana.
Azwar, S. 2005. Sikap manusia : teori dan pengukurannya ( edisi kedua).
Jogyakarta : Pustaka pelajar.
Chris Wardani, 2000, Pendidikan dan Pelatihan, Semarang : BP Undip.
Marwiati, 2005, Hubungan Tingkat Kecemasan Dengan Strategi Koping Pada
Keluarga Yang Salah Satu Anggota Keluarga Dirawat Dengan Penyakit
Jantung, STIKES Ngudi Waluyo Ungaran : Semarang. (Skripsi) Tidak
dipublikasikan.
Mulyatsih, E. 2004. Perawatan Pasien Stroke di Rumah. Makalah Seminar Stroke
dapat Dicegah, YOSTROKI, Jakarta, Indonesia.
Smeltzer, S.C., 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi Kedelapan,
Volume I, EGC : Jakarta.
Sugiyono, 2005, Statistika Untuk Penelitian, Cetakan Ketujuh, CV.ALFABETA :
Bandung. Stuart & Sundeen, 1998. Prinsip dan Praktik Psikiatrik
(Terjemahan), EGC : Jakarta
Udjianti Wajan Juni.(2011). Keperawatan Kardiovaskular. Jakarta: salemba
medika.

Anda mungkin juga menyukai