MAKALAH
Di Susun Oleh :
Yulita ( 2017.C.09a.0921 )
KATA PENGANTAR
Puji syukur khadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat-Nya
sehingg kami dapat menyelesaikan pembuatan makalah ini. Di makalah ini
memaparkan beberapa hal terkait “ Integrasi Hasil Penelitian ke Dalam Asuhan
Keperawatan pada Sistem Kardiovaskuler, Respirasi, Persyarafan,
Muskuloskeletal”. Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas
bantuan dari pihak telah memberikan motivasi baik materi maupun pikirannya.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman, kami yakin masih
banyak kekurangan dalam makalah ini, oleh karena itu kami sangat mengharapkan
saran dan kritik yang membangun dari para pembaca demi kesempurnaan
makalah ini ke depannya.
Penyusun
iii
i
3
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB 1 PENDAHULUAN
2.1 Definisi 3
2.2 Patofisiologi 8
2.3 Farmakologi 19
2.4 Terapi Diet 24
BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan 31
3.2 Saran 31
DAFTAR PUSTAKA
ii
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1
2
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui integrasi hasil penelitian terkait ke dalam asuhan
keperawatan pada sistem kardiovasler, respirasi, persyarafan, dan
muskuloskeletal
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
3
4
sebanyak 20 orang (66,7%), dan tidak ada yang melakukan mekanisme koping
maladaptif. Pasien yang mempunyai kecemasan tingkat berat melakukan
mekanisme koping maladaptif sebanyak 5 orang (16,7%) dan tidak ada yang
melakukan mekanisme koping adaptif.
Uji normalitas data menggunakan metode Kolmogorov-Smirnov. Cara
menguji normalitas yaitu dengan membandingkan probabilitas (p) yang
diperoleh dengan taraf signifikansi (α) 0,05. Apabila nilai p > α maka
terdistribusi normal atau sebaliknya (Singgih, 2000: 179). Hasil uji normalitas
masing-masing variabel dengan program SPSS 10.0 terhadap nilai residual
diperoleh nilai probabilitas di atas 0,05, hal ini menunjukkan bahwa data
berdistribusi secara normal ( p > 0,05). Secara rinci uji normalitas dapat dilihat
pada tabel di bawah ini :
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah statistik non
parametrik teknik bivariabel dengan uji korelasi Kendal tau-b untuk mencari
hubungan dan menguji hipotesis dua variabel. Dalam penelitian ini akan di uji
hubungan antara tingkat kecemasan dengan mekanisme koping pasien Gagal
Jantung Kongestif.
Hasil analisis dengan program SPSS 10.0 diperoleh nilai koefisien korelasi
sebesar -0,745 dengan probabilitas sebesar 0,000 (p < 0,05). Hasil tersebut
menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara tingkat kecemasan dengan
mekanisme koping. Untuk menguji signifikansi korelasi menggunakan rumus z,
hasil perhitungan uji z diperoleh nilai z sebesar 5,782 sedangkan nilai z tabel pada
N = 30 adalah sebesar 1,96, berarti (z hitung > z ) maka Ho ditolak dan Ha
tabel
2.1.3 Pembahasan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan
antara tingkat kecemasan dengan mekanisme koping. Dari perolehan data
didapatkan 5 responden mengalami kecemasan ringan, 20 responden mengalami
kecemasan sedang dan 5 responden mengalami kecemasan berat. Dari 25
responden yang mengalami kecemasan ringan dan sedang, mereka dapat
melakukan mekanisme koping yang adaptif dan tidak ada yang melakukan
mekanisme koping maladaptif. Hal ini dikarenakan mereka dapat mengendalikan
perasaan cemas yang muncul sehingga mampu mengembangkan mekanisme
koping yang konstruktif. Sedangkan 5 responden yang mengalami kecemasan
berat, semuanya melakukan mekanisme koping yang maladaptif. Hal ini
disebabkan oleh karena mereka tidak mampu mengendalikan kecemasannya dan
takut akan kematian yang sewaktu-waktu dapat mengancam jiwanya sehingga
pada saat mereka jenuh dengan keadaanya, mereka cenderung pasrah pada
keadaan dan melakukan koping yang destruktif dan merugikan.
Dari 5 responden yang mengalami kecemasan ringan, semuanya belum
pernah dirawat dengan penyakit yang sama, sehingga kerusakan organ jantung
belum terlalu parah. Sesak nafas yang mereka alami dapat berkurang ketika
diberikan bantuan nafas berupa oksigen. Pasien dengan kecemasan ringan masih
mampu mengendalikan mekanisme koping untuk menurunkan kecemasannya
(Prasetyo, 2006). Jadi ketika terjadi serangan sesak nafas dan nyeri dada, mereka
segera memeriksakan diri ke dokter atau rumah sakit untuk mendapatkan
penanganan yang tepat.
Dalam penelitian ini sebagian besar responden yaitu sebanyak 20
responden mengalami kecemasan sedang. Pada kecemasan tingkat ini
memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada masalah yang penting dan
mengesampingkan yang lain sehingga seseorang mengalami perhatian yang
selektif namun dapat melakukan sesuatu yang terarah (Townsend, 2005).
Penemuan di lapangan menunjukkan bahwa responden yang mengalami
kecemasan sedang, mereka mengalami sesak nafas, tekanan darah naik dan
denyut nadi yang cepat. Ketika diajak bicara mereka menjawab dengan nada
bicara yang keras dan cepat. Mereka seperti tergesa-gesa dalam menjawab
7
pertanyaan dan terkadang menangis. Akan tetapi mereka masih dapat diajak
untuk kerjasama dan mematuhi prosedur pengobatan.
Menurut Smeltzer (2001) bahwa pada pasien gagal jantung kongestif,
kecemasan yang dialami dikarenakan mereka mengalami kesulitan
mempertahankan oksigenasi yang adekuat, maka mereka cenderung cemas dan
gelisah karena sulit bernafas. Hal ini menyebabkan perhatian menjadi selektif
dan terfokus pada rangsang yang tidak menambah kecemasan. Dalam penelitian
ini responden yang mengalami kecemasan sedang mampu melakukan
mekanisme koping yang adaptif dikarenakan mereka mendapat ketenangan batin
dari dukungan keluarga yang kuat supaya lekas sembuh. Jadi meskipun mereka
mengalami sesak nafas, nyeri dada dan rasa takut akan kematian, akan tetapi
berkat kehadiran anggota keluarga yang selalu menemani dan memberikan
dukungan positif, mereka mampu mengendalikan kecemasan- nya dengan baik
dan mau mematuhi semua prosedur pengobatan sehingga mereka mampu
melakukan mekanisme koping yang adaptif.
Menurut Niven (2002) bahwa dukungan keluarga dapat membantu
meningkatkan mekanisme koping individu dengan memberikan dukungan emosi
dan saran-saran mengenai strategi alternatif yang didasarkan pada pengalaman
sebelumnya dan mengajak orang lain berfokus pada aspek-aspek yang lebih
positif. Dari hasil wawancara dan pengamatan peneliti, bahwa pasien gagal
jantung dengan kecemasan sedang mengharapkan dukungan berupa dukungan
emosi, saran dan informasi dari keluarga dan petugas kesehatan (dokter dan
perawat) yang berkaitan dengan penyakitnya. Sehingga selain pengobatan medis
adanya dukungan sosial yang positif akan membantu seseorang untuk
beradaptasi lebih baik secara emosional dengan mencegah perasaan cemas dan
sedih yang berlarut-larut terhadap penyakit (Atkinson,1997).
Selain mendapat dukungan dari keluarga, pasien gagal jantung kongestif
yang mengalami kecemasan sedang juga melakukan pendekatan religius dengan
cara berdzikir, berdo’a sesuai dengan keyakinan masing-masing dan melakukan
sholat meskipun dengan berbaring. Dengan melakukan pendekatan religius
tersebut, kebanyakan pasien dapat merasakan ketenangan batin sehingga mampu
mengendalikan kecemasannya dan melakukan mekanisme koping yang adaptif.
8
paparan debu melakukan kontak langsung terhadap alat kerja contohnya adalah
pekerja pada mesin shake out. Mesin shake out digunakan untuk memadatkan
pasir silika ke dalam flask. Setiap pekerja memakai masker yang disediakan
perusahaan namun bedasarkan wawancara yang dilakukan, PT Barata
Indonesia belum menggunakan masker N95 sesuai dengan ketentuan B4T.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan pihak safety officer PT Barata
Indonesia diperoleh area dengan proses kerja terpapar debu silika paling sering
adalah pada area hand moulding I, hand moulding II, hand mouding III, fetling
dan melting. Hasil wawancara tersebut juga diperkuat dengan hasil wawancara
pada 5 orang pekerja dari masing-masing area tersebut. Pada setiap proses kerja
area tersebut ditangani oleh pekerja dengan karakteristik dan kebiasaan yang
berbeda-beda yang mampu mempengaruhi tingkat efek paparan debu silika
terhadap pekerja.
2.2.3.1 Karakteristik Pekerja
1) Jenis Kelamin
Jenis kelamin pada area bagian hand moulding I, hand moulding II,
hand mouding III, fetling dan melting adalah pria sehingga dalam
penelitian ini jenis kelamin termasuk dalam subjek penelitian. Data
terkait jumlah pekerja pria pada area hand moulding I, hand moulding
II, hand mouding III, fetling dan melting dapat dilihat pada Table 1.
2) Aktivitas Merokok
Pada pekerja dalam penelitian ini diketahui melalui hasil pengisian
kuisioner dan beberapa wawancara yang dilakukan. Data terkait jumlah
tenaga kerja area hand moulding I, hand moulding II, hand mouding III,
11
fetling dan melting yang mempunyai aktivitas merokok dapat dilihat pada
Tabel 2.
3) Masa Kerja
Masa kerja pada pekerja dalam penelitian ini diketahui melalui hasil
pengisian kuisioner dan beberapa wawancara yang dilakukan. Data terkait
pengelompokan masa kerja sesuai pada tenaga kerjaarea hand moulding I,
hand moulding II, hand mouding III, fetling dan meltin dapat dilihat pada
Tabel 3.
4) Pendidikan
Pendidikan terakhir pada pekerja dalam penelitian ini diketahui melalui
hasil pengisian kuisioner dan beberapa wawancara yang dilakukan. Data
terkait tingkat pendidikan pada tenaga kerjaarea hand moulding I, hand
moulding II, hand mouding III, fetling dan melting dapat dilihat pada
Tabel 4.
12
6) Gangguan Pernapasan
Keluhan Subjektif gangguan pernafasan pada pekerja dalam penelitian ini
diketahui melalui hasil pengisian kuisioner dan beberapa wawancara yang
dilakukan. Data terkait jumlah keluhan subjektif gangguan pernafasan area
hand moulding I, hand moulding II, hand mouding III, fetling dan melting
pabrik pengecoran 1 PT Barata Indonesia (Persero) dapat dilihat pada
Tabel 6.
13
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari total 30 pekerja yang bekerja pada
area Hand Moulding 1, Hand Moulding 3 Fetling dan Melting diperoleh hasil
bahwa 15 orang atau 50% pekerja mengalami gangguan pernafasan dan 50%
sisanya tidak mengalami gangguan pernapasan. Standar area yang digunakan
untuk penelitian gangguan pernafasan akibat debu silika yang dialami pekerja
diperoleh melalui penelitian Kayhan (2013) menyebutkan bahwa paparan tertinggi
debu silika pada area pengecoran adalah area fetling, core making furnace,
melting, moulding dan penuangan. Penelitian tersebut juga memaparkan bahwa
asma kerja menjadi occupa kedua yang lazim.
Penyakit paru-paru setelah pneumokoniosis. Pekerjaan yang berpotensi
menyebabkan penyakit asma telah dilaporkan. Pekerjaan tersebut antara lain
pekerjaan tekstil, produsen plastik, penata rambut, pengolah makanan, pekerja
pabrik kertas, tukang las, dan pengolaan bahan kimia. Pekerja pengecoran juga
memiliki risiko asma akibat pekerjaan. Dalam banyak kasus lain, sebelumnya
dilaporkan ada yang mengalami peningkatan jumlah kasus kanker paru-paru di
antara pekerja pengecoran. Prevalensi pneumoconiosis dilaporkan sebesar 3,7%
pada 950 pekerja pengecoran.
Penelitian pendukung selanjutnya yaitu bedasarkan Zhang (2010)
menyatakan bahwa resiko terbesar paparan debu silika adalah pada area cast .
Hasil pengukuran kadar debu silika pada masing-masing cerobong menunjukkan
bahwa dalam pengukuran 6 bulan terakhir kadar debu silika dengan hasil 0.252
mg/Nm3. Hal tersebut sesuai dengan Kayhan dkk. (2013) menyebutkan bahwa
hubungan antara tingkat paparan dan kelainan pernafasan, untuk mengukur
perubahan FVC dan FEV1 per tahun berdasarkan pekerjaan dan untuk mengetahui
prevalensi dan faktor yang terkait dengan pneumokoniosis. Sebanyak 583 pekerja
pria dari 50 pengecoran besi di Taiwan tengah diselidiki.
14
Paparan dengan kadar rendah dalam waktu lama mungkin tidak akan
segera menunjukkan adanya gangguan fungsi paru. Hubungan antara
paparan dan efek ini sangat bergantung pada tiga hal yaitu kadar debu
dalam udara, dosis paparan kumulatif (penjumlahan kadar dalam
udara dan lamanya paparan) dan waktu tinggal atau lamanya debu
berada dalam paru. Paparan dengan kadar rendah dalam jangka waktu
lama menyebabkan penyakit yang kurang berat dibandingkan paparan
terhadap kadar tinggi dalam waktu singkat.
Teori dan hasil tersebut diperkuat oleh penelitian yang
dilakukan oleh Cho, Younmo dkk. (2015) menyatakan bahwa seorang
pekerja dengan pekerjaan yang berhubungan dengan paparan debu
silika, gas dan fume selama 10 tahun terdianosis COPD. Pekerja
tersebut pernah bekerja di pabrik roddsa pada bagian proses heat
treatment dan juga pada bagian boiler selama 25 tahun. Probandus
dalam penelitian tersebut bekerja dua pekerjaan setelah berhenti dari
pabrik manufaktur roddsa kemudian bekerja sebagai operator boiler
selama 25 tahun dan juga bekerja di lokasi konstruksi selama beberapa
waktu dan penelitian ini menyatakan bahwa COPD yang dialami oleh
probandus juga merupakan akumulasi dari pekerjaan sebelumnya
yang juga berhubungan dengan paparan debu silika. Suma’mur (2014)
juga menyatakan bahwa cara menegakkan penyakit diagnosis akibat
kerja pada umumnya berlaku pula terhadap penyakit pnemokoniosis.
Untuk timbulnya pnemokoniosis tentunya harus ada riwayat pekerjaan
yang menghadapi risiko inhalasi debu sebagai etologi pnemokoniosis,
misalnya untuk silicosis pernah atau sedang bekerja di pertambangan,
di pabrik keramik, dan lain-lain. Atau juga untuk silicosis tenaga kerja
yang bersangkutan mungkin pabrik penggilingan baru untuk
keperluan konstruksi jalan bagi pekerjaan umum, Mungkin juga
tenaga kerja berprofesi sebagai sandblaster yaitu penghalus
permukaan misalnya logam dengan menyemprotkan debu pasit
sehingga menghadapi risiko menderita silicosis.
19
Dari data yang telah disusun dengan skala ordinal kemudian diuji dengan
Kendall Tau Hasilnya menunjukkan hubungan yang positif baik dari
variabel pengetahuan. Maupun sikap perawat terhadap pelaksanaan
mobilisasi dini pasien stroke. Masing- masing menunjukkan tingkat
korelasi 0,216 signifikan lemah 0,224 ( p = 0,101 ) ( p = 0,590 ).
21
usia, jenis kelamin, indeks massa tubuh, riwayat keluarga, riwayat fraktur,
konsumsi steroid jangka panjang, konsumsi alkohol, kebiasaan merokok,
menopause dini, diabetes melitus, sirosis hepatis, hipertiroid, dan gagal ginjal
kronik, sedangkan variabel terikat adalah osteoporosis. Data yang didapatkan
melalui catatan medik dan wawancara kemudian dikumpulkan dan dilakukan
pengolahan data dengan menggunakan komputer dan dilakukan analisis.
Analisis data yang dilakukan adalah analisis univariat untuk mendeskripsikan
data, analisis bivariat menggunakan uji Chi-square, dan analisis multivariat
untuk variabel-variabel yang memiliki nilai p<0,25 pada analisis bivariat, serta
menghitung odd ratio pada masing-masing variabel.
2.4.3 Hasil Penelitian
Total responden yang didapatkan pada penelitian ini adalah 50 pasien,
yaitu 25 pasien untuk kelompok kasus dan 25 pasien untuk kelompok kontrol.
Rerata responden berusia 65,28 tahun. Responden paling banyak adalah
berjenis kelamin wanita (74 %). Status pekerjaan responden pada penelitian ini
adalah 39 responden (78 %) sudah tidak bekerja, sedangkan 11 responden (22
%) masih aktif berkerja.
2.4.4 Hasil Analisis Bivariat
Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa variabel yang bermakna
terhadap terjadinya osteoporosis adalah jenis kelamin, usia, menopause dini dan
diabetes melitus. Variabel yang tidak bermakna terhadap terjadinya osteoporosis
adalah indeks massa tubuh, riwayat keluarga, riwayat fraktur, konsumsi steroid
jangka panjang, konsumsi alkohol, kebiasaan merokok, sirosis hepatis, hipertiroid,
dan gagal ginjal kronik.
27
2.4.6 Pembahasan
Menurut hasil analisis dari penelitian ini, terdapat hubungan yang signifikan
antara jenis kelamin dengan terjadinya osteoporosis. Penelitian yang dilakukan
oleh Fatmah pada tahun 2008 dengan desain penelitian cross sectional juga
memberikan hasil yang sama dengan penelitian ini, yaitu wanita memiliki risiko 4
kali lebih besar untuk terjadi osteoporosis dibandingkan pria. Wanita mengalami
suatu periode menopause dimana fungsi ovarium menurun sehingga produksi
hormon estrogen dan progesteron menurun. Hormon estrogen diketahui berperan
dalam mempertahankan tingkat remodeling tulang yang normal. Selain itu juga
karena pria memiliki puncak massa tulang yang lebih besar dan cenderung
memiliki massa otot yang lebih besar.
Usia memiliki hubungan yang signifikan dengan terjadinya osteoporosis.
Pernyataan ini juga sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Fatmah
yang menjelaskan bahwa semakin tinggi usia lansia, proporsi osteoporosis juga
semakin besar. Secara teori juga disebutkan bahwa setelah usia 30 tahun, massa
tulang yang hilang akan lebih banyak daripada massa tulang yang dibentuk,
sehingga dengan meningkatnya usia, massa tulang akan semakin berkurang.
Periode menopause berpengaruh terhadap massa tulang karena adanya
penurunan jumlah hormon estrogen dan progesteron. Dengan adanya penurunan
estrogen sebagai pelindung massa tulang, maka massa tulang akan lebih cepat
berkurang. Terjadinya menopause yang lebih awal akan mengakibatkan
penurunan massa tulang yang lebih awal pula. Teori ini sesuai dengan hasil
penelitian ini yaitu terdapat hubungan yang bermakna antara menopause dini
dengan terjadinya osteoporosis. Diabetes melitus merupakan salah satu penyebab
terjadinya osteoporosis sekunder. Penelitian ini menunjukkan bahwa diabetes
melitus sebagai salah satu faktor risiko terjadinya osteoporosis. Hal tersebut
sesuai dengan hasil analisis bivariat yang menunjukkan bahwa responden yang
memiliki penyakit diabetes melitus memiliki risiko terjadinya osteoporosis 3,43
kali lebih besar dibandingkan dengan yang tidak memiliki penyakit diabetes
melitus.
Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa indeks massa tubuh memiliki
nilai p dan confidence interval (CI) yang mendekati nilai bermakna yaitu p=0,047
29
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
31
3.2 Saran
Diharapkan dengan adanya penelitian-penelitian di dalam makalah ini
peneliti selanjutnya dapat lebih menciptakan hasil yang baik sehingga peneliti
dapat mengoptimalkan proses belajar mereka.
DAFTAR PUSTAKA
31
32