1027/menkes/SK/IX/2 004 medication errors adalah kejadian yang Extra dose error Fase Transcribing merugikan pasien, akibat pemakaian obat selama dalam Omisission error penanganan tenaga Fase Dispensing kesehatan yang sebetulnya dapat Wrong dose error dicegah. Fase Administrasi
Wrong dose error
Faktor Penyebab Upaya Penurunan
Wrong time error
Komunikasi, Wrong dosage form Penerapan SOP
Kondisi error dalam lingkungan, prescribing, interupsi pada saat bekerja, Beban transcribing, bekerja, Edukasi dispensing dan staff administrating TUGAS TAKE HOME MAHASISWA S1-FARMASI MATA KULIAH : Komunikasi dan Konseling DOSEN : Apt. Nur Aisah, S.FAR.,M.Pharm., Sci
Disusun Oleh: NAMA: Dwi Novita Sari
NPM: F420185056 / 4B FARMASI
“CONTOH KASUS MEDICATION ERROR”
Seorang wanita berusia 51 tahun dengan keterbelakangan mental meninggal dunia akibat keracunan lithium pada tanggal 13 Mei 2002. Sejarah medis yang dimiliki korban yaitu keterbelakangan mental, gangguan bipolar, hipotiroid, dan parkinsonism. Pada tanggal 13 April 2002, salah satu tersangka yang merupakan seorang farmasis melakukan kesalahan dalam pembacaan resep yang dibawa oleh korban. Farmasis memberikan lithium karbonat 300 mg/kapsul kepada pasien padahal dari resep yang dibawa pasien lithium yang diberikan adalah 150 mg/kapsul.Pada tanggal 25 April 2002, dokter pribadi korban (juga merupakan tersangka) melakukan pemeriksaan keluhan korban berupa diare selama tiga hari. Dokter pribadi korban mencatat bahwa korban tidak memiliki kelainan klinis berupa dehidrasi, oleh karenanya dia menyarankan agar korban meningkatkan asupan cairan serta diet seperti yang telah dilakukan sebelumnya. Dokter pribadi korban (Primary Care Physician PCP) juga mengintruksikan agar keluarga korban melakukan perawatan dan melaporkan apabila korban menunjukkan gejala penurunan asupan cairan, perubahan tingkat aktifitas yang ditetapkan sebagai lesu, atau gejala memburuk. Selama beberapa hari berikutnya korban masih terus mengalami diare dan gangguan makan. Akan tetapi keluhan tersebut tidak dikomunikasikan ke PCP.Pada tanggal 30 April 2002, korban kembali diperiksa oleh terdakwa PCP. Tidak ada notasi tentang keluhan diare seperti yang terlihat pada lima hari sebelumnya, sehingga PCP mencatat bahwa symptom yang dialami korban telah membaik dan mulai hilang. PCP mencatat adanya sedikit perubahan pada kondisi korban, tetapi tidak mencari tahu penyebab perubahan kondisi tersebut. Perubahan kondisi pasien meliputi peningkatan kontraksi otot atau kekakuan otot. PCP memerintahkan korban melakukan tes darah selama kunjungan ini, tetapi melupakan pemeriksaan kadar lithium.Pada tanggal 2 Mei 2002, korban masih mengalami diare. Keluarga korban diberitahukan bahwa korban tidak diizinkan untuk kembali sampai perawatan medis korban selesai dilakukan. Perawat menghubungi PCP untuk melaporkan gejala-gejala yang dialami pasien. Pada waktu itu PCP melakukan penghentian pemberian dosis pagi Zyprexa 2,5-mg untuk pengobatan kelesuan pasien.Pada tanggal 8 Mei 2002, salah seorang karyawan rumah hunian melaporkan bahwa korban mengalami gejala ketidakstabilan, hampir tidak bisa bergerak, dan sangat lemah dan tak berdaya. Akan tetapi keadaan ini tidak dilaporkan kepada Supervisornya. Pada tanggal 11 Mei 2002, korban dibawa ke rumah sakit untuk dilakukan pemeriksaan. Korban tercatat mengalami kelemahan dan gangguan kestabilan selama 1 minggu. Korban juga menyatakan bahwa dirinya menderita hiponatremia berat, hiperkalemia. Kadar lithium yang tercatat dalam darah korban adalah 6,8 mEq/L. Hari berikutnya ia tercatat memiliki dehidrasi berat persisten dengan kekacauan metabolisme dan hipotensi, serta gagal ginjal akut, akibat tanda toksisitas lithium. Pasien meninggal pada tanggal 13 Mei 2002.Litigasi terus dilakukan dalam kasus ini. PCP dan psikiater menyatakan bahwa gejala toksisitas yang ditunjukkan korban tidak disampaikan kepada mereka oleh staf perumahan. Para PCP berpendapat bahwa gejala korban pada tanggal dan hari pada saat dilakukan pemeriksaan tidak sugestif menunjukkan adanya gejala keracunan lithium dan dia tidak bertanggung jawab untuk memantau pengobatan kerena dia bukanlah orang yang meresepkan obat. Psikiater yang meresepkan obat kepada korban berpendapat bahwa dia tidak diberitahu tentang kelemahan dan kelesuan yang diderita korban. Kasus ini berakhir dengan ganti rugi sebesar Satu Miliar Dolar ($ 1.000.000.000) oleh pihak farmasis.Tanggapan : Seharusnya farmasis membaca resep dengan hati-hati pada saat dispensing obat agar tidak terjadi kesalahan yang menyebabkan pasien keracunan Jika dilihat dari farmakologi dan farmakokinetik, rekam medic, kondisi fisik, umur, serta penyakit maka seharusnya dilakukan monitoring kadar lithium (Therapy Drug Monitoring). Komunikasi yang kurang terjaga antara PCP, psikiater, farmasis, dan keluarga korban.