DESI APRILIANI
NIM : 0811521037
PEMBAHASAN
A. KONSEP HARMONISASI SINKRONISASI PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN.
1. Hierarki Norma Hukum Negara.
Istilah “ Perundang-undangan” (legislation / gesetszgebung
mempunyai dua pengertian yang berbeda, yaitu :
1. Perundang-undangan sebgai sebuah proses pembentukan atau
proses membentuk peraturan-peraturan Negara, baik ditingkat
pusat maupun ditingkat daerah; dan.
2. Perundang-undangan sebagai segala peraturan negara yang
merupakan hasil proses pembentukan peraturan-peraturan, baik di
tingkat pusat maupun ditingkat daerah.
Pemaknaan definisi dari “ Peraturan Perundang-undangan”
dapat dilihat dari pendapat Van Der Tak dan yang ditentukan oleh
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
Van Der Tak mendefinisikan Peraturan Perundang-undangan
sebagai kaidah hukum tertulis yang dibuat oleh pejabat yang
berwenang, berisi aturan-aturan tingkah laku yang bersifat abstrak dan
mengikat secara umum.
Hans Kelsen sebagaimana dikutip oleh Maria Farida Indrati S
(2007;41) menjabarkan sebuah teori mengenai jenjang norma hukum (
Stufentheorie), yang artinya bahwa norma hukum itu berjenjang-
jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan).
Selanjutnya Hans Kelsen dalam teorinya menjelaskan bahwa dalam arti
suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada
norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber,
dan berdasarkan norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya
sampai suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat
hipotesis dan fiktif yaitu Norma Dasar (Grundnorm).
Berlakunya norma dasar tidak berdasar, tidak bersumber pada,
atau dibentuk oleh norma yang lebih tinggi lagi, tetapi berlakunya
ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai norma dasar yang
merupakan tempat bergantung norma-norma yang berada
dibawahnya, sehingga norma dasar dikatakan presupposed. Apabila
norma dasar diubah bmaka akan menjadi rusak system norma yang
berada dijenjang-jenjang dibawahnya.
Teori Jenjang Norma dari Hans Kelsen terilhami dari pandangan
yang dikembangkan oleh Adolf Merkl, Teori Dua Wajah Norma Hukum
(Das Doppelte Rechtsantlitz). Teori dua wajah norma hukum
menyatakan bahwa suatu norma hukum memiliki dua wajah. Menurut
Adolf Merkl, pada suatu wajah, ke atasm suatu norma hukum
bersumber dan berdasar pada norma hukum diatasnya. Akan tetapi,
pada wajahnya lainya, norma hukum tersebut sekaligus pula menjadi
sumber bagi norma hukum yang berada dibawahnya.
Norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompok-
kelompok sebagaimana dipisahkan dalam 4 (empat) kelompok besar
berikut ini:
a) Kelompok I (Staatsfundamentalnorm atau Norma Fundamental
Negara).
Kelompok ini merupakan norma dasar bagi pembentukan konstitusi
dan Undang-Undang dari suatu negara (Staatsverfassung), termasuk
norma pengubahnya. Ia terlebih dahulu ada sebelum adanya konstitusi
atau Undang-Undang dasar.
b) Kelompok II (Staatsgrundgesetz atau Dasar Negara atau Aturan Pokok
Negara).
Kelompok II ini merupakan aturan-aturan yang masih bersifat pokok
dan merupakan aturan-aturan umum yang masih bersiifat garis besar,
sehingga masih merupakan norma hukum tinggal.
c) Kelompok III (Formell Gesetz atau Undang-Undang ‘Formal’).
Kelompok III merupakan norma hukum yang lebih konkret dan terinci,
serta sudah dapat langsung berlaku didalam masyarakat. Norma-norma
hukum dalam Undang-Undang ini tidak saja norma hukum yang bersifat
tunggal, tetapi norma-norma hukum itu dapat merupakan norma
hukum yang berpasangan, sehingga terdapat norma hukum sekunder
disamping norma hukum primernya. Didalam Undang-Undang sudah
dapat dicantumkan norma-norma yang bersifat sanksi, baik itu sanksi
pidana atau sanksi pemaksa.
d) Kelompok IV (Verordnung dan Autonome Satzung atau Aturan
Pelaksana dan Aturan Otonom).
Kelompok IV merupakan peraturan-peraturan yang terletak dibawah
Undang-Undang yang berfungsi menyelenggarakan ketentuan-
ketentuan dalam Undang-Undang. Peraturan Pelaksanaan bersumber
dari kewenangan delegasi, sedangkan Peraturan Otonomo bersumber
dari kewenangan atribusi. Astribusi kewenangan merupakan
pemberian kewenagan membentuk Peraturan Perundang-undangan
yang diberikan oleh Grondwet (Undang-Undang Dasar) atau Wet
(Undang-Undang) kepada suatu lembaga negara atau pemerintahan.
Sementara delegasi kewenangan merupakan pelimpahan kewenagan
membentuk Peraturan Perundang-undangan yang dilakukan oleh
Peraturan Perundang-undangan yang lebihtinggi kepada Peraturan
Perundang-undangan yaitu lebih rendah, baik pelimpahan dinyatakan
dengan tegas maupun tidak.
Staatsfundamentalnorm
Staatsgrundgesetz
Formal Gesetz
a. Tahap Perencanaan
Tahap perencanaan sebagai tahap pertama dalam pembentukan
Peraturan Perundang-undangan biasa dikaitkan dengan Program
Pembentukan Perda yang selanjutnya disebut Propemperda. Propemperda
adalah instrumen perencanaan program pembentukan perda provinsi dan
perda kabupaten/kota yang disusun secara terencana, terpadu, dan
sistematis.
Apabila dimaknai secara bahasa, Program adalah cara yang disahkan
untuk mencapai tujuan dimana melalui hal tersebut bentuk rencana akan
lebih terorganisir dan lebih mudah untuk dioperasionalkan demi
tercapainya kegiatan pelaksanaan karena dalam program tersebut telah
dimuat berbagai aspek yang harus dijalankan agar tujuan program itu
sendiri bisa tercapai. Program merupakan kumpulan kegiatan yang
sistematis dan terpadu untuk mendapatkan hasil dan mencapai sasaran
waktu. Program dilengkapi dengan target, sasaran dan output yang jelas
dalam kurun waktu tertentu. Selain definisi tersebut, program merupakan
seperangkat aktivitas atau langkah-langkah yang tersusun secara
sistematis sebagai penjabaran dari strategis yang telah ditetapkan.
Jadi propemperda adalah instrumen perencanaan pembentukan
peraturan daerah yang terencana, terpadu dan sistematis dan diatur dalam
UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan (Badan Pembinaan Hukum Nasional : 2012). Pola pikir
penyusunan Propemperda arahnya menuju kepada pembangunan sistem
hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu serta terencana, yang
meliputi empat aspek pokok yaitu pembangunan materi hukum, aparat
hukum, sarana dan prasarana hukum, seraat budaya hukum masyarakat
dengan dilandasi oleh cita-cita proklamasi dan konstitusi serta prinsip
negara hukum yang menjunjung tinggi supremasi hukum dan menjadikan
hukum sebagai landasan operasional dalam menjalankan sistem
penyelenggaraan kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat
(Ahmad, 2011:120).
Pasca ditetapkannya Undang-Undang Nompr 23 Tahun 2014 Tentang
pemerintahan Daerah, maka Program Legislasi Daerah (dulunya
Propemperda disebut sebagai Prolegda) berganti nomenklatur menjadi
Propemperda dan Badan legislasi berganti nomenklatur menjadi
Bapemperda yang merupakan alat kelengkapan DPRD yang bersifat tetap,
dibentuk dalam rapat paripurna DPRD. Semua ketentuan mengenai
Program Legislasi dan badan legislasi yang sudah ada sebelum UU Nomor
23 Tahun 2014 berlaku harus dibaca dan dimaknai sebagai Program
Pembentukan Perda dan Bapemperda.
Terdapat tiga kegiatan dalam tahap perencanaan pembentukan Perda,
yakni;
(a) Penyusunan Propemperda,
(b) Perencanaan penyusunan rancangan perda kumulatif terbuka
(APBD, Putusan Mahkamah agung, Penataan Kecamatan / Desa);
(c) Perencanaan penyusunan rancangan perda diluar propemperda
(rancangan perda dalam keadaan tertentu ini diajukan oleh DPRD dan
Gubernur diluar Propremperda, yang terdiri atas; 1) Untuk mengatasi
keadaan luarbiasa, keadaan konflik, atau bencana alam; 2) Akibat
kerjasama dengan pihak lain, dam 3) keadaan tertentu lainnya yang
memastikan adanya urgensi atas suatu Rancangan Peraturan Daerah
provinsi yang dapat disetujui besama oleh alat kelengkapan DPRD Provinsi
yang khusus menangani bidang legislasi dan biro hukum.
Biro hukum/bagian Hukum bertugas mengkoordinasikan penyusunan
rancangan properpemda dilingkungan Pemerintah Daerah dan dapat
mengikut sertakan instansi vertikal terkait ( pasal 36 ayat (3) UU No. 12 /2011).
Instansi vertikal yang dimaksud seperti Kepolisian Daerah, Kantor Wilayah
Hukum dan Ham, dan intansi-instansi vertikal lain sebagai pelaksana dari
pemerintahan pusat.
b. Tahap Penyusunan
Tahap penyusunan peraturan daerah dilakukan didasarkan atas
program pembentukan peraturan daerah. Rancangan perda
sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 Perda Provinsi Jawa Tengah
Nomor 6 Tahun 2016 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan dilingkungan provinsi Jawa Tengah disertai dengan Naskah
Akademik atau penjelasan atau keterangan sebagaimana pasal 26 ayat
(1).
Naskah akademik merupakan salah satu langkah yang paling
penting dalam proses legislasi, karena naskah akademik berperan
sebagai “quality control“ yang sangat menentukan kualitas suatu
produk hukum. Naskah akademik memuat seluruh informasi yang
diperlukan untuk mengetahui landasan pembuatan suatu peraturan
daerah yang baru, termasuk tujuan dan isinya. Naskah akademik adalah
landasan dan sekaligus arah penyusunan suatu Perda. Penyusun perda
(legal drafter) hendaknya membuat naskah akademik dengan sebenar-
benarnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Secara umum, rancangan perda diajukan tidak terpisahkan dengan
naskah Akademik atau penjelasan atau keterangan. Sebagaimana
diatur dalam Perda Provinsi Jawa Tengah Nomor 6 tahun 2016 tentang
Pembentukan Peraturan Daerah dalam pasal 26.
Pasal 26 :
(1) Rancangan Perda sebagaimana dimaksud dalam pasal 25
disertai dengan Naskah Akademik atau penjelasan atau
keterangan.
(2) Naskah Akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat
sistematika sebagai berikut :
a. Pendahuluan;
b. Kajian Teoritis atau praktis empiris;
c. Evaluasi dan analisis Peraturan Perundang-undangan terkait;
d. Landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis;
e. Jangkauan, arah pengaturan, dan ruang lingkup materi
muatan peraturan daerah;
f. Penutup.
(3) Penjelasan atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) memuat :
a. Pokok Pikiran;
b. Kondisi empiric dan permasalahannya; dan
c. Materi muatan yang diatur.
(4) Dalam hal rancangan Perda mengenai APBD, pencabutan Perda
atau Perubahan Perda yang hanya terbatas mengubah
beberapa materi, hanya disertai dengan penjelasan atau
keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Teknik Penyusunan Naskah Akademik sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) tercantum dalam lampiran I yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari peraturan daerah ini.
Sumber : http://dishanpan.jatengprov.go.id
Tahap penyusunan Peraturan Perundang-undangan memiliki
beberapa tahap lain yakni pengharmonisasian, pembulatan, dan
pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang
berasal dari Gubernur dikoordinasikan oleh biro hukum dan dapat
mengikutsertakan instansi vertikal dari kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, sedangkan
yang berasal dari DPRD Provinsi dikoordinasikan oleh alat kelengkapan
DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi. Ketentuan
mengenai penyusunan Peraturan Daerah Provinsi berlaku secara
mutatis mutandis terhadap penyusunan Peraturan daerah
Kabupaten/Kota.
c. Tahap Pembahasan
Daerah otonom sebagai satuan pemerintahan mandiri berwenang
membuat peraturan-peraturan untuk menyelenggarakan rumah
tangganya. Menurut Modeong (2000:33), Peraturan Perundang-
undangan tingkat daerah terdiri dari Peraturan Daerah dan Keputusan
Kepala Daerah yang bersifat peraturan (regeling). Wewenang membuat
Peraturan Daerah ini ada pada Pemerintah Daerah dan DPRD sebagai
pemegang fungsi legislatif di daerah. Hal ini sesuai dengan pasal 241
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah
yang berbunyi :
Pasal 241
(1) Pembahasan rancangan Perda dilakukan oleh DPRD
bersama kepala Daerah untuk mendapatkan persetujuan
bersama.
(2) Pembahasan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui tingkat pembicaraan.
(3) Pembahasan sebagaimana dimaksud pad ayat (1) dan ayat
(2) berpedoman pada ketentuan Peraturan Perundang-
undangan.
Tahap pembahasan dalam mekanisme penyusunan Peraturan
Daerah dilingkungan Pemerintah Provinsi Jawa dilakukan dengan
melakukan pembahasan bersama oleh DPRD dan Gubernur untuk
mendapatkan persetujuan bersama. Aturan tersebut diatur dalam Pasal
43 Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2016
tentang Pembentukan Peraturan Daerah.
Pasal 43
Rancangan Perda yang berasal dari DPRD atau Gubernur
dibahas bersama oleh DPRD dan Gubernur untuk mendapatkan
persetujuan bersama.
Selanjutnya pembahasan dilanjutkan dengan ditetapkannya
pembahas oleh DPRD dalam rapat paripurna setelah mendapatkan
pertimbangan Badan Musyawarah. Pembahas dalam hal ini dapat
dilakukan oleh komisi, gabungan komisi, Bapemperda atau panitia
khusus yang nantinya akan membahas rancangan perda yang berasal
dari Gubernur, pentapan pembahas dari DPRD harus memperhatikan
materi muatan rancangan Perda yang akan dibahas.
Tahap pembahasan dalam pembentukan Peraturan Daerah
dilakukan melalui dua tingkat pembicaraan yaitu pembicaraan tingkat I
dan pembicaraan tingkat II. Pembicaraan I dan Pembicaraan II
dilakukan sebagaimana bagan berikut ini:
Alur Tahap pembahasan dalam pembentukan Perda Provinsi Jawa Tengah
Permohonan
Penetapan dan
Nomor Registrasi
Disampaikan pengundangan
di Biro Hukum
dari DPRD ke
Kemendagri
Sumber Gub: (http://dishanpan.jatengprov.go.id
7 hari)
(7 hari)
g. Tahap Penyebarluasan
Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan merupakan langkah penting
dalam proses legislasi setelah pengundangan. Penyebarluasan merupakan
proses aktif pemerintah agar sesuatu Peraturan Perundang-undangan
diketahui oleh masyarakat. Berbeda dengan pengundangan yang merupakan
formalisasi Peraturan Perundang-undangan dengan menempatkan dalam
lemabaran negara ddan bertujuan agar setiap orang mengetahuinya.
Dalam praktiknya, tujuan pengundangan yaitu agar setiap orang mengetahui
tidak terlihat dalam langkah aktif pemerintah untuk menginformasikan
Peraturan Perundang-undangan terkait. Oleh karena itu, penyebarluasan
dianggap sebagai proses lanjutan dari pengundangan. Tahap penyebarluasan
juga merupakan konsekuensi dari asas hukum bahwa setiap orang dianggap
tahu tentang hukum atau Peraturan Perundang-undangan (fictie). Prinsip
hukum juga mengajarkan bahwa ketidaktahuan atas hukum tidak bisa menjadi
alasan pembelaan terhadap pelanggaran.
Penyebarluasan propemperda, ranperda dan perda yang telah diundangnkan
dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD sebagaimana termaktub dalam
pasal 60- pasal 63 Perda Provinsi Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2016 tentang
Pembentukan Peraturan Daerah. Penyebarluasan Perda dilakukan sejak
rancangan hingga pengundangan untuk memperoleh masukan masyarakat
dan para pemangku kepentingan.
Setelah penyebarluasan propemperda dilakukan, setiap perda
dundangkan dalam undangnkan dalam lembaran Daerah dan siap untuk
disebarluaskan kepada masyarakat melalui media cetak, media eletronik,
dan/atau cara lainnya sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Rineka Cipta.
Asshiddiqie, J., & Safa'at, M. A. (2011). Teori Hans Kelsen Tentang Hukum.
Huda, N. (2006). Hukum Tata Negara Indonesia Edisi Revisi. Jakarta: PT Raja
Grafindo.
Kelsen, H. (General Theory of Law and State). 1961. Newyork: Russel & Russel.
House.
Rosdakarya .
JURNAL
Universitas Lampung.
Domestic Law and Policy: The Establishment and Role of the Human
Right Law resource Centr dalam Melbourne Journal of International Law
Rotterdam.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANG
Perundang-undangan.