Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH

PROSES HARMONISASI DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN


PERUNDANG-UNDANGAN MELALUI PROGRAM LEGISLASI
NASIONAL DAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH

DESI APRILIANI
NIM : 0811521037

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM – FAKULTAS HUKUM


UNIVESITAS NEGERI SEMARANG
2021-2022
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara demokrasi. Dalam perkembangannya,
paham negara hukum tidak bisa dipisahkan dari paham demokratis
(kerakyatan) sebab pada akhirnya hukum yang mengatur dan membatasi
kekuasaan negara atau pemerintah diartikan sebagai hukum yang disebut
atas dasar kekuasaan atau kedaulatan rakyat. Atas dasar demokrasi,
negara hukum (Rechtstaat) dikatakan sebagai “negara kepercayaan timbal
balik (de staat van het wederzijds vertrouwen)”, yaitu kepercayaan dari
rakyat pendukungnya bahwa kekuasaan yang diberikan tidak akan
disalahgunakan, dan kepercayaan dari penguasa bahwa dalam batas
kekuasaannya dia mengharapkan kepatuhan dari rakyat pendukungnya.
Beberapa asas-asas yang mendasari sebuah negara berasaskan
hukum (Rechtstaat) menurut S.W. Couwenberg meliputi lima asas, yakni :
(1) Asas Hak-hak politik, (2) Asas Mayoritas, (3) Asas perwakilan, (4) Asas
pertanggungjawaban, dan (5) Asas publik.
Asas-asas yang dikemukaan oleh S.W. Counwenberg mengenai
negara hukum, rechtstaat memiliki ciri sifat-sifat dasar sebagai berikut :
1. Adanya Undang-Undang Dasar atau Konstitusi yang memuat
ketentuan tertulis tentang hubungan antara penguasa dan rakyat.
2. Adanya pembagian kekuasaan negara.
3. Diakui dan dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat (vrijheidsrechten
van de burger)

Ciri-ciri diatas menjelaskan bahwa ide dasar dari negara hukum


(rechtstaat) adalah pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi
manusia yang bertumpu atas dasar prinsip kebebasan dan persamaan.
Indonesia sebagai negara demokrasi memiliki landasan Idiil dalam
penyelenggaraan negara, termasuk mengenai pembagian kekuasaan baik
secara vertikal maupun horizontal. Pembagian kekuasaan secara
horizontal adalah pembagian kekuasaan yang dilakukan pada tingkatan
pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah berdasarkan fungsi
lembaga-lembaga tertentu. Sedangkan pembagian kekuasaan secara
vertikal merupakan pembagian kekuasaan negara berdasarkan
tingkatannya yaitu pembagian kekuasaan antara beberapa tingkatan
pemerintahan yaitu propinsi, kota dan kabupaten. Semua daerah memiliki
hak dan wewenang menyelenggarakan pemerintahan daerah
sebagaimana diatur dalam Undang-undang.
Wujud berdaulatnya pemerintahan daerah dan menjadi tolak ukur
asas demokrasi, pemerintahan daerah diberikan kewenangan membentuk
Peraturan Daerah secara mandiri untuk mengatur urusan pemerintahan
masing-masing. Aturan tersebut termaktub dalam pasal 18 ayat (6)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dikatakan
Pemerintahan Daerah berhak menetapkan Peraturan Daerah dan
Peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan. Peraturan Daerah merupakan salah satu jenis Peraturan
Perundang-undangan yang dimaksudkan sebagai instrument hukum
dalam menyelenggarakan pemerintahan di daerah dalam rangkan
otonomi daerah.
Prinsip-prinsip otonomi daerah yakni prinsip otonomi seluas-
luasnya, nyata, bertanggungjawab memberikan arti bahwa pemerintahan
daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur urusan
pemerintahan diluar yang menjadi urusan pemerintahan pusat. Prinsip
“nyata“ memiliki kaidah dalam menangani urusan pemerintah daerah
berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang pada kenyataannya
telah ada dan berpotensi tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan
potensi daerah. Selanjutnya prinsip “ bertanggung jawab” dimaksudkan
dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan
maksud pemberian otonomi daerah oleh negara semata-mata untuk
memberdayakan daerah dan meningkatkan kesejahteraan rakyat
sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah.
Perjalanan pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PUU),
sistem PUU di Indonesia mengalami peningkatan kualitas dan kuantitas
dimana tidak dapat dipisahkan pada mekanisme PUU yang semakin tertib,
terarah dan terukur. Penyerahan sebagaian besar kewenangan
pemerintah pusat pada pemerintah daerah, telah menempatkan
pemerintah daerah sebagai ujung tombak pembangunan nasional, dalam
rangka menciptakan kemakmuran rakyat secara adil dan merata. Dalam
kaitan ini peran dan dukungan dari berbagai pihak sangat strategis dalam
pembuatan peraturan daerah dan peraturan daerah lainnya sesuai dengan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Peraturan Daerah sebagai jenis Peraturan Perundang-undangan
termasuk dalam jenis hukum positif yang berlaku sebagai hukum nasional.
Perda atau Peraturan Daerah memiliki landasan konstitusional dan
landasan yuridis yakni dengan diaturnya Perda dalam Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-undangan dan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Peraturan Daerah termasuk peraturan yang merupakan aturan lebih lanjut
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
(berlaku asas lex specialis).
Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menyatakan bahwa pemerintah daerah berhak menetapkan
peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan
otonomi dan tugas pembantuan. Perda juga sebagaimana Peraturan
Perundang-undangan lainnya memiliki fungsi untuk mewujudkan
kepastian hukum (legal certainty). Untuk berfungsinya kepastian hukum
Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi syarat-syarat tertentu
antara lain konsisten dalam perumusan dimana dalam Peraturan tersebut
harus bagus hubungan sistematik antara kaidah-kaidahnya, kebakuan
susunan dan bahasa, dan adanya hubungan harmonisasi antara berbagai
Peraturan Perundang-undangan.
Pasca diterbitkannya Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2018 tentang
Pengharmonisasian Rancangan Peraturan Perundang-undangan yang
dibentuk di Daerah oleh Perancang Peraturan Perundang-undangan,
Peraturan Perundang-undangan dalam mekanismenya harus melewati
proses harmonisasian yang dimana dilakukan oleh Kementerian Hukum
dan HAM di Kanwil masing-masing. Pada mekanisme sebelumnya, Peran
lembaga perancang vertikal (kanwil menkumham) tidak dilibatkan secara
nyata dalam perancangan peraturan daerah.

PEMBAHASAN
A. KONSEP HARMONISASI SINKRONISASI PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN.
1. Hierarki Norma Hukum Negara.
Istilah “ Perundang-undangan” (legislation / gesetszgebung
mempunyai dua pengertian yang berbeda, yaitu :
1. Perundang-undangan sebgai sebuah proses pembentukan atau
proses membentuk peraturan-peraturan Negara, baik ditingkat
pusat maupun ditingkat daerah; dan.
2. Perundang-undangan sebagai segala peraturan negara yang
merupakan hasil proses pembentukan peraturan-peraturan, baik di
tingkat pusat maupun ditingkat daerah.
Pemaknaan definisi dari “ Peraturan Perundang-undangan”
dapat dilihat dari pendapat Van Der Tak dan yang ditentukan oleh
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
Van Der Tak mendefinisikan Peraturan Perundang-undangan
sebagai kaidah hukum tertulis yang dibuat oleh pejabat yang
berwenang, berisi aturan-aturan tingkah laku yang bersifat abstrak dan
mengikat secara umum.
Hans Kelsen sebagaimana dikutip oleh Maria Farida Indrati S
(2007;41) menjabarkan sebuah teori mengenai jenjang norma hukum (
Stufentheorie), yang artinya bahwa norma hukum itu berjenjang-
jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan).
Selanjutnya Hans Kelsen dalam teorinya menjelaskan bahwa dalam arti
suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada
norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber,
dan berdasarkan norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya
sampai suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat
hipotesis dan fiktif yaitu Norma Dasar (Grundnorm).
Berlakunya norma dasar tidak berdasar, tidak bersumber pada,
atau dibentuk oleh norma yang lebih tinggi lagi, tetapi berlakunya
ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai norma dasar yang
merupakan tempat bergantung norma-norma yang berada
dibawahnya, sehingga norma dasar dikatakan presupposed. Apabila
norma dasar diubah bmaka akan menjadi rusak system norma yang
berada dijenjang-jenjang dibawahnya.
Teori Jenjang Norma dari Hans Kelsen terilhami dari pandangan
yang dikembangkan oleh Adolf Merkl, Teori Dua Wajah Norma Hukum
(Das Doppelte Rechtsantlitz). Teori dua wajah norma hukum
menyatakan bahwa suatu norma hukum memiliki dua wajah. Menurut
Adolf Merkl, pada suatu wajah, ke atasm suatu norma hukum
bersumber dan berdasar pada norma hukum diatasnya. Akan tetapi,
pada wajahnya lainya, norma hukum tersebut sekaligus pula menjadi
sumber bagi norma hukum yang berada dibawahnya.
Norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompok-
kelompok sebagaimana dipisahkan dalam 4 (empat) kelompok besar
berikut ini:
a) Kelompok I (Staatsfundamentalnorm atau Norma Fundamental
Negara).
Kelompok ini merupakan norma dasar bagi pembentukan konstitusi
dan Undang-Undang dari suatu negara (Staatsverfassung), termasuk
norma pengubahnya. Ia terlebih dahulu ada sebelum adanya konstitusi
atau Undang-Undang dasar.
b) Kelompok II (Staatsgrundgesetz atau Dasar Negara atau Aturan Pokok
Negara).
Kelompok II ini merupakan aturan-aturan yang masih bersifat pokok
dan merupakan aturan-aturan umum yang masih bersiifat garis besar,
sehingga masih merupakan norma hukum tinggal.
c) Kelompok III (Formell Gesetz atau Undang-Undang ‘Formal’).
Kelompok III merupakan norma hukum yang lebih konkret dan terinci,
serta sudah dapat langsung berlaku didalam masyarakat. Norma-norma
hukum dalam Undang-Undang ini tidak saja norma hukum yang bersifat
tunggal, tetapi norma-norma hukum itu dapat merupakan norma
hukum yang berpasangan, sehingga terdapat norma hukum sekunder
disamping norma hukum primernya. Didalam Undang-Undang sudah
dapat dicantumkan norma-norma yang bersifat sanksi, baik itu sanksi
pidana atau sanksi pemaksa.
d) Kelompok IV (Verordnung dan Autonome Satzung atau Aturan
Pelaksana dan Aturan Otonom).
Kelompok IV merupakan peraturan-peraturan yang terletak dibawah
Undang-Undang yang berfungsi menyelenggarakan ketentuan-
ketentuan dalam Undang-Undang. Peraturan Pelaksanaan bersumber
dari kewenangan delegasi, sedangkan Peraturan Otonomo bersumber
dari kewenangan atribusi. Astribusi kewenangan merupakan
pemberian kewenagan membentuk Peraturan Perundang-undangan
yang diberikan oleh Grondwet (Undang-Undang Dasar) atau Wet
(Undang-Undang) kepada suatu lembaga negara atau pemerintahan.
Sementara delegasi kewenangan merupakan pelimpahan kewenagan
membentuk Peraturan Perundang-undangan yang dilakukan oleh
Peraturan Perundang-undangan yang lebihtinggi kepada Peraturan
Perundang-undangan yaitu lebih rendah, baik pelimpahan dinyatakan
dengan tegas maupun tidak.

Staatsfundamentalnorm

Staatsgrundgesetz

Formal Gesetz

Verordnung dan Autonome Satzung

Gambar 2. 1. Tata Susunan Norma Hukum Negara (Die Theorie Vom


Stufenordnung der Rechtsnormen) (Maria Farida Indrati S, 2007: 41)
B. Hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia.
Hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia pernah
mengalami evolusi. Saat ini, yang menjadi acuan dalam hal hierarki
peraturan perundangan-undangan di Indonesia adalah Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan. Sebelumnya berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 yang secara sah dijadikan pedoman pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, acuan hierarki Peraturan Perundang-undangan
di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Sebelum diatur dalam bentuk Undang-Undang, aturan yang
mengatur mengenai pembentukan Peraturan Perundang-undangan
mengacu pada Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat/Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara (Tap MPR/MPRS).
Pertama, TAP MPRS Nomor XX/MPRS1966 tentang
Memorandum DPRGR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik
Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik
Indonesia. Kedua, TAP MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum
dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.
Selanjutnya jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan
sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan adalah sebagai berikut :
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan presiden
f. Peraturan Daerah Propinsi; dan;
g. Peraturan Daerag Kabupaten/Kota.
(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan
hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Teori mengenai hierarki atau tata urutan Peraturan Perundang-
undangan tersebut jika dikaji lebih mendalam mengandung beberapa
prinsip, di antaranya:
1) Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukannya dapat
dijadikan landasan atau dasar hukum bagi Peraturan Perundang-
undangan yang lebih rendah atau berada di bawahnya.
2) Peraturan Perundang-undangan tingkat lebih rendah harus bersumber
atau memiliki dasar hukum dari Peraturan Perundang-undangan yang
tingkatnya lebih tinggi.
3) Isi atau muatan Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah
tidak boleh menyimpang atau bertentangan dengan Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.
4) Suatu Peraturan Perundang-undangan hanya dapat dicabut, diganti
atau diubah dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi
atau paling tidak dengan yang sederajat.

5) Peraturan Perundang-undangan yang sejenis apabila mengatur


mengenai materi yang sama, peraturan terbaru harus diberlakukan

2. KONSEP HARMONISASI DAN SINKRONISASI PERATURAN


PERUNDANG-UNDANG.
Sinkronisasi Peraturan Perundang-undangan menurut Roni
Hanitijo sebagaimana dikutip oleh Yudho Taruno Muryanto dan
Djuwityastuti mengemukakan bahwa dalam sinkronisasi Peraturan
Perundang-undangan terdapat konsepsi pokok yang harus
diperhatikan, yaitu :
“ Apabila sinkronisasi Peraturan Perundang-undangan itu ditelaah
secara vertikal, berarti akan dapat dilihat bagaimana hierarkinya. Apabila
ditelaah secara horizontal, akan terlihat sejauh mana Peraturan Perundang-
undangan yang mengatur berbagai bidang itu mempunyai hubungan
fungsional secara konsisten. Dengan sinkronisasi hukum, akan diperoleh
jawaban menyeluruh terkait dengan permasalahan mengenai Peraturan
Perundang-undangan tertentu, juga dapat mengungkapkan kelemahan-
kelemahan yang ada pada Peraturan Perundang-undangan yang mengatur
bidang-bidang tertentu. “ (Muryanto dan Djuwityastuti, 2014: 129).
Upaya sinkronisasi atau penyelarasan Peraturan Perundang-
undangan (synchronization of law) lebih mementingkan bahwa
Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan satu sama
lain dengan Peraturan Perundang-undangan yang sederajat
(sinkronisasi sederajat atau horizontal) dan tidak boleh bertentangan
dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi (sinkronisasi
vertikal) (Suhardian, 2008: 85).
Pendapat lain mengenai sinkronisasi adalah penyelarasan dan
penyerasian berbagai Peraturan Perundang-undangan terkait dengan
Peraturan Perundang-undangan yang telah ada dan yang sedang
disusun yang mengatur suatu bidang tertentu, dengan maksud agar
substansi yang diatur dalam produk Perundang-undangan tersebut
tidak tumpang tindih, saling melengkapi (suplementer), saling terkait,
dan semakin rendah jenis pengaturannya maka akan semakin detail
dan operasional materi muatannya. Adanya kegiatan sinkronisasi
terhadap Peraturan Perundang-undangan akan menciptakan sebuah
keselarasan antara peraturan yang satu dengan peraturan yang
lainnya, untuk mewujudkan landasan terhadap pengaturan suatu
bidang tertentu yang dapat memberikan kepastian hukum yang
memadai bagi penyelenggaraan bidang tersebut secara efektif dan
efisien.
Menurut Peter Mahmud Marzuki berpendapat bahwa dalam
menguji taraf sinkronisasi Peraturan Perundang-undangan, selain
memahami jenis, hierarki, dan asas-asas Peraturan Perundang-
undangan, juga perlu menelaah materi muatannya, dengan
mempelajari dasar ontologis lahirnya produk hukum yang
bersangkutan. Tidak hanya itu, menelaah landasan filosofis Undang-
Undang, dan ratio legis dari ketentuan Undang-Undang, dikarenakan
Undang-Undang dibuat oleh wakil-wakil rakyat yang diandaikan dibuat
oleh rakyat untuk diri mereka sendiri, sedangkan regulasi tidak lain
daripada pendelegasian apa yang dikehendaki rakyat (Marzuki, 2014:
142). Maka dapat disimpulkan bahwa upaya sinkronisasi dalam
pembentukan Peraturan Perundang-undangan dapat ditelaah baik
secara vertikal maupun horizontal.
3. Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Asas dalam ilmu hukum secara umum dimaknai sebagai suatu
landasan pemikiran atau prinsip dasar hukum yang bersifat abstrak
yang digunakan dalam pembentukan hukum sehingga terbentuk
hukum yang bisa menciptakan keadilan. Asas hukum memiliki peran
penting dalam ilmu hukum karena merupakan dasar penyelesaian
konflik hukum maupun antarsumber hukum. Dalam perkembangannya,
ada beberapa ahli yang memberikan definisi mengenai asas hukum.
Ron Jue (1985: 19-21) dalam Bruggink (1996:121) membatasai
pengertian asas hukum sebagai nilai-nilai yang melandasi kaidah-kaidah
hukum. Asas hukum itu menjelaskan dan melegitimasi kaidah hukum;
diatasnya bertumpu muatan ideologis dari tatanan hukum. Karena itu,
kaidah-kaidah hukum dipandang sebagai operasionalisasi atau
pengolahan lebih jauh dari asas-asas hukum.
Sedangnkan menurut Paul Scholten, asas hukum adalah kecenderungan-
kecenderungan yang diisyaratkan sebagai pandangan kesusilaan kita pada
hukum yang sifatnya umum.
Asas-asas hukum memiliki peran penting karena asas-asas ini
memberikan makna etis pada setiap peraturan-peraturan hukum serta
tata hukum (Rajardjo, 2006:47).
Secara teoritis, A Hamid S Attamimi sebagaimana dikutip oleh
Maria farida Indrati., Menjelaskan bahwa asas-asas pembentukan
peraturan perundangan-undangan Indonesia adalah sebagai berikut:
1) Asas-asas formal, dengan perincian:
a) Asas tujuan yang jelas;
b) Asas perlunya pengaturan;
c) Asasorgan atau lembaga yang tepat;
d) Asas materi muatan yang tepat;
e) Asas dapatnya dilaksanakan; dan
f) Asas dapatnya dikenali.
2) Asas-asas material, dengan perincian:
a) Asas sesuai dengan Cita Hukum Indonesia dan Norma Fundamental
Negara;
b) Asas sesuai dengan Hukum Dasar Negara;
c) Asas sesuai dengan prinsip-prinsip Negara berdasar atas Hukum; dan
d) Asas sesuai dengan prinsip Pemerintahan berdasar system Konstitusi
(Indrati, 2007: 230).
Ketika terdapat dua atau lebih Peraturan Perundang-undangan
yang mengatur mengenai hal yang sama, namun terdapat
ketidaksesuain pengaturan materi muatannya, maka dapat dilakukan
dengan menerapkan asas hukum atau doktrin hukum sebagai berikut:
1) Asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori
Asas memiliki makna bahwa apabila terjadi pertentangan antara
Peraturan Perundang-undangan yang secara hierarki lebih rendah dengan
yang lebih tinggi, Peraturan Perundang-undangan yang hierarkinya lebih
rendah tersebut harus disisihkan.
2) Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali
Asas ini menghendaki kepada dua Peraturan Perundang-undangan
yang secara hierarki mempunyai kedudukan yang sama, akan tetapi ruang
lingkup materi muatan antara kedua Peraturan Perundang-undangan itu tidak
sama, yaitu yang satu merupakan pengaturan khusus dari yang lain (Marzuki,
2014: 139). Dasar Hukum Pembentukan Peraturan Daerah di Provinsi Jawa
Tengah

Implementasi asas desentralisasi di Indonesia yang dimulai pada tahun


2001 (masa amandemen Undang-Undang Dasar 1945) merupakan
perwujudan dari komitmen Indonesia menuju pemerintahan daerah yang
demokratis dan berkelanjutan. Dikeluarkannya produk hukum mengatur
mengenai pemerintahan daerah menjadi awal mula terbukanya
kesempatan yang luas bagi para putra-putri bangsa dalam usahanya
membangun daerah, serta mampu menyerap partisipasi yang besar dalam
pemerintahan.
Produk hukum yang menjadi penting atas hadirnya Peraturan Daerah
adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah yang telah mengubah pemerintahan di daerah dengan penguatan
asas desentralisasi (otonomi daerah). Perubahan tersebut merupakan
implementasi dari pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 yang mengamanatkan bahwa;“ Pemerintah Daerah
provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan“.
Seiring berjalannya waktu, terbitlah Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014
yang merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah.
Proses pembentukan Peraturan Daerah di Indonesia diatur dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Pada ketentuan umum pasal 1 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan
memberikan definisi Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan
tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan
dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang
berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-
undangan. Sedangkan definisi mengenai peraturan daerah provinsi dalam
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011, memberikan definisi Peraturan
daerah provinsi adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh
Dewan Perwakilan Daerah Provinsi dengan Persetujuan bersama
Gubernur. Dalam melaksanakan urusan pemerintahan, Pemerintah Provinsi
Jawa Tengah dalam membentuk peraturan daerah mengacu pada hukum
positif yang berlaku. Mekanisme pembentukan Peraturan Daerah di
Provinsi mengacu pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Selain itu, pembentukan
produk hukum daerah juga diatur dalam Peraturan Kementerian Dalam
Negeri nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah
dan peraturan internal pemerintahan provinsi terkait yang dibentuk sesuai
dengan kebutuhan daerah. Selain itu, peraturan internal yang bersifat
khusus dalam pembentukan peraturan daerah di wilayah pemerintahan
Provinsi Jawa Tengah diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah
Nomor 6 Tahun 2016 tentang Pembentukan Peraturan Daerah. Perda
nomor 6/2016 inilah yang menjadi acuan internal pemerintah provinsi Jawa
Tengah dalam pembentukan Peraturan daerah.

3. MEKANISME PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DI


PEMERINTAHAN PROVINSI JAWA TENGAH
Mekanisme pembentukan peraturan daerah di lingkungan provinsi
Jawa Tengah, Pemerintah Daerah menyusun perda nomor 6 tahun 2016
tentang Pembentukan Peraturan Daerah dalam menyusun Peraturan
Daerah. Dikeluarkannya produk hukum internal Pemerintah Provinsi Jawa
Tengah dalam mekanisme pembentukan peraturan daerah yakni untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat atas Peraturan Perundang-undangan
yang baik dan sesuai dengan asas-asas hukum.
Tahapan pembentukan Peraturan Perundangan-undangan secara
umum diatur juga dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan. Dalam pasal 1 angka 1
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan,
pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.

a. Tahap Perencanaan
Tahap perencanaan sebagai tahap pertama dalam pembentukan
Peraturan Perundang-undangan biasa dikaitkan dengan Program
Pembentukan Perda yang selanjutnya disebut Propemperda. Propemperda
adalah instrumen perencanaan program pembentukan perda provinsi dan
perda kabupaten/kota yang disusun secara terencana, terpadu, dan
sistematis.
Apabila dimaknai secara bahasa, Program adalah cara yang disahkan
untuk mencapai tujuan dimana melalui hal tersebut bentuk rencana akan
lebih terorganisir dan lebih mudah untuk dioperasionalkan demi
tercapainya kegiatan pelaksanaan karena dalam program tersebut telah
dimuat berbagai aspek yang harus dijalankan agar tujuan program itu
sendiri bisa tercapai. Program merupakan kumpulan kegiatan yang
sistematis dan terpadu untuk mendapatkan hasil dan mencapai sasaran
waktu. Program dilengkapi dengan target, sasaran dan output yang jelas
dalam kurun waktu tertentu. Selain definisi tersebut, program merupakan
seperangkat aktivitas atau langkah-langkah yang tersusun secara
sistematis sebagai penjabaran dari strategis yang telah ditetapkan.
Jadi propemperda adalah instrumen perencanaan pembentukan
peraturan daerah yang terencana, terpadu dan sistematis dan diatur dalam
UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan (Badan Pembinaan Hukum Nasional : 2012). Pola pikir
penyusunan Propemperda arahnya menuju kepada pembangunan sistem
hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu serta terencana, yang
meliputi empat aspek pokok yaitu pembangunan materi hukum, aparat
hukum, sarana dan prasarana hukum, seraat budaya hukum masyarakat
dengan dilandasi oleh cita-cita proklamasi dan konstitusi serta prinsip
negara hukum yang menjunjung tinggi supremasi hukum dan menjadikan
hukum sebagai landasan operasional dalam menjalankan sistem
penyelenggaraan kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat
(Ahmad, 2011:120).
Pasca ditetapkannya Undang-Undang Nompr 23 Tahun 2014 Tentang
pemerintahan Daerah, maka Program Legislasi Daerah (dulunya
Propemperda disebut sebagai Prolegda) berganti nomenklatur menjadi
Propemperda dan Badan legislasi berganti nomenklatur menjadi
Bapemperda yang merupakan alat kelengkapan DPRD yang bersifat tetap,
dibentuk dalam rapat paripurna DPRD. Semua ketentuan mengenai
Program Legislasi dan badan legislasi yang sudah ada sebelum UU Nomor
23 Tahun 2014 berlaku harus dibaca dan dimaknai sebagai Program
Pembentukan Perda dan Bapemperda.
Terdapat tiga kegiatan dalam tahap perencanaan pembentukan Perda,
yakni;
(a) Penyusunan Propemperda,
(b) Perencanaan penyusunan rancangan perda kumulatif terbuka
(APBD, Putusan Mahkamah agung, Penataan Kecamatan / Desa);
(c) Perencanaan penyusunan rancangan perda diluar propemperda
(rancangan perda dalam keadaan tertentu ini diajukan oleh DPRD dan
Gubernur diluar Propremperda, yang terdiri atas; 1) Untuk mengatasi
keadaan luarbiasa, keadaan konflik, atau bencana alam; 2) Akibat
kerjasama dengan pihak lain, dam 3) keadaan tertentu lainnya yang
memastikan adanya urgensi atas suatu Rancangan Peraturan Daerah
provinsi yang dapat disetujui besama oleh alat kelengkapan DPRD Provinsi
yang khusus menangani bidang legislasi dan biro hukum.
Biro hukum/bagian Hukum bertugas mengkoordinasikan penyusunan
rancangan properpemda dilingkungan Pemerintah Daerah dan dapat
mengikut sertakan instansi vertikal terkait ( pasal 36 ayat (3) UU No. 12 /2011).
Instansi vertikal yang dimaksud seperti Kepolisian Daerah, Kantor Wilayah
Hukum dan Ham, dan intansi-instansi vertikal lain sebagai pelaksana dari
pemerintahan pusat.

b. Tahap Penyusunan
Tahap penyusunan peraturan daerah dilakukan didasarkan atas
program pembentukan peraturan daerah. Rancangan perda
sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 Perda Provinsi Jawa Tengah
Nomor 6 Tahun 2016 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan dilingkungan provinsi Jawa Tengah disertai dengan Naskah
Akademik atau penjelasan atau keterangan sebagaimana pasal 26 ayat
(1).
Naskah akademik merupakan salah satu langkah yang paling
penting dalam proses legislasi, karena naskah akademik berperan
sebagai “quality control“ yang sangat menentukan kualitas suatu
produk hukum. Naskah akademik memuat seluruh informasi yang
diperlukan untuk mengetahui landasan pembuatan suatu peraturan
daerah yang baru, termasuk tujuan dan isinya. Naskah akademik adalah
landasan dan sekaligus arah penyusunan suatu Perda. Penyusun perda
(legal drafter) hendaknya membuat naskah akademik dengan sebenar-
benarnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Secara umum, rancangan perda diajukan tidak terpisahkan dengan
naskah Akademik atau penjelasan atau keterangan. Sebagaimana
diatur dalam Perda Provinsi Jawa Tengah Nomor 6 tahun 2016 tentang
Pembentukan Peraturan Daerah dalam pasal 26.
Pasal 26 :
(1) Rancangan Perda sebagaimana dimaksud dalam pasal 25
disertai dengan Naskah Akademik atau penjelasan atau
keterangan.
(2) Naskah Akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat
sistematika sebagai berikut :
a. Pendahuluan;
b. Kajian Teoritis atau praktis empiris;
c. Evaluasi dan analisis Peraturan Perundang-undangan terkait;
d. Landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis;
e. Jangkauan, arah pengaturan, dan ruang lingkup materi
muatan peraturan daerah;
f. Penutup.
(3) Penjelasan atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) memuat :
a. Pokok Pikiran;
b. Kondisi empiric dan permasalahannya; dan
c. Materi muatan yang diatur.
(4) Dalam hal rancangan Perda mengenai APBD, pencabutan Perda
atau Perubahan Perda yang hanya terbatas mengubah
beberapa materi, hanya disertai dengan penjelasan atau
keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Teknik Penyusunan Naskah Akademik sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) tercantum dalam lampiran I yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari peraturan daerah ini.

Tahap penyusunan peraturan daerah dilingkungan Pemerintahan Daerah


dapat digambarkan dengan bagan sebagai berikut :
Alur tahap penyusunan peraturan daerah dilingkungan Pemerintahan Daerah

RAPERDA dan Naskah Harmonisasi di Biro


Akademik disiapkan Hukum melibatkan SKPD
Gubernur
SKPD terikait terkait (Tim penyusun
Raperda)
DPRD
Pembahasan Natara
Gubernur (Biro Hukum,
SKPD terkait) dan DPRD

Sumber : http://dishanpan.jatengprov.go.id
Tahap penyusunan Peraturan Perundang-undangan memiliki
beberapa tahap lain yakni pengharmonisasian, pembulatan, dan
pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang
berasal dari Gubernur dikoordinasikan oleh biro hukum dan dapat
mengikutsertakan instansi vertikal dari kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, sedangkan
yang berasal dari DPRD Provinsi dikoordinasikan oleh alat kelengkapan
DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi. Ketentuan
mengenai penyusunan Peraturan Daerah Provinsi berlaku secara
mutatis mutandis terhadap penyusunan Peraturan daerah
Kabupaten/Kota.

c. Tahap Pembahasan
Daerah otonom sebagai satuan pemerintahan mandiri berwenang
membuat peraturan-peraturan untuk menyelenggarakan rumah
tangganya. Menurut Modeong (2000:33), Peraturan Perundang-
undangan tingkat daerah terdiri dari Peraturan Daerah dan Keputusan
Kepala Daerah yang bersifat peraturan (regeling). Wewenang membuat
Peraturan Daerah ini ada pada Pemerintah Daerah dan DPRD sebagai
pemegang fungsi legislatif di daerah. Hal ini sesuai dengan pasal 241
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah
yang berbunyi :
Pasal 241
(1) Pembahasan rancangan Perda dilakukan oleh DPRD
bersama kepala Daerah untuk mendapatkan persetujuan
bersama.
(2) Pembahasan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui tingkat pembicaraan.
(3) Pembahasan sebagaimana dimaksud pad ayat (1) dan ayat
(2) berpedoman pada ketentuan Peraturan Perundang-
undangan.
Tahap pembahasan dalam mekanisme penyusunan Peraturan
Daerah dilingkungan Pemerintah Provinsi Jawa dilakukan dengan
melakukan pembahasan bersama oleh DPRD dan Gubernur untuk
mendapatkan persetujuan bersama. Aturan tersebut diatur dalam Pasal
43 Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2016
tentang Pembentukan Peraturan Daerah.
Pasal 43
Rancangan Perda yang berasal dari DPRD atau Gubernur
dibahas bersama oleh DPRD dan Gubernur untuk mendapatkan
persetujuan bersama.
Selanjutnya pembahasan dilanjutkan dengan ditetapkannya
pembahas oleh DPRD dalam rapat paripurna setelah mendapatkan
pertimbangan Badan Musyawarah. Pembahas dalam hal ini dapat
dilakukan oleh komisi, gabungan komisi, Bapemperda atau panitia
khusus yang nantinya akan membahas rancangan perda yang berasal
dari Gubernur, pentapan pembahas dari DPRD harus memperhatikan
materi muatan rancangan Perda yang akan dibahas.
Tahap pembahasan dalam pembentukan Peraturan Daerah
dilakukan melalui dua tingkat pembicaraan yaitu pembicaraan tingkat I
dan pembicaraan tingkat II. Pembicaraan I dan Pembicaraan II
dilakukan sebagaimana bagan berikut ini:
Alur Tahap pembahasan dalam pembentukan Perda Provinsi Jawa Tengah

Penjelasan Pandangan Tanggapan


Umum Fraksi terhadap
Gubernur pemandangan
( Paripurna ) umum fraksi
Pembahasan
Pembicaraan Tingkat II (Persetujuan
Bersama)
1. Pengambilan Keputusan dalam
Penyebarluasan
Paripurna
2. Pendapat Akhir Gubernur

Permohonan
Penetapan dan
Nomor Registrasi
Disampaikan pengundangan
di Biro Hukum
dari DPRD ke
Kemendagri
Sumber Gub: (http://dishanpan.jatengprov.go.id
7 hari)
(7 hari)

Pembahasan sebagaimana dimaksud dalam Perda Provinsi Jawa


Tengah Nomor 6 Tahun 2016 tentang pembentukan peraturan daerah
dilakukan juga penyelerasan (harmonisasi dan sinkronisasi) oleh Biro
Hukum, Pemrakarsa, dan pembahas dari DPRD serta tenaga ahli.
Penyelerasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam
rangka pembakuan bahasa, tata urutan, dan sistematika penulisan
rancangan Perda.

d. Tahap Evaluasi Rancangan Perda


Tahap Evaluasi rancangan Perda disampaikan oleh Gubernur kepada
Menteri dalam rangka evaluasi Perda sebagaimana yang diatur dalam
Perda Provinsi Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2016 tentang
Pembentukan Peraturan Daerah, sebagaimana yang dievaluasi adalah
hal-hal sebagai berikut:
a. rencana pembangunan jangka panjang daerah;
b. rencana pembangunan jangka menengah daerah;
c. APBD, perubahan APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD;
d. pajak daerah dan retribusi daerah;
e. tata ruang daerah; dan
f. rancangan Perda lainnya sesuai ketentuan Peraturan Perundang-
undangan.

e. Tahap Penetapan dan Pengesahan


Tahap penetapan rancangan perda adalah tahap dimana
rancangan perda telah disetujui oleh DPRD dan Gubernur, disampaikan
oleh pimpinan DPRD kepada Gubernur untuk ditetapkan menjadi
Perda. Penyampaian rancangan Perda dilakukan dalam jangka waktu
paling lama adalah tujuh hari terhitung sejak tangga persetujuan
bersama antara DPRD dan Gubernur.
Tahap penetapan ini, gubernur memiliki kewajiban untuk
menyampaikan rancangan Perda kepada Menteri Dalam Negeri paling
lama tiga hari terhitung sejak naskah rancangan perda diterima oleh
Pimpinan DPRD untuk mendapatkan nomor register Perda. Setelah
disetujui oleh Menteri, rancangan perda ini disetujui oleh DPRD dan
Gubernur dengan dinyatakan sah dengan kalimat pengesahannya yang
berbunyi “Peraturan Daerah ini dinyatakan sah“. Setelah itu
didokumentasikan dengan naskah asli perda yakni masing-masing
untuk DPRD, Sekretaris Daerah, Biro Hukum berupa minute dan
Pemrakarsa.

f. Tahap Penomoran Pengundangan dan Autentifikasi


Tahap Penomoran, Pengundangan, dan Autentifikasi perda
diatur dalam pasal 56 sampai pasal 59 Perda Provinsi Jawa Tengah
Nomor 6 Tahun 2016 tentang pembentukan peraturan daerah.
Penomoran Perda, Perkada, Peraturan Bersama Kepala Daerah
dilakukan kepala biro hukum/kepala bagian hukum. Penomoran perda,
perkada dan peraturan bersama kepala daerah dilakukan dengan
nomor bulat. Penomoran keputusan kepala daerah dilakukan dengan
kode klasifikasi. (Pasal 56 Perda Provinsi Jawa Tengah Nomor 6 tahun
2016 tentang Pembentukan Peraturan Daerah).
Perda yang telah ditetapkan (ditandatangani kepala daerah)
diundangankan dalam lebaran daerah yang merupakan penerbitan
resmi pemerintah daerah. pengundangan merupakan pemberitahuan
secara formal suatu perda sehingga mempunyai daya ikat pada
masyarakat. Pengundangan dilakukan oleh sekretaris daerah (semua
produk hukum daerah bersifat pengaturan). Setalah diundangkan,
perda dimasukan dalam Jaringan dokumentasi dan informasi hukum
pemerintahan provinsi jawa tengah.
Sedangkan pada tahap Autentifikasi, pada pasal 59 Perda Provinsi Jawa
tengah Nomor 6 Tahun 2016 tentang pembentukan Peraturan Daerah diatur
bahwa produk hukum yang telah ditetapkan ditandatangani dan diberikan
nomor dilakukan autentifikasi. Autentifikasi perda, perkada dan peraturan
bersama kepala daerah dan keputusan Kepala Daerah dilakukan oleh Kepala
Biro Hukum/Bagian Hukum.

g. Tahap Penyebarluasan
Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan merupakan langkah penting
dalam proses legislasi setelah pengundangan. Penyebarluasan merupakan
proses aktif pemerintah agar sesuatu Peraturan Perundang-undangan
diketahui oleh masyarakat. Berbeda dengan pengundangan yang merupakan
formalisasi Peraturan Perundang-undangan dengan menempatkan dalam
lemabaran negara ddan bertujuan agar setiap orang mengetahuinya.
Dalam praktiknya, tujuan pengundangan yaitu agar setiap orang mengetahui
tidak terlihat dalam langkah aktif pemerintah untuk menginformasikan
Peraturan Perundang-undangan terkait. Oleh karena itu, penyebarluasan
dianggap sebagai proses lanjutan dari pengundangan. Tahap penyebarluasan
juga merupakan konsekuensi dari asas hukum bahwa setiap orang dianggap
tahu tentang hukum atau Peraturan Perundang-undangan (fictie). Prinsip
hukum juga mengajarkan bahwa ketidaktahuan atas hukum tidak bisa menjadi
alasan pembelaan terhadap pelanggaran.
Penyebarluasan propemperda, ranperda dan perda yang telah diundangnkan
dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD sebagaimana termaktub dalam
pasal 60- pasal 63 Perda Provinsi Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2016 tentang
Pembentukan Peraturan Daerah. Penyebarluasan Perda dilakukan sejak
rancangan hingga pengundangan untuk memperoleh masukan masyarakat
dan para pemangku kepentingan.
Setelah penyebarluasan propemperda dilakukan, setiap perda
dundangkan dalam undangnkan dalam lembaran Daerah dan siap untuk
disebarluaskan kepada masyarakat melalui media cetak, media eletronik,
dan/atau cara lainnya sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

Mekanisme Harmonisasi Rancangan Perda Oleh Kanwil Kemenkumham Jawa


Tengah

RAPERDA dan Harmonisasi di Biro Gubernur


Naskah Akademik Hukum melibatkan
disiapkan SKPD SKPD terkait (Tim
terikait penyusun Raperda)
DPRD

Dalam tahap ini,


pemerintah daerah
provinsi jawa tengah
mengirimkan salinan Pembahasan Natara
rancangan perda kepada Gubernur (Biro
Kanwil Kemenkumham Hukum, SKPD
terkait) dan DPRD
PENUTUP

KENDALA-KENDALA YANG DIHADAPI PADA PROSES HARMONISASI


PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH
1) Banyaknya perdebatan dalam masalah teknis perundang-undangan. Selain
itu, kurangnya kompetensi dan kapasitas sumber daya manusia yang
menjadi tenaga pendukung dalam proses penyusunan RUU.
2) Ada sejumlah RUU tertunda pembahasan lantaran menemui jalan buntu
(deadlock). Penyebabnya adalah ketidaksepakatan antar fraksi. Kemudian
pertentangan antara DPR dengan pemerintah dalam pembahasan RUU.
3) Alokasi waktu yang disediakan dalam pelaksanaan fungsi legislasi terkadap
tak secara optimal. Itu terjadi karena rangkap tugas kegiatan DPR yang
dilakukan secara pararel, sehingga quorum sulit dicapai.

PENUTUP

KENDALA-KENDALA YANG DIHADAPI PADA PROSES HARMONISASI


PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

1. Kendala-kendala Yuridis yang dihadapi pada proses harmonisasi


pembentukan Peraturan Daerah oleh Kantor Wilayah Hukum
dan Hak Asasi Manusia.
Dalam proses implementasi hukum, tidak ada hal yang mampu
direalisasikan secara sempurna. Dalam hal implementasi proses
harmonisasi rancangan peraturan daerah ini, terdapat kendala-kendala
yuridis yang dihadapi oleh instansi terkait dalam hal ini Kanwil
Kemenkumham pada khususnya dan pemerintah daerah. Diantara
kendala-kendala yuridis yang dihadapi oleh instansi terkait proses
harmonisasi perda adalah sebagai berikut:

1) Koordinasi yang kurang solid antar kementerian.


Permenkumham nomor 22 tahun 2018 tentang
Pengharmonisasian Rancangan Peraturan Perundang-undangan yang
dibentuk di Daerah oleh Perancang Peraturan Perundang-undangan
adalah instrument hukum yang dikeluarkan oleh Kementerian Hukum
dan HAM dengan tujuan agar perancangan perda dapat berjalan
maksimal dan ideal. Namun, dalam penerbitan permenkumham
tersebut Kementerian Hukum dan HAM tidak melakukan koordinasi
yang baik dengan Kementerian Dalam Negeri sehingga implementasi
proses harmonisasi yang diamanatkan oleh permenkumham a quo
tidak bisa dilaksanakan dengan maksimal oleh instansi pelaksana
(dalam hal ini Kanwil Kemenkumham dan Pemerintah Daerah). Disusul
kembali dengan terbitnya surat edaran Permohonan Pencabutan Atas
Permenkumham Nomor 22 Tahun 2018 dan Permenkumham Nomor 23
Tahun 2018 yang dilayangkan oleh Menteri Dalam Negeri
mengakibatkan instansi pelaksana didaerah dihadapkan dengan dilema
implementasi yang rumit.

2) Aturan yang masih tumpang tindih.


Proses pembentukan perda diatur secara umum dalam Undang-
Undang nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Sebagai pelaksana, pemerintah provinsi dalam
prosesnya beracuan pada permendagri sebagai produk hukum/aturan
yang dikeluarkan oleh kementerian yang menaungi. Aturan-aturan
tersebut adalah Permendagri nomor 80 Tahun 2015 tentang
Pembentukan Produk Hukum Daerah dan diatur kembali secara
internal dalam Perda Provinsi Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2016
tentang Pembentukan Peraturan Daerah. Dikeluarkannya
permenkumham nomor 22 tahun 2018 ini berimplikasi pada mekanisme
terdahulu, dan akibatnya proses harmonisasi ini kurang maksimal
diimplementasikan. Dalam aturan yang dibuat oleh Kementerian Dalam
Negeri mengatur sedemikian rupa alokasi waktu dalam proses
pembentukan perda, dengan keluarmya permekumham a quo, alokasi
waktu menjadi tidak tentu.

2. Kendala-kendala Teknis yang dihadapi pada proses harmonisasi


pembentukan Peraturan Daerah oleh Kantor Wilayah Hukum
dan Hak Asasi Manusia.
Kendala-kendala teknis yang dihadapi oleh Kementerian Hukum dan HAM
dalam implementasi proses harmonisasi rancangan perda adalah sebagai
berikut:
1. Belum adanya SOP ( Standard Operating Procedure) yang jelas
Belum adanya SOP ( Standard Operating Procedure) yang jelas
atas proses harmonisas yang diamanatkan dalam Permenkumham
nomor 22 tahun 2018 tentang Pengharmonisasian Rancangan
Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk di Daerah oleh
Perancang Peraturan Perundang-undangan dalam hal ini dimaksudkan
Kementerian Hukum dan HAM belum membuat SOP dalam bentuk
Peraturan yang lebih khusus kembali mengenai SOP Proses
Harmonisasi. Maka sebab itu, pemerintah provinsi jawa tengah dan
kanwil kemenkumham bersama-sama melakukan koordinasi yang baik
untuk melaksanakan amanat tersebut menurut penafsiran instansi. Hal
itu terkadang berakibat pada ketidakpastian hukum.

2. Output Proses Harmonisasi tidak pasti.


Output yang dihasilkan pada proses harmonisasi yang dilakukan
oleh kemenkumham adalah kemenkumham mengirimkan kembali hasil
harmonisasi yang dilakukan kepada Dirjen HAM dan Dirjen HAM
kembali mengirimkan rancangan perda tersebut kepada Gubernur
dalam hal Ini Biro Hukum yang berisi output negatif (ada hal yang salah
dan harus direvisi). Output seperti ini membuat kesulitan pemerintah
daerah dalam menjamin waktu kerja karena harus memprediksi dan
memastikan kembali kepada kanwil kementerian Hukum dan HAM
apakah proses harmonisasi menghasilkan hasil positif atau hasil negatif.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Akunto, S. (2007). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:

Rineka Cipta.

Amiroeddin. (1987). Perundang-undangan, Dasar, Jenis dan Teknik Membuatnya

Jakarta: Bina Aksara .

Asshiddiqie, J. (2006). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Sekretariat

Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

Asshiddiqie, J. (2011). Perihal Undang-Undang. Jakarta : Rajawali Press.

Asshiddiqie, J., & Safa'at, M. A. (2011). Teori Hans Kelsen Tentang Hukum.

Jakarta: Konstitusi Press.

Azwar, S. (2003). Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Belajar.


Huda, N. (2009). Hukum Pemerintah Daerah. Bandung: Nusamedia.

Huda, N. (2006). Hukum Tata Negara Indonesia Edisi Revisi. Jakarta: PT Raja

Grafindo.

Huda, N. (2005). Otonomi Daerah: Filosofi, Sejarah Perkembangan dan

Problematika. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Huda, N. (2010). Problematika Pembatalan Peraturan Daerah. Yogyakarta:

FH Universitas Islam Indonesia.

Indrati,  Maria Farida S. (2007). Ilmu Perundang-Undangan; Jenis,Fungsi,dan

Materi Muatan. Cetakan Kesembilan. Yogyakarta. Kanisius.

Jones, C. (1994). Pengantar Kebijakan Publik. Jakarta: PT Raja Grafindo.

Kelsen, H. (General Theory of Law and State). 1961. Newyork: Russel & Russel.

Khurshid, M. d. (19998). Interpretation of Statutes. Lahore: Mansoor Book

House.

Kurniawan, M. (2007). Pedoman Naskah AKademik Perda Partisipatif

Yogyakarta: Kreasi Total Media.

Manan, B. (1991). Dasar-dasar Perundang-undangan di Indonesia. Yogyakarta:

Gajah Mada University Press.

Mulyana, D. (Metodologi Penelitian Kualitatif ). 2008. Bandung : PT Remaja

Rosdakarya .

Ranggawidjaja, R. (1998). Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia

Bandung: Mandar Maju.

Sarwono, S. W. (2015). Teori-teori Psikologi Sosial . Jakarta : Rajawali Pers.


Soehino. (1985). Ilmu Negara . Yogyakarta: Liberty .

Soimin. (2010). Pembentukann Peraturan Perundang-undangan Negara

di Indonesia. Yogyakarta: UII Press.

JURNAL

Andi Sadewo, Hafiz. 2015. Skripsi : URGENSI HARMONISASI DAN

SINKRONISASI PERATURAN DAERAH DALAM PEMBENTUKAN

PERATURAN DAERAH YANG PARTISIPATIF (Studi Di Bagian Hukum

Sekretariat Daerah Pemerintah Kota Kediri). Universitas Brawijaya.

Barlian, Aristo Evandy A. 2016. Konsistensi Pembentukan Peraturan Daerah

berdasarkan hierarki Perundang-undangan dalam perspektif politik

hukum ( Consistency of Local Regulations Establishment based on the

Hierarchy of Statutory in the Legal Political Perspective) dalam jurnal

Fiat Justisia Volume 10 Number 4, Oktober-Desember 2016. Lampung.

Universitas Lampung.

Darma, Renzia. 2015. Skripsi ; Fungsi Harmonisasi dalam Pembentukan

Peraturan Daerah Provinsi Riau oleh Kantor Wilayah Kementerian Hukum

dan Ham Riau. Riau. Universitas Islam Negeri Riau.

Lynch, Philip. 2006. Harmonising Internasitional Human Right Law And

Domestic Law and Policy: The Establishment and Role of the Human
Right Law resource Centr dalam Melbourne Journal of International Law

vol 7. Melbourne, Australia. Melbourne University.

Mock, Sebastian. 2002. Harmonization, regulation and Legislative Competition

in European Corporate Law dalam German Law Journal Volume 3 Number

12. Germany. German Law Journal.

Sadewo, Hafiz Andi. 2015. Skripsi : Urgensi Harmonisasi dan Sinkronisasi

Peraturan Daerah dalam Pembentukan Peraturan Daerah yang

Partisipatif (Studi di Bagian Hukum Sekertariat Daerah Pemerintah Kota

Kediri). Malang. Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.

Simatupang, H Taufik. Diterbitkan 20 maret 2017. Perancangan Peraturan

Perundang-undangan Kantor Wilayah Kementerian Hukum Dan HAM

Dalam Rangka Harmonisasi Peraturan Daerah. (Role of Legal Drafters

of Regional Offices of the Ministry of Law and Human Rights in Order

to Harmonize Local Regulation). Jakarta. Pusat Pengkajian dan

Pengembangan Kebijakan Badan Penelitian dan Pengembangan

Hukum dan Hak Asasi Manusia RI.

Visscher, Louis. 2010. A Law and Economic View on Harmonization of

Procedural Law dalam Rotterdam Institute of Law and Economics


(RILE) Working Paper Series No. 2010/09. Rotterdam. Erasmus University

Rotterdam.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANG

1) Undang-Undang Dasar Negeri Republik Tahun 1945

2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan.

3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

4) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang

Keikutsertaan Perancang Peraturan Perundang-undangan Dalam

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Dan Pembinaannya

5) Peraturan Menteri Hukum dan Ham Nomor 22 Tahun 2018 tentang

Pengharmonisasian Rancangan Peraturan Perundang-undangan Yang

Dibentuk Di Daerah Oleh Perancang Peraturan Perundang-undangan.

6) Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2016 tentang

Pembentukan Peraturan Daerah.

Anda mungkin juga menyukai