Anda di halaman 1dari 9

E.ISSN.

2614-6061
P.ISSN.2527-4295 Vol.5 No.1 Edisi Juli 2018

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENERAPAN HUKUMAN MATI


TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA
(Suatu Tinjauan Yuridis Normatif)
Oleh :
Laka Dodo Laia, S.H., M.H.
Dosen STIH Nias Selatan

Abstrak
Masalah kebijakan penanggulangan kejahatan korupsi akhir-akhir ini masih mendapatkan sorotan tajam
dari berbagai kalangan baik masyarakat, profesional maupun dari kalangan penegakan hukum itu sendiri.
Berbagai aspek penegakan hukum yang dibicarakan, salah satunya adalah masalah reformasi hukum dan
keadilan, “supremasi hukum” dalam arti bahwa peranan pendidikan tinggi hukum dalam meningkatkan kualitas
penegakan hukum dan berintegritas moral/berkeimanan/berkeilmuan.Untuk menghasilkan penegak hukum yang
berkualitas dan berintegritas tersebut sebagai upaya dalam kebijakan penanggulangan kejahatan, maka peranan
lain yang merupakan bagian dari kebijakan sosial, yang secara strategis dilakukan melalui 3 (tiga) tahap, yaitu
tahap formulasi hukum oleh lembaga legislatif, tahap penerapan hukum oleh pengadilan, dan tahap
eksekusi.Dalam hal kebijakan dalam penegakan hukum yang berkualitas dilakukannya terobasan baru dalam
hukum pidana korupsi, dengan menerapan kebijakan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang
dianggap lebih efektif dibandingkan dengan memberikan sanksi pidana penjara, kurungan atau denda dan/atau
pidana berupa pembayaran uang pengganti kepada pelaku. Penjatuhan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana
korupsi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 Ayat (2) UU PTPK (spesialis derogate) dan Pasal 10 Kitab Undang-
undang Hukum Pidana (generalis derogate) manakala pelaku melakukan perbuatan korupsi dalam “keadaan
tertentu”. Keadaan tertentu yang dimaksud adalah keadaan yang dapat dijadikan sebagai alasan pemberatan pidana
bagi pelaku tindak pidana korupsi, yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang
diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan
sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter.

Kata Kunci : Hukum Pidana, Hukuman Mati, Korupsi

1. PENDAHULUAN masalah kasus-kasus tindak pidana korupsi sudah


Masalah penegakan hukum dan kebijakan mebooming negeri ini. Dimana dalam pemberatasan
penanggulangan kejahatan akhir-akhir ini masih tindak pidana korupsi selama ini dilakukan dengan
mendapatkan sorotan tajam dari berbagai kalangan cara yang tidak konsisten oleh pihak penegak
baik masyarakat, profesional maupun dari kalangan hukum itu sendiri, bahwa diantara pihak penegak
penegakan hukum itu sendiri. Berbagai aspek hukum sering kelihatan adanya sikap ketidak sinergi
penegakan hukum yang dibicarakan salah satunya dalam mengungkap kasus-kasus korupsi, hal ini
adalah masalah reformasi hukum dan keadilan, dapat dilihat jelas dalam kasus antara Cecak vs
“supremasi hukum” dalam arti bahwa peranan Buaya jilid II (Korbannya AS dan BW sebagai
pendidikan tinggi hukum dalam meningkatkan Pimpinan KPK) sampai saat ini proses hukum yang
kualitas penegakan hukum dan berintegritas dipersangkakan kepada mereka oleh pihak
moral/berkeimanan/berkeilmuan. Kepolisian masih mengambang, bahkan hal ini
Untuk menghasilkan penegak hukum dapat dimaknai secara politik hukum sebagai salah
yang berkualitasdan berintegritas tersebut sebagai satu cara untuk melemahkan lembaga Komisi
upaya dalam kebijakan penanggulangan kejahatan, Pembarantasan Korupsi tersebut.
maka peranan lain yang merupakan bagian dari Selain itu juga masih ada putusan-putusan
kebijakan sosial, yang secara strategis dilakukan pengadilan tindak pidana korupai yang bersifat
melalui 3 (tiga) tahap, yaitu tahap formulasi hukum kontroversial, dimana putusan Pengadilan Tindak
oleh lembaga legislatif, tahap penerapan hukum Pidana Korupsi yang mengabulkan permohonan
oleh pengadilan, dan tahap eksekusi. tersangkan korupsi yang Mempraperadilalan
Salah satu kebijakandalam penegakan Komisi Pemberatasan Korupasi (KPK) atas
hukumyang berkualitas dengan dilakukan terobasan penetapan mereka sebagai tersangka.Bila dicermati
baru dalam hukum pidana, dalam hal khususnya putusan-putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Jurnal Education and development Institut Pendidikan Tapanuli Hal. 1
Selatan
tersebut bertentangan dengan asas hukum masing-masing Pasal-pasal tersebut pada intinya
preseption of innosation (asas praduga tak merumuskan sebagai berikut:
bersalah). Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 31 Tahun
Untuk memulihkan penegakan hukum 1999 menyebutkan bahwa : “Dalam hal tindak
yang berkeadilan sangat dibutuhkanlah kebijakan pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat
penanggulangan tindak pidana korupsi dengan (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati
memberikan sanksi yang seberat-berat kepada dapat dijatuhkan”.
pelaku berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 20 Tahun
2001 jo. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 2001 menyebutkan bahwa : “Beberapa ketentuan
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan penjelasan Pasal dalam Undang-Undang
(selanjutnya disebut UU PTPK). Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan
Penerapan kebijakan hukuman yang tindak pidana diubah sebagai berikut : Pasal 2 ayat
seberat-beratnnya kepada pelaku tindak pidana (2) substansi tetap, penjelasan Pasal demi Pasal
korupsi dalam UU PTPK diberikan peluang untuk dirubah sehingga rumusannya sebagaimana
lebih efektif pemberantasannya apabila sanksi yang tercantum dalam penjelasan Pasal demi Pasal angka
dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana korupsi 1 Undang-undang ini”.
selain menjatuhkan hukuman penjara, kurungan, Pencantuman pidana mati dalam undang-
denda dan membayaran uang pengganti dan untuk undang tersebut di atas tentunya merupakan
lebih diperberatkan dapat diberikan hukuman fenomena baru dalam upaya pencegahan korupsi di
mati.Namun hingga samapai sekarang belum ada Indonesia karena dengan pencantuman pidana mati
satupun putusan pengadilan tindak pidana korupsi tersebut diharapkan akan memberikan efek jera bagi
memberikan sanksi hukuman mati kepada pelaku maupun bagi pelaku lain yang berpotensi
pelakunya padahal oleh UU PTPK diberikan sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Hal ini
beluang tentang sanksi hukuman mati. tentunya dapat dijadikan pegangan bagi aparat
Upaya pemberantasan tindak pidana penegak hukum untuk dapat menjatuhkan pidana
korupsi sangatlah diharapkan mengingat UU PTPK mati bagi pelaku tindak pidana korupsi yang
dalam Konsideransnya menyatakan bahwa, yaitu : memenuhi rumusan Pasal 2 ayat (2) UU
a. Bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
terjadi secara luas, tidak hanya merugikan Sehubungan dengan hal tersebut di atas,
keuangan negara, tetapi juga telah merupakan lebih lanjut dijelaskan oleh Romli Atmasasmita
pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan bahwa Penjatuhan pidana mati bagi pelaku tindak
ekonomi masyarakat secara luas, sehingga pidana korupsi sangatlah efektif diterapkan dan hal
tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai ini terbukti di Republik Rakyat Cina (RRC), dan
kejahatan yang pemberantasannya harus ternyata cukup berhasil dalam rangka mengurangi
dilakukan secara luar biasa; tindak pidana korupsi. Hal ini tentunya dapat
b. Bahwa untuk lebih menjamin kepastian hukum, dijadikan sebagai contoh oleh Indonesia dalam hal
menghindari keragaman penafsiran hukum dan menjatuhkan pidana mati bagi para koruptor.
memberikan perlindungan terhadap hak-hak Kenyataan yang terjadi akhir-akhir ini
sosial dan ekonomi masyarakat, serta perlakuan sejak berlakunya Undang-Undang tentang
secara adil dalam pemberantasan tindak pidana Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Dalam
korupsi. Putusan-putusan pengadilan di Indonesia tidak
Kejahatan tindak pidana korupsi pernah menjatuhkan pidana mati kepada pelaku
merupakan kejahatan esktraordinering crime atau tindak pidana korupsi meskipun dalam ketentuan
kejahatan luar biasa sehingga penanggulangan pula perundang-undangan (KUHP dan UU PTPK)
harus ditangani sacara serius dangan memberikan memberikan landasan hukum yang cukup tegas
sanksi yang seberat-beratnya bahkan bila kepada para hakim, sehingga kejahatan tindak
dimungkinkan dapat diberikan hukuman mati bagi pidana korupsi di Indonesia belum dapat
pelakunya. memberikan efek jera kepada para koruptor lainnya
Penerapan hukuman mati terhdap pelaku sehingga semakin hari kasus-kasus korupsi subur
tindak pidana korupsi dicantum dalam Pasal 2 ayat dan sulit untuk diberantas.
(2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Bertolak dari uraian-uraian di atas penulis
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah merasa tertarik untuk memahami dan mengkaji
diubah dan tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) secara lebih mendalam sehingga dapat terjawab
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, yang dengan jelas dan terperinci dengan menuangkannya
E.ISSN.2614-6061
P.ISSN.2527-4295 Vol.5 No.1 Edisi Juli 2018

dalam sebuah karya tulis yang berjudul “Kebijakan integral dari upaya perlindungan masyarakat (social
Pidana Mati Dalam Undang-undang Nomor 20 welfare). Oleh karena itu dapat dinyatakanbahwa
Tahun 2001 Terhadap Pelaku Tindak Pidana tujuan akhir atau tujuan utama dari kebijakan
Korupsi (Suatu Tinjauan Yuridis Normatif)”. kriminal ialah “Perlindungan masyarakat untuk
mencapai kesejahteraan masyarakat”. Dengan
2. LANDASAN TEORI demikian dapat dipahami secara mendasar bahwa
1. Pengertian Kebijakan Kriminal kebijakan kriminal adalah sebagai usaha yang
Menurut Sudarto, sebagaimana dikutip rasional dari masyarakat untuk menanggulangi
Barda Nawawi Arief mengatakan ada 3 (tiga) kejahatan. Hal ini mencakup suatu kegiatan
kebijakan kriminal, yaitu : pembentukan undang-undang pidana, aktivitas dari
a) Dalam arti sempit ialah keseluruhan asas dan Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Aparat
metode yang menjadi dasar dan reaksi terhadap Eksekusi, disamping usaha-usaha yang tidak
pelanggaran hukum yang berupa pidana. menggunakan (hukum) pidana.
b) Dalam arti luas ialah keseluruhan fungsi 2. Pengertian Pidana Mati
aparatur penegak hukum di dalamnya cara Pidana merupakan suatupenderitaan yang
kerja dari pengadilan dan polisi. dikenakan terhadap pelanggar undang-undang akan
c) Dalam arti paling luas ialah kebijakan yang tetapi di pihak lain pidana juga merupakan suatu
dilakukan melalui perundang-undangan dan pernyataan pencelaan terhadap perbuatan pelaku
badan-badan resmi, yang bertujuan untuk kejahatan. Pidana adalah sanksi yang diberikan
menegakkan norma-norma sentral dari kepada sesorang atas suatu perbuatan yang tidak
masyarakat. berkenaan dengan hukum yang berlaku. Pengenaan
Menurut Marc Ancel Kebijakan Kriminal hukuman terhadap pelaku kejatan merupakan suatu
adalah “suatu yangrasional dari masyarakat dalam balasan atas perbuatannya yang dijatuhkan oleh
menanggulangi kejahatan. Bertolak dari pengertian hakim kepadannya dapat berupa hukuman mati,
yang dikemukakan oleh Marc Ancel ini, G.Peter penjara, kurangan dan pidana tambahan laiannya.
Hoefnagels mengemukakan bahwa “criminal policy Hukuman mati dalam istilah hukum
is the rational organization of the social reaction to dikenal dengan uitvoering yang artinya adalah
crime”. Berbagai defenisi lainnya yang penjatuhan pidana dengan mencabut hak hidup
dikemuukakan G. Peter Hoefnagels ialah : seseorang yang telah melakukan tindak pidana yang
a) Criminal policy is the science of responses diatur dalam undang-undang yang diancam dengan
b) Criminal policy is the science of crime hukuman mati. Hukuman mati berarti telah
prevention menghilangkan nyawa seseorang.Pidana mati adalah
c) Criminal policy is a rational total pidana yang terberat dari semua jenis pidana pokok,
of designating human behavior as crime sehingga hanya diancamkan terhadap pelaku
d) Criminal policy is a rational total of the kejahatan tertentu saja. Pidana mati sifatnya
responses to crime. eksepsional artinya pidana mati itu hanya dijathkan
Sementara Ninik Widiyanti, dan panji hakim apabila benar-benar diperlukan.
Anoraga, menjelaskan bahwa pengetahuan tentang Apabila seseorang oleh hakim dinyatakan
kebijakan pidana Criminal Policy adalah terbukti bersalah melakukan kejahatan yang berat
pengetahuan mengenai pencegahan kejahatan yang sebagaimana dengan kejahatan yang diancam
meliputi juga usaha untuk mencari jalan dalam dengan pidana mati, maka hakim dapat menjatuhkan
mempengaruhi manusia dan masyarakat dengan pidana mati. Adapun dalam prakteknya pelaksanaan
menggunakan hasil-hasil penelitian kriminologi. pidana mati dapat ditangguhkan sampai Presiden
Kebijakan pidana adalah suatu organisasi rasional memberikan Fiat Eksekusi, artinya Presiden
dari reaksi-reaksi sosial terhadap kebijakan. Dan menyetujui pelaksanaan pidana mati kepada
pembagian diagram ke dalam ilmu pengetahuan terpidana.
serta penerapan untuk mengikuti sifat sosial dari Jadi pidana mati adalah pidana atau reaksi
kriminologi. terhadap atau nestapa berupa kematian yang
Kebijakan pidana terwujud baik sebagai dikenakan kepada orang yang melakukan tindak
pengetahuan maupun sebagai penerapan. Kebijakan pidanapembuat delik, sedangkan arti kematian yang
penegakan hukum secara kebijakan legislatif dengan diambil dari kata dasar mati maksudnya adalah
demikian merupakan suatu kebijakan sosial. hilangnya nyawa seseorang atau tidak hidup lagi.
Kebijakan atau upaya penanggulangan Kematian ini akan terjadi melalui gagalnya fungsi
kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian salah satu dari tiga pilar kehidupan (Modi of Death),
Jurnal Education and development Institut Pendidikan Tapanuli Hal. 118
Selatan
yaitu : otak (central nervous sistem), jantung warganegara Indonesia, nakhoda, pegawai negeri
(circulaty of sistem), dan paru-paru (respiratory of dan lain sebagainya. Penggunaan istilah-istilah
sistem). tersebut selain daripada yang ditentukan dalam
3. Pengertian Tindak Pidana Korupsi rumusan delik yang bersangkutan, dapat
Korupsi merupakan gejala masyarakat ditemukan dasarnya pada Pasal 2 sampai dengan
yang dapat dijumpai dimana-mana. Sejarah Pasal 9 KUHP. Untuk istilah barangsiapa, dalam
membuktikan bahwa hampir tiap negara dihadapkan Pasal 2, 3 dan 4 KUHP digunakan istilah een
pada masalah korupsi. tidak berlebihan jika ieder (setiap orang).
pengertian korupsi selalu berkembang dan berubah b) Ketentuan mengenai pertanggungjawaban
sesuai dengan perubahan jaman.Istilah korupsi pidana seperti diatur, terutama dalam Pasal 44,
berasal dari perkatan latin “coruptio” atau 45 dan 49 KUHP, yang antara lain mensyaratkan
“corruptus”, yang berarti kerusakan atau kejiwaan (verstandelijke vermogens–yang
kebobrokan. Di samping itu istilah korupsi di kemudian dianggap sebagai geestelijke
beberapa negara dipakai untuk menunjukkan vermogens) dari petindak. Demikian juga unsur
keadaan atau perbuatan yang busuk. Korupsi banyak kesalahan (dolus/culpa) yang merupakan
diartikan dengan ketidakjujuran seseorang dibidang hubungan kejiwaan antara petindak dengan
keuangan. Banyak istilah di beberapa negara “gin tindakannya.
moung”(Thailand), yang artinya keserakahan, c) Ketentuan mengenai pidana yang diatur dalam
“ashuku”(Jepang), yang berarti kotor. Pasal 19 KUHP, terutama mengenai pidana
Artinya secara harfiah korupsi adalah denda. Hanya manusialah yang mengerti nilai
kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, uang.
dapat disuap, penyimpangan dari kesucian, kata- Manusia sebagai pembawa hak dan
kata yang bernuansa menghina atau memfitnah, kewajiban dimulai dari saat dia dilahirkan dan
penyuapan, dalam bahasa Indonesia kata korupsi berakhir pada saat meninggal dunia. Bahkan
adalah perbuatan buruk, seperti penggelapan uang, seorang anak yang masih dalam kandungan juga
penerimaan uang sogok dan sebagainya. Lebih jauh dapat dianggap sebagai subyek atau sebagai
tipe-tipe korupsi dalam prakteknya meliputi ciri-ciri pembawa hak setelah lahir jika kepentingannya
sebagai berikut: memerlukannya.Tetapi perkembangan jaman
1) Korupsi selalu melibatkan lebih dari satu semakin lama semakin maju sehingga menurut para
orang. sarjana tidaklah dapat dikatakan bahwa hanya
2) Korupsi pada umumnya dilakukan penuh manusia saja yang dapat dijadikan subyek, tetapi
kerahasiaan. badan hukum juga dapat sebagai subyek, namun
3) Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan dalam hal-hal yang menyangkut :
keuntungan timbal balik. 1) Sumber kuangan negara (perpajakan, bea
4) Korupsi dengan berbagai macam akal import dan eksport barang dan sebagainya),
berlindung di balik pembenaran hukum. 2) Pengaturan perekonomian (pengendalian
5) Mereka yang terlibat korupsi adalah yang harga, penggunaan cek, pengaturan perusahaan
menginginkan keputusan yang tegas dan dan sebagainya),
mereka mampu mempengaruhi keputusan. 3) Pengaturan keamanan (subversi, keadaan
6) Tindakan korupsi mengandung penipuan baik bahaya dan lain sebagainya).
pada badan politik atau masyarakat umum. Menurut C.S.T. Kansil yang dimaksud
7) Setiap bentuk korupsi adalah suatu dengan obyek dari tindak pidana adalah segala
pengkhianatan kepercayaan. sesuatu yang berguna bagi subyek hukum dan yang
4. Subjekdan Objek Tindak Pidana dapat menjadi obyek sesuatu perhubungan hukum.
Dalam sejarah perundang-undangan Obyek hukum pada dasarnya disebut dengan benda.
hukum pidana dikenal adanya subyek dari sesuatu Hal ini dapat diketahui dari Pasal 499 KUH Perdata,
tidak pidana, yaitu manusia (natuurlijke yang menentukan bahwa benda adalah segala barang-
persoonen). Dengan demikian hanya manusialah barang dan hak-hak yang dapat dimiliki orang.Pasal
yang dianggap sebagai subyek tindak 503 KUH Perdata ada membagi benda atas 2 (dua)
pidana.Menurut S.R. Sianturi bahwa manusia jenis, yaitu :
sebagai subyek tindak pidana dapat dilihat dari 3 1) Benda berwujud (material) yaitu segala sesuatu
segi, yaitu : yang dapat diraba oleh panca indra manusia,
a) Perumusan delik yang selalu menentukan seperti meja, kursi dan lain-lain.
subyeknya dengan istilah barangsiapa,
2) Benda tidak berwujud (immaterial) yaitu segala mempertahankan status quosemasa pemerintahan
macam hak, seperti hak cipta, hak paten, hak Napoleon.
merek dan lain-lain. Setelah pemerintahan Belanda merdeka
usaha-usaha untuk melakukan penggantian
3. PEMBAHASAN sertaketergantungan pada Code Penal Perancis
1. Kebijakan Hukum Pidana dalamHukuman membuahkan hasil, sehingga melahirkan kodifikasi
Mati terhadapPelaku Tindak Pidana Korupsi hukum di Negeri Belanda, hal ini berarti tidak
di Indonesia terlepas dari Code Penal Perancis. Alasan untuk
Sebelum berlakunya Kitab Undang- mempertahankan pidana mati, karena dirasakan
undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia maka sangat perlu dan dinilai sangat efektif dalam
hukum pidana yang berlaku di Indonesia adalah mencegah terjadinya tindak pidana.
hukum pidana adat. Hukum pidana adat juga telah Kemajuan yang dialami oleh Belanda
mengenal adanya pidana mati beberapa daerah membawa dampak untuk melakukan ekspansi ke
tertentu.Dahulu hukum adat di Aceh telah mengenal negara lain termasuk Kepulauan Indonesia.
pidana mati, seorang istri yang berzinah akan sehingga hukum yang berlaku di Negeri Belanda
dihukum mati. Ketika Sultan berkuasa di sana, dapat juga diberlakukan di negeri jajahannya, termasuk
dijatuhkan 5 (lima) macam pidana yang utama, didalamnya mengenai sanksi pidana mati. Alasan-
yaitu : alasan mengapa pidana mati masih dipertahankan
a) Tangan dipotong (pencuri) atau dicantumkan dalam W.V.S.N.I sebagaimana
b) Dibunuh dengan lembing disimpulkan oleh J.E. Sahetapy dari pendapat para
c) Dipalang di pohon sarjana Belanda didasarkan pada tiga alasan yang
d) Dipotong daging dari badan terpidana diajukan, yaitu :
e) Ditumbuk kepala terpidana di lesung. 1) alasan berdasarkan faktor rasial
Di daerah hukum adat Gayo, pidana 2) alasan berdasarkan faktor ketertiban umum
penjara menggantikan pidana mati adalah kalau 3) alasan berdasarkan hukum pidana dan
seseorang dengan sengaja membakar desa, maka kriminologi.
semua langit dadohot (semua miliknya termasuk Ad.1.Alasan berdasarkan faktor rasial
istri dan anak-anaknya) dibalas supaya jangan Alasan dimaksudnya ancaman pidana
melakukan lagi perbuatan yang sama.Di Batak jika mati berdasarkan factor rasial ini menurut J.E
pembunuh tidak dapat membayar uang salah, dan Sahetapy dapat dilihat dari :
keluarga dari yang terbunuh menyerahkan untuk a) Adanya sikap dan penilaian yang keliru
dapat dipidana mati pelaku, maka pidana mati akan terhadap pribumi, karena para sarjana hukum
segera dilaksanakan. Belanda yang bertugas di lembaga-lembaga
Kitab Undang-undang Hukum Pidana penegak hukum belum menguasai bahasa
yang berlaku sekarang ini merupakan hasil dan serta Melayu (Bahasa Indonesia pada waktu itu) dan
buah pikiran dari kolonial Belanda, meskipun di bahasa setempat. ketergantungan kepada
negeri Belanda pada tahun 1870 pidana mati itu penerjemah dapat memperbesar adanya
sudah dihapuskan. Berdasarkan asas konkordansi kesaksian palsu.
kemudian diberlakukan di Indonesia. Begitu juga b) Para sarjana hukum Belanda belum memahami
dengan sejarah pidana mati tidak terlepas dari dan meresapi nilai-nilai social dan struktur
proses pembentukan KUHPidana.Apabila kita masyarakat pribumi pada waktu itu.
telusuri sejarah pidana mati yang berlaku di c) Kurang memadainya suatu hukum acara pidana
Indonesia maka tidak akan terlepas dari sejarah dan tidak adanya pembela atau penasehat
dicantumkannya pidana mati di Negeri Belanda. hukum pribumi, maka tidak tercegah
Pidana mati di Negeri Belanda berasal dari Code kemungkinan timbulnya gambaran dan
Penal Perancis, karena dimasa pemerintahan anggapan keliru bahwa para saksi pribumi suka
Napoleon, Perancis pernah menjajah negeri memberikan kesaksian palsu.
Belanda. oleh karena itu secara historical Code Ad.2. Alasan berdasarkan faktor ketertiban umum
Penal Pernah berlaku di Negeri Belanda.Code Penal Masalah ketertiban umum dalam daerah
yang dibuat pada masa pemerintahan Napoleon, jajahan adalah sangat penting sebelum
masih mempertahankan pidana mati, bahkan dikodifikasikan KUHP (WvSNI) dapat diketahui
menjadi sarana yang paling utama dalam usaha secara lebih mendalam kesulitan yang dihadapi oleh
mencegah timbulnya tindak pidana serta untuk pembentuk undang-undang pada jaman
penjajah.Dalam hal ini Van Hamel menyatakan :
a) Keanekaragaman penduduk dan pengertian dianggap seolah inheren dengan hukum pidana
terhadap orang-orang pribumi yang sulit “Werd Niet Twiffelacting Geoordeeld” artinya
dipahami oleh pembentuk undang-undang. “tidaklah perlu diragukan lagi” hal seperti ini
b) Karena dalam pertengahan abad ke-19 di dunia memang dapat dipahami selama hukum pidana
barat telah timbul pemikiran-pemikiran baru dilihat sebagai sarana politik pemerintah belaka. Hal
yang mulai progresif terhadap perbudakan dan ini juga berlaku untuk masa sekarang, kendatipun
masalah penjajahan. masih banyak sarjana hukum yang kurang
c) Situasi dan kondisi yang sulit dicernakan oleh menyadarinya. Masih banyak sarjana hukum yang
penguasa Belanda pada waktu itu berpendapat bahwa hukum pidana bertalian dengan
menyebabkan seolah-olah tidak ada kemapuan masalah bagaimana memberantas kejahatan,
untuk bertindak tanpa UU yang keras dan bagaimana menjatuhkan pidana pada konteks teori
bengis sebagai dasar untuk mempertahankan pidana yang dianutnya, bagaimana agar ketentuan-
daerah jajahan. ketentuan hukum pidana mencerminkan nilai-nilai
Berdasarkan alasan ketertiban umum dan norma-norma yang hidup pada masyarakat,
tersebut, Moderman menyatakan bahwa: bagaimana agar hukum pidana juga merupakan
1) Negara memiliki segala kewenangan untuk salah satu alat yang ampuh dalam pelaksanaan
menjaga ketertiban umum, dan oleh karena itu politik pemerintahan, suatu rezim.
adanya pidana mati harus dilihat dalam rangka Dilihat dari pokok pemikiran bahwa yang
kriteria keharusan. lebih menitikberatkan pada perlindungan
2) Meskipun lembaga pidana mat memiliki masyarakat, maka wajar konsep tetap
berbagai kekurangan yang tidak dapat mempertahankan jenis-jenis sanksi yang berat yaitu
disangkal, namun jangan sampai ada yang pidana mati dan pidana penjara seumur hidup,
menahan diri untuk tidak memasukkannya namun pidana mati dalam konsep tidak dimasukkan
dalam stelsel pidana oleh karena itu demi dalam deretan “pidana pokok” dan ditempatkan
ketertiban umum pidana mati dapat dan harus sendiri sebagai jenis pidana yang bersifat khusus
diterapkan. atau eksepsional.
Menurut Lemaire, alasan-alasan yang Pertimbangan utama digesernya
patut untuk dimasukkannya pidana mati dalam kedudukan pidana mati itu didasarkan pada
WvSNI, antara lain : pemikiran ilmu dilihat dari tujuan pemidanaan dan
a. Hindia Belanda (Indonesia pada waktu itu) tujuan diadakan hukum pidana tersebut sebagai
adalah suatu daerah jajahan yang luas dan salah satu sarana kebijakan kriminal dan kebijakan
penduduknya terdiri atas berbagai ragam suku sosial, pidana mati pada hakekatnya menimbulkan
bangsa. Pada hakekatnya keadaan Hindia sarana utama untuk mengatur, menertibkan dan
Belanda pada waktu itu sangat berlainan memperbaiki masyarakat.
dengan di Belanda. Di Hindia Belanda tertib Berdasarkan alasan-alasan di atas, maka
hukum sangat mudah terganggu dan mudah pemerintah Belanda menganggap perlunya pidana
sekali menjadi kritis dan berbahaya mati dicantumkan lagi dalam WvSNI sebagai
dibandingkan di Belanda. senjata yang ampuh dari penguasa Belanda untuk
b. Susunan pemerintahan dan sarana-sarana untuk mempertahankan daerah penjajahannya di Indonesia
mempertahankan di Hindia Belanda sulit untuk pada waktu itu. Pelaksanaan pidana mati baik di
dapat melaksanakan langkah yang sama seperti negeri Belanda pada awalnya maupun di negeri
di Belanda atau negara-negara lain di Eropa. jajahan khususnya di Kepulauan Indonesia (Hindia
Dalam keadaan seperti itu menurut Lemaire, Belanda) adalah dengan cara menggantungkan
tidaklah bertanggung jawab untuk melepaskan terpidana ditiang gantungan yang dilakukan oleh
suatu senjata ampuh sebagai pidana mati yang seorang algojo.
mempunyai sifat menakutkan yang tidak Kemudian setelah Indonesia merdeka,
didapati dalam pidana penjara dan pidana pidana mati yang dicantumkan dalam WvSNI tetap
kurungan. berlaku. Pada tahun 1946 melalui UU Nomor 1
Ad.3.Alasan berdasarkan hukum pidana dan tahun 1946 Indonesia melakukan konkordansi
Kriminologi terhadap hukum pidana yang berlaku pada masa
J.E Sahetapy mendapat kesan kuat sekali pemerintahan Hindia Belanda masih tetap
kalau para sarjana Belanda menganggap pidana mati diberlakukan sepanjang tidak menyimpang dengan
sebagai unsur wajar dalam hukum pidana dan oleh tujuan pemerintahan Indonesia.
karena itu tidak perlu dipersoalkan. Pidana mati
Dalam sistem pemidanaan menurut ingin mengobjektifkan hukum pidana dari sifat
konsep KUHP yang baru jenis pidana yang diancam pribadi pelaku, usia, keadaan jiwa, kejahatan
dalam perumusan delik terutama hanya pada pidana terdahulu atau pun keadaan-keadaan yang bersifat
penjara dan pidana denda. Pidana mati hanya khusus dari perbuatan yang terjadi.
diancamkan untuk delik tertentu dan selalu Dengan demikian, pada waktu itu dikenakan
dialternatifkan dengan pidana penjara seumur hidup. suatu sistem pidana yang bersifat pasti (definite
Pidana tutupan dan pidana pengawasan tidak sentence), kaku (rigid) dan pemidanaan yang tidak
dirumuskan karena hanya merupakan “Strafmodus” mengenal sistem peringanan dan pemberatan atas
dari pidana penjara. faktor-faktor non hukum.Peranan Hakim dalam
Kebijakan hukum pidana terhadap menentukan kesalahan seseorang sangat dikurangi,
pemberian hukuman mati kepada pelaku tindak sebagai konsekuensi dari hal tersebut maka hukum
pidana korupsi dianggap lebih efektif dibandingkan harus terumus dengan jelas sehingga tertutup
dengan memberikan sanksi pidana penjara atau kemungkinan bagi hakim untuk melakukan
kurangan. Penjatuhan pidana mati terhadap pelaku penafsiran, hakim berperan sebagai mulut undang-
tindak pidana korupsi sebagaimana ditentukan undang.
dalam Pasal 2 ayat (2) UU PTPK dimungkinkan Pemikiran pengikut aliran klasik ini berpijak
kepada pelaku manakala ketentuan Pasal 2 ayat (2) pada tiang, yaitu :
dilakukan dalam “keadaan tertentu”. 1) Asas legalitas yang mengatakan bahwa tiada
Keadaan tertentu yang dimaksud adaalah pidana tanpa undang-undang, tiada tindak
keadaan yang dapat dijadikan sebagai alasan pidana tanpa undang-undang dan tiada
pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana penuntutan tanpa undang-undang.
korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut 2) Asas kesalahan, yang berisi bahwa orang
dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan hanya dapat dipidana untuk tindak pidana yang
bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam dilakukannya dengan sengaja atau karena
nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial kealpaan.
yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan 3) Asas pengimbalan (pembalasan) yang sekuler,
moneter, dan penanggulangan tindak pidana yyang berisi bahwa pidana secara konkrit tidak
korupsi. dikenakan dengan maksud untuk mencapai
2. Hubungan Aliran Hukum Pidanadengan perbuatan yang dilakukan.
Kedudukan Pidana Mati Cesare Beccaria yang merupakan salah
Pengaturan mengenai pidana mati yang satu tokoh utama dari aliran klasik yang menurut
berlaku di Indonesia sekarang ini tidak terlepas dari dunia ilmu pengetahuan hukum dianggap sebagai
pengaruh pemikir-pemikir hukum pidana yang orang yang pertama meletakkan dasar dari aliran
tertuang dalam beberapa aliran. Aliran dalam ilmu klasik. Menurut Sue Titus Reid, sumbangan
hukum pidana tidaklah mencari dasar hukum atau Beccaria yang terbesar adalah konsepsinya bahwa
pembenaran dari pidana itu tetapi berusaha pidana harus cocok dengan kejahatan (punishment
memperoleh sesuatu sistem hukum pidana yang should fit the crime). Filsafat yang mempengaruhi
praktis dan bermamfaat. Aliran-aliran dalam ilmu Beccaria secara kuatialah mengenai “kebebasan
hukum pidana tersebut,yaitu : kehendak”, dikemukakan bahwa perbuatan manusia
a. Aliran Klasik bersifat purposive (bertujuan) dan ini didasarkan
Aliran Klasik ini dimulai pada abad ke-18 pada paham hedonisme, prinsip kesenangan dan
sebagai reaksi atas pemerintah yang absolut kesusahan, yaitu manusia dan menghindari
menimbulkan banyak ketidakpastian hukum, perbuatan-perbuatan yang membawa kesusahan.Jadi
ketidaksamaan dalam hukum, serta ketidakadilan. akibat dari filsafat mengenai kebebasan kehendak,
Aliran ini mengkehendaki hukum pidana tersusun skala keadilan menurut Beccaria tidak ditentukan
secara sistematis dengan menitikberatkan kepada pada prasangka-prasangka perseorangan yang
kepastian hukum. Dengan pandangan yang akhirnya bersifat buta.
indenterministis mengenai kebebasan manusia, Alasan utama penjatuhan pidana adalah
aliran ini menitikberatkan kepada perbuatan dan untuk menjamin kelangsungan hidup masyarakat
tidak kepada orang yang melakukan tindak pidana, dan untuk mencegah orang melakukan kejahatan.
dengan demikian yang dikehendaki adalah hukum Oleh karena, penjatuhan pidana mati tidak dapat
pidana perbuatan, perbuatan disini diartikan secara mencegah kejahatan dan itu merupakan kebrutalan.
abstrak dan dilihat secara yuridis belaka terlepas Beccaria juga yakin bahwa pidana mati menyia-
dari orang yang melakukannya, dengan peraturan ini nyiakan sumber daya manusia yang merupakan
modal utama bagi negara. Pidana mati juga memelihara mereka dalam penjara-penjara yang
menimbulkan sentimen moral umumnya. demikian besarnya.
Kenyataannya diperlihatkan oleh kebencian umum c. Aliran Neo-Klasik
dari pada pelaksanaan pidana mati dan hasilnya Aliran ini merupakan modifikasi dari
melemahkan moralitas umum yang sebenarnya aliran pembalasan, yang muncul pada abad ke-19
dipertahankan atau diperkuat oleh hukum. dan memiliki dasar yang sama dengan aliran klasik
Alasan Beccaria menolak pidana mati yaitu terkenal dengan Doctrinew of free will, akan
didasarkan pada kontra social yang menyatakan tetapi dengan melakukan modifikasi dari berbagai
bahwa ”Tidak seorang pun mempunyai hak alami segi. Aliran ini berusaha memberikan solusi
menyerahkan, menghentikan, mengorbankan terhadap pertanyaan-pertanyaan yang tidak sanggup
kehidupannya sendiri. oleh karena itu tidak seorang dijawab oleh aliran klasik.
pun dengan perjanjian dapat memberikan hak hidup Akar dari aliran ini masih berkisar
dan mati atas dirinya pada raja atau penguasanya”.
tentang pengimbalan yang lebih realita dan
Oleh karena itu kontra social tidak dapat
membenarkan pidana mati. disesuaikan dengan perkembangan jamannya,
b. Aliran Modern modifikasi yang dilakukan aliran ini yang paling
Aliran modern ini tumbuh pada akhir utama adalah mengenai tujuan dari pidana tersebut,
abad ke-19 dan memasuki abad ke-20 yang yaitu bahwa tujuan pidana itu tidak semata-mata
merupakan koreksi terhadap aliran klasik dan aliran hanya untuk melakukan pembalasan terhadap
ini juga disebut dengan aliran positif karena mencari terpidana sebagaimana yang diungkapkan oleh
kejahatan dengan metode alam dan bermaksud
aliran klasik, akan tetapi juga meliputi perbaikan
untuk langsung mendekati dan mempengaruhi
penjahat secara positif sejauh dia masih dapat dan pemasyarakatan terpidana merasa terbebas dari
diperbaiki dan memandang pelaku secara abstrak, kesalahan yang mereka perbuat.
dan bukan hanya sebagai orang yang melakukan
saja dari sudut yuridis semata melainkan harus 4. KESIMPULAN DAN SARAN
dilihat secara konkret bahwa dalam kenyataannya 1. Kesimpulan
perbuatan seseorang itu dipengaruhi oleh watak Penerapan pemidanaan mati terhadap
pribadinya, faktor-faktor biologis, maupun faktor pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia dianggap
lingkungan kemasyarakatannya. lebih efektif dibandingkan dengan memberikan
Dengan demikian, aliran modern ini bertitik sanksi pidana penjara, kurangan atau denda dan/atau
tolak pada pandangan determinisme, yaitu pidana berupa pembayaran uang pengganti kepada
memandang manusia tidak mempunyai kebebasan pelaku.Penjatuhan pidana mati terhadap pelaku
kehendak. Jadi aliran ini menolak pandangan tindak pidana korupsi sebagaimana ditentukan
adanya pembalasan berdasarkan kesalahan yang dalam Pasal 2 ayat (2) UU PTPK manakala pelaku
subjektif. Lambrosso salah seorang tokoh aliran melakukan perbuatan korupsi dalam “keadaan
modern dengan teorinya tentang delinquenten nato tertentu”.
memperbolehkan pidana mati untuk menghilangkan Keadaan tertentu yang dimaksud adalah
sifat-sifat jahat yang ada pada diri si pelaku tindak keadaan yang dapat dijadikan sebagai alasan
pidana. Pidana mati adalah suatu upaya untuk pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana
meniadakan orang-orang yang tidak dapat korupsi, yaitu apabila tindak pidana tersebut
diperbaiki lagi, dan dengan adanya pidana mati dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan
maka hilanglah kewajiban untuk memelihara bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam
mereka dalam penjara-penjara yang demikian nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial
besarnya. yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan
Garofalo juga sependapat dengan Lambrosso moneter.
yang mengatakan pidana mati itu adalah alat yang 2. Saran
mutlak harus ada pada masyarakat untuk a) Pengaturan mengenai pidana mati terhadap
melenyapkan individu yang tidak mungkin pelaku tindak pidana korupsi selain diatur
diperbaiki lagi.Pidana mati adalah suatu upaya yang dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
radikal untuk meniadakan orang-orang yang tidak jo. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999juga
dapat diperbaiki lagi, dan dengan adanya pidana ditentukan dalam Kitab Undang-undang
mati ini maka hilanglah pula kewajiban untuk Hukum Pidana, namun sejak dikeluarkan UU
PTPK dalam prakteknya tidak pernah sekali
ada putusan pengadilan menjatuhkan mati
kepada pelaku tindak pidana korupsi.
b) Penjatuhan pidana mati terhadap pelaku tindak
pidana korupsi merupakan solusi untuk
mengatasi perbuatan korupsi di Indonesia yang
akhir-akhri ini mengurita.

5. DAFTAR PUSTAKA
Indriyanto, Adji, Seno, Pidana Mati Bagi Koruptor
Sebagai Upaya Pemberantasan
Korupsi, Jurnal Keadilan, Jakarta, 2001.
WidiyantiNinik, dan Panji Anoraga, Perkembangan
Kejahatan Dan MasalahnyaDitinjau
Dari Segi Kriminologi Dan Sosial,
Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta,
1987.
Hamzah Andi, Bunga Rampai Hukum Pidana dan
Acara Pidana,Penerbit Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1996.
Sudarto, Tindak-Pidana Korupsi di Indonesia
dalam Hukum dan Hukum Pidana,
Penerbit Alumni, Bandung, 2002.
Kansil,CST, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Indonesia, Penerbit Balai
Pustaka, Jakarta, 1984.
Hamzah, Andi dan A. Sumangelipu, Pidana Mati Di
Indonesia Di Masa Lalu, Kini Dan Di
Masa Depan, Penerbit Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1983.
J.E, Sahetapy,Suatu Studi Khusus Mengenai
Ancaman Pidana Mati Terhadap
Pembunuhan Berencana, CV. Rajawali,
Jakarta, 1982.
,Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman
Pidana Mati Terhadap Pembunuhan
Berencana, CV. Rajawali, Jakarta, 1982.
Nawawi Arief, Barda, Sistem Pemidanaan Menurut
Konsep K.U.H Pidana Baru dan Latar
Belakang Pemikirannya. Penataran
Asas-Asas Hukum Pidana, Fakultas
Hukum Bandung, 1990.
, Kebijakan Kriminal (Criminal Policy),
UNDIP, Semarang, 2003.
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat,PenerbitAlumni
Bandung, Bandung, 1985.
,Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Republik Indonesia
, Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
,Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi

Anda mungkin juga menyukai