Anda di halaman 1dari 15

4

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Indeks Massa Tubuh


1. Definisi Indeks Massa Tubuh
Indeks Massa Tubuh (IMT) atau Body Mass Index (BMI) merupakan alat
atau cara yang sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa,
khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan
(Supariasa, 2013). IMT didefinisikan sebagai berat badan seseorang dalam
kilogram dibagi dengan tinggi badan dalam meter (kg/m2).7
IMT diperoleh dari pengukuran berat badan (BB) dalam satuan kilogram
(Kg) dan tinggi badan (TB) dalam satuan meter (m). Selanjutnya hasil
pengukuran dihitung berdasarkan rumus IMT.2
BB(Kg)
IMT=
TB ¿ ¿
Penggunaan rumus ini hanya dapat diterapkan pada seseorang dengan
usia 18 hingga 70 tahun, dengan struktur tulang belakang normal, bukan
atlet atau binaragawan, dan bukan ibu hamil atau menyusui. Pengukuran
IMT dapat digunakan terutama jika pengukuran tebal lipatan kulit tidak
dapat dilakukan atau nilai bakunya tidak tersedia.8
2. Klasifikasi IMT
IMT dapat digunakan untuk mengetahui apakah berat badan seseorang
telah ideal atau belum, untuk mengetahuinya dapat digunakan tabel
klasifikasi dibawah ini.2

a. Klasifikasi IMT orang Eropa (WHO 1998)


Tabel 2.1
Klasifikasi IMT untuk Orang Eropa
No Hasil Indeks Massa Tubuh Kategori
1 ≤18,5 Kurus
2 18.5 – 24,9 Normal
5

3 ≥25 Kegemukan
4 25,0 –29,9 Pre obesitas
5 30,0-34,9 Obesitas I
6 35,0-39,9 Obesitas II
7 ≥40,0 Obesitas III
Sumber: Gibson 2005.42
b. Klasifikasi IMT orang Asia (WHO 2000)
Tabel 2.2
Klasifikasi IMT untuk Orang ASIA
No Hasil Indeks Massa Tubuh Kategori
1 < 18.5 BB Kurang
2 18.5 – 22.9 BB Normal
3 23.0 – 24.9 BB Berlebih
4 25,0 – 29,9 Obesitas 1
5 ≥ 30 Obesitas II
Sumber: Perkeni 2019.2

Hasil indeks massa tubuh yang masuk kategori berat badan berlebih perlu
di waspadai. Berat badan berlebih merupakan faktor risiko yang berperan
penting terhadap penyakit DM. Sel beta kelenjar pankreas akan mengalami
kelebihan dan tidak mampu untuk memproduksi insulin yang cukup untuk
mengimbangi kelebihan masukan kalori, akibatnya kadar glukosa darah
akan tinggi yang akhirnya akan menjadi DM.9

3. Faktor yang Mempengaruhi IMT


a. Usia
Penelitian yang dilakukan oleh Tungtrochitr dan Lotrakul menunjukkan
bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara usia yang lebih tua
dengan IMT kategori obesitas. Subjek penelitian pada kelompok usia
45-49 dan 50-59 tahun memiliki risiko lebih tinggi mengalami obesitas
dibandingkan kelompok usia kurang dari 40 tahun. Keadaan ini
dicurigai oleh karena lambatnya proses metabolisme, berkurangnya
aktivitas fisik, dan frekuensi konsumsi pangan yang lebih sering.10
b. Jenis kelamin
6

IMT dengan kategori kelebihan berat badan lebih banyak ditemukan


pada laki-laki. Namun, angka kejadian obesitas lebih tinggi pada
perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Data dari National Health
and Nutrition Examination Survey (NHANES) periode 1999-2000
menunjukkan tingkat obesitas pada laki-laki sebesar 27,3% dan pada
perempuan sebesar 30,1% di Amerika.11
c. Pola makan
Pola makan adalah pengulangan susunan makanan yang terjadi saat
makan. Pola makan berkenaan dengan jenis, proporsi dan kombinasi
makanan yang dimakan oleh seorang individu, masyarakat atau
sekelompok populasi. Makanan cepat saji berkontribusi terhadap
peningkatan IMT sehingga seseorang dapat menjadi obesitas. Hal ini
terjadi karena kandungan lemak dan gula yang tinggi pada makanan
cepat saji. Selain itu peningkatan porsi dan frekuensi makan juga
berpengaruh terhadap peningkatan obesitas. Orang yang mengkonsumsi
makanan tinggi lemak lebih cepat mengalami peningkatan berat badan
dibanding mereka yang mongkonsumsi makanan tinggi karbohidrat
dengan jumlah kalori yang sama.11
d. Aktifitas fisik
Aktifitas fisik menggambarkan gerakan tubuh yang disebabkan oleh
kontraksi otot menghasilkan energi ekspenditur. Menjaga kesehatan
tubuh membutuhkan aktifitas fisik sedang atau bertenaga serta
dilakukan hingga kurang lebih 30 menit setiap harinya dalam seminggu.
Penurunan berat badan atau pencegahan peningkatan berat badan dapat
dilakukan dengan beraktifitas fisik sekitar 60 menit dalam sehari.12

B. Diabetes Melitus
1. Definisi Diabetes Melitus (DM)
DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin
atau keduanya.2
7

DM adalah keadaan hiperglikemik kronik disertai berbagai kelainan


metabolik akibat gangguan hormonal, yang menimbulkan berbagai
komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah disertai lesi
pada membran basalis dalam pemeriksaan dengan mikroskop elektron.13
DM yang lazim disebut penyakit kencing manis dalam hal ini, kadar gula
darah seseorang melebihi normalnya karena tubuh tidak lagi memiliki
insulin atau insulin tidak dapat bekerja dengan baik. Insulin adalah hormon
yang bekerja memasukkan gula dari peredaran darah ke dalam sel dan
diproduksi oleh kelenjar pankreas yang berada didalam perut.14
DM adalah gangguan metabolik yang secara genetis dan klinis termasuk
heterogen dan manifestasinya berupa hilangnya toleransi karbohidrat dan
diabetes melitus adalah sekelompok kelainan yang ditandai oleh
peningkatan kadar glukosa darah/hiperglikemia.15
DM menurut WHO (2009), ditandai oleh hiperglikemia serta gangguan
metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang bertalian dengan
defisiensi absolut atau relatif aktivitas dan atau sekresi insulin. Karena itu
meskipun DM asalnya merupakan penyakit endokrin, manifestasi
pokoknya adalah penyakit metabolik.16
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2020, Diabetes melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin
atau kedua-duanya.17
2. Klasifikasi DM
Klasifikasi Diabetes Menurut Perkeni 2019 sebagai berikut :
a. DM tipe 1
DM tipe 1 (destruksi sel β, umumnya berhubungan dengan defisiensi
insulin absolut), dapat terjadi Autoimun dan Idiopatik
b. DM tipe 2
DM tipe 2 (bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai
defisiensi insulin relatif sampai yang dominan defek sekresi insulin
disertai resistensi insulin).
8

c. DM gestasional
DM yang didiagnosis pada trimester kedua atau ketiga kehamilan
dimana sebelum kehamilan tidak didapatkan diabetes.
d. Tipe spesifik yang berkaitan dengan penyebab lain
Sindroma diabetes monogenik (diabetes neonatal, maturity – onset
diabetes of the young (MODY). Penyakit eksokrin pankreas (fibrosis
kistik, pankreatitis). Disebabkan oleh obat atau zat kimia (misalnya
penggunaan glukokortikoid pada terapi Human Immunodeficiency
Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) atau setelah
transplantasi organ).2
3. Etiologi DM
Etiologi DM tipe 1 meliputi genetik, immunologi, dan lingkungan.
Sedangkan etiologi DM tipe 2 meliputi obesitas, umur, jenis kelamin,
kebiasaan merokok, riwayat keluarga, pola makan, dan gaya hidup.18
4. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kejadian DM
a. Gaya hidup
Diet dan olahraga yang tidak baik berperan besar terhadap timbulnya
DM yang dihubungkan dengan minimnya aktivitas sehingga
meningkatkan jumlah kalori dalam tubuh.19

b. Umur
Peningkatan umur adalah salah satu faktor risiko yang penting. Pada
umur ≥ 60 tahun lebih rentan terkena diabetes melitus dibanding dengan
umur muda ≤ 50 tahun, karena pada umur tua fungsi tubuh secara
fisiologis menurun diakibatkan terjadinya penurunan sekresi atau
resistensi insulin sehingga kemampuan untuk mengontrol kadar gula
darah kurang optimal.20
c. Jenis kelamin
Penyakit diabetes lebih sering dijumpai pada perempuan dibanding laki
– laki karena pada perempuan memiliki kadar low density lipoprotein
(LDL) dan kolesterol yang tinggi dibanding laki – laki, selain itu
9

aktifitas wanita juga lebih sedikit dibanding laki – laki seingga memicu
terserang berbagai penyakit khususnya DM.20
d. Obesitas ( kegemukan )
Ketidakseimbangan konsumsi kalori dengan kebutuhan energi yang
disimpan dalam bentuk lemak. Obesitas merupakan faktor risiko utama
pada penderita diabetes.
e. Ras dan suku bangsa
Suku bangsa Amerika Afrika, Amerika Meksiko, Indian Amerika,
Hawai dan Amerika Asia memiliki risiko diabetes dan penyakit jantung
lebih tinggi karena tingginya angka tekanan darah tinggi, obesitas, dan
diabetes pada populasi tersebut.
f. Riwayat keluarga
Jika terdapat salah seorang anggota keluarga yang mempunyai diabetes
maka keturunannya mempunyai kesempatan menyandang diabetes.
5. Manifestsi klinis DM
Penderita DM ditandai dengan adanya: polidipsi (banyak minum), poliuri
(banyak berkemih), polifagi (banyak makan). lemas, berat badan menurun,
kesemutan, mata kabur, impotensi pada pria, keputihan pada wanita, dan
luka lama sembuh.21

6. Patofisiologi Kejadian DM
Resistensi insulin pada sel otot dan hati, serta kegagalan sel beta
pankreas telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM
tipe 2. Hasil penelitian terbaru telah diketahui bahwa kegagalan sel beta
terjadi lebih dini dan lebih berat dari yang diperkirakan sebelumnya.
Organ lain yang juga terlibat pada DM tipe 2 adalah jaringan lemak
(meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi inkretin), sel alfa
pankreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan
otak (resistensi insulin) yang ikut berperan menyebabkan gangguan
toleransi glukosa.2
7. Kriteria diagnosis DM
10

Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah.


Pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan enzimatik dengan bahan
plasma vena. Sesuai klasifikasi WHO.2
Tabel 2.3
Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa

Konsentrasi Glukosa Darah Sewaktu Dan Puasa Sebagai Patokan Penyaring Dan
Diagnostik Diabetes Melitus (mg/dl)

Pemeriksaan Belum Pasti Diabetes


Bukan DM
DM Melitus (DM)

Plasma Vena <100 100 – 199 >200


Glukosa Darah
Sewaktu (mg/dl)
Darah Kapiler <90 90 – 199 >200

Plasma Vena <100 100 – 125 >126


Glukosa Darah
Puasa (mg/dl)
Darah Kapiler <90 90 – 99 >100

TTGO 70 - 39 140 – 199 ≥200

HbA1c < 5,7 5,7 – 6,4 ≥6,5

Sumber : Perkeni 2015-2019.2,16

8. Penanganan DM
Penatalaksaan pada pasien diabetes menurut Perkeni (2019) dibedakan
menjadi dua yaitu terapi farmakologis dan non farmakologi :
a. Terapi Farmakologi
11

Pemberian terapi farmakologi harus diikuti dengan pengaturan pola


makan dan gaya hidup yang sehat. Terapi farmakologi terdiri dari obat
oral dan obat suntikan, yaitu :
1) Obat antihiperglikemia oral
Menurut Perkeni, (2019) berdasarkan cara kerjanya obat ini
dibedakan menjadi beberapa golongan, antara lain:
a) Pemacu sekresi insulin: Sulfonilurea dan Glinid
Efek utama obat sulfonilurea yaitu memacu sekresi insulin oleh
sel beta pancreas. cara kerja obat glinid sama dengan cara kerja
obat sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan sekresi
insulin fase pertama yang dapat mengatasi hiperglikemia post
prandial.
b) Penurunan sensitivitas terhadap insulin: Metformin dan
Tiazolidindion (TZD)
Efek utama metformin yaitu mengurangi produksi glukosa hati
(gluconeogenesis) dan memperbaiki glukosa perifer. Sedangkan
efek dari Tiazolidindion (TZD) adalah menurunkan resistensi
insulin dengan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga
meningkatkan glukosa di perifer.
c) Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa
Fungsi obat ini bekerja dengan memperlambat absorpsi glukosa
dalam usus halus, sehingga memiliki efek menurunkan kadar gula
darah dalam tubuh sesudah makan.
d) Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)
Obat golongan penghambat DPP-IV berfungsi untuk menghambat
kerja enzim DPP-IV sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1)
tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif. Aktivitas
GLP-1 untuk meningkatkan sekresi insulin dan menekan sekresi
glukagon sesuai kadar glukosa darah (glucose dependent).
2) Obat anti hiperglikemia suntik
12

Termasuk anti hiperglikemia suntik, yaitu insulin, agonis GLP-1 dan


kombinasi insulin dan agonis GLP-1.2
b. Terapi non Farmakologi
Terapi non farmakologi menurut Perkeni, (2019) yaitu:
1) Edukasi
Edukasi bertujuan untuk promosi kesehatan supaya hidup menjadi
sehat. Hal ini perlu dilakukan sebagai upaya pencegahan dan bisa
digunakan sebagai pengelolaan DM secara holistic.
2) Terapi nutrisi medis (TNM)
Pasien DM perlu diberikan pengetahuan tentang jadwal makan yang
teratur, jenis makanan yang baik beserta jumlah kalorinya, terutama
pada pasien yang menggunakan obat penurun glukosa darah maupun
insulin.
3) Latihan jasmani atau olahraga
Pasien DM harus berolahraga secara teratur yaitu 3 sampai 5 hari
dalam seminggu selama 30 sampai 45 menit, dengan total 150 menit
perminggu, dan dengan jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari
berturut-turut. Jenis olahraga yang dianjurkan bersifat aerobic
dengan intensitas sedang yaitu 50 sampai 70% denyut jantung
maksimal seperti: jalan cepat, sepeda santai, berenang, dan jogging.
Denyut jantung maksimal dihitung dengan cara: 220 – usia pasien.2
9. Komplikasi DM
Komplikasi dari diabetes mellitus menurut Tanto Chris et al, (2014)
diklasifikasikan menjadi komplikasi akut dan komplikasi kronik.
Komplikasi akut terjadi karena intoleransi glukosa yang berlangsung
dalam jangka waktu pendek yang mencakup :

a. Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah keadaan dimana glukosa dalam darah mengalami
penurunan dibawah 50 sampai 60 mg/dL disertai dengan gejala pusing,
13

gemetar, lemas, pandangan kabur, keringat dingin, serta penurunan


kesadaran.
b. Ketoasidosis Diabetes (KAD)
KAD adalah suatu keadaan yang ditandai dengan asidosis metabolic
akibat pembentukan keton yang berlebih.
c. Sindrom nonketotik hiperosmolar hiperglikemik (SNHH)
Suatu keadaan koma dimana terjadi gangguan metabolisme yang
menyebabkan kadar glukosa dalam darah sangat tinggi, menyebabkan
dehidrasi hipertonik tanpa disertai ketosis serum.22
10. Pencegahan DM
Pencegahan DM menurut Perkeni (2019) :
a. Pencegahan primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok yang
memiliki faktor risiko, yakni yang belum terkena tetapi berpotensi
terkena diabetes melitus.
b. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat
timbulnya penyulit pada pasien yang telah terdiagnosis diabetes
melitus. Tindakan pencegahan sekunder dilakukan dengan
pengendalian faktor risiko penyulit yang lain dengan pemberian
pengobatan yang optimal.
c. Pencegahan tersier
Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang diabetes
yang telah mengalami penyulit dalam upaya mencegah terjadinya
kecacatan lebih lanjut serta meningkatkan kualitas hidup.2

C. Kadar Glukosa Darah


1. Definisi kadar glukosa darah
Kadar glukosa darah merupakan sejumlah glukosa yang terdapat
diplasma darah. Pemantauan kadar gula darah sangat dibutuhkan dalam
14

menegakkan sebuah diagnosa terutama untuk penyakit diabetes melitus,


kadar glukosa darah dapat diperiksa saat pasien datang untuk periksa
dengan hasil pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu > 200 mg/dl.16
Di dalam darah, kadar gula selalu fluktuatif bergantung pada asupan
makanan. Kadar paling tinggi tercapai pada satu jam sesudah makan. Satu
jam setelah makan, gula di dalam darah akan mencapai kadar paling
tinggi, normalnya tidak melebihi 180 mg per 100 cc darah (180 mg/dl).
Kadar 180 mg/dl disebut ambang ginjal dimana ginjal bisa menahan
gula pada kadar tersebut. Lebih dari angka tersebut ginjal tidak dapat
menahan gula dan kelebihan gula akan keluar bersama urin, jadilah
kencing yang manis. Pada diabetes terdapat masalah dengan efek kerja
insulin dalam hal ini memasukkan gula ke dalam sel tidak sempurna
sehingga gula darah tetap tinggi. Hal ini dapat meracuni dan menyebabkan
rasa lemah dan tidak sehat serta menyebabkan komplikasi dan gangguan
metabolisme yang lain. Apabila tidak bisa mendapatkan energi yang
cukup dari gula, tubuh akan mengolah zat-zat lain di dalam tubuh untuk
diubah menjadi energi. Zat-zat itu adalah lemak dan protein.
Penggunaan atau penghancuran lemak dan protein menyebabkan turunnya
berat badan.23
2. Faktor yang mempengaruhi kadar glukosa darah
Ada beberapa hal yang menyebabkan gula darah naik, yaitu kurang
berolah raga, bertambahnya jumlah makanan yang dikonsumsi,
meningkatnya stress dan faktor emosi, pertambahan berat badan dan usia,
serta dampak perawatan dari obat, misalnya steroid.24
Glukosa darah dipengaruhi beberapa faktor, antara lain faktor pencetus
dalam hal ini terjadinya pola makan yang salah, obat, umur, dan kurangnya
aktivitas dan lain sebagainya.9
a. Pola makan yang salah
Pola makan diartikan sebagai suatu bentuk kebiasaan konsumsi
makanan pada seseorang dalam kehidupan sehari – hari, kebiasaan
makan ini terbagi menjadi dua antara kebiasaan makan yang benar dan
15

kebiasaan makan yang salah, salah satunya bisa memicu timbulnya


penyakit diabetes melitus yaitu pada pola makan yang salah, sehingga
diperlukan adanya perencanaan makan dengan mengikuti prinsip 3J
(tepat jumlah, jenis dan jadwal) agar kadar gula darah tetap terkendali.9
b. Obat antidiabetik
Obat antidiabetik merupakan salah satu pengelolaan pada penderita
diabetes melitus, bila ditemukan kadar glukosa darah masih tinggi atau
belum memenuhi kadar sasaran metabolik yang diinginkan, sehingga
penderita harus minum obat (obat hipoglikemik atau OHO), atau bisa
dengan bantuan suntikan insulin sesuai indikasi, untuk jenis obat
antipsikotik atypical biasanya berefek samping pada sistem
metabolisme, sehingga sering dikaitkan pada peningkatan berat badan
untuk mengantisipasinya diperlukan pemantauan akan asupan
karbohidrat, penggunaan antipsikotik juga dikaitkan dengan
hiperglikemik walau mekanismenya belum jelas diketahui.25
c. Usia
Adanya risiko untuk menderita diabetes melitus yaitu seiring dengan
bertambahnya umur, berkisar diatas usia 45 tahun sehingga harus
dilakukan pemeriksaan glukosa darah.8 Berdasarkan hasil penelitian,
usia yang rentan terkena penyakit diabetes melitus adalah kelompok
umur 45-54 tahun lebih tinggi 2,2% bila dibanding dengan kelompok
umur 35-44 tahun.26
d. Kurangnya aktivitas
Pelaksanaan aktivitas atau latihan jasmani yang dilakukan penderita
Diabetes Melitus berkisar antara 5-30 menit dapat menurunkan kadar
glukosa darah, timbunan lemak dan tekanan darah, karena ketika
aktivitas tubuh tinggi penggunaan glukosa oleh otot ikut meningkat,
sehingga sintesis glukosa endogen akan ditingkatkan agar kadar gula
dalam darah tetap seimbang, jadi tubuh akan mengkompensasi
kebutuhan glukosa yang tinggi akibat aktivitas berlebih maka kadar
glukosa tubuh menjadi rendah, sebaliknya jika kadar glukosa darah
16

melebihi kemampuan tubuh menyimpan maka kadar glukosa darah


melebihi normal.27
3. Pemeriksaan dan cara mengukur kadar glukosa darah
Kadar glukosa darah sewaktu bisa disebut juga kadar glukosa darah acak
atau kasual, tes ini bisa di lakukan kapan saja, karena kadar glukosa darah
sewaktu bisa dikatakan normal jika hasilnya tidak lebih darri 200 mg/dl.28
Menurut Perkeni (2019), kadar glukosa darah sewaktu sebagai patokan
penyaring dan diagnosis diabetes melitus.2
Menurut Rudi (2013) ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk
melakukan pemeriksaan dan mengukur kadar glukosa darah baik secara
pribadi atau tes klinik antara lain.29 :
1. Tes Urine
Tes ini juga dilakukan di laboratorium atau klinik yang diperiksa air
kencing atau urine yang dilihat seperti kadar albumin, gula dan
mikroalbuminurea untuk mengetahui apakah seorang menderita
penyakit diabetes atau tidak.
2. Tes Darah
Tes ini dapat dilakukan di laboratorium yang diperiksa bisa gula darah
sewaktu, gula darah puasa (puasa terlebih dahulu minimal selama 8 jam
sebelum diperiksa) ataupun gula darah 2 jam setelah makan. Kadar gula
darah sewaktu normalnya adalah < 110 mg / dL, gula darah puasa
normalnya adalah antara 70 –110 mg / dL dan gula darah saat 2 jam
setelah makan normalnya < 140 mg / dL. Tes ini juga bisa dilakukan
sendiri di rumah jika mempunyai alatnya. Caranya antara lain dengan
menusukkan jarum pada jari untuk mengambil sampel darah, kemudian
sampel darah dimasukkan ke dalam celah yang tersedia pada mesin
glukometer. Hasilnya tidak terlalu akurat, tetapi bisa digunakan untuk
memantau gula bagi penderita agar apabila ada indikasi gula darah
tinggi dapat segera melakukan pengecekan di laboratorium dan
menghubungi dokter.29
17

D. Hubungan IMT Dengan Kadar Glukosa Darah


IMT berlebih (obesitas) menyebabkan kerusakan jaringan yang melibatkan
4 jalur transmisi yaitu poliol, hexosamin, inflamasi makrofag MI dan PRR/
Pattern Recognition Receptor, jalur poliol adalah jalur metabolisme glukosa
menjadi fruktosa dengan bantuan enzim aldosa reduktase dengan kofaktor
katalisa Nicotinamida Adenin Nukleotida Phospat/NADPH sebagai reducer
yang akan mengubah gula alkohol menjadi sorbitol. Dengan adanya glikasi
molekul sorbitol akan terjadi cross linking yang memicu peradangan sorbitol
yang akan dimetabolisme di jalur hexosamin.30
Pada glikosilasi protein selanjutnya menyebabkan disregulasi transduksi
sinyal dan transkripsi diantaranya akan terjadi defek sistem enzim seperti
phosphatidylin-ositol-kinase (PI3-kinase) dan protein kinase C (PKC) yang
mengakibatkan fosforilasi transmisi glukosa (glukosa transporter/GLUT-4) di
luar sel dan tidak masuk ke dalam sel sehingga terjadi resistensi insulin akibat
desensitisasi terhadap jaringan Insulin Receptor Substrat-1 (IRS-1) dan IRS 2
yang merupakan efektor insulin untuk sintesis maupun translokasi GLUT-4.30
PI3-kinase dan PKC bersifat bioaktif yang menghasilkan ceramide yaitu
penginduksi apoptosis sel β pankreas yang diawali dengan berkurangnya
mekanisme difusi glukosa tidak optimal. Jika sekresi insulin berkurang maka
terjadi inaktivasi Nuclear Receptor Proliferator Actified Receptors/PPARs
yang menyebabkan perubahan komposisi dan hipertrofi adiposit terutama
PPARγ.30
Hipertrofi jaringan adiposa, berhubungan dengan metabolisme yang tidak
normal, terjadinya hiperglikemia dan hiperinsulinemia. Intensivitas insulin
dan hiperinsulinemia berakibat pada kurangnya metabolisme glukosa. Pada
hipertrofi sel lemak akan terjadi pengurangan jumlah reseptor insulin
sehingga akan mengakibatkan resistensi insulin.31
Fungsi utama adiposa (sel – sel lemak) adalah untuk menyimpan
trigliserida sebagai cadangan energi bila sewaktu – waktu dibutuhkan. Sel –
sel lemak tersebut telah terbukti memiliki aktivitas metabolisme yang berbeda
dibandingkan dengan sel – sel lemak lainnya yang menyebar dimana - mana,
18

terutama dengan memperhatikan kepekaan mereka terhadap hormon –


hormon tertentu. Sel – sel dimaksud diketahui lebih resisten terhadap insulin
namun memperlihatkan kepekaan yang lebih besar terhadap hormon
katekolamin (hormon – hormon pengatur keseimbangan) yang berfungsi
untuk mengurangi insulin. Karena itu dirasakan oleh sebagian pakar bahwa
kelebihan berat badan atau obesitas biasa meningkatkan jenis resistensi
terhadap insulin yang merupakan ciri diabetes melitus tipe 2.32
Pada orang gemuk selalu di temukan kadar asam lemak bebas yang tinggi.
Meningkatnya asam lemak bebas pada orang yang gemuk di sebabkan oleh
meningkatnya pemecahan trigliserid (lipolisis) di jaringan lemak terutama di
daerah visceral (perut). Asam lemak bebas yang tinggi dapat menyebabkan
meningkatnya ambilan sel terhadap asam lemak bebas dan memacu oksidasi
lemak yang pada akhirnya akan menghambat penggunaan glukosa dalam
otot.31

E. Kerangka Teori

IMT berlebih ( obesitas )

Resistensi insulin Autoimun idiopatik

Hiperinsulinemia

Disfungsi sel beta Destruksi sel beta


Sekresi insulin menurun,
Sekresi glukosagon
meningkat

Menurunnya glukosa uptake,


Usia
Peningktanan glukoneogeesis,
Genetk
Peningkatan lipolisis

Hiperglikemia Glukosa Darah Sewaktu >200mg/dl

Komplikasi :
DM tipe II
1. Hipoglikemia

Anda mungkin juga menyukai