Journal Kakao Printed (Finish)
Journal Kakao Printed (Finish)
Abstrak
Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu komoditas andalan perkebunan yang
menjadi prioritas pemerintah dalam pembangunan pertanian di masa depan. Fenomena
peningkatan luasan dan produksi kakao Jember tidak diimbangi dengan peningkatan
kualitas dan produktivitasnya. Produktivitas kakao Jember masih sangat rendah, jauh lebih
rendah jika dibandingkan dengan produktivitas kakao di Jawa Timur maupun nasional.
Rendahnya kualitas dan produktivitas menjadikan daya saing kakao Jember menjadi
menurun. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis daya saing dan merumuskan
prioritas strategi peningkatan daya saing kakao Jember. Teknik analisis yang digunakan
adalah Policy Analysis Matrix (PAM) untuk mengetahui daya saing kakao Jember.
Alternatif strategi dihasilkan dari analisis SWOT dan ditentukan prioritasnya dengan
menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kakao Jember memiliki daya saing, baik dilihat dari keunggulan komparatif maupun
kompetitifnya. Kondisi agribisnis kakao Jember berada pada Kuadran I dengan pilihan
strategi adalah strategi agresif. Pada situasi ini, agribisnis kakao Jember berada pada
kondisi yang paling menguntungkan karena memiliki banyak peluang dan kekuatan yang
dapat digunakan untuk meningkatkan daya saing produknya. Strategi yang diterapkan
dalam kondisi ini adalah mendukung kebijakan pertumbuhan yang agresif (growth
oriented strategy). Prioritas utama strategi peningkatan daya saing kakao Jember adalah
strategi SO (Strengths-Opportunities), yaitu strategi yang memanfaatkan ketersediaan dan
kesesuaian lahan, dukungan sumberdaya petani, kohesivitas kelompok tani yang sudah
terbentuk serta tradisi dan budaya lokal untuk memenuhi permintaan kakao, baik untuk
pasar lokal maupun ekspor dengan dukungan berupa komitmen pemerintah, harga jual
yang selalu meningkat, dan keberadaan investor.
Key words : Daya Saing, Policy Analysis Matrix (PAM), SWOT, Analytical Hierarchy
Process (AHP), Kakao (Theobroma cacao L.)Jember
PENDAHULUAN
Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu komoditas andalan perkebunan yang
menjadi prioritas pemerintah dalam pembangunan pertanian di masa depan. Indonesia
merupakan negara terbesar ketiga penghasil biji kakao dengan produksi per tahunnya mencapai
700 ribu ton, dimana hampir 90% diantaranya dihasilkan dari perkebunan rakyat. Sebagai
komoditas ekspor, kakao masih belum memberikan output dan outcome yang sesuai harapan.
Kakao Indonesia memang memiliki daya saing (Rifin, 2013; Haryono et al., 2011; Nugroho,
2008; Kiranta dan Meydianawathi, 2014), namun daya saingnya masih jauh lebih rendah
dibandingkan Ghana dan Nigeria. Daya saing kakao Indonesia mulai tahun 1995 hingga 2004
cenderung terus menurun (Supriatna dan Dradjat, 2008).
Produksi kakao Indonesia tersebar hampir di seluruh provinsi, salah satunya provinsi
andalan penghasil kakao Indonesia adalah Jawa Timur. Luas perkebunan kakao di Jawa Timur
pada tahun 2014 mencapai 69.623 ha dengan produksi biji kakao mencapai 37,667 ton. Luasan
dan produksi kakao di Jawa Timur dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini.
p.2
Gambar 1.
Luasan dan Produksi Kakao di Jawa Timur
Tahun 2010-2014
Gambar 1 menunjukkan bahwa luasan dan produksi kakao di Jawa Timur selalu meningkat
sepanjang tahun 2010-2014 (Badan Pusat Statistik, 2015), namun tidak diimbangi dengan
peningkatan produktivitas dan daya saingnya. Produktivitas kakao di Jawa Timur berfluktuasi
antara 442-541 kg/ha sepanjang tahun 2010-2014. Produktivitas kakao di Jawa Timur masih
jauh lebih rendah dibandingkan produktivitas kakao nasional yang mencapai ± 900 kg/ha,
belum lagi apalagi dibandingkan dengan dengan Ghana yang mencapai 2.621 kg/ha serta
Thailand dan Saint Luca yang mencapai 2.488 kg/ha dan 1.654 kg/ha. Secara keseluruhan
Ghana memiliki daya saing paling tinggi (David, 2013), sementara Indonesia masih lebih fokus
pada persoalan produktivitas dan kualitas biji kakao yang masih rendah (Liyandaet et al., 2012;
Safuan et al., 2013).
Gambar 2.
Luasan dan Produksi Kakao di Jember
Tahun 2010-2014
p.3
Gambar 2 menunjukkan bahwa luasan dan produksi kakao di Jember (selanjutnya ditulis
kakao Jember) selalu meningkat sepanjang tahun 2010-2014, namun tidak diimbangi dengan
peningkatan kualitas dan produktivitasnya. Produktivitas kakao Jember masih tergolong sangat
rendah, yaitu berkisar 60-400 kg/ha (Biro Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur, 2014), jauh
lebih rendah dibandingkan produktivitas kakao di Jawa Timur yang mencapai 442-541 kg/ha
maupun produktivitas kakao nasional yang mencapai ± 900 kg/ha.
Kualitas dan produktivitas kakao perlu mendapat perhatian seiring dengan permintaan
pasar, baik lokal maupun ekspor yang terus meningkat. Meningkatnya industri hilir menuntut
tersedianya kuantitas dan kualitas biji kakao yang memadai (Zulfiandri dan Marimin, 2012).
Menurut Goenadi et al., (2005), kakao Indonesia masih menghadapi berbagai masalah
kompleks, antara lain produktivitas kebun masih rendah akibat serangan hama seperti
penggerek buah kakao, penyakit busuk buah maupun kerusakan-kerusakan fisik yang
ditimbulkan akibat kesalahan saat pemanenan. Permasalahan lain, seperti penyediaan bibit yang
lebih baik (Basri, 2009), pengendalian hayati, proses pengeringan biji kakao yang lebih baik,
dan diversifikasi produk kakao yang diproduksi UKM belum terselesaikan dengan maksimal
(Sai’d, 2009:pp.45-55).
Rendahnya produktivitas dan kualitas biji kakao yang dihasilkan menjadikan daya saing
kakao Jember menjadi menurun. Selain persoalan produktivitas dan kualitas, ditemukan
beberapa permasalahan yang dapat memicu menurunnya daya saing kakao Jember, antara lain
rendahnya kualitas dan kompetensi sumberdaya petani dari aspek pengetahuan, sikap dan
keterampilan, rendahnya kemampuan dalam memasarkan produk, lemahnya infrastruktur,
kurangnya alih teknologi dan ahli teknologi informasi, dan rendahnya kepercayaan investor.
Rendahnya kualitas dan kompetensi sumberdaya petani pada akhirnya akan berpengaruh pada
rendahnya produktivitas dan kualitas biji kakao yang dihasilkan. Rendahnya produktivitas dan
kualitas biji kakao yang dihasilkan berpengaruh pada menurunnya daya saing produk tersebut.
Di sisi lain, fenomena penurunan produksi, peningkatan permintaan pasar - dibarengi dengan
stok kakao yang semakin menurun, memberikan peluang untuk meningkatkan daya saing kakao
Jember dalam memenuhi permintaan pasar domestik maupun ekspor.
KAJIAN PUSTAKA
Konsep dan Teori Daya Saing
Konsep daya saing berpijak dari konsep keunggulan komparatif yang diperkenalkan oleh
Ricardo sekitar abad ke-18 (tahun 1823), yang selanjutnya dikenal dengan model Ricardian
Ricardo atau Hukum Keunggulan Komparatif (The Law of Comparative Advantage). Teori
keunggulan komparatif Ricardo ini kemudian disempurnakan oleh Haberler (1936), yang
mengemukakan bahwa konsep keunggulan komparatif yang berdasarkan pada Teori Biaya
Imbangan (Opportunity Cost Theory). Teori keunggulan komparatif yang lebih modern adalah
seperti yang dikemukakan oleh Heckscher Ohlin dalam Lindert dan Kindleberger (1993), yang
menekankan pada perbedaan bawaan faktor produksi antar negara sebagai determinasi
perdagangan yang paling penting (Sudiyarto, 2006).
Konsep keunggulan komparatif merupakan ukuran daya saing (keunggulan) potensial
dalam artian daya saing yang akan dicapai apabila perekonomian tidak mengalami distorsi
sama sekali (Simatupang, 1991; Sudaryanto dan Simatupang, 1993). Komoditas yang memiliki
keunggulan komparatif dikatakan juga memiliki efisiensi secara ekonomi.
p.4
Daya saing adalah produktivitas yang didefinisikan sebagai output yang dihasilkan oleh
tenaga kerja. Daya saing ditentukan oleh keunggulan bersaing suatu perusahaan dan sangat
bergantung pada tingkat sumber daya relatif yang dimilikinya. Porter (2001:12-14),
menjelaskan pentingnya daya saing karena tiga hal berikut: (1) mendorong produktivitas dan
meningkatkan kemampuan mandiri; (2) meningkatkan kapasitas ekonomi, baik dalam konteks
regional ekonomi maupun kuantitas pelaku ekonomi sehingga pertumbuhan ekonomi
meningkat; dan (3) kepercayaan bahwa mekanisme pasar lebih menciptakan efisiensi
Secara teoritis, konsepsi daya saing bisa mengacu pada pendapat Hill dan Jones (2009:3),
bahwa daya saing akan tercapai ketika profitabilitas perusahaan lebih besar dari keuntungan
rata-rata semua perusahaan di industri yang sama. Semakin tinggi rata-tara profitabilitas
perusahaan dibandingkan dengan perusahaan yang lain untuk industri yang sama, maka
perusahaan tersebut akan semakin tinggi daya saingnya.
Hasil kajian Ambastha and Momaya (2004) menyimpulkan, bahwa the hyper-competitive
era in the last few decades has created the need for an explicit management of competitiveness.
Consequently, considerable research has been undertaken on competitiveness issues at
different tingkats. Daya saing menjadi penting untuk dikaji di berbagai tingkat dengan
mengembangkan model yang komprehensif serta mampu mengukur daya saing tersebut
(Cetindamar and Kilitcioglu, 2013). Banyak penelitian dilakukan untuk mengetahui daya saing
di tingkat negara, industri dan perusahaan, namun ada beberapa penelitian yang fokus di tingkat
perusahaan dengan membangun strategi agar mampu berdaya saing secara global (Oral, 1993;
Offstein et al., 2007).
Salah satu cara mengukur dan menganalisis keunggulan kompetitif dan komparatif suatu
komoditas adalah dengan menggunakan Matrik Analisis Kebijakan (Policy Analysis Matrix;
PAM). Beberapa kajian untuk mengukur dan menganalisis daya saing produk agribisnis dengan
menggunakan PAM sebagai alat analisisnya pernah dilakukan oleh Haryono et al., (2011),
Neptune (2006), Gerungan et al., (2013), Ratna et al., (2013), Emelda dan Mappigau (2014).
p.5
METODE PENELITIAN
Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja di Kabupaten Jember dengan pertimbangan
bahwa Kabupaten Jember merupakan salah satu sentra penghasil kakao Indonesia. Fenomena
peningkatan luasan dan produksi kakao Jember tidak diimbangi dengan peningkatan
produktivitas dan kualitas hasil produksinya. Produktivitas kakao Jember masih tergolong
sangat rendah, yaitu berkisar 60-400 kg/ha, jauh lebih rendah dibandingkan produktivitas kakao
di Jawa Timur yang berkisar 442-541 kg/ha maupun produktivitas kakao nasional yang
mencapai ± 900 kg/ha. Rendahnya produktivitas dan kualitas biji kakao yang dihasilkan
menjadikan daya saing kakao Jember menjadi menurun.
Penelitian ini merupakan gabungan antara penelitian eksploratif, deskriptif dan
explanatory. Penelitian eksploratif dilakukan untuk memperoleh informasi yang mendalam
berkaitan dengan daya saing kakao Jember, dan penyusunan prioritas strategi peningkatan daya
saing yang direkomendasikan melalui kajian teoritis dan empiris sebelum dilanjutkan dengan
penelitian deskriptif.
Pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara langsung dan mendalam dengan
sumber informasi atau informan ahli di bidangnya serta mengamati dokumen-dokumen yang
ada. Pertanyaan yang diajukan telah disusun sebelumnya dengan sistematis dan dipandu dengan
menggunakan kuesioner yang telah valid dan reliabel. Data sekunder bersumber dari informasi
atau data yang dimiliki instansi terkait serta buku literatur, jurnal atau berbagai macam bentuk
terbitan sebagaimana tertera dalam Daftar Pustaka.
Analisis data penelitian untuk mengetahui daya saing kakao Jember menggunakan PAM
(Monke dan Pearson, 1989:10-19). Selanjutnya, untuk merumuskan alternatif strategi
peningkatan daya saing menggunakan analisis SWOT, dan dilanjutkan dengan Analytical
Hierarchy Process (AHP) untuk menentukan prioritas strategi peningkatan daya saing kakao
Jember.
Tabel 1 menunjukkan bahwa tingkat profitabilitas (penerimaan) privat kakao Jember (Rp.
23.544.000,-/ha/th) lebih kecil dibandingkan profitabilitas sosialnya (Rp. 24.429.350,-/ha/th)
p.7
karena diduga adanya praktik monopsoni (pembeli menguasai harga pasar) di lokasi penelitian.
Pearson et.al (2004) menguatkan dugaan ini, bahwa penyebab terjadinya divergensi adalah
kegagalan pasar dan kebijakan pemerintah yang distorsif - diterapkan untuk mencapai tujuan
yang bersifat non-efisiensi yang dapat berupa hambatan ekspor kakao sebesar 5-15% dan
hambatan impor input tradable sebesar 5%.
Dilihat dari input tradable kakao Jember yang mencapai Rp. 7.009.413,-/ha/thn serta
penerimaan atas harga privat sebesar Rp. 23.544.000,-/ha/thn, hal ini berpengaruh pada
kecilnya tingkat keuntungan yang diterima petani, yaitu Rp. 2.415.975 atau sekitar 10% dari
total penerimaan.
Tabel 2 menunjukkan bahwa faktor internal yang menjadi kekuatan kakao Jember dengan
peringkat tertinggi (nilai peringkat 3) adalah kesesuaian lahan dan dukungan sumberdaya
petani. Kedua faktor ini merupakan kekuatan yang sangat penting dibandingkan faktor internal
lainnya, yaitu ketersediaan lahan, kohesivitas kelompok tani maupun tradisi dan budaya lokal
yang mendapat nilai peringkat 2. Kekuatan dengan bobot tertinggi (nilai bobot 0,20) adalah
kesesuaian lahan. Hasil ini menunjukkan bahwa kesesuaian lahan merupakan faktor internal
yang menjadi kekuatan utama dalam agribisnis kakao Jember.
Faktor internal yang menjadi kelemahan kakao Jember dengan peringkat tertinggi (nilai
peringkat 3) adalah keberadaan industri hilir, sarana dan prasarana pendukung serta distrbusi
p.9
dan tata niaga. Ketiga faktor ini merupakan kelemahan yang memiliki prioritas tertinggi untuk
dipenuhi dan dioptimalisasikan dibandingkan faktor internal lainnya, seperti permodalan dan
informasi, riset dan pengembangan pasar serta kualitas produk. Kelemahan dengan bobot
tertinggi (nilai bobot 0,1) adalah keberadaan industri hilir, permodalan dan informasi, serta riset
dan pengembangan pasar. Hasil ini menunjukkan bahwa keberadaan industri hilir merupakan
faktor internal yang menjadi kelemahan utama dalam agribisnis kakao Jember. Selisih
peringkat terbobot kekuatan dengan kelemahan adalah sebesar 0,35. Selisih peringkat terbobot
ini merupakan nilai X (Gambar 3) yang akan menentukan posisi kakao Jember dalam matrik
SWOT.
Tabel 3 menunjukkan bahwa faktor eksternal yang menjadi peluang kakao Jember dengan
peringkat tertinggi (nilai peringkat 3) adalah pasar dan komitmen pemerintah. Kedua faktor ini
merupakan peluang yang memiliki prioritas tertinggi untuk dimanfaatkan dibandingkan faktor
eksternal lainnya, yaitu harga jual dan keberadaan investor yang mendapat nilai peringkat 2.
Peluang dengan bobot tertinggi (nilai bobot 0,20) adalah pasar. Hasil ini menunjukkan bahwa
pasar merupakan faktor eksternal yang menjadi peluang terbesar agribisnis kakao Jember.
Faktor eksternal yang menjadi ancaman kakao Jember dengan peringkat tertinggi (nilai
peringkat 3) adalah ketidakpastian iklim, ketersediaan sarana produksi serta liberalisasi
(globalisasi) ekonomi. Ketiga faktor ini merupakan ancaman yang memiliki prioritas tertinggi
untuk diantisipasi dibandingkan faktor eksternal lainnya, seperti ancaman produk sejenis dari
daerah lain. Ancaman dengan bobot tertinggi (nilai bobot 0,15) adalah ketidakpastian iklim.
Hasil ini menunjukkan bahwa ketidakpastian iklim merupakan faktor eksternal yang menjadi
ancaman terbesar agribisnis kakao Jember. Selisih peringkat terbobot peluang dan ancaman
adalah sebesar 0,20. Selisih peringkat terbobot ini merupakan nilai Y (Gambar 3) yang akan
menentukan posisi agribisnis kakao Jember dalam matrik SWOT seperti ditunjukkan pada
Gambar 3 berikut ini.
p.10
Faktor Eksternal
Y (+)
Kuadran III Kuadran I
Strategi Turn-around Strategi agresif
(0,35 0,20)
Faktor Internal
X
X(-)
(+)
Kuadran IV Kuadran II
Strategi Defensif Strategi Diversifikasi
Y(-)
Gambar 3.
Matriks Posisi Strategi Agribisnis Kakao Jember
Gambar 3 menunjukkan bahwa posisi strategi agribisnis kakao Jember berada pada
Kuadran I dengan pilihan strategi adalah strategi agresif. Pada situasi ini, agribisnis kakao
Jember berada pada kondisi yang paling menguntungkan karena memiliki banyak peluang dan
kekuatan yang dapat digunakan untuk meningkatkan daya saing produknya. Strategi yang
diterapkan dalam kondisi ini adalah mendukung kebijakan pertumbuhan yang agresif
(growth oriented strategy). Alternatif strategi yang dapat direkomendasikan ditunjukkan
pada matrik SWOT pada Gambar 4 berikut ini.
p.11
Gambar 4.
Matriks SWOT Kakao Jember
Strategi SO
Strategi SO merupakan strategi dengan menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan
peluang. Berdasarkan hasil matrik SWOT diperoleh strategi SO, yaitu memanfaatkan
ketersediaan dan kesesuaian lahan, dukungan sumberdaya petani, kohesivitas kelompok tani
yang sudah terbentuk serta tradisi dan budaya lokal untuk memenuhi permintaan kakao, baik
untuk pasar lokal maupun ekspor dengan dukungan berupa komitmen pemerintah, harga jual
yang selalu meningkat dan keberadaan investor. Hal ini sesuai dengan kajian yang dilakukan
oleh Zulfiandri dan Marimin (2012).
Strategi WO
Strategi WO dilakukan untuk memperbaiki kelemahan dengan memanfaatkan peluang
yang ada. Berdasarkan hasil matrik SWOT, diperoleh dua strategi WO yaitu :
1. Strategi WO1, yaitu memanfaatkan pasar yang luas dan harga jual yang selalu meningkat
untuk menghasilkan produk berkualitas dengan memaksimalkana sarana dan prasarana
pendukung, pemodalan dan informasi, keberadaan industri hilir, distribusi dan tata niaga,
serta riset dan pengembangan pasar. Strategi ini sesuai dengan kajian yang dilakukan oleh
Dradjat et al., (2007); Hasibuan et al.,(2012); Rifin (2013).
p.12
2. Strategi WO2, yaitu meningkatkan kualitas produk dengan dukungan berupa komitmen
pemerintah dan keberadaan investor. Hal isi sesuai dengan hasil kajian yang dilakukan oleh
Rubiyo dan Siswanto (2012:pp.33-48); Dradjat et al., (2007); Suptriatna dan Dradjat
(2008:pp.130-145); Rifin (2013).
Strategi ST
Strategi ST merupakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengantisipasi
ancaman. Berdasarkan hasil matrik SWOT diperoleh strategi ST, yaitu memanfaatkan
kohesivitas kelompok tani yang sudah terbentuk untuk menghasilkan kakao berkualitas
sehingga memenuhi standar global. Hal ini sesuai dengan hasil kajian yang dilakukan oleh
Rubiyo dan Siswanto (2012).
Strategi WT
Strategi WT merupakan strategi yang meminimalkan kelemahan yang ada serta
mengantisipasi ancaman. Berdasarkan hasil matrik SWOT diperoleh strategi WT, yaitu
melakukan integrasi dengan industri hilir untuk menghasilkan produk turunan yang berkualitas
sehingga mampu meningkatkan pendapatan petani. Hal ini sesuai dengan hasil kajian yang
dilakukan oleh Yantu et al., (2010).
S ynthes is with re s pe ct to :
Goal: S trategi Ko mo ditas Kaka o Kabupaten Jember
Ove rall Incons is te ncy = ,05
SO ,362
WT ,222
WO1 ,187
ST ,135
WO2 ,093
Gambar 5.
Prioritas Strategi Peningkatan Daya Saing Kakao Jember
Gambar 5 menunjukkan prioritas strategi peningkatan daya saing kakao Jember. Prioritas
strategi pertama dengan bobot 0.362 adalah strategi SO, yaitu memanfaatkan ketersediaan dan
kesesuaian lahan, dukungan sumberdaya petani, kohesivitas kelompok tani yang sudah
terbentuk serta tradisi dan budaya lokal untuk memenuhi permintaan kakao, baik untuk pasar
p.13
lokal maupun ekspor dengan dukungan berupa komitmen pemerintah, harga jual yang selalu
meningkat dan keberadaan investor. Prioritas strategi kedua dengan bobot 0,222 adalah
strategi WT, yaitu melakukan integrasi dengan industri hilir untuk menghasilkan produk
turunan yang berkualitas sehingga mampu meningkatkan pendapatan petani. Prioritas strategi
ketiga dengan bobot 0,187 adalah strategi WO1, yaitu memanfaatkan pasar yang luas dan
harga jual yang selalu meningkat untuk menghasilkan produk berkualitas dengan
memaksimalkana sarana dan prasarana pendukung, pemodalan dan informasi, keberadaan
industri hilir, distribusi dan tata niaga, serta riset dan pengembangan pasar. Prioritas strategi
keempat dengan bobot 0,135 adalah strategi ST, yaitu memanfaatkan kohesivitas kelompok
tani yang sudah terbentuk untuk menghasilkan kakao berkualitas sehingga memenuhi standar
global. Prioritas strategi kelima dengan bobot 0.093 adalah strategi WO2, yaitu meningkatkan
kualitas biji kakao dengan dukungan berupa komitmen pemerintah dan keberadaan investor.
Saran
1. Perlu dilakukan kajian dengan ruang lingkup penelitian yang lebih luas serta kajian yang
lebih mendetail untuk memperoleh jawaban yang lebih komprehensif mengenai kebijakan
strategi pertumbuhan yang agresif (growth oriented strategy)
2. Perlu penelitian lebih lanjut dan mendalam pada setiap alternatif strategi dan prioritas
strategi yang telah direkomendasikan untuk memberikan strategi terbaik dalam
peningkatan daya saing kakao Jember.
p.14
DAFTAR PUSTAKA
[BPS Jatim] Badan Pusat Statistik Jawa Timur, 2015. Luas Area Perkebunan Kakao
berdasarkan Kabupaten di Jawa Timur. Surabaya: BPS.
Afuah, Allan. 2009. Strategic Innovation: New Game Sstrategies for Competitive Advantage.
New York (NY): Routledge.
Ambastha, Ajitabh and Momaya. 2004. Competitiveness of Firms: Review of Theory,
Frameworks, and Models. Singapore Management Review, Vol. 26 No 1. pp.: 45-61
Anggrianto, Indri Parwati, dan Sidharta. 2013. Penerapan Metode SWOT dan BCG Guna
Menentukan Strategi Penjualan. Jurnal REKAVASI. Vol.1 No.1. pp.: 52-61 ISSN: 2338-
7750.
Basri, Zainuddin. 2009.Kajian Metode Perbanyakan Klonal Pada Tanaman Kakao. Media
Litbang Sulteng 2 (1): pp.: 7–14.
Cetindamar, Dilek and Hakan Kilitcioglu. 2013. Measuring the Competitiveness of a firm for
an Award System. Competitiveness Review: An International Business Journal. Vol. 23
No. 1, 2013. pp.: 7-22 © Emerald Group Publishing Limited.
David, Boansi. 2013. Competitiveness and Determinants of Cocoa Exports from Ghana.
International Journal of Agricultural Policy and Research Vol. 1 (9). November 2013.
pp.:236-254..
Dradjat B, A. Agustian dan A. Supriatna. 2007. Ekspor dan Daya Saing Kopi Biji Indonesia di
Pasar Internasional: Implikasi Strategis bagi Pengembangan Kopi Biji Organik. Jurnal
Penelitian Kopi dan Kakao. 23(2): pp.: 139-159.
Emelda, Andi, Laode Asrul and Palmarudi Mappigau. 2014. An Analysis of Competitiveness
and Government Policies Impact on Development of Cocoa Farming in Indonesia. Asian
Journal of Agriculture and Rural Development, 4(1). Pp.: 30-35.
Gerungan, Caroline B.D Pakasi, Joachim N.K Dumais, Lorraine W.Th. Sondak. 2013. Analisis
Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Komoditi Biji Pala di Minahasa Utara.
ejournal.unsrat.ac.id. pp.: 1-15.
Goenadi BH, Purwoto. John Bako Baon, Herman dan Adreng Purwoto. 2005. Prospek dan
Arah Pengembangan Agribisnis Kakao di Indonesia. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian.
Haryono, Dede.,Soetriono, Rudi Hartadi, dan Joni Murti Mulyo Aji. 2011. Analisis Daya Saing
dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Produksi Kakao di Jawa Timur. J-SEP Vol. 5
No.2. Juli 2011. pp.: 72-82.
Hasibuan, Abdul Muis, Rita Nurmalita, dan Agus Wahyudi. 2012. Analisis Kinerja Daya Saing
Perdagangan Biji Kakao dan Produk Kakao Olahan Indonesia di Pasar Internasional.
Buletin RISTRI. Vol 3 (1). Tahun 2012. pp.: 57-70
Hill, Charles W. L. and Gareth R. Jones. 2009. Essentials of Strategic Management, Second
Edition. Canada: South-Western, Cengage Learning.
Kiranta, Febri P. dan Luh Gede Meydianawathi. 2014. Analisis Tingkat Daya Saing Ekspor
Biji Kakao Indonesia Tahun 2007-2012.e-Jurnal EP UNUD, 3 [11]: 502-512 (ISSN: 2303-
0178).
Liyanda,Mizar.,Abubakar Karim, dan Yusya’ Abubakar. 2012. Analisis Kriteria Kesesuaian
Lahan terhadap Produksi Kakao pada Tiga Klaster Pengembangan di Kabupaten Pidie.
Jurnal Agrista Vol. 16 No. 2, 2012. pp.: 62-79.
Monke, Eric A dan Scott R Pearson. 1989. The Policy Analisys Matrix for Agricultural
Development. Cornel University Press.
Nayantakaningtyas, Jauhar samudera dan Heny K. Daryanto. 2012. Daya Saing dan Strategi
Pengembangan Minyak Sawit di Indonesia. Jurnal Manajemen & Agribisnis, Vol. 9 No. 3.
pp.: 194-201.
p.15