Anda di halaman 1dari 3

Nama: Risky Isma Febrian

NIM : D1A020157

KOLABORASI PENDIDIKAN PENGORGANISASIAN DAN


KEPEMIMPINAN DALAM PERJUANGAN MEMPERTAHANKAN
KEMERDEKAAN DAN KEUTUHAN NKRI

Kolaborasi merupakan salah satu bentuk interaksi sosial. Menurut Abdulsyani,


“Kolaborasi adalah suatu bentuk proses sosial, dimana didalamnya terdapat aktivitas tertentu
yang ditujukan untuk mencapai tujuan bersama dengan saling membantu dan saling memahami
aktivitas masing-masing”.Sebagaimana dikutib oleh Abdulsyani, Roucek dan Warren,
mengatakan “bahwa kolaborasi berarti bekerja bersama-sama untuk mencapai tujuan bersama”.
Ia adalah suatu proses sosial yang paling dasar. Biasanya, kolaborasi melibatkan pembagian
tugas, dimana setiap orang mengerjakan setiap pekerjaan yang merupakan tanggung jawabnya
demi tercapainya tujuan bersama.

Tujuan dari kolaborasi adalah untuk membawa individu, lembaga, organisasi, dan
masyarakat itu sendiri bersama-sama dalam suasana mendukung secara sistematis memecahkan
masalah yang ada dan muncul yang tidak bias dengan mudah diselesaikan oleh satu kelompok
saja. Kolaborasi harus fokus pada peningkatan, komunikasi kapasitas dan efisiensi sekaligus
meningkatkan hasil.

Manfaat kolaborasi mungkin langsung atau jangka panjang, langsung atau tidak
langsung. Penting untuk dicatat bahwa beberapa anggota kolaborasi mungkin akan mendapat
keuntungan lebih dari yang lain. Manfaatnya meliputi: Peningkatan pengiriman pemrograman,
Peluang bagi pengembangan professional, Peningkatan komunikasi dan informasi yang
disempurnakan, Peningkatan penggunaan program dan sumber daya yang tersedia dalam
komunitas.

Jika kita perhatikan sering terjadi pergantian Presiden, mulai masa pemerintahan Orde
Lama, Orde Baru sampai dengan Era Reformasi, keadaan ini berpengaruh pula pada kebijakan
penanganan konflik di tanah air. Namun semua upaya yang telah di lakukan pemerintah pusat
seringkali menemui kegagalan dan adanya ketidaksesuaian antara keinginan, harapan dengan
kenyataan dari kedua belah pihak. Jika dilihat kembali cara penanganan konflik yang dilakukan
oleh pemerintahan pusat pada masa orde lama, orde baru dan penanganan konflik oleh
pemerintah pusat pada masa era reformasi terlihat adanya perbedaan yang cukup mendasar,
dimana pada masa pemerintahan sebelum reformasi penanganan konflik yang terjadi di Aceh
seringkali diselesaikan dengan cara militer atau dengan hard power, sedangkan pada masa
setelah reformasi mulai dibuka resolusi konflik dengan cara dialog untuk menghentikan
kekerasan atau dengan cara Soft Power.

Berbeda dengan penanganan konflik yang dilakukan pada masa orde lama dan orde baru,
pada masa reformasi penanganan konflik di Aceh mulai menemukan opsi baru di luar jalur
militer, yaitu dengan mengajak, merangkul, dan menghargai keinginan Aceh, untuk kemudian
dapat dijalin kerjasama dan menuju kepada dialog politik terkait resolusi konflik Aceh, namun
dalam pelaksanaanya terkadang jalur militer masih digunakan pada masa reformasi, namun opsi
baru untuk berdialog setidaknya mulai dilaksanakan pada masa reformasi, terutama pasca
jatuhnya Soeharto dari kekuasaannya.

Dalam penyelesaian konflik internal yang terjadi di Aceh sendiri sudah diupayakan
dengan penyelesaian secara mandiri, oleh internal Indonesia tanpa adanya ikut campur dari
pihak- pihak lain dari luar, baik berupa LSM, organisasi-organisasi non pemerintahan maupun
organisasi negara-negara kawasan seperti ASEAN atau PBB yang sifatnya internasional. Jika
dilihat dari permasalahan memang seharusnya konflik seperti ini dapat diselesaikan secara
internal tanpa harus melibatkan negara atau organisasi lain di luar Indonesia. Hal ini diharapkan
dapat diterapkan dalam menyelesaikan konflik dalam negeri lainnya termasuk Papua Barat dan
Papua. Pun pendekatan ini perlu diterapkan dalam menangani konflik-konflik sosial berbau
SARA yang dipicu oleh pemahaman dan sikap ekstrimisme dan eksklusifisme.

Penyelesaian konflik identik dengan penghentian konflik. Penyelesaian konflik


seharusnya disesuaikan dengan konteks dan latar atau setting dimana konflik itu terjadi, dalam
hal ini pendekatan yang universal sebenarnya tidak relevan diterapkan dalam menangani masalah
konflik. Ada bentuk lain dari pendekatan penyelesaian konflik yang sering dilupakan yaitu:
kearifan lokal (local wisdom). Dalam masyarakat majemuk seperti Bangsa Indonesia terdapat
banyak sekali kearifan-kearifan lokal yang sangat potensial dalampenyelesaian konflik untuk
menciptakan damai (peace). Misalnya ; Dalihan Natolu (Tapanuli), Rumah Betang (Kalimantan
Tengah), Menyama Braya (Bali), Saling Jot dan Saling Pelarangan (NTB), Siro yo Ingsun,
Ingsun yo Siro (Jawa Timur), Alon-alon Asal Kelakon (Jawa Tengah/DI Yogyakarta), Basusun
Sirih (Melayu/Sumatera), dan Peradilan Adat Clan Selupu Lebong (Bengkulu).

Penghentian konflik dilakukan melalui:

a. penghentian kekerasan fisik;

b. penetapan Status Keadaan Konflik;

c. tindakan darurat penyelamatan dan perlindungan korban dan/atau

d. bantuan pengerahan sumber daya TNI.

Penghentian kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a dilakukan di


bawah koordinasi POLRI dengan melibatkan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan/atau tokoh
adat. POLRI dalam menghentikan kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
dilakukan melalui:

a. pemisahan para pihak atau kelompok yang berkonflik;

b. melakukan tindakan penyelamatan dan perlindungan terhadap korban;

c. pelucutan senjata tajam dan peralatan berbahaya lainnya dan

d. melakukan tindakan pengamanan yang diperlukan sesuai peraturan perundang-


undangan.

Anda mungkin juga menyukai