Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PRAKTIKUM

FISIOLOGI TERNAK

“Suhu Tubuh dan Uji Kebuntingan”

Oleh:
Nama : Arum Pidie Ridhasmara
NIM : D1A019157
Kelompok : 2D
Asisten : Izzati Rahayu

LABORATORIUM FISIOLOGI DAN REPRODUKSI TERNAK TERAPAN


FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2020
I. PEMBAHASAN
1.1 Melihat Pengaruh Luar terhadap Suhu Tubuh Katak dan Hambatan Eliminasi Panas
Berdasarkan hasil praktikum termoregulasi merupakan kemampuan untuk
menyeimbangkan antara produksi panas dan hilangnya panas dalam rangka menjaga
suhu tubuh. Iswanti, dkk (2014) menyatakan bahwa termoregulasi adalah kemampuan
untuk menyeimbangkan antara produksi panas dan hilangnya panas dalam rangka
menjaga suhu tubuh bayi baru lahir dalam keadaan normal. Agar suhu tubuh tetap relatif
konstan maka harus ada mekanisme untuk menjaga suhu tubuh dalam batas-batas yang
masih dapat diterima tanpa memperhatikan kondisi lingkungan. Prosesnya yang dikenal
dengan termoregulasi. Pusat termoregulasi pada manusia terdapat di hipotalamus otak.
Pusat termoregulasi di dalam hipotalamus memicu vasodilatasi kulit dan berkeringat
disertai meningkatkan suhu kulit sampai sebanyak 5°C (Sebtalesy dan Mathar, 2019).
Termoregulasi pada makhluk hidup dibagi menjadi dua, yaitu poikiloterm dan homoiterm.
Poikiloterm (hewan berdarah dingin) yaitu suhu tubuh dipengaruhi oleh lingkungan,
contohnya ikan, reptile, dan amphibi, sedangkan homoiterm (hewan berdarah panas)
yaitu menjaga suhu tubuh dimana suhu tubuh tersebut tidak dipengaruhi oleh
lingkungan, contohnya aves dan mamalia. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Riski
(2018) bahwa suhu tubuh hewan poikiloterm dipengaruhi oleh lingkungannya. Mereka
menjadi panas ketika lingkungan mereka panas dan dingin ketika lingkungan mereka
dingin. Buaya, ikan, dan kalajengking merupakan contoh hewan poikiloterm. Homoiterm
adalah hewan berdarah panas. Suhu tubuh hewan jenis ini lebih stabil dan tidak
tergantung pada lingkungan. Hewan menyusui, burung, ikan paus, dan kura-kura
merupakan contoh hewan homoiterm.
Bahan yang digunakan saat praktikum salah satunya adalah katak sawah. Suhu
tubuh katak sekitar 30—34°C atau mengikuti suhu lingkungan. Katak termasuk hewan
poikiloterm. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Merta, dkk (2016), katak merupakan
hewan berdarah dingin (poikiloterm), artinya memiliki suhu tubuh yang berubah sesuai
dengan lingkungan. Ikan, katak dan kadal termasuk dalam hewan ektoterm, sebab suhu
tubuh bervariasi mengikuti perubahan suhu lingkungan (Rousdy dan Linda, 2018).
Hambatan eliminasi panas merupakan proses selama pelepasan atau
penghilangan panas. Proses pelepasan panas dapat dilakukan dengan cara penguapan.
Jumlah keringat yang dikeluarkan tergantung pada banyaknya darah yang mengalir
melalui pembuluh darah dalam kulit. Proses pelepasan panas lainnya dilakukan melalui
cara pemancaran yaitu dengan melepaskan panas ke udara sekitarnya. Cara tersebut
berupa cara konduksi, yaitu pengalihan panas ke benda yang disentuh dan cara konveksi,
yaitu dengan mengalirkan udara yang telah panas ke permukaan yang lebih dingin
(Manurung, 2017).
Macam-macam perpindahan panas yaitu konduksi, konveksi, radiasi, dan
evaporasi. Konduksi adalah perpindahan kalor yang tidak disertai perpindahan zat
penghantar. Misalnya, salah satu ujung batang besi dipanaskan. Akibatnya, ujung besi
yang lain akan terasa panas. Konveksi adalah proses perpindahan kalor dengan
disertainya perpindahan partikel. Konveksi ini umumnya terjadi pada zat fluida (zat yang
mengalir) seperti air dan udara. Konveksi dapat terjadi secara alami ataupun dipaksa.
Radiasi merupakan proses perpindahan kalor yang tidak memerlukan medium
(perantara). Radiasi ini biasanya dalam bentuk Gelombang Elektromagnetik (GEM) yang
berasal dari matahari, namun demikian dalam kehidupan sehari-hari proses radiasi juga
berlaku saat kita berada di dekat api unggun (Jumiati, 2016). Evaporasi adalah peralihan
panas dari bentuk cairan menjadi uap (Gabriel, 1996). Berdasarkan praktikum, jika panas,
hewan akan menanggapi kenaikan suhu menjadi berkeringat. Keringat keluar akan
membasahi kulit dan menyerap kelebihan panas tersebut menjadi uap setelah keringat
suhu tubuh turun. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Isnaeni (2006), evaporasi
merupakan cara yang penting bagi hewan untuk melepaskan panas dari tubuh. Sebagai
contoh, jika suhu tubuh meningkat, manusia akan menanggapi kenaikan suhu tubuh
tersebut dengan mengeluarkan keringat. Selanjutnya, keringat akan membasahi kulit, dan
jika dibiarkan, keringat akan menyerap kelebihan panas dari tubuh, yang akan
mengubahnya menjadi uap, oleh karena itu, setelah keringat mengering, suhu tubuh pun
menurun. Permasalahannya, tidak semua hewan memiliki kelenjar keringat. Hewan yang
tidak dapat berkeringat seperti burung dan anjing, jika tubuhnya panas, akan
meningkatkan penguapan melalui saluran pernapasan mereka, dengan cara terengah-
engah.
Faktor yang mempengaruhi hilangnya panas yaitu luas permukaan benda yang
saling bersentuhan, perbedaan suhu awal antara dua benda, dan konduktivitas panas
kedua benda tersebut. Bila dua benda yang suhunya berbeda diletakkan saling
bersentuhan, panas akan mengalir seketika dari benda yang suhunya tinggi ke benda yang
suhunya rendah. Perpindahan panas seketika ini selalu dalam arah yang cenderung
menyamakan suhu. Hal tersebut jika dibiarkan maka suhu keduanya akan sama dan
keduanya dikatakan dalam keadaan kesetimbangan termal dan tidak terjadi perpindahan
panas diantara keduanya. Perbedaan suhu awal antara kedua benda, ketika perbedaan
suhu semakin tinggi maka akan semakin lama untuk menghilangkan panas (Supu, dkk,
2016). Kehilangan panas ditentukan oleh luas permukaan yang dikurangi, evaporasi yang
dikurangi, serta memaksimalkan efek penutup. Menurut Sembiring (2019), laju
kehilangan panas hampir seluruhnya ditentukan oleh dua faktor, yaitu seberapa cepat
panas yang dapat dikonduksi dari tempat asal panas dihasilkan, yakni dari dalam inti
tubuh ke kulit dan seberapa cepat panas kemudian dapat dihantarkan dari kulit ke
lingkungan.
1.2 Melihat Pengaruh Luar terhadap Suhu Tubuh Manusia
Suhu tubuh normal manusia sekitar 36,5—37,5°C. Saputro, dkk (2017)
memperjelas bahwa dalam kondisi tubuh yang melakukan aktivitas fisik berat, mekanisme
kontrol suhu manusia tetap menjaga suhu inti atau suhu jaringan dalam relatif konstan,
meskipun suhu luar berfluktuasi namun suhu tubuh tetap bergantung pada aliran darah
ke kulit dan jumlah panas yang hilang ke lingkungan luar, karena fluktuasi suhu pada
lingkungan, suhu tubuh normal yang dapat diterima berkisar dari 36°C—38°C. Graha
(2010) menyatakan, rata-rata suhu tubuh manusia normal adalah berkisar antara 36,5
sampai 37,5°C, akan tetapi pada pagi hari bisa berkurang sampai 36°C, dan pada saat
latihan suhu tubuh dapat meningkat sampai mendekati 40°C tanpa efek sakit, karena
perubahan tersebut merupakan kondisi fisiologis yang normal.
Penyakit yang dapat menyerang termoregulasi yaitu demam, hipertemia, dan
hipotermia. Demam merupakan mekanisme pengeluaran panas yang tidak mampu
mengeluarkan kelebihan produksi panas. Menurut Firmansyah, dkk (2007), demam
merupakan suatu kondisi dimana suhu tubuh melebihi normal dan merupakan salah satu
bentuk tanggapan tubuh terhadap radang. Racun yang dihasilkan oleh patogen dapat
memicu terjadinya demam. Pendapat lain menyatakan, demam adalah cara tubuh
mempertahankan diri terhadap banyak bakteri dan virus yang suka hidup dalam suhu
normal tubuh manusia, yaitu 36,5°C. Meningkatnya suhu tubuh badan adalah salah satu
cara tubuh bekerja keras memerangi para penyerang ini dengan mengaktifkan sistem
kekebalan tubuh (Nofitasari dan Wahyuningsih, 2019). Hipertermia merupakan kondisi
tubuh yang tidak dapat mengontrol pengeluaran panas satu tingkat diatas demam.
Menurut Nofitasari dan Wahyuningsih (2019), hipertermia merupakan suhu inti tubuh di
atas kisaran normal di urnal karena kegagalan termoregulasi. Hipertermia atau suhu
tubuh yang tinggi dapat diturunkan dengan berbagai cara, seperti mengkompres air
hangat pada area yang memiliki pembuluh darah besar. Hipotermia merupakan
pengeluaran panas akibat paparan terus menerus terhadap dingin. Pada suhu lingkungan
35°C, penderita akan gemetar dan depresi, sedangkan pada suhu lingkungan 34,4°C
frekuensi jantung penderita cepat dan napas menurun. Librianty (2015) memperjelas
bahwa hipotermia merupakan suatu keadaan dimana korban dalam keadaan dingin atau
suhu badan korban menurun karena lingkungan yang dingin. Bila turun 1—2°C, maka
tingkat hipotermia tergolong masih ringan, namun jika turun lebih dari 3°C, maka tingkat
hipotermia tergolong berat. Penderita akan mengalami menggigil ringan sampai berat
tergantung tingkatannya. Selain itu, penderita juga bisa mengalami mati rasa, gerakan
melambat, pernapasan dangkal, nadi lambat, kulit dingin, pucat, dan kering, kulit terasa
dingin seperti marmer, bahkan kesadarannya menurun.
Faktor yang mempengaruhi termoregulasi antara lain, umur, olahraga, hormon,
waktu, stress, dan lingkungan. Umur, maksudnya adalah regulasi suhu tidak stabil sampai
pubertas dan lansia sensitif terhadap suhu ekstrim karena kemunduran mekanisme
kontrol yaitu penurunan aktivitas kelenjar keringat dan metabolisme. Penelitian yang
dilakukan Cahyaningrum dan Putri (2017) mengkategorikan umur responden dalam
rentang 0—6 tahun yang dalam tahap perkembangannya merupakan masa bayi (0—1
tahun), toddler (2—3 tahun) dan masa pra sekolah (3—6 tahun) dimana regulasi suhu
belum stabil sampai anak-anak mencapai pubertas sehingga mudah mengalami demam.
Rentang suhu normal akan turun secara berangsur sampai seseorang mendekati masa
lansia. Asmadi (2008) menambahkan, pada bayi baru lahir, mekanisme pengaturan suhu
tubuhnya belum sempurna. Oleh karenanya, suhu tubuh bayi sangat dipengaruhi oleh
suhu lingkungan dan harus dilindungi dari perubahan-perubahan suhu yang ekstrim.
Olahraga, ketika olahraga produksi panas dan suhu tubuh akan meningkat sehingga
aktivitas otot juga akan meningkat yang menyebabkan peningkatan supply darah dan
akan memecah karbohidrat dan lemak sehingga meningkatkan produksi panas. Hal
tersebut sesuai dengan penyataan Asmadi (2008) yang menyatakan bahwa suhu tubuh
dapat meningkat sebagai hasil dari aktivitas fisik, seperti olahraga. Olahraga dapat
meningkatkan metabolisme sel sehingga produksi panas pun meningkat yang pada
akhirnya akan meningkatkan suhu tubuh. Hormon, saat menstruasi progesteron menurun
menyebabkan suhu tubuh akan menurun, sedangkan saat menopause akan berkeringat
banyak sekitar 30 detik sampai 5 menit. Menurut Ayu, dkk (2015) salah satu faktor yang
mempengaruhi peningkatan suhu tubuh adalah hormon. Wanita mengalami peningkatan
hormon lebih banyak daripada pria, pada wanita terjadi peningkatan suhu antara 0,3—
0,6oC di atas suhu basal saat terjadi sekresi progesteron pada saat ovulasi berlangsung.
Waktu, suhu tubuh paling rendah terjadi pada pukul 00.00—04.00 pagi dini hari,
sedangkan suhu tubuh naik pada 18.00 sore. Lusia (2015) menyatakan bahwa tingkat
suhu terendah dicapai pagi-pagi hari dan titik suhu tertinggi antara pukul 5 dan pukul 7
petang. Stress dan lingkungan juga merupakan faktor yang mempengaruhi termoregulasi.
Keadaan emosi dan perilaku berlebihan dapat mempengaruhi suhu tubuh. Peningkatan
emosi dapat meningkatkan suhu tubuh. Depresi pada orang yang apatis dapat
menurunkan produksi panas, sehingga suhu tubuhnya pun dapat menurun. Lingkungan
juga dapat mempengaruhi suhu tubuh seseorang. Lingkungan yang suhunya panas dapat
menyebabkan peningkatan suhu tubuh (Asmadi, 2008).
Panas berlebihan dapat disebabkan oleh kombinasi dengan suhu luar, kegiatan
fisik, dan keringat yang tidak sesuai. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Pearce
(2009), panas berlebihan biasanya disebabkan kombinasi suhu luar, kegiatan fisik, dan
keringat tak sesuai. Panas dihasilkan oleh aktivitas metabolik di dalam otot tulang dan
hati. Glikogen yang disimpan di dalam hati diubah menjadi glukosa yang dapat digunakan
dan dioksidasikan dengan akibat bahwa panas dihasilkan.
1.3 Uji Galli Mainini
Kebuntingan merupakan keadaan pada saat janin atau fetus sedang berkembang
di uterus hewan betina. Periode kebuntingan merupakan interval waktu dari fertilisasi
sampai terjadinya fetus. Periode kebuntingan terjadi pada fertilisasi perkembangan
membran fetus dan pertumbuhan fetus. Ismudiono, dkk (2010) menyatakan bahwa
periode kebuntingan dimulai dengan pembuahan dan berakhir dengan dilahirkannya anak
yang hidup. Pertumbuhan dan perkembangan individu baru selama kebuntingan
merupakan hasil perbanyakan, pertumbuhan, perubahan susunan serta fungsi sel.
Peristiwa tadi mempengaruhi perubahan-perubahan tertentu, beberapa di antaranya
merupakan ciri dari tahap perkembangannya. Perkembangan anak dalam kandungan
berlangsung secara terus-menerus, namun kebuntingan dinyatakan terdiri dari tiga tahap,
yaitu periode ovum, periode embrio, dan periode fetus. Periode ovum adalah periode
yang dimulai dari fertilisasi sampai implantasi, periode embrio dimulai dari implantasi
sampai saat dimulainya pembentukan alat-alat tubuh bagian dalam. Kemudian
disambung dengan periode fetus yaitu periode yang dimulai dari terbentuknya alat-alat
bagian dalam, bagian ekstrimitas sampai dilahirkan.
Metode pemeriksaan kebuntingan ada lima, yaitu non-return to estrus, palpasi
rektal, ultrasonography (USG), diagnosa imunologik, dan punyakoti. Non-return to estrus
yaitu selama kebuntingan konseptus akan regresi corpus luteum atau CL dan mencegah
hewan kembali estrus atau birahi. Oleh sebab itu, apabila hewan tidak kembali estrus
setelah perkawinan, maka diasumsikan bunting. Kelebihan metode ini adalah murah dan
sederhana, sedangkan kekurangannya ketepatan metode tergantung dari ketepatan
deteksi estrusnya. Menurut Syafruddin, dkk (2012), penilaian non-return to estrus
berpegang pada asumsi bahwa ternak yang tidak kembali minta kawin adalah bunting.
Asumsi tersebut tidak selalu benar. Selain bunting, kambing betina yang tidak dilaporkan
minta kawin lagi kemungkinan mengalami silent estrus, memiliki CL persisten yaitu CL
yang seharusnya menghilang tetapi terus menetap secara abnormal, atau karena
gangguan lain. Kelalaian peternak untuk melaporkan adanya berahi pada ternak betina
menyebabkan tingginya nilai observasi tidak kembali birahi tanpa keberhasilan
inseminasi.
Palpasi rektal yaitu palpasi uterus melalui dinding rektum untuk meraba
pembesaran yang terjadi selama kebuntingan pada ternak besar. Kelebihannya dapat
digunakan pada tahap awal kebuntingan yang hasilnya dapat diketahui, cukup akurat, dan
murah harganya, sedangkan kekurangannya sempitnya rongga pelvis pada kambing,
domba, dan babi, maka palpasi rektal tidak dapat dilakukan dan dibutuhkan pengalaman.
Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Damayanti dan Ismudiono (2014), palpasi rektal
adalah metode diagnosa kebuntingan yang dapat dilakukan pada ternak besar seperti
kuda, kerbau, dan sapi. Prosedurnya adalah palpasi uterus melalui dinding rektum untuk
meraba pembesaran yang terjadi selama kebuntingan, fetus, atau membran fetus. Teknik
yang dapat digunakan pada tahap awal kebuntingan ini adalah akurat dan hasilnya dapat
langsung diketahui.
Ultrasonography atau USG merupakan alat yang cukup modern yang digunakan
untuk mendeteksi lingkungan yang lebih dini, mendeteksi perubahan bentuk dan ukuran
dari kornua uteri atau tanduk uterus dalam rongga abdomen. Kelebihannya dapat
dilakukan pemeriksaan terhadap kebuntingan dini 20—22 hari dan lebih jelas pada usia
30 hari, sedangkan kekurangannya alat sangat mahal, dibutuhkan operator terlatih, dan
resiko traumatik akibat alat yang dimasukkan. USG dapat digunakan untuk mendeteksi
kebuntingan secara dini yakni menggunakan probe yang dapat mendeteksi adanya
perubahan di dalam rongga abdomen yakni bentuk dan ukuran dari comua uteri. Alat ini
dapat juga digunakan untuk mendeteksi adanya gangguan reproduksi, kematian embrio
dini, jenis kelamin pedet maupun abnormalitas pedet, akan tetapi harganya cukup mahal
dan memerlukan operator yang sudah terlatih (Syaiful, 2018).
Diagnosa imunologik yaitu pengukuran level cairan yang diberikan septum uterus
atau ovarium yang memasuki aliran darah induk, urin, dan air susu. Kelebihannya akurat,
sedangkan kekurangannya rumit dan perlu ketelitian. Syaifudin, dkk (2019) menyatakan
bahwa diagnosis kebuntingan dini pada kuda secara imunologis dapat dilakukan dengan
dua cara, yaitu dengan mendeteksi substansi spesifik yang terdapat di dalam darah induk
seperti equine chorionic gonadotropin (ECG), early pregnancy factor (EPF), dan dengan
mendeteksi substansi non spesifik yang ada di dalam darah, urin, atau air susu selama
kebuntingan seperti progesteron dan estrogen.
Punyakoti yaitu metode kebuntingan menggunakan urin, karena dalam urin
terdapat hormon ABA (Abscisic acid atau asam absisat) yang dapat menghambat
pertumbuhan padi, gandum, dan kacang hijau. Hasil positif bunting akan menghasilkan
biji padi, gandum, dan kacang hijau tidak tumbuh karena ternak bunting memiliki hormon
ABA yang tinggi. Kelebihannya unik, murah, dan sederhana, sedangkan kekurangannya
akurasi kurang. Metoda punyakoti adalah sebuah metode pemeriksaan kebuntingan
ternak sapi menggunakan urin yang pernah dilakukan di sebuah veterinary college di
Bangalore India. Teknik ini ternyata meniru dokter di Mesir sekitar 4000 tahun lalu,
dimana disebutkan bahwa seorang perempuan yang akan didiagnosis kehamilannya
diminta untuk kencing di kantung kain yang berisi biji gandum. Perempuan tersebut
didiagnosis hamil apabila biji gandum dalam kantung yang dikencingi tumbuh dalam
waktu 5 hari dan tidak hamil bila biji gandum tidak tumbuh. Metode punyakoti untuk
ternak sapi hasilnya kebalikan dari manusia, jika biji gandum tumbuh dalam 5 hari maka
ternak tersebut dinyatakan tidak bunting dan sebaliknya. Uji ini cukup murah, mudah,
sederhana, tidak invasif dari sudut pandang kesejahteraan hewan dan tidak memerlukan
bahan kimia atau alat yang canggih. Peternak yang ada di daerah terpencil yang akses
terhadap dokter hewan begitu terbatas bisa memanfaatkan uji punyakoti untuk
mendiagnosis kebuntingan ternaknya (Syaiful, 2018).
Diagnosa kebuntingan berdasarkan konsentrasi hormon merupakan metode yang
digunakan dengan pengujian bera cairan tubuh (plasma darah dan air susu). Terdapat dua
metode, yaitu RIA (Radio Immuno Assay) dan ELISA (Enzyme Link Immunosorbent Assay).
Kelebihannya dapat digunakan pada usia kebuntingan lebih dini dan dapat menentukan
kandungan hormon, sedangkan kekurangannya yaitu mahal harganya. Berdasarkan cara
kerjanya, metode RIA dan ELISA mempunyai prinsip kerja yang sama, yakni menggunakan
reaksi antigen-antibodi dan keduanya mempunyai tingkat sensitivitas yang tinggi (Astuti,
2017). Metode RIA dan ELISA tergolong tidak ekonomis, mengingat harga satu kit masih
mahal dan ada masalah waste radioaktif, sehingga teknik ini tidak digunakan secara luas
dan komersial (Lestari, 2011).
II. PENUTUP
2.1 Kesimpulan
1. Termoregulasi merupakan kemampuan untuk menyeimbangkan antara
produksi panas dan hilangnya panas dalam rangka menjaga suhu tubuh,
termoregulasi berpusat di hipotalamus otak.
2. Termoregulasi pada makhluk hidup dibagi menjadi dua, yaitu poikiloterm dan
homoiterm.
3. Hambatan eliminasi panas merupakan proses selama pelepasan atau
penghilangan panas.
4. Macam-macam perpindahan panas yaitu konduksi, konveksi, radiasi, dan
evaporasi.
5. Faktor yang mempengaruhi hilangnya panas yaitu luas permukaan benda yang
saling bersentuhan, perbedaan suhu awal antara dua benda, dan konduktivitas
panas kedua benda tersebut.
6. Kehilangan panas ditentukan oleh luas permukaan yang dikurangi, evaporasi
yang dikurangi, serta memaksimalkan efek penutup.
7. Suhu tubuh normal manusia sekitar 36,5—37,5°C.
8. Penyakit yang dapat menyerang termoregulasi yaitu demam, hipertemia, dan
hipotermia.
9. Faktor yang mempengaruhi termoregulasi antara lain, umur, olahraga,
hormon, waktu, stress, dan lingkungan.
10. Panas berlebihan dapat disebabkan oleh kombinasi dengan suhu luar, kegiatan
fisik, dan keringat yang tidak sesuai.
11. Kebuntingan merupakan keadaan pada saat janin atau fetus sedang
berkembang di uterus hewan betina.
12. Periode kebuntingan merupakan interval waktu dari fertilisasi sampai
terjadinya fetus.
13. Metode pemeriksaan kebuntingan ada lima, yaitu non-return to estrus, palpasi
rektal, ultrasonography (USG), diagnosa imunologik, dan punyakoti.
14. Diagnosa kebuntingan berdasarkan konsentrasi hormon merupakan metode
yang digunakan dengan pengujian bera cairan tubuh (plasma darah dan air
susu). Terdapat dua metode, yaitu RIA (Radio Immuno Assay) dan ELISA
(Enzyme Link Immunosorbent Assay).
DAFTAR PUSTAKA

Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar
Klien. Salemba Medika, Jakarta.
Astuti, P. 2017. Endokrinologi Veteriner. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Ayu, E. I., W. Irwanti, & Mulyanti. 2015. Kompres Air Hangat pada Daerah Aksila dan Dahi
terhadap Penurunan Suhu Tubuh pada Pasien Demam di PKU Muhammadiyah
Kutoarjo. Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia 3(1): 10—14.
Cahyaningrum, E. D. & D. Putri. 2017. Perbedaan Suhu Tubuh Anak Demam Sebelum dan
Setelah Kompres Bawang Merah. MEDISAINS: Jurnal Ilmu-ilmu Kesehatan 15(2):
66—74.
Damayanti, T. & Ismudiono. Ilmu Reproduksi Ternak. Airlangga University Press, Surabaya.
Firmansyah, R., A. Mawardi, & M. U. Nugraha. 2007. Mudah dan Aktif Belajar Biologi 2.
Setia Purna Inves, Bandung.
Gabriel, J. F. 1996. Fisika Kedokteran. EGC, Jakarta.
Graha, A. S. 2010. Adaptasi Suhu Tubuh terhadap Latihan dan Efek Cedera di Cuaca Panas
dan Dingin. JORPRES: Jurnal Olahraga Prestasi 6(2): 123—134.
Ismudiono, P. Srianto, H. Anwar, S. P. Madyawati, A. Samik, & E. Safitri. 2010. Buku Ajar
Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Airlangga University Press, Surabaya.
Isnaeni, W. 2006. Fisiologi Hewan. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Iswanti, E. N., S. Setiawati, & I. I. Masitoh. 2014. Hubungan Berat Badan Lahir dengan
Gangguan Sistem Termoregulasi pada Neonatus di Ruang Perinatologi RSUD Dr.
Hi. Abdul Moeloek Provinsi Lampung 2013. Holistik Jurnal Kesehatan 8(3): 126—
130.
Jumiati, Y. Febriani, & R. G. Hatika. 2016. Pembuatan Alat Praktikum Termoskop Guna
Menjelaskan Radiasi Kalor Berbasis Teknologi Murah dan Sederhana. Jurnal Ilmiah
Mahasiswa FKIP Prodi FISIKA 1(1): 2—10.
Lestari, T. D. 2011. Pengujian Anti Protein Produksi Blastosis (Anti-PAG) melalui Metode
Dot Blot (Evaluatin of Anti PAG from Blastosis through Dot Blot Method). Jurnal
Ilmu Ternak Universitas Padjadjaran 11(1): 39—43.
Librianty, N. 2015. Panduan Mandiri Melacak Penyakit. Lintas Kata, Jakarta.
Lusia. 2015. Mengenal Demam dan Perawatannya pada Anak. Airlangga University Press,
Surabaya.
Manurung, N., R. Manurung, & C. M. T. Bolon. 2017. Asuhan Keperawatan Sistem
Endokrin Dilengkapi Mind Mapping dan Asuhan Keperawatan Nanda Nic Noc.
Penerbit Deepublisher, Yogyakarta.
Merta, I. W., A. R. Syachruddin, I. Bachtiar, & Kusmiyati. 2016. Perbandingan antara
Frekuensi Denyut Jantung Katak (Rana sp.) dengan Frekuensi Denyut Jantung
Mencit (Mus musculus) Berdasarkan Ruang Jantung. Biota: Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu
Hayati 1(3): 126—131.
Nofitasari, F. & W. Wahyuningsih. 2019. Penerapan Kompres Hangat untuk Menurunkan
Hipertermia pada Anak dengan Demam Typoid. Jurnal Manajemen Asuhan
Keperawatan 3(2): 44—50.
Pearce, E. C. 2009. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. PT Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Riski, A. 2018. Segala Sesuatu tentang Makhluk Hidup. Elex Media Komputindo, Jakarta.
Rousdy, D. W. & R. Linda. 2018. Hematologi Perbandingan Hewan Vertebrata: Lele
(Clarias batracus), Katak (Rana Sp.), Kadal (Eutropis multifasciata), Merpati
(Columba livia) dan Mencit (Mus musculus). BIOMA: Jurnal Ilmiah Biologi 7(1): 1—
13.
Saputro, M. A., E. R. Widasari, & H. Fitriyah. 2017. Implementasi Sistem Monitoring Detak
Jantung dan Suhu Tubuh Manusia secara Wireless. Jurnal Pengembangan
Teknologi Informasi dan Ilmu Komputer 1(2): 148—156.
Sebtalesy, C. Y. & I. Mathar. 2019. Menopause: Kesehatan Reproduksi Wanita Lanjut Usia.
Uwais Inspirasi Indonesia, Sidoarjo.
Sembiring, J. B. 2019. Asuhan Neonatus, Bayi, Balita, Anak Pra Sekolah. Penerbit
Deepublisher, Yogyakarta.
Supu, I., B. Usman, S. Basri, & Sunarmi. 2016. Pengaruh Suhu terhadap Perpindahan
Panas pada Material yang Berbeda. Dinamika 7(1): 62—73.
Syafruddin, Rusli, Hamdan, Roslizawaty, S. Rianto, & S. Hudaya. 2012. Akurasi Metode
Observasi Tidak Kembali Berahi (Non-Return to Estrus) dan Ultrasonography (USG)
untuk Diagnosis Kebuntingan Kambing Peranakan Ettawah. Jurnal Kedokteran
Hewan 6(2): 87—91.
Syaiful, F. L. 2018. Diseminasi Teknologi Deteksi Kebuntingan Dini “DEEA Gestdect”
terhadap Sapi Potong di Kinali Kabupaten Pasaman Barat. Jurnal Hilirisasi IPTEKS
1(3): 18—26.
Syaiful, F. L., Lendrawati, & T. Afriani. 2017. Akurasi Deteksi Kebuntingan Dini Sapi Pesisir
pada Berbagai Biji-biji Tanaman terhadap Metode Uji Punyakoti. UNES Journal of
Scientech Research 2(2): 121—126.

Anda mungkin juga menyukai