Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

Anatomi Fisiologi Manusia


Mengidentifikasi Proses Defekasi
Dosen pengampu: Lidia Lushinta, M.Keb

Disusun Oleh Kelompok 2 :

1. Ade Putri Rahayu P07224221001


2. Alqoraima Adelina Akino P07224221002
3. Bela Fitria P07224221005
4. Dina Setiawan P07224221012
5. Devinkhan Saharra P07224221009
6. Eulalia Lestari Tamba P07224221014
7. Khoiria Oktaviani P07224221023
8. Merisa Dwi Hijriah P072242210
9. Nurafifa Agus P07224221028
10. Nuril Aina Zeira Putri P07224221029
11. Rahmi Nuri Suroyya P07224221030
12. Zunnurain Aulia Fatimah P07224221037

PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEBIDANAN SAMARINDA

JURUSAN KEBIDANAN

POLTEKKES KEMEKES KALIMANTAN

TIMUR TAHUN AJARAN 2021/2021


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Mengidentifikasi Proses
Defekasi” ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Ibu Lidia
Lushinta, M.Keb. pada mata kuliah Anatomi Fisiologi Manusia. Selain itu, makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan bagi para pembaca dan juga para penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Lidia Lushinta, M.Keb. yang telah
memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan
bidang studi yang kami tekuni.

Kami menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih jauh dari kata
kesempurnaan, baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, kami telah berupaya
dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati, kami menerima saran dan masukan
yang membangun agar kami bisa menjadi lebih baik lagi ke depannya.

Samarinda, 20 September 2021

Kelompok 2

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................................2
BAB I..........................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN..................................................................................................................................4
A. Latar Belakang..............................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah.........................................................................................................................4
C. Tujuan Penulisan...........................................................................................................................4
BAB II........................................................................................................................................................5
PEMBAHASAN.....................................................................................................................................5
A. Defekasi..........................................................................................................................................5
B. Mekanisme Defekasi......................................................................................................................6
C. Fisiologi dan Anatomi Kolon........................................................................................................8
D. Absorpsi dalam Usus Besar...........................................................................................................9
E. Kemampuan Absorpsi Maksimal Usus Besar............................................................................10
F. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Defekasi.........................................................................10
G. Konstipasi......................................................................................................................................12
BAB III.....................................................................................................................................................15
PENUTUP............................................................................................................................................15
A. Kesimpulan..................................................................................................................................15
B. Saran.............................................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................15

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Eleminasi merupakan kebutuhan dasar manusia seperti defekasi atau Buang air besar. defekasi
adalah suatu tindakan atau proses makhluk hidup untuk membuang kotoran atau tinja yang padat
atau setengah-padat yang berasal dari sistem pencernaan mahkluk hidup. Buang air besar dapat
terjadi secara sadar dan tak sadar. Manusia dapat melakukan buang air besar beberapa kali dalam
satu hari atau satu kali dalam beberapa hari. Tetapi bahkan dapat mengalami gangguan yaitu
hingga hanya beberapa kali saja dalam satu minggu atau dapat berkali-kalidalam satu hari,
biasanya gangguan-gangguan tersebut diakibatkan oleh gaya hidup yang tidak benar dan jika
dibiarkan dapat menjadi masalah yang lebih berar. Kehilangan kontrol dapat terjadi karena fisik
(seperti cedera pada otot sphinkter anus), radang, penyerapan air pada usus besar yang kurang
(menyebabkan diare, kematian, faktor faal dan saraf) 
 
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan ulasan latar belakang diatas, maka dapat disusunlah rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan defekasi ?
2. Apa saja faktor – faktor yang mempengaruhi defekasi ?
3. Bagaimana fisiologi defekasi ?
 
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah maka adapun tujuan penulisan makalah ini adalah :
1. Agar dapat memahami arti defekasi
2. Agar dapat mengetahui faktor -faktor yang mempengaruhi defekasi
3. Agar kita dapat mengetahui fisiologi dan proses defekasi

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Defekasi
Defekasi adalah proses pembuangan atau pengeluaran sisametabolisme berupa feses dan flatus
yang berasal dari saluran pencernaanmelalui anus. Terdapat dua pusat yang menguasai refleks
untuk defekasi, yaituterletak di medula dan sumsum tulang belakang. Apabila terjadi
rangsanganparasimpatis, sfingter anus bagian dalam akan mengendur dan usus besarmenguncup.
Refleks defekasi dirangsang untuk buang air besar kemudian sfingter anus bagian luar diawasi
oleh sistem saraf parasimpatis, setiap waktu menguncup atau mengendur. Selama defekasi,
berbagai otot lain membantu proses tersebut, seperti otot-otot dinding perut, diafragma, dan otot-
otot dasar pelvis (Hidayat, 2008). Defekasi bergantung pada gerakan kolon dan dilatasi sfingter
ani. Kedua faktor tersebut dikontrol oleh sistem saraf parasimpatis. Gerakan kolon meliputi tiga
gerakan yaitu gerakan mencampur, gerakan peristaltik, dan gerakan massa kolon. Gerakan massa
kolon ini dengan cepat mendorong feses makanan yang tidak dicerna (feses) dari kolon ke
rektum (Asmadi,2008).

1. Buang Air Besar


Buang air besar atau defekasi adalah suatu tindakan atau proses makhluk hidup untuk
membuang kotoran atau tinja yang padat atau setengah-padat yang berasal dari sistem
pencernaan.

2. Fisiologi Buang Air Besar


Rektum biasanya kosong sampai menjelang defekasi. Seorang yang mempunyai kebiasaan
teratur akan merasa kebutuhan membung air besar kira-kira pada waktu yang sama setiap hari.
Hal ini disebabkan oleh refleks gastro-kolika yang biasanya bekerja sesudah makan pagi. Setelah
makanan ini mencapai lambung dan setelah pencernaan dimulai maka peristaltik di dalam usus
terangsang, merambat ke kolon, dan sisa makanan dari hari kemarinnya, yang waktu malam
mencapai sekum mulai bergerak. Isi kolon pelvis masuk ke dalam rektum, serentak peristaltik
keras terjadi di dalam kolon dan terjadi perasaan di daerah perineum. Tekanan intra-abdominal

5
bertambah dengan penutupan glottis dan kontraksi diafragma dan otot abdominal, sfinkter anus
mengendor dan kerjanya berakhir (Pearce, 2002).

3. Proses Buang Air Besar


Jenis gelombang peristaltik yang terlihat dalam usus halus jarang timbul pada sebagian
kolon, sebaliknya hampir semua dorongan ditimbulkan oleh pergerakan lambat kearah anus oleh
kontraksi haustrae dan gerakan massa. Dorongan di dalam sekum dan kolon asenden dihasilkan
oleh kontraksi haustrae yang lambat tetapi berlangsung persisten yang membutuhkan waktu 8
sampai 15 jam untuk menggerakkan kimus hanya dari katup ileosekal ke kolon transversum,
sementara kimusnya sendiri menjadi berkualitas feses dan menjadi lumpur setengah padat bukan
setengah cair.
Pergerakan massa adalah jenis pristaltik yang termodifikasi yang ditandai timbulnya sebuah
cincin konstriksi pada titik yang teregang di kolon transversum, kemudian dengan cepat kolon
distal sepanjang 20 cm atau lebih hingga ke tempat konstriksi tadi akan kehilangan haustrasinya
dan berkontraksi sebagai satu unit, mendorong materi feses dalam segmen itu untuk menuruni
kolon.
Kontraksi secara progresif menimbulkan tekanan yang lebih besar selama kira-kira 30 detik,
kemudian terjadi relaksasi selama 2 sampai 3 menit berikutnya sebelum terjadi pergerakan massa
yang lain dan berjalan lebih jauh sepanjang kolon. Seluruh rangkaian pergerakan massa biasanya
menetap hanya selama 10 sampai 30 menit, dan mungkin timbul kembali setengah hari lagi atau
bahkan satu hari berikutnya. Bila pergerakan sudah mendorong massa feses ke dalam rektum,
akan timbul keinginan untuk defekasi (Guyton, 1997).

Gambar proses B A B

6
B. Mekanisme Defekasi
Usus besar terdiri dari kolon, sekum, apendiks, dan rektum. Dalam keadaan normal, setiap
harinya, kolon menerima sekitar 500 mL kimus dari usus halus melalui katup ileosekal dengan
waktu yang dibutuhkan 8-15 jam. Oleh karena sebagian besar pencernaan dan penyerapan
berlangsung di usus halus, maka kolon hanya menerima residu makanan yang tidak dapat dicerna
seperti selulosa. Selulosa dan bahan lain yang tak dapat dicerna akan keluar sebagai feses.
Gerakan kontraksi pada kolon disebut kontraksi haustra yang lama interval antara dua
kontraksi adalah 30 menit, sedangkan usus halus berkontraksi 9-12 kali dalam semenit.
Kontraksi haustra berupa gerakan maju-mundur yang menyebabkan isi kolon terpajan ke mukosa
absorptif yang melibatkan pleksus intrinsik. Kontraksi lambat ini pula yang menyebabkan
bakteri dapat tumbuh subur di usus besar.
Peningkatan nyata motilitas berupa kontraksi simultan usus besar terjadi tiga sampai empat
kali sehari. Kontraksi ini disebut gerakan massa yang mampu mendorong feses sejauh sepetiga
sampai tiga perempat dari panjang kolon hingga mencapai bagian distal usus besar, tempat
penyimpanan feses. Refleks gastrokolon, yang diperantarai oleh gastrin dari lambung ke kolon
dan oleh saraf otonom ekstrinsik, terjadi ketika makanan masuk ke lambung dan akan memicu
refleks defekasi. Oleh karena itu, sebagian besar orang akan merasakan keinginan untuk buang
air besar setelah makan pagi. Hal ini karena refleks tersebut mendorong isi kolon untuk masuk
ke rectum sehingga tersedia tempat di dalam usus untuk makanan yang baru dikonsumsi.
Selanjutnya, isi usus halus akan didorong ke usus besar melalui refleks gastroileum.
Gerakan massa mendorong isi kolon ke dalam rektum sehingga rektum meregang.
Peregangan ini menimbulkan refleks defekasi yang disebabkan oleh aktivasi refleks intrinsik.
Refleks intrinsik, lebih tepatnya pleksus mienterikus, menimbulkan gerakan peristaltik sepanjang
kolon desendens, sigmoid, dan rectum yang memaksa feses memasuki anus dan membuat
sfingter anus berelaksasi. Namun, defekasi dapat dicegah jika sfingter anus eksternus yang
berupa otot rangka tetap berkontraksi yang dikontrol secara sadar. Dinding rektum yang semula
meregang akan perlahan-lahan melemas dan keinginan untuk buang air besar mereda hingga
akhirnya datang gerakan massa berikutnya.
Gerakan peristaltis yang dipicu oleh refleks intrinsik bersifat lemah. Oleh karena itu,
terdapat refleks parasimpatik untuk memperkuatnya. Sinyal dari rektum dilanjutkan terlebih
dahulu ke korda spinalis lalu dikirim balik ke kolon, sigmoid, dan rektum melalui nervus pelvis

7
sehingga gerakan peristaltis bersifat lebih kuat. Sinyal defekasi yang memasuki korda spinalis
menimbulkan efek lain seperti tarikan nafas yang dalam, penutupan glotis, dan kontraksi
abdomen yang mendorong feses keluar.

Pengubahan Sisa Makanan Menjadi Feses


Di dalam usus besar, tidak terjadi proses pencernaan karena ketiadaan enzim pencernaan dan
penyerapan yang terjadi lebih rendah daripada usus halus akibat luas permukaan yang lebih
sempit. Dalam keadaan normal, kolon menyerap sebagian garam (NaCl) dan H2O. Natrium
adalah zat yang paling aktif diserap, Cl- secara pasif menuruni gradient listrik, dan H2O
berpindah melalui osmosis. Melalui penyerapan keduanya maka terbentuk feses yang padat.
Sekitar 500 ml bahan masuk ke kolon, 350 ml diserap dan 150 g feses dikeluarkan. Feses ini
terdiri dari 100 g H2O dan 50 g bahan padat seperti selulosa, bilirubin, bakteri, dan sejumlah
kecil garam. Dengan demikian, produk sisa utama yang dieksresikan melalui feses adalah
bilirubin, serta makanan yang pada dasarnya tidak dapat diserap oleh tubuh.

C. Fisiologi dan Anatomi Kolon


Fungsi utama kolon adalah (1) absorbsi air dan elektrolit dari kimus untuk membentuk feses
yang padat dan (2) penimbunan bahan feses sampai dapat dikeluarkan. Setengah bagian
proksimal kolon berhubungan dengan absorbsi dan setengah distal kolon berhubungan dengan
penyimpanan. Karena sebagai 2 fungsi tersebut gerakan kolon sangat lambat. Tapi gerakannya
masih seperti usus halus yang dibagi menjadi gerakan mencampur dan mendorong.

1. Gerakan Mencampur “Haustrasi”


Gerakan segmentasi dengan konstriksi sirkular yang besar pada kolon, ± 2.5 cm otot sirkular
akan berkontraksi, kadang menyempitkan lumen hampir tersumbat. Saat yang sama, otot
longitudinal kolon (taenia koli) akan berkontraksi. Kontraksi gabungan tadi menyebabkan bagian
usus yang tidak terangsang menonjol keluar (haustrasi). Setiap haustrasi mencapai intensitas
puncak dalam waktu ±30 detik, kemudian menghilang 60 detik berikutnya, kadang juga lambat
terutama sekum dan kolon asendens sehingga sedikit isi hasil dari dorongan ke depan. Oleh
karena itu bahan feses dalam usus besar secara lambat diaduk dan dicampur sehingga bahan
feses secara bertahap bersentuhan dengan permukaan mukosa usus besar, dan cairan serta zat
terlarut secara progresif diabsorbsi hingga terdapat 80-200 ml feses yang dikeluarkan tiap hari.

8
2. Gerakan Mendorong “Pergerakan Massa”.
Banyak dorongan dalam sekum dan kolon asendens dari kontraksi haustra yang lambat tapi
persisten, kimus saat itu sudah dalam keadaan lumpur setengah padat. Dari sekum sampai
sigmoid, pergerakan massa mengambil alih peran pendorongan untuk beberapa menit menjadi
satu waktu, kebanyakan 1-3 x/hari gerakan.
Selain itu, kolon mempunyai kripta lieberkuhn tapi tidak ber-vili. menghasilkan mucus (sel
epitelnya jarang mengandung enzim). Mucus mengandung ion bikarbonat yang diatur oleh
rangsangan taktil , langsung dari sel epitel dan oleh refleks saraf setempat terhadap sel mucus
Krista lieberkuhn. Rangsangan n. pelvikus dari medulla spinalis yang membawa persarafan
parasimpatis ke separuh sampai dua pertiga bagian distal kolon. Mucus juga berperan dalam
melindungi dinding kolon terhadap ekskoriasi, tapi selain itu menyediakan media yang lengket
untuk saling melekatkan bahan feses. Lebih lanjut, mucus melindungi dinding usus dari aktivitas
bakteri yang berlangsung dalam feses, ion bikarbonat yang disekresi ditukar dengan ion klorida
sehingga menyediakan ion bikarbonat alkalis yang menetralkan asam dalam feses. Mengenai
ekskresi cairan, sedikit cairan yang dikeluarkan melalui feses (100 ml/hari). Jumlah ini dapat
meningkat sampai beberapa liter sehari pada pasien diare berat

D. Absorpsi dalam Usus Besar


Sekitar 1500 ml kimus secara normal melewati katup ileosekal, sebagian besar air dan elektrolit
di dalam kimus diabsorbsi di dalam kolon dan sekitar 100 ml diekskresikan bersama feses.
Sebagian besar absorpsi di pertengahan kolon proksimal (kolon pengabsorpsi), sedang bagian
distal sebagai tempat penyimpanan feses sampai akhirnya dikeluarkan pada waktu yang tepat
(kolon penyimpanan)

1. Absorbsi dan Sekresi Elektrolit dan Air


Mukosa usus besar mirip seperti usus halus, mempunyai kemampuan absorpsi aktif natrium
yang tinggi dan klorida juga ikut terabsorpsi. Ditambah taut epitel di usus besar lebih erat
dibanding usus halus sehingga mencegah difusi kembali ion tersebut, apalagi ketika aldosteron
teraktivasi. Absorbsi ion natrium dan ion klorida menciptakan gradien osmotic di sepanjang
mukosa usus besar yang kemudian menyebabkan absorbsi air

9
Dalam waktu bersamaan usus besar juga menyekresikan ion bikarbonat (seperti penjelasan
diatas) membantu menetralisir produk akhir asam dari kerja bakteri didalam usus besar

E. Kemampuan Absorpsi Maksimal Usus Besar


Usus besar dapat mengabsorbsi maksimal 5-8 L cairan dan elektrolit tiap hari sehingga bila
jumlah cairan masuk ke katup ileosekal melebihi atau melalui sekresi usus besar melebihi jumlah
ini akan terjadi diare.

1. Kerja Bakteri dalam kolon.


Banyak bakteri, khususnya basil kolon, bahkan terdapat secara normal pada kolon pengabsorpsi.
Bakteri ini mampu mencerna selulosa (berguna sebagai tambahan nutrisi), vitamin (K, B₁₂,
tiamin, riboflavin, dan bermacam gas yang menyebabkan flatus di dalam kolon, khususnya CO₂,
H₂, CH₄)

2. Komposisi feses.
Normalnya terdiri dari ³⁄₄ air dan ¹⁄₄ padatan (30% bakteri, 10-20% lemak, 10-20% anorganik, 2-
3% protein, 30% serat makan yang tak tercerna dan unsur kering dari pencernaan (pigmen
empedu, sel epitel terlepas). Warna coklat dari feses disebabkan oleh sterkobilin dan urobilin
yang berasal dari bilirubin yang merupakan hasil kerja bakteri. Apabila empedu tidak dapat
masuk usus, warna tinja menjadi putih (tinja akolik). Asam organic yang terbantuk dari
karbohidrat oleh bakteri merupakan penyebab tinja menjadi asam (pH 5.0-7.0). Bau feses
disebabkan produk kerja bakteri (indol, merkaptan, skatol, hydrogen sulfide). Komposisi tinja
relatif tidak terpengaruh oleh variasi dalam makanan karena sebagian besar fraksi massa feses
bukan berasal dari makanan. Hal ini merupakan penyebab mengapa selama kelaparan jangka
panjang tetap dikeluarkan feses dalam jumlah bermakna.

F. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Defekasi


1. Umur
Umur tidak hanya mempengaruhi karakteristik feses, tapi juga pengontrolannya. Anak-anak
tidak mampu mengontrol eliminasinya sampai sistem neuromuskular berkembang, biasanya
antara umur 2 – 3 tahun. Orang dewasa juga mengalami perubahan pengalaman yang dapat
mempengaruhi proses pengosongan lambung. Di antaranya adalah atony (berkurangnya tonus

10
otot yang normal) dari otot-otot polos colon yang dapat berakibat pada melambatnya peristaltik
dan mengerasnya (mengering) feses, dan menurunnya tonus dari otot-otot perut yagn juga
menurunkan tekanan selama proses pengosongan lambung. Beberapa orang dewasa juga
mengalami penurunan kontrol terhadap muskulus spinkter ani yang dapat berdampak pada
proses defekasi.

2. Diet
Makanan adalah faktor utama yang mempengaruhi eliminasi feses. Cukupnya selulosa, serat
pada makanan, penting untuk memperbesar volume feses. Makanan tertentu pada beberapa orang
sulit atau tidak bisa dicerna. Ketidakmampuan ini berdampak pada gangguan pencernaan, di
beberapa bagian jalur dari pengairan feses. Makan yang teratur mempengaruhi defekasi. Makan
yang tidak teratur dapat mengganggu keteraturan pola defekasi. Individu yang makan pada
waktu yang sama setiap hari mempunyai suatu keteraturan waktu, respon fisiologi pada
pemasukan makanan dan keteraturan pola aktivitas peristaltik di colon.

3. Cairan
Pemasukan cairan juga mempengaruhi eliminasi feses. Ketika pemasukan cairan yang adekuat
ataupun pengeluaran (cth: urine, muntah) yang berlebihan untuk beberapa alasan, tubuh
melanjutkan untuk mereabsorbsi air dari chyme ketika ia lewat di sepanjang colon. Dampaknya
chyme menjadi lebih kering dari normal, menghasilkan feses yang keras. Ditambah lagi
berkurangnya pemasukan cairan memperlambat perjalanan chyme di sepanjang intestinal,
sehingga meningkatkan reabsorbsi cairan dari chyme.

4. Tonu Otot
Tonus perut, otot pelvik dan diafragma yang baik penting untuk defekasi. Aktivitasnya juga
merangsang peristaltik yang memfasilitasi pergerakan chyme sepanjang colon. Otot-otot yang
lemah sering tidak efektif pada peningkatan tekanan intraabdominal selama proses defekasi atau
pada pengontrolan defekasi. Otot-otot yang lemah merupakan akibat dari berkurangnya latihan
(exercise), imobilitas atau gangguan fungsi syaraf.

5. Faktor Psikologi

11
Dapat dilihat bahwa stres dapat mempengaruhi defekasi. Penyakit-penyakit tertentu termasuk
diare kronik, seperti ulcus pada collitis, bisa jadi mempunyai komponen psikologi. Diketahui
juga bahwa beberapa orang yang cemas atau marah dapat meningkatkan aktivitas peristaltik dan
frekuensi diare. Ditambah lagi orang yang depresi bisa memperlambat motilitas intestinal, yang
berdampak pada konstipasi.

6. Gaya Hidup
Gaya hidup mempengaruhi eliminasi feses pada beberapa cara. Pelathan buang air besar pada
waktu dini dapat memupuk kebiasaan defekasi pada waktu yang teratur, seperti setiap hari
setelah sarapan, atau bisa juga digunakan pada pola defekasi yang ireguler. Ketersediaan dari
fasilitas toilet, kegelisahan tentang bau, dan kebutuhan akan privacy juga mempengaruhi pola
eliminasi feses. Klien yang berbagi satu ruangan dengan orang lain pada suatu rumah sakit
mungkin tidak ingin menggunakan bedpan karena privacy dan kegelisahan akan baunya.

7. Obat - Obatan
Beberapa obat memiliki efek samping yang dapat berpengeruh terhadap eliminasi yang normal.
Beberapa menyebabkan diare; yang lain seperti dosis yang besar dari tranquilizer tertentu dan
diikuti dengan prosedur pemberian morphin dan codein, menyebabkan konstipasi. Beberapa obat
secara langsung mempengaruhi eliminasi. Laxative adalah
obat yang merangsang aktivitas usus dan memudahkan eliminasi feses. Obat-obatan ini
dicyclomine hydrochloride (Bentyl), menekan aktivitas peristaltik dan kadang-kadang digunakan
untuk mengobati diare.

8. Prosedur Diagnostik
Prosedur diagnostik tertentu, seperti sigmoidoscopy, membutuhkan agar tidak ada makanan dan
cairan setelah tengah malam sebagai persiapan pada

G. Konstipasi
1. Pengertian konstipasi

12
a. Konstipasi adalah suatu penurunan defekasi yang normal pada seseorang, disertai dengan
kesulitan keluarnya feses yang tidak lengkap atau keluarnya feses yang sangat keras dan
kering (Wilkinson, 2006).
b. Konstipasi adalah defekasi dengan frekuensi yang sedikit, tinja tidak cukup jumlahnya,
berbentuk keras dan kering (Oenzil, 1995).
c. Konstipasi adalah kesulitan atau kelambatan pasase feses yang menyangkut konsistensi tinja
dan frekuensi berhajat. Konstipasi dikatakan akut jika lamanya 1 sampai 4 minggu,
sedangkan dikatakan kronik jika lamanya lebih dari 1 bulan (Mansjoer, 2000).

2. Penyebab konstipasi
a. Kurang gerak.
b. Kurang minum.
c. Kurang serat.
d. Sering menunda buang air besar.
e. Kebiasaan menggunakan obat pencahar.
f. Efek samping obat-obatan tertentu (antasid dan opiat) sampai adanya gangguan seperti usus
terbelit.

3. Patofisiologi konstipasi
a. Defekasi menjadi sulit manakala frekuensi pergerakan usus berkurang, yang akhirnya akan
memperpanjang masa transit tinja. Semakin lama tinja tertahan dalam usus, maka
konsistensinya akan semakin keras, dan akhirnya membatu sehingga susah dikeluarkan
(Arisman, 2004).
b. Rasa takut akan nyeri sewaktu berdefekasi juga dapat menjadi stimulus psikologis bagi
seseorang untuk menahan buang air besar dan dapat menyebabkan konstipasi. Rangsangan
simpatis atau saluran gastrointestinal menurunkan motilitas dan dapat memperlambat
defekasi. Aktivitas simpatis meningkat pada individu yang mengalami stress lama. Obat-
obatan tertentu misalnya antasid dan opiat juga dapat menyebabkan konstipasi (Corwin,
2000).

4. Cara mengurangi resiko konstipasi

13
a. Menyarankan untuk mengkonsumsi makanan berserat tinggi setiap hari,
b. seperti sayuran dan buah-buahan.
c. Menganjurkan untuk minum paling sedikit delapan gelas cairan (air, jus, teh, kopi) setiap hari
untuk melembutkan feses.
d. Menganjurkan untuk tidak menggunakan laksatif secara rutin, karena bisa menyebabkan
ketergantungan (Moore, 1997).

5. Pemeriksaan
a. Pemeriksaan dimulai pada rongga mulut meliputi gigi geligi, adanya luka pada selaput lendir
mulut dan tumor yang dapat mengganggu rasa pengecap dan proses menelan.
b. Daerah perut diperiksa apakah ada pembesaran perut, peregangan atau tonjolan. Perabaan
permukaan perut untuk menilai kekuatan otot perut. Perabaan lebih dalam dapat mengetahui
massa tinja di usus besar, adanya tumor atau pelebaran nadi.
c. Pada pemeriksaan ketuk dicari pengumpulan gas berlebih, pembesaran organ, cairan dalam
rongga perut atau adanya massa tinja. Pemeriksaan dengan stetoskop digunakan untuk
mendengarkan suara gerakan usus besar serta mengetahui adanya sumbatan usus.
d. Pemeriksaan dubur untuk mengetahui adanya wasir, hernia, fissure (retakan) atau fistula
(hubungan abnormal pada saluran cerna), juga kemungkinan tumor di dubur yang bisa
mengganggu proses buang air besar. Colok dubur memberi informasi tentang tegangan otot,
dubur, adanya timbunan tinja, atau adanya darah.
e. Pemeriksaan laboratorium dikaitkan dengan upaya mendeteksi faktor resiko konstipasi
seperti gula darah, kadar hormon tiroid, elektrolit, anemia akibat keluarnya darah dari dubur.
Anoskopi dianjurkan untuk menemukan hubungan abnormal pada saluran cerna, tukak,
wasir, dan tumor.
f. Foto polos perut harus dikerjakan pada penderita konstipasi untuk mendeteksi adanya
pemadatan tinja atau tinja keras yang menyumbat bahkan melubangi usus. Jika ada
penurunan berat badan, anemia, keluarnya darah dari dubur atau riwayat keluarga dengan
kanker usus besar perlu dilakukan koloskopi (Nri, 2004).

6. Terapi

14
a. Terapi diberikan sesuai penyebabnya dan pada lansia pengobatannya harus hati-hati. Untuk
pengobatan biasanya dimulai fase 1 yaitu perubahan kebiasaan hidup meliputi latihan buang
air besar secara teratur, dikombinasi olahraga, dan diet banyak cairan minimum 1500 cc/hari
air/jus buah, makanan berserat sehari 20-30 gram.
b. Jika belum membaik, maka terapi memasuki fase 2, yaitu penggunaan obat-obatan laksatif
atau supositoria dan enema serta terapi lainnya.
c. Jika fase 2 tidak efektif, maka perlu pemeriksaan radiologis, bahkan pada konstipasi tertentu
perlu dilakukan tindakan operasi (Arief, 2008).

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Buang air besar atau defekasi adalah suatu tindakan atau proses makhluk hidup untuk membuang
kotoran atau tinja yang padat atau setengah-padat yang berasal dari sistem pencernaan. Usus
besar terdiri dari kolon, sekum, apendiks, dan rektum. Dalam keadaan normal, setiap harinya,
kolon menerima sekitar 500 mL kimus dari usus halus melalui katup ileosekal dengan waktu
yang dibutuhkan 8-15 jam. Sebagian besar pencernaan dan penyerapan berlangsung di usus
halus, maka kolon hanya menerima residu makanan yang tidak dapat dicerna seperti selulosa.
Selulosa dan bahan lain yang tak dapat dicerna akan keluar sebagai feses.

B. Saran
Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki sangat
kurang. Oleh kerena itu kami harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-
masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca umumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Dila Arnela. 2019. KTI Dila Arnela. KTI Dila Arnela.pdf (akperykyjogja.ac.id) diakses pasa tanggal
21 september 2021.

15
Eliana cici. Proses Defekasi. Makalah Proses Defekasi | PDF (scribd.com) diakses pasa tanggal 21
september 2021.
Cholina Trisa Siregar. 2004. Kebutuhan Dasar Manusia Eliminasi B.A.B.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/3597/keperawatancholina.pdf?
sequence=1&isAllowed=y diakses pasa tanggal 21 september 2021.

16

Anda mungkin juga menyukai