PRAKTIKUM I
HEPATITIS
OLEH :
KELOMPOK 5 – A3D
Feliana Gita 18021137
Ayu Felia Firmayanthi 18021138
Cici Kurnia Youshanti 18021139
I Gede Yuda Sanjaya 18021140
I Wayan Pajar Pangestu 18021141
PENYAKIT HEPATITIS
I. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mampu memahami definisi hepatitis
2. Mengetahui etiologi dan patofisiologi hepatitis
3. Mengetahui tataksana hepatitis (farmakologi dan non farmakologi)
4. Dapat menyelesaikann kasus terkait penyakit hepatitis kompleks secara
mendiri dengan menggunakan metode SOAP
IV. KASUS
V. SOAP
Nama Pasien : Tuan SNA
Usia : 45 tahun
Tanggal MRS : 23 September
Tanggal KRS :-
Alergi :-
Riwayat Penyakit :-
Riwayat Pengobatan :
Obat Dosis
Pegasys 180 mg (3xseminggu)
Ribavirin 200 mg (1xsehari)
Furosemide drip 160 mg (1xsehari)
5.2 Subjektif
No 23 Sept (3 hari kemudian) 26 Sept
.
1. Pasien Tn. SNA (45 th) dengan Perut pasien semakin membesar
keluhan: setelah menerima Pegasys 180 mg
- Flu like symptom (mual, (3xseminggu) dan Ribavirin 200 mg
demam, muntah, badan terasa (1x1)
berat)
- Mata sedikit kuning
- Urin berwarna merah gelap
- BB meningkat dalam 3-5 hari
terakhir
5.3 Objektif
No 23 Sept (3 hari kemudian) 26 Sept
.
1. - SGOT 324 iu/ml (Normal: 0- - Serum kreatinin 2,3 mg/dl
35 U/L) → Tinggi (9x nilai (normal: 0,6-1,2 mg/dl) → tinggi
normal)
- SGOT 234 iu/ml (Normal: 0-35
- SGPT 383 IU/ml (Normal: 0- U/L) → Tinggi (6x nilai normal)
37 U/L) → Tinggi (10x nilai - SGPT 313 IU/ml (Normal: 0-37
5.4 Asessment
PM Obat DRP Evidence Based Medicine
Hepatitis B Pasien dalam kasus ini pernah mengalami
Kronik Hepatitis B, namun tidak diketahui obat
yang digunakan dan hasil pemeriksaan
serologi virus hepatitis beberapa tahun
yang lalu. Pada pemeriksan tanggal 26/9,
diketahui HBeAg (+). Dalam patofisiologi
VHB, termasuk dalam fase kedua yaitu
imun reaktif, dimana HBeAg diketahui
positif dan termasuk Highly infectious.
HBeAg timbul bersama atau segera
setelah timbulnya HBsAg dan akan
menetap lebih lama dibandingkan HBsAg,
biasanya lebih dari 10 minggu. Diagnosa
pasien dari dokter adalah hepatitis, dan
berdasarkan hasil laboratorium nilai
HBeAg (+), SGOT/SGPT meningkat lebih
dari 4x nilai normal, pasien diperkirakan
mengalami Hepatitis B kronis.
Mata pasien berwarna sedikit kuning dan
urin berwarna merah gelap, gejala ini
merupakan fase ikterik pada pasien.
Pegasys 180 P5.1. Penggunaan Interferon alfa-2a (Pegasys) diberikan
mg obat atau aturan dosis selama 48 minggu dan harus
(3xseminggu) tidak tepat dipertimbangkan pada individu dengan
I3.4 Mengubah aturan prediktor respons pengobatan yang
pakai obat menguntungkan dan yang mungkin
mendapat manfaat dari durasi pengobatan
yang ditentukan (misalnya, DNA HBV
pra-perawatan rendah dan kadar ALT
tinggi, genotipe HBV A atau B, wanita
muda yang ingin hamil di masa depan,
hepatitis C bersamaan, dan usia yang lebih
muda). Interferon pegilasi alfa-2a telah
menunjukkan tingkat serokonversi yang
sedikit lebih tinggi daripada analog
nukleosida/nukleotida; namun, hasil
pengobatan berbeda di antara genotipe
HBV (Wilkins, 2019).
Pada jurnal penelitian CHB, yang diterapi
dengan PEG INF alfa, selama 48 minggu
(180 mcg/minggu) menunjukkan
seroconvertion HBeAg negative (-) dan
Anti Hbe positif setelah 24 minggu
diterapi (Apichaya et al, 2021).
Ribavirin 200 P1.1 Tidak ada efek Kombinasi terapi PEG INF alfa dan
mg 1x1 terapi atau indikasi Ribavirin digunakan pada dual chronic
pengobatan infection yaitu HCV dan HBV, dan
P3.1 Biaya merupakan standar terapi pada HCV
pengobatan berlebih monoinfection (Chun Jen Liu et al., 2009).
atau tidak perlu Terapi kombinasi PEG INF alfa dan
I3.5 Obat dihentikan Ribavirin sebaiknya digunakan hanya jika
I3.6 Pemberian obat diperkirakan dapat terjadi risiko
baru neutropenia atau trombositopenia
(PIONAS, 2015).
Pertimbangan terapi antiviral pada pasien
hepatitis C hanya diberikan kalau
penderita HCV RNA (+) serta
peningkatan ALT diatas 2 kali harga
normal (Soemoharjo, 2008).
Pembesara Furosemide P3.2 Dosis obat Pasien mengeluhkan BB meningkat dan
n abdomen drip 160 terlalu tinggi perut membesar setelah dirawat selama 3
(Ascites mg/hari I3.2Mengubah dosis hari, beberapa hasil pemeriksaan yang
Cirrhosis obat berhubungan adalah:
related to Albumin (3 mg/dL → rendah
HBV) (hypoalbuminemia)
Kreatinin (2,3 mg/dL → tinggi)
Bilirubin (2,4 mg/dL → tinggi)
Furosemide yang termasuk dalam
golongan diuretic digunakan pada indikasi
Ascites pada komplikasi Sirosis hati yang
menyebabkan menumpuknya cairan di
ruang abdomen berakibat pengecilan
kompartemen cairan intravascular.
Sehingga mengakibatkan retensi cairan
dan garam oleh ginjal karena
diproduksinya hormon anti diuretik dan
tata renin-angiotensin-aldosteron
(Tsochatzis et al, 2014). Kecurigaan
terjadinya ascites dapat diketahui melalui
pemeriksaan abdomen dan biopsy hati
agar mengetahui terjadinya sirosis.
Dosis furosemide yang diberikan terlalu
tinggi untuk pemberian pertama kali dan
bukan merupakan pilihan pertama terapi
ascites. Penggunaan furosemide
kombinasi lebih disarankan pada
penanganan ascites cirrhosis. Penelitian
kontrol menunjukkan bahwa efek
natriuresis dan diuresis spironolakton
lebih baik dibandingkan loop diuretik
seperti furosemide (Moore, 2006).
Sehingga dilakukan penambahan terapi
diuretic (kombinasi) untuk
memaksimalkan terapi pembengkakan
pada abdomen.
VI. PEMBAHASAN
Pada kasus Tn. Tuan SNA (45 Thn), tanggal 23 September datang
memeriksakan dirinya ke dokter dengan keluhan yang dialami mual-mual,
muntah, demam 38,5 ℃. Pasien memiliki riwayat Hepatitis B beberapa tahun
yang lalu. Pasien mengatakan merasakan bandannya semakin berat, dan berat
badan meningkat dalam 3-5 hari terakhir. Bagian mata pasien terlihar sedikit
kuning. Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan SGOT 324 iu/ml, SGPT 383
iu/ml, Bilirubin 2.4 mg/dl, dan Albumin 3 g/dl. Tekanan darah dan suhu normal.
Dokter yang merawat memberikan pegasys 3x seminggu, Ribavirin 2 x 1. Setelah
menjalani perawatan selama 3 hari, pasien mengeluh perutnya semakin membesar,
dan hasil pemeriksaan Lab ditemukan nilai kreatinin dalam 2,3 mg/dl dan nilai
SGOT 234 iu/ml, SGPT 313 iu/ml. Dokter menambahkan terapi dengan
Furosemide drip.
Tujuan terapi hepatitis pada kasus ini adalah untuk mengobati gejala yang
muncul seperti mual, flu like symptom, menekan replikasi virus, mengatasi dan
mengurangi pembengkakan abdomen, mencegah prognosis penyakit hepatitis ke
sirosis yang kemungkinan dialami, sehingga perlu dipastikan kembali melalui
biopsy dan USG abdomen, HBeAg yang negative, proses peradangan hati yang
membaik, tingkat penularan yang kurang (HBeAg negative), dan masa harapan
hidup yang meningkat.
Berdasarkan hasil yang diperoleh setelah melakukan FIR pada Tn. SNA
(45 tahun), dosis obat yang diterima oleh pasien adalah Pegasys 180 mg
(3xseminggu), Ribavirin 200 mg (1xsehari), Furosemide drip 160 mg (1xsehari).
Pasien tidak memiliki riwayat alergi obat dan tidak diketahui apakah riwayat
pengobatan hepatitis B yang dulu pernah diterima oleh pasien karena faktor lupa
terhadap informasi pengobatan pasien. Pasien mengalami gejala mata kuning
sejak seminggu sebelum masuk rumah sakit dan mengalami gejala urin berwarna
merah gelap. Hasil pemeriksaan laboratorium pasien ditemukan bahwa HBeAg
positif (+). Nilai HBeAg positif menunjukkan bahwa pasien mengalami hepatitis
tipe B dengan tingkat penularan yang tinggi.
Berdasarkan kasus diatas, pasien pada saat pertama kali masuk ke rumah
sakit diberikan terapi berupa PEG-INF alpha 180 mcg 3x seminggu. Frekuensi
penggunaan PEG-INF alfa pada dosis tersebut terlalu tinggi sehingga terdapat
DRP dalam penggunaanya. Pada jurnal penelitian CHB, yang diterapi dengan
PEG INF alfa, selama 48 minggu (180 mcg/minggu) menunjukkan seroconvertion
HBeAg negative (-) dan Anti Hbe positif setelah 24 minggu diterapi (Apichaya et
al, 2021). Interferon alfa-2a (Pegasys) diberikan selama 48 minggu dan harus
dipertimbangkan pada individu dengan prediktor respons pengobatan yang
menguntungkan dan yang mungkin mendapat manfaat dari durasi pengobatan
yang ditentukan. Interferon pegilasi alfa-2a telah menunjukkan tingkat
serokonversi yang sedikit lebih tinggi daripada analog nukleosida/nukleotida;
namun, hasil pengobatan berbeda di antara genotipe HBV (Wilkins, 2019).
Ascites merupakan komplikasi dari sirosis hati yang paling sering terjadi.
Sekitar 50% pasien sirosis hati mengalami ascites (Lee, 2009). Ada 3 tingkatan
ascites yang terjadi pada pasien sirosis hati, yaitu mild ascites, moderate ascites,
dan large ascites. Komplikasi ascites terberat yang dialami oleh pasien sirosis hati
adalah ascites permagna. Beberapa jenis ascites permagna adalah severe/large
ascites serta ascites refrakter. Ascites permagna dibedakan menjadi 2 kelompok,
yaitu non-tense dan tense ascites. Non-tense ascites adalah jenis ascites permagna
yang tidak menekan diafragma (pasien tidak mengalami sesak). Sedangkan tense
ascites adalah jenis ascites permagna yang menekan diafragma sehingga pasien
mengalami sesak.
a. Pegasys
Untuk terapi dengan PEG-IFN alfa (Pegasys) pada pasien HBeAg-positif,
maka outcome terapi yang diinginkan adalah HBeAg negatif (-) setelah 48
minggu pemberian. PEG-IFN alfa merupakan senyawa protein yang
bersifat sebagai imunomodulator dan memiliki mekanisme kerja dalam
menghambat berbagai tahap replikasi virus meliputi saat virus masuk dalam
sel tubuh, uncoating, sintesis mRNA dan sintesis protein.
b. Tenofovir
Dilakukan monitoring pada pasien yaitu berupa seroconvertion HBeAg (+)
menjadi (-) dan terbentuknya Anti Hbe, monitoring nilai SGOT/SGPT
pasien, monitoring nilai PT, INR, HGB pasien terhadap adanya potensi
efek samping penggunaan PEG INF alfa yaitu gangguan hematologi
berupa pendarahan melalui pemeriksaan laboratorium.
Titik akhir pengobatan pasien dengan HBeAg positif adalah sebagai berikut:
a) Kehilangan HBeAg yang tahan lama dan serokonversi menjadi anti-
HBe
b) Penekanan DNA HBV yang tahan lama ke tingkat yang rendah atau
tidak terdeteksi
c) Normalisasi ALT (SGPT dan SGOT berada pada kadar normal)
c. Furosemid
Terjadinya penurunan volume cairan didalam rongga perut pasien secara
bertahap yang ditandai dengan kembalinya berat badan normal pasien
Adapun monitoring efek samping sebagai berikut :
a. Pegasys
Monitoring Efek Samping dari Pegasys (PEG IFN alfa) yang paling penting
dilakukan dengan mengecek berapa kadar INR dan PTT pasien sebelum
diberikan terapi dengan setelah diberikan terapi pada minggu pertama.
Pengujian nilai INR dan PTT penting dilakukan karena efek samping
terbesar dari diberikannya pengobatan PEG IFN alfa adalah ditemukannya
penurunan INR dan PTT yang mengindikasikan adanya komplikasi
trombositopenia pada pasien. Efek samping lainnya yang harus dimonitor
adalah sebagai berikut:
- Dermatologic: Alopecia (18 to 28%), Dermatitis (8 to 16%), Dry
skin (4% to 10%), Injection site inflammation (10% to 31%),
radang ditempat penyuntikan (22% to 23%), Pruritus (12% to
19%), Rash (5% to 8% )
- Endocrine metabolic: Penurunan Berat Badan (4 to 16%)
- Hematologic: Lymphocyte count abnormal (3% to 14%),
Thrombocytopenia (5% to 8%)
- Musculoskeletal: Arthralgia (22% to 28%), Myalgia (26% to 51%)
- Neurologic: Sakit Kepala (27% to 54%), Insomnia (19% to 30%)
b. Tenofovir
Dilakukan monitoring pada pasien yaitu berupa seroconvertion HBeAg (+)
menjadi (-) dan terbentuknya Anti Hbe, monitoring nilai SGOT/SGPT
pasien, monitoring nilai PT, INR, HGB pasien terhadap adanya potensi
efek samping penggunaan PEG INF alfa yaitu gangguan hematologi
berupa pendarahan melalui pemeriksaan laboratorium.
c. Furosemide
Monitoring Efek Samping utama yang mungkin timbul adalah kejadian
hipokalemi dan hipotensi. Monitoring dilakukan dengan menerapkan
pengecekan tekanan darah sebelum dan setelah pemberian furosemide
serta waspadai tanda-tanda hipokalemi. Efek samping lainnya yang perlu
diperhatikan juga adalah timbulnya pusing, sembelit hingga mulut terasa
kering.
VII.KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Apichaya Khlaiphuengsin et al. 2021. Circulating BAFF and CXCL10 Levels
Predict Response to Pegylated Interferon in Patient with HBeAg Positive
Chronic Hepatitis B. Asian Pac J. Allergy Immunol; 39; 129-135.
Bestari. 2006. Tatalaksana Asites Pada Hipertensi Portal. Sub Bagian
Gastroenterohepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam. FK Unpad.
Caixia Zheng, Honghong Yan, Jianyong Zeng, Shaohang Cai, Xiaolu Wu. 2019.
Comparison of pegylated interferon monotherapy and de novo pegylated
interferon plus tenofovir combination therapy in patients with chronic
hepatitis B. Infection and Drug Resistance:12 845–854
Chun Jen Liu et al. 2009. PEG Interferon Alfa 2a Plus Ribavirin for The
Treatment of Dual Chronic Infection with Hepatitis B and
Gastroenterology. Volume 136, Issue 2, Pages 496-504. e3. ISSN 0016-
5085.
Lee JM, Han K-H, Ahn SH. 2009. Ascites and Spontaneous Bacterial Peritonitis:
An Asian Perspective. J Gastroenterol Hepatol;24(9):1494-1503.
doi:10.1111/j.1440-1746.2009.06020.
Noer, Sjaifoellah H.M., Sundoro, Julitasari. Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati Edisi
Pertama. Editor : H. Ali Sulaiman. Jakarta: Jayabadi. 2007.
Perez-Ayuso RM, Arroyo V, Planas R, Gaya J, Bory F, Rimola A, et al.
Randomized comparative study of efficacy of furosemide versus
spironolactone in nonazotemic cirrhosis with ascites. Relationship between
the diuretic response and the activity of the renin-aldosterone system.
Gastroenterology. 1983 May;84(5 Pt 1):961-8.
Pusat Informasi Obat Nasional (Pionas), Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM) Republik Indonesia. 2014. Informatorium Obat Nasional
Indonesia (IONI). BPOM RI.
Runyon BA. 2012. Management of Adult Patients with Ascites Due to Cirrhosis:
Update. Am Assoc Study Liver Dis Pract Guidel. 2013:2087-2107.
Sanityoso, A. Hepatitis Virus Akut. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi
V. Jakarta. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2009.