Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI IV

PRAKTIKUM I
HEPATITIS

OLEH :
KELOMPOK 5 – A3D
Feliana Gita 18021137
Ayu Felia Firmayanthi 18021138
Cici Kurnia Youshanti 18021139
I Gede Yuda Sanjaya 18021140
I Wayan Pajar Pangestu 18021141

Hari, Tanggal Praktikum : 22 Oktober 2021


Nama Dosen: apt. Ni Putu Aryati Suryaningsih, S.Farm., M.Farm-Klin

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
DENPASAR
2021
PRAKTIKUM I

PENYAKIT HEPATITIS

I. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mampu memahami definisi hepatitis
2. Mengetahui etiologi dan patofisiologi hepatitis
3. Mengetahui tataksana hepatitis (farmakologi dan non farmakologi)
4. Dapat menyelesaikann kasus terkait penyakit hepatitis kompleks secara
mendiri dengan menggunakan metode SOAP

II. DASAR TEORI


Hepatitis virus akut adalah infeksi sistemik yang dominan menyerang hati.
Hampir semua kasus hepatitis virus akut disebabkan oleh salah satu dari lima
jenis virus yaitu: virus hepatitis A (HAV), virus hepatitis B (HBV), virus
hepatitis C (HCV), virus hepatitis D (HDV) dan virus hepatitis E (HEV).
Gambaran klinis hepatitis virus sangat bervariasi mulai dari asimtomatik
sampai yang sangat berat yaitu hepatitis fulminan yang dapat menimbulkan
kematian. Selain itu, gejala juga bisa bervariasi dari infeksi persisten
subklinis sampai penyakit hati kronik progresif cepat dengan sirosis hepatis
dan karsinoma hepatoseluler yang umum ditemukan pada tipe virus yang
ditransmisi melalui darah (HBV, HCV, dan HDV) (Sanityoso dkk, 2009).
Virus hepatitis A adalah suatu penyakit dengan distribusi global.
Prevalensi infeksi yang ditandai dengan tingkatan antibody anti-HAV telah
diketahui secara universal dan erat hubungannya dengan standar
sanitasi/kesehatan daerah yang bersangkutan. Meskipun virus hepatitis A
ditularkan melalui air dan makanan yang tercemar, namun hampir sebagian
besar infeksi HAV didapat melalui transmisi endemic atau sporadic yang
sifatnya tidak begitu dramatis. Masa inkubasi hepatitis A akut bervariasi
antara 14 hari sampai 49 hari, dengan rata-rata 30 hari. Penularan hepatitis A
yang paling dominan adalah melalui faecal-oral. Umumnya penularan dari
orang ke orang. Kemungkinan penularannya didukung oleh faktor higienis
pribadi penderita hepatitis.Penularan hepatitis A terjadi secara faecal-oral
yaitu melalui makanan dan minuman yang tercemar oleh virus hepatitis A
(Noer dkk, 2007)
Hepatitis B biasanya ditularkan dari orang ke orang melalui darah
(penerima produk darah, pasien hemodialisa, pekerja kesehatan atau terpapar
darah). Virus hepatiitis B ditemukan di cairan tubuh yang memiliki
konsentrasi virus hepatitis B yang tinggi seperti semen, sekret servikovaginal,
saliva, dan cairan tubuh lainnya sehingga cara transmisi hepatitis B yaitu
transmisi seksual. Cara transmisi lainnya melalui penetrasi jaringan
(perkutan) atau permukosa yaitu alat-alat yang tercemar virus hepatitis B
seperti sisir, pisau cukur, alat makan, sikat gigi, tato, akupuntur, tindik, alat
kedokteran, dan lain-lain, untuk masa inkubasinya sekitar 60 sampai 90 hari.
(Sanityoso dkk, 2009).
Infeksi virus hepatitis C (HCV) adalah suatu masalah kesehatan global.
Diperkirakan sekitar 170 juta orang di dunia telah terinfeksi secara kronik
oleh HCV. Faktor-faktor yang terkait erat dengan terjadinya infeksi HCV
adalah penggunaan narkoba suntik (injection drug user, IDU) dan menerima
tranfusi darah sebelum tahun 1990. Tingkat ekonomi yang rendah, perilaku
seksual resiko tinggi, tingkat edukasi yang rendah (kurang dari 12 tahun),
bercerai atau hidup terpisah dengan pasangan resmi. Masa inkubasi hepatitis
C umumnya sekitar 6-8 minggu (berkisar antara 2- 26 minggu) pada beberapa
pasien yang menunjukkan gejala malaise dan jaundice dialami oleh sekitar
20-40% pasien. Peningkatan kadar enzim hati (SGPT > 5-15 kali rentang
normal) terjadi pada hampir semua pasien. Selama masa inkubasi ini, HCV
RNA pasien bisa positif dan meningkat hingga munculnya jaundice. Selain
itu juga bisa muncul gejala-gejala fatique, tidak napsu makan, mual dan nyeri
abdomen kuadran kanan atas. Dari semua individu dengan hepatitis C akut,
75- 80% akan berkembangmenjadi infeksi kronis (Sanityoso dkk, 2009).
Infeksi HDV hanya terjadi pada individu dengan resiko infeksi HBV
(koinfeksi atau superinfeksi). Tranmisi virus ini mirip dengan HBV yaitu
melalui darah, permukosal, perkutan parenteral, seksual dan perinatal
walaupun jarang. Pada saat terjadi superinfeksi, titer VHD serum akan
mencapai puncak, sekitar 2-5 minggu setelah inokulasi, dan akan menurun
setelah 1-2 minggu kemudian Infeksi VHD hanya terjadi bila bersama-sama
dengan infeksi VHB. Pada masa inkubasi (koinfeksi HVB-HVD), dapat
dijumpai HBsAg, HBeAg, dan DNA HVB, IgM anti HVD, RNA HVD,
HDAg, anti HBc akan terdeteksi bila penyakit berlanjut, anti-HVD terdeteksi
pada akhir masa akut dan kemudian akan menurun titernya setelah penyakit
membaik dan semua petanda replikasi virus baik B maupun D akan
menghilang pada masa penyembuhan (Dienstag dkk, 2008).
HEV RNA terdapat dalam serum dan tinja selama fase akut. Hepatitis
sporadik sering terjadi pada anak dan dewasa muda di negara sedang
berkembang. Penyakit ini epidemi dengan sumber penularan melalui air.
HEV merupakan virus RNA dengan diameter 27-34 mm. Pada manusia
hanya terdiri atas satu serotipe dengan empat sampai lima genotipe utama.
Genome RNA dengan tiga overlap ORF (open reading frame) mengkode
protein struktural dan protein non-struktural yang terlibat pada replikasi HEV
(Dienstag dkk, 2008).
III. ALAT DAN BAHAN
3.1 Alat
1. Form SOAP
2. Form Medication Record
3. Catatan Minum Obat
4. Kalkulator Scientific
5. Laptop dan Koneksi Internet
3.2 Bahan
1. Text Book (Dipiro, Koda Kimble, DIH)
2. Data Nilai Normal Laboraturium
3. Evidence Terkait (Journal, Systematic Review, Meta-Analysis).

IV. KASUS

Tuan SNA (45 Thn) 23 September datang memeriksan dirinya ke dokter


dengan keluhan yang dialami mual-mual, muntah, demam 38,5 ℃. Pasien
memiliki riwayat Hepatitis B beberapa tahun yang lalu. Pasien mengatakan
merasakan bandanna semakin berat, dan Berat badan meningkat dalam 3-5 hari
terakhir. Bagian mata pasien terlihar sedikit kuning. Hasil pemeriksaan
laboratorium didapatkan SGOT 324 iu/ml, SGPT 383 iu/ml, Bilirubin 2.4 mg/dl,
dan Albumin 3 g/dl. Tekanan darah dan suhu normal. Dokter yang merawat
memberikan pegasys 3x seminggu, Ribavirin 2 x 1. Setelah menjalani perawatan
selama 3 hari, pasien mengeluh perutna semakin membesar, dan hasil
pemeriksaan Lab ditemukan nilai kreatinin dalam 2,3 mg/dl dan nilai SGOT 234
iu/ml, SGPT 313 iu/ml. Dokter menambahkan terapi dengan Furosemide drip.
Analisalah kasus diatas sebagai seorang Farmasis.

V. SOAP
Nama Pasien : Tuan SNA
Usia : 45 tahun
Tanggal MRS : 23 September
Tanggal KRS :-
Alergi :-
Riwayat Penyakit :-
Riwayat Pengobatan :
Obat Dosis
Pegasys 180 mg (3xseminggu)
Ribavirin 200 mg (1xsehari)
Furosemide drip 160 mg (1xsehari)

5.1 Further Information Required (FIR)


No Pertanyaan Jawaban
.
1. Berapakah dosis Pegasys, Ribavirin, dan - Pegasys 180 mg
Furosemide yang diberikan? (3xseminggu)
- Ribavirin 200 mg
(1xsehari)
- Furosemide drip 160
mg (1xsehari)
2. Apakah pasien memiliki riwayat alergi obat? Tidak
3. Berapakah BB dan TB pasien? TB 182 cm dan BB 85
kg
4. Apakah pasien sudah melakukan pemeriksaan Hanya HBeAg (+)
serologi virus hepatitis
5. Bagaimanakah pola hidup pasien? Apakah Tidak
sering mengonsumsi alkohol/obat-obatan
terlarang atau penggunaan jarum suntik?
6. Sejak kapan mata pasien menjadi kuning? Seminggu
7. Apakah pasien memiliki riwayat penyakit Tidak ada
lainnya? Obat apakah yang diminum?
8. Apakah riwayat obat yang diberikan pada saat Lupa dengan info obat
pasien menderita hepatitis B terdahulu dan
berapa dosisnya?
9. Apakah pasien sudah melakukan pemeriksaan Belum ada
fungsi hari/abdomen?
10. Apakah diagnosa dokter terhadap kondisi Hepatitis
klinis pasien saat ini?
11. Bagaimanakah warna urin/feses pasien? Merah gelap

5.2 Subjektif
No 23 Sept (3 hari kemudian) 26 Sept
.
1. Pasien Tn. SNA (45 th) dengan Perut pasien semakin membesar
keluhan: setelah menerima Pegasys 180 mg
- Flu like symptom (mual, (3xseminggu) dan Ribavirin 200 mg
demam, muntah, badan terasa (1x1)
berat)
- Mata sedikit kuning
- Urin berwarna merah gelap
- BB meningkat dalam 3-5 hari
terakhir

5.3 Objektif
No 23 Sept (3 hari kemudian) 26 Sept
.
1. - SGOT 324 iu/ml (Normal: 0- - Serum kreatinin 2,3 mg/dl
35 U/L) → Tinggi (9x nilai (normal: 0,6-1,2 mg/dl) → tinggi
normal)
- SGOT 234 iu/ml (Normal: 0-35
- SGPT 383 IU/ml (Normal: 0- U/L) → Tinggi (6x nilai normal)
37 U/L) → Tinggi (10x nilai - SGPT 313 IU/ml (Normal: 0-37

normal) U/L) → Tinggi (8x nilai normal)

- Bilirubin 2,4 mg/dl (Normal:


0,2-1,2 mg/dl) → Tinggi
- Albumin 3 g/dl (Normal: 3,5-5
g/dl) → Rendah
- TKD (normal)
- Suhu tubuh (normal)

5.4 Asessment
PM Obat DRP Evidence Based Medicine
Hepatitis B Pasien dalam kasus ini pernah mengalami
Kronik Hepatitis B, namun tidak diketahui obat
yang digunakan dan hasil pemeriksaan
serologi virus hepatitis beberapa tahun
yang lalu. Pada pemeriksan tanggal 26/9,
diketahui HBeAg (+). Dalam patofisiologi
VHB, termasuk dalam fase kedua yaitu
imun reaktif, dimana HBeAg diketahui
positif dan termasuk Highly infectious.
HBeAg timbul bersama atau segera
setelah timbulnya HBsAg dan akan
menetap lebih lama dibandingkan HBsAg,
biasanya lebih dari 10 minggu. Diagnosa
pasien dari dokter adalah hepatitis, dan
berdasarkan hasil laboratorium nilai
HBeAg (+), SGOT/SGPT meningkat lebih
dari 4x nilai normal, pasien diperkirakan
mengalami Hepatitis B kronis.
Mata pasien berwarna sedikit kuning dan
urin berwarna merah gelap, gejala ini
merupakan fase ikterik pada pasien.
Pegasys 180 P5.1. Penggunaan Interferon alfa-2a (Pegasys) diberikan
mg obat atau aturan dosis selama 48 minggu dan harus
(3xseminggu) tidak tepat dipertimbangkan pada individu dengan
I3.4 Mengubah aturan prediktor respons pengobatan yang
pakai obat menguntungkan dan yang mungkin
mendapat manfaat dari durasi pengobatan
yang ditentukan (misalnya, DNA HBV
pra-perawatan rendah dan kadar ALT
tinggi, genotipe HBV A atau B, wanita
muda yang ingin hamil di masa depan,
hepatitis C bersamaan, dan usia yang lebih
muda). Interferon pegilasi alfa-2a telah
menunjukkan tingkat serokonversi yang
sedikit lebih tinggi daripada analog
nukleosida/nukleotida; namun, hasil
pengobatan berbeda di antara genotipe
HBV (Wilkins, 2019).
Pada jurnal penelitian CHB, yang diterapi
dengan PEG INF alfa, selama 48 minggu
(180 mcg/minggu) menunjukkan
seroconvertion HBeAg negative (-) dan
Anti Hbe positif setelah 24 minggu
diterapi (Apichaya et al, 2021).
Ribavirin 200 P1.1 Tidak ada efek Kombinasi terapi PEG INF alfa dan
mg 1x1 terapi atau indikasi Ribavirin digunakan pada dual chronic
pengobatan infection yaitu HCV dan HBV, dan
P3.1 Biaya merupakan standar terapi pada HCV
pengobatan berlebih monoinfection (Chun Jen Liu et al., 2009).
atau tidak perlu Terapi kombinasi PEG INF alfa dan
I3.5 Obat dihentikan Ribavirin sebaiknya digunakan hanya jika
I3.6 Pemberian obat diperkirakan dapat terjadi risiko
baru neutropenia atau trombositopenia
(PIONAS, 2015).
Pertimbangan terapi antiviral pada pasien
hepatitis C hanya diberikan kalau
penderita HCV RNA (+) serta
peningkatan ALT diatas 2 kali harga
normal (Soemoharjo, 2008).
Pembesara Furosemide P3.2 Dosis obat Pasien mengeluhkan BB meningkat dan
n abdomen drip 160 terlalu tinggi perut membesar setelah dirawat selama 3
(Ascites mg/hari I3.2Mengubah dosis hari, beberapa hasil pemeriksaan yang
Cirrhosis obat berhubungan adalah:
related to Albumin (3 mg/dL → rendah
HBV) (hypoalbuminemia)
Kreatinin (2,3 mg/dL → tinggi)
Bilirubin (2,4 mg/dL → tinggi)
Furosemide yang termasuk dalam
golongan diuretic digunakan pada indikasi
Ascites pada komplikasi Sirosis hati yang
menyebabkan menumpuknya cairan di
ruang abdomen berakibat pengecilan
kompartemen cairan intravascular.
Sehingga mengakibatkan retensi cairan
dan garam oleh ginjal karena
diproduksinya hormon anti diuretik dan
tata renin-angiotensin-aldosteron
(Tsochatzis et al, 2014). Kecurigaan
terjadinya ascites dapat diketahui melalui
pemeriksaan abdomen dan biopsy hati
agar mengetahui terjadinya sirosis.
Dosis furosemide yang diberikan terlalu
tinggi untuk pemberian pertama kali dan
bukan merupakan pilihan pertama terapi
ascites. Penggunaan furosemide
kombinasi lebih disarankan pada
penanganan ascites cirrhosis. Penelitian
kontrol menunjukkan bahwa efek
natriuresis dan diuresis spironolakton
lebih baik dibandingkan loop diuretik
seperti furosemide (Moore, 2006).
Sehingga dilakukan penambahan terapi
diuretic (kombinasi) untuk
memaksimalkan terapi pembengkakan
pada abdomen.

5.5 Plan Therapy


PM Terapi sebelum Penggantian Plan (EBM)
terapi
Hepatitis B PEG IFN alfa 180 PEG IFN alfa PEG INF alfa diberikan 1xseminggu selama
kronik mcg 3xseminggu 180 mg 48 minggu dan dilakukan monitoring untuk
1xseminggu mengetahui respon klinis pengobatan:
- Seroconvertion HBeAg (+) menjadi
(-) dan terbentuknya Anti Hbe
- Monitoring nilai SGOT/SGPT pasien
- Monitoring nilai PT, INR, HGB
pasien terhadap adanya potensi efek
samping penggunaan PEG INF alfa
yaitu gangguan hematologi.
- Monitoring demam, gejala mual dan
muntah, warna urin dan warna mata
pasien dari kuning ke warna normal.
Ribavirin 200 mg Tenofovir 300 Terapi Ribavirin dihentikan karena hasil
1xsehari mg 1xsehari pemeriksan pasien tidak menunjukkan tanda
HCV.
Tenofovir merupakan antiviral first line
yang digunakan pada pasien Hepatitis B
yang aman dan mengalami perbaikan pada
insufisiensi renal. Tenofovir juga tidak
menimbulkan resistensi HBV dan keamanan
jangka panjang yang terbukti di Asia pada
HBV kronis denganpasien HBeAg-positif
dan HBeAg-negative (Jung, 2018).
Peg-IFN dikombinasikan dengan TDF
(Tenofovir) dapat meningkatkan tingkat
tanggapan virologi, biokimia tingkat respons
ical, dan tingkat kehilangan HBsAg pada
pasien dengan CHB. Total 16,7% (11/66)
dan 33,8% (26/77) pasien diterapi dengan
IFN dan kelompok diterapi dengan
IFN+TDF (Tenofovir) mencapai penekanan
virus lengkap setelah 48 minggu pengobatan
(P=0,02) (Caixia, 2019).
Pembesaran Furosemide drip Furosemide drip Regimen dosis kombinasi diuretik yang
Abdomen 160 mcg sehari 40 mg sehari + direkomendasikan American Association for
the Study of Liver Diseases (AASLD)
(Ascites Spironolakton
adalah spironolakton 100 mg/hari dan
Cirrhosis 100 mg/hari furosemid 40 mg/hari. Jika dengan dosis
related to tersebut pasien belum menunjukkan
penurunan berat badan harian dan natriuresis
HBV)
yang cukup, maka dapat dilakukan
peningkatan dosis tiap 3-5 hari dengan dosis
maksimum spironolakton 400 mg/hari dan
furosemid 160 mg/hari. Peningkatan dosis
harus tetap mempertahankan rasio
Spironolakton 100 mg: Furosemid 40 mg
untuk menjaga normokalemia.
Monitoring:
- Monitoring BB pasien dengan
melihat penurunan sebesar 0,5 kg/hari
tanpa adanya edema kaki untuk melihat
respon diuretik dan pembengkakan
abdomennya.
- Perlu dilakukan pemeriksaan USG
abdomen dan fungsi hati melalui biopsy
agar dapat diketahui penanganan
selanjutnya
- Monitoring albumin, bilirubin, dan
kreatinin pasien

VI. PEMBAHASAN

Pada kasus Tn. Tuan SNA (45 Thn), tanggal 23 September datang
memeriksakan dirinya ke dokter dengan keluhan yang dialami mual-mual,
muntah, demam 38,5 ℃. Pasien memiliki riwayat Hepatitis B beberapa tahun
yang lalu. Pasien mengatakan merasakan bandannya semakin berat, dan berat
badan meningkat dalam 3-5 hari terakhir. Bagian mata pasien terlihar sedikit
kuning. Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan SGOT 324 iu/ml, SGPT 383
iu/ml, Bilirubin 2.4 mg/dl, dan Albumin 3 g/dl. Tekanan darah dan suhu normal.
Dokter yang merawat memberikan pegasys 3x seminggu, Ribavirin 2 x 1. Setelah
menjalani perawatan selama 3 hari, pasien mengeluh perutnya semakin membesar,
dan hasil pemeriksaan Lab ditemukan nilai kreatinin dalam 2,3 mg/dl dan nilai
SGOT 234 iu/ml, SGPT 313 iu/ml. Dokter menambahkan terapi dengan
Furosemide drip.

Tujuan terapi hepatitis pada kasus ini adalah untuk mengobati gejala yang
muncul seperti mual, flu like symptom, menekan replikasi virus, mengatasi dan
mengurangi pembengkakan abdomen, mencegah prognosis penyakit hepatitis ke
sirosis yang kemungkinan dialami, sehingga perlu dipastikan kembali melalui
biopsy dan USG abdomen, HBeAg yang negative, proses peradangan hati yang
membaik, tingkat penularan yang kurang (HBeAg negative), dan masa harapan
hidup yang meningkat.

Berdasarkan pharmaceutical care, seorang farmasis pertama kali harus


melakukan penggalian informasi yang lebih dalam terhadap pasien untuk benar-
benar memastikan kondisi medis yang dimiliki pasien sehingga terapi yang
diberikan kepada pasien sesuai dengan kondisi klinis yang dialaminya. Penggalian
informasi ini dapat dilaukan dengan cara memberikan pertanyaan berupa FIR
(Further Information Required). Dalam FIR pasien akan diberikan pertanyaan
untuk mengetahui informasi terkait factor resiko yang memungkinkan terjadinya
epilepsi pada pasien, riwayat penyakit dan alergi obat pada pasien, riwayat
penggunaan obat pasien, serta dosis penggunaan obat yang digunakan oleh pasien.

Berdasarkan hasil yang diperoleh setelah melakukan FIR pada Tn. SNA
(45 tahun), dosis obat yang diterima oleh pasien adalah Pegasys 180 mg
(3xseminggu), Ribavirin 200 mg (1xsehari), Furosemide drip 160 mg (1xsehari).
Pasien tidak memiliki riwayat alergi obat dan tidak diketahui apakah riwayat
pengobatan hepatitis B yang dulu pernah diterima oleh pasien karena faktor lupa
terhadap informasi pengobatan pasien. Pasien mengalami gejala mata kuning
sejak seminggu sebelum masuk rumah sakit dan mengalami gejala urin berwarna
merah gelap. Hasil pemeriksaan laboratorium pasien ditemukan bahwa HBeAg
positif (+). Nilai HBeAg positif menunjukkan bahwa pasien mengalami hepatitis
tipe B dengan tingkat penularan yang tinggi.

Tanda dan gejala yang benar mengindikasikan pasien mengalami hepatitis


B adalah hasil pemeriksaan laboratorium yang menyatakan pasien positif HBeAg
(+), nilai SGOT 324 iu/ml dan SGPT 383 iu/ml yang melebihi 4x nilai normal,
Bilirubin 2.4 mg/dl tergolong tinggi, dan kadar Albumin 3 g/dl yang rendah.
Setelah menjalani perawatan selama 3 hari, pasien mengeluh perutnya semakin
membesar, dan hasil pemeriksaan Lab ditemukan nilai kreatinin dalam 2,3 mg/dl
termasuk tinggi dan nilai SGOT 234 iu/ml, SGPT 313 iu/ml yang masih tinggi (4x
nilai normal), gejala flu like symptom yang dialami pasien beruba kepala terasa
berat, dan demam 38,5oC. Sedangkan tanda dan gejala yang berhubungan dengan
pembengkakan abdomen sebagai manifestasi dari kemungkinan terjadinya ascites
yang merupakan komplikasi dari sirosis adalah adanya peningkatan berat badan
selama 3-5 hari dengan mata mulai menguning dan urin berwarna merah gelap,
serta perutnya semakin membesar bahkan setelah mendapatkan terapi hepatitis B.
HBeAg timbul bersama atau segera setelah timbulnya HBsAg dan akan menetap
lebih lama dibandingkan HBsAg, biasanya lebih dari 10 minggu. Diagnosa pasien
dari dokter adalah hepatitis, dan berdasarkan hasil laboratorium nilai HBeAg (+),
SGOT/SGPT meningkat lebih dari 4x nilai normal, pasien diperkirakan
mengalami Hepatitis B kronis. Sselain itu, mata pasien berwarna sedikit kuning
dan urin berwarna merah gelap, gejala ini merupakan fase ikterik pada pasien.
Faktor resiko yang dapat menyebabkan pasien menderita Hepatitis B dan
pembengkakan abdomen yang mengarah pada diagnosa ascites cirrhosis pada
pasien ini yaitu memiliki riwayat hepatitis B namun tidak diketahui apakah pasien
sudah menyelesaikan pengobatannya sampai sembuh. Hal tersebut dapat dijadikan
sebagai faktor resiko utama karena kondisi pasien saat ini sudah mengarah kepada
prognosis hepatitis B yaitu terjadinya kemungkinan sirosis hati. Gejala komplikasi
yang dapat muncul pada pasien sirosis hati salah satunya adalah ascites atau
pembengkakan abdomen yang dialami oleh pasien ini. Tidak diketahui dengan
pasti riwayat pengobatan pasien saat hepatitis B terdahulu sehingga tidak dapat
diketahui apakah obat yang pernah digunakan efektif atau mengalami resistensi
dalam mengatasi hepatitis B pada pasien ini. Sehingga pemilihan terapi
pengobatan selanjutnya disesuaikan dengan subjektif dan objektif pasien saat ini
dengan berdasarkan evidence based medicine yang paling baik.

Berdasarkan kasus diatas, pasien pada saat pertama kali masuk ke rumah
sakit diberikan terapi berupa PEG-INF alpha 180 mcg 3x seminggu. Frekuensi
penggunaan PEG-INF alfa pada dosis tersebut terlalu tinggi sehingga terdapat
DRP dalam penggunaanya. Pada jurnal penelitian CHB, yang diterapi dengan
PEG INF alfa, selama 48 minggu (180 mcg/minggu) menunjukkan seroconvertion
HBeAg negative (-) dan Anti Hbe positif setelah 24 minggu diterapi (Apichaya et
al, 2021). Interferon alfa-2a (Pegasys) diberikan selama 48 minggu dan harus
dipertimbangkan pada individu dengan prediktor respons pengobatan yang
menguntungkan dan yang mungkin mendapat manfaat dari durasi pengobatan
yang ditentukan. Interferon pegilasi alfa-2a telah menunjukkan tingkat
serokonversi yang sedikit lebih tinggi daripada analog nukleosida/nukleotida;
namun, hasil pengobatan berbeda di antara genotipe HBV (Wilkins, 2019).

Pada kasus ini, pasien direkomendasikan penggunaan kombinasi PEG-INF


alfa dengan antiviral first line hepatitis B yaitu Tenofovir. Tenofovir merupakan
antiviral first line yang digunakan pada pasien Hepatitis B yang aman dan
mengalami perbaikan pada insufisiensi renal. Tenofovir juga tidak menimbulkan
resistensi HBV dan keamanan jangka panjang yang terbukti di Asia pada HBV
kronis dengan pasien HBeAg-positif dan HBeAg-negative (Jung, 2018).
Pemilihan kombinasi PEG-IFN dengan antiviral yaitu TDF (Tenofovir)
berdasarkan jurnal penelitian dapat meningkatkan tingkat tanggapan virologi,
biokimia tingkat respons ical, dan tingkat kehilangan HBsAg pada pasien dengan
CHB. Total 16,7% (11/66) dan 33,8% (26/77) pasien diterapi dengan IFN dan
kelompok diterapi dengan IFN+TDF (Tenofovir) mencapai penekanan virus
lengkap setelah 48 minggu pengobatan (P=0,02). Meskipun kadar HBeAg pada
pasien CHB pada kelompok IFN+TDF menurun lebih cepat selama pengobatan
48 minggu, namun tidak terdapat perbedaan yang signifikan dalam kehilangan
serologis HBeAg atau tingkat serokonversi antara kedua kelompok pada 24 dan
48 minggu. Kehilangan HBsAg diamati pada 13,0% (10/77) pasien CHB di IFN
Kelompok +TDF pada 48 minggu, dibandingkan dengan hanya 3% (2/66) pasien
dalam kelompok IFN (P=0,032) (Caixia, 2019).

Tidak ada perbedaan signifikan yang diamati pada tingkat serokonversi


HBsAg antara kedua kelompok selama 48 minggu pengobatan. Tingkat respons
biokimia juga secara signifikan lebih tinggi pada kelompok IFN+TDF
dibandingkan dengan kelompok IFN tunggal saja pada minggu 48 (P=0,015).
Analisis logistik multivariat menunjukkan bahwa perlakuan IFN+TDF (OR=4,41,
P=0,003), peradangan hati awal yang parah (OR=4,16, P<0,001), dan kadar DNA
HBV serum awal yang lebih rendah (OR=0,98, P=0,03) adalah prediktor kuat
untuk respon virologi. Usia yang lebih muda (OR=0,89, P=0,01), tingkat ALT
awal yang lebih tinggi (OR=1,01, P=0,038), dan tingkat HBeAg awal yang lebih
rendah (OR=0,99, P=0,008) adalah prediktor independen untuk respon
serokonversi HBeAg setelah 48 minggu pengobatan (Caixia, 2019).

Selain Tenofovir, antiviral lainnya yang sering dikombinasikan dengan


PEG-INF alfa adalah Entecavir. Namun berdasarkan penelitian yang
membandingkan kombinasi antara Grup A: Pasien yang menerima PEG-IFNα-2b
(180 mg) secara subkutan setiap minggu dan ETV (Entecavir) (0,5 mg) secara
oral sekali sehari selama 48 minggu, dengan Grup B: Pasien yang menerima Peg-
IFNα-2b (180 mg) secara subkutan setiap minggu dan TDF (Tenofovir) (300 mg)
secara oral sekali sehari selama 48 minggu pada pasien dengan hepatitis B kronis,
HBeAg positif (+) dengan respon yang buruk setelah 12 minggu pengobatan
monoterapi dengan PEG-IFNα-2b. Pada minggu ke-48, persentase kehilangan
HBeAg adalah 10% (2 dari 20) pada pasien yang dimasukkan ke grup tambahan
Entecavir lebih kecil persentase serokonersi HBeAg menjadi negative (-)
dibandingkan pada kelompok kombinasi PEG-INF alfa dengan Tenofovir yaitu
40% (8 dari 20). Tingkat serokonversi HBeAg menjadi negative (-) secara
signifikan lebih tinggi pada kelompok tambahan Tenofovir dibandingkan
kelompok tambahan Entecavir pada minggu ke 48 (40% vs. 10%, P=0,028). Dari
minggu ke 24 hingga 36, 6 pasien tambahan dalam kelompok tambahan Tenofovir
dibandingkan dengan 1 pada kelompok tambahan Entecavir mencapai hasil
HBeAg negatif (Lin Sheng et al., 2020). Oleh karena itu pada kasus ini, pasien
dengan Hepatitis B dengan HBeAg positif (+) direkomendasikan terapi PEG INF
alfa dan Tenofovir secara kombinasi. Tenofovir diberikan pada dosis 300 mg
secara oral 1x1 selama 48 minggu bersama PEG INF alfa (Pegasys 180 mg
1xseminggu).

Pada kasus ini ternyata pasien diresepkan Ribavirin 200 mg 1x1.


Berdasarkan jurnal penelitian, kombinasi terapi PEG INF alfa dan Ribavirin
digunakan pada dual chronic infection yaitu HCV dan HBV, dan merupakan
standar terapi pada HCV monoinfection (Chun Jen Liu et al., 2009). Terapi
kombinasi PEG INF alfa dan Ribavirin sebaiknya digunakan hanya jika
diperkirakan dapat terjadi risiko neutropenia atau trombositopenia (PIONAS,
2015). Pada kasus ini dihentikan pemberian Ribavirin 200 mg 1x1 berdasarkan
pertimbangan bahwa terapi antiviral Ribavirin hanya diberikan kalau penderita
positif Hepatitis C yang ditandai adanya hasil pemeriksaan HCV RNA (+) serta
peningkatan ALT diatas 2 kali harga normal (Soemoharjo, 2008).

Pasien mengeluhkan BB meningkat 3-5 hari sebelum masuk rumah sakit


dan perut membesar setelah dirawat dan diberikan terapi hepatitis B selama 3 hari,
beberapa hasil pemeriksaan yang berhubungan dengan pembengkakan abdomen
yang dicurigai ascites cirrhosis adalah kadar albumin (3 mg/dL → rendah
(hypoalbuminemia), nilai kreatinin (2,3 mg/dL → tinggi), dan bilirubin (2,4
mg/dL → tinggi). Dokter telah meresepkan Furosemide drip 160 mg/hari namun
terdapat DRP dalam penggunaannya.
Pemberian Furosemide yang termasuk dalam golongan diuretik digunakan
pada indikasi pembengkakan abdomen yang mengarah pada Ascites sebagai
komplikasi Sirosis hati yang menyebabkan menumpuknya cairan di ruang
abdomen berakibat pengecilan kompartemen cairan intravascular. Sehingga
mengakibatkan retensi cairan dan garam oleh ginjal karena diproduksinya hormon
anti diuretik dan tata renin-angiotensin-aldosteron (Tsochatzis et al, 2014).
Kecurigaan terjadinya ascites dapat diketahui melalui pemeriksaan abdomen dan
biopsy hati agar mengetahui terjadinya sirosis.

Dosis furosemide yang diberikan terlalu tinggi untuk pemberian pertama


kali dan bukan merupakan pilihan pertama terapi ascites. Penggunaan furosemide
kombinasi lebih disarankan pada penanganan ascites cirrhosis. Penelitian kontrol
menunjukkan bahwa efek natriuresis dan diuresis spironolakton lebih baik
dibandingkan loop diuretik seperti furosemide (Moore, 2006). Sehingga dilakukan
penambahan terapi diuretic (kombinasi) untuk memaksimalkan terapi
pembengkakan pada abdomen.

Ascites merupakan komplikasi dari sirosis hati yang paling sering terjadi.
Sekitar 50% pasien sirosis hati mengalami ascites (Lee, 2009). Ada 3 tingkatan
ascites yang terjadi pada pasien sirosis hati, yaitu mild ascites, moderate ascites,
dan large ascites. Komplikasi ascites terberat yang dialami oleh pasien sirosis hati
adalah ascites permagna. Beberapa jenis ascites permagna adalah severe/large
ascites serta ascites refrakter. Ascites permagna dibedakan menjadi 2 kelompok,
yaitu non-tense dan tense ascites. Non-tense ascites adalah jenis ascites permagna
yang tidak menekan diafragma (pasien tidak mengalami sesak). Sedangkan tense
ascites adalah jenis ascites permagna yang menekan diafragma sehingga pasien
mengalami sesak.

Pengobatan ascites bertujuan untuk memperbaiki kualitas hidup pasien dan


mencegah terjadinya komplikasi yang lebih berat seperti Spontaneous Bacterial
Peritonitis (SBP) dan sindrom hepatorenal. Terdapat perbedaan dalam
penatalaksanaan terapi pada pasien sirosis hati dengan ascites ringan (mild dan
moderate) dengan ascites permagna (large ascites). Secara garis besar
penatalaksanaan ascites pada pasien sirosis hati adalah dengan diet natrium 2000
mg/hari dan diuretik Spironolakton oral dengan atau tanpa Furosemid (Runyon,
2013). Terapi tersebut biasanya digunakan pada jenis ascites mild dan moderate.
Efektivitas Spironolakton pada pasien sirosis hati dengan moderate ascites
sebanding dengan efektivitas kombinasi Spironolakton dan Furosemide (Santos,
2003).

Regimen dosis kombinasi diuretik yang direkomendasikan American


Association for the Study of Liver Diseases (AASLD) adalah Spironolakton 100
mg/hari dan Furosemid 40 mg/hari. Jika dengan dosis tersebut pasien belum
menunjukkan penurunan berat badan harian dan natriuresis yang cukup, maka
dapat dilakukan peningkatan dosis tiap 3-5 hari dengan dosis maksimum
spironolakton 400 mg/hari dan furosemid 160 mg/hari. Peningkatan dosis harus
tetap mempertahankan rasio Spironolakton 100 mg: Furosemid 40 mg untuk
menjaga normokalemia.

Pada penggunaan PEG-INF alfa dan Tenofovir, dilakukan monitoring


pada pasien yaitu berupa seroconvertion HBeAg (+) menjadi (-) dan terbentuknya
Anti Hbe, monitoring nilai SGOT/SGPT pasien, monitoring nilai PT, INR, HGB
pasien terhadap adanya potensi efek samping penggunaan PEG INF alfa yaitu
gangguan hematologi berupa pendarahan melalui pemeriksaan laboratorium.
Selain itu, dilakukan monitoring demam, gejala mual dan muntah, warna urin
pasien yang merah gelap dan warna mata pasien dari kuning ke warna normal.

Selain efektivitas, monitoring efek samping diuretik pada pasien sirosis


hati sangat diperlukan dan menjadi perhatian khusus. Beberapa efek samping dari
diuretik seperti hipokalemia dan hipotensi diketahui berpotensi memicu terjadinya
ensefalopati hepatik yang dapat memperparah sirosis hati. Hiperkalemia
merupakan efek samping yang sering terjadi dari penggunaan spironolakton.
Hipokalemia merupakan efek samping furosemid yang sering terjadi. Pada sirosis
hati, hipokalemia dapat menyebabkan ensefalopati hepatik. Penggunaan diuretik
juga dapat menyebabkan hiponatremia yang meningkatkan resiko terjadinya
sindrom hepatorenal (Rosner, 2006). Monitoring lainnya yang perlu dilakukan
terkait Ascites adalah monitoring BB pasien dengan melihat penurunan sebesar
0,5 kg/hari tanpa adanya edema kaki untuk melihat respon diuretik dan
pembengkakan abdomennya. Perlu dilakukan pemeriksaan USG abdomen dan
fungsi hati melalui biopsy agar dapat diketahui penanganan selanjutnya,
monitoring albumin, bilirubin, dan kreatinin pasien.

Adapun monitoring efektivitas sebagai berikut :

a. Pegasys
Untuk terapi dengan PEG-IFN alfa (Pegasys) pada pasien HBeAg-positif,
maka outcome terapi yang diinginkan adalah HBeAg negatif (-) setelah 48
minggu pemberian. PEG-IFN alfa merupakan senyawa protein yang
bersifat sebagai imunomodulator dan memiliki mekanisme kerja dalam
menghambat berbagai tahap replikasi virus meliputi saat virus masuk dalam
sel tubuh, uncoating, sintesis mRNA dan sintesis protein.
b. Tenofovir
Dilakukan monitoring pada pasien yaitu berupa seroconvertion HBeAg (+)
menjadi (-) dan terbentuknya Anti Hbe, monitoring nilai SGOT/SGPT
pasien, monitoring nilai PT, INR, HGB pasien terhadap adanya potensi
efek samping penggunaan PEG INF alfa yaitu gangguan hematologi
berupa pendarahan melalui pemeriksaan laboratorium.
Titik akhir pengobatan pasien dengan HBeAg positif adalah sebagai berikut:
a) Kehilangan HBeAg yang tahan lama dan serokonversi menjadi anti-
HBe
b) Penekanan DNA HBV yang tahan lama ke tingkat yang rendah atau
tidak terdeteksi
c) Normalisasi ALT (SGPT dan SGOT berada pada kadar normal)
c. Furosemid
Terjadinya penurunan volume cairan didalam rongga perut pasien secara
bertahap yang ditandai dengan kembalinya berat badan normal pasien
Adapun monitoring efek samping sebagai berikut :

a. Pegasys
Monitoring Efek Samping dari Pegasys (PEG IFN alfa) yang paling penting
dilakukan dengan mengecek berapa kadar INR dan PTT pasien sebelum
diberikan terapi dengan setelah diberikan terapi pada minggu pertama.
Pengujian nilai INR dan PTT penting dilakukan karena efek samping
terbesar dari diberikannya pengobatan PEG IFN alfa adalah ditemukannya
penurunan INR dan PTT yang mengindikasikan adanya komplikasi
trombositopenia pada pasien. Efek samping lainnya yang harus dimonitor
adalah sebagai berikut:
- Dermatologic: Alopecia (18 to 28%), Dermatitis (8 to 16%), Dry
skin (4% to 10%), Injection site inflammation (10% to 31%),
radang ditempat penyuntikan (22% to 23%), Pruritus (12% to
19%), Rash (5% to 8% )
- Endocrine metabolic: Penurunan Berat Badan (4 to 16%)
- Hematologic: Lymphocyte count abnormal (3% to 14%),
Thrombocytopenia (5% to 8%)
- Musculoskeletal: Arthralgia (22% to 28%), Myalgia (26% to 51%)
- Neurologic: Sakit Kepala (27% to 54%), Insomnia (19% to 30%)
b. Tenofovir
Dilakukan monitoring pada pasien yaitu berupa seroconvertion HBeAg (+)
menjadi (-) dan terbentuknya Anti Hbe, monitoring nilai SGOT/SGPT
pasien, monitoring nilai PT, INR, HGB pasien terhadap adanya potensi
efek samping penggunaan PEG INF alfa yaitu gangguan hematologi
berupa pendarahan melalui pemeriksaan laboratorium.
c. Furosemide
Monitoring Efek Samping utama yang mungkin timbul adalah kejadian
hipokalemi dan hipotensi. Monitoring dilakukan dengan menerapkan
pengecekan tekanan darah sebelum dan setelah pemberian furosemide
serta waspadai tanda-tanda hipokalemi. Efek samping lainnya yang perlu
diperhatikan juga adalah timbulnya pusing, sembelit hingga mulut terasa
kering.
VII.KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Apichaya Khlaiphuengsin et al. 2021. Circulating BAFF and CXCL10 Levels
Predict Response to Pegylated Interferon in Patient with HBeAg Positive
Chronic Hepatitis B. Asian Pac J. Allergy Immunol; 39; 129-135.
Bestari. 2006. Tatalaksana Asites Pada Hipertensi Portal. Sub Bagian
Gastroenterohepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam. FK Unpad.

Caixia Zheng, Honghong Yan, Jianyong Zeng, Shaohang Cai, Xiaolu Wu. 2019.
Comparison of pegylated interferon monotherapy and de novo pegylated
interferon plus tenofovir combination therapy in patients with chronic
hepatitis B. Infection and Drug Resistance:12 845–854

Chun Jen Liu et al. 2009. PEG Interferon Alfa 2a Plus Ribavirin for The
Treatment of Dual Chronic Infection with Hepatitis B and
Gastroenterology. Volume 136, Issue 2, Pages 496-504. e3. ISSN 0016-
5085.

Dienstag J.L., Isselbacher K.J.,Acute Viral Hepatitis. In: Eugene Braunwauld et


al. Harrison’s Principles of Internal Medicine, 17th Edition,McGraw Hill,
2008.

Lee JM, Han K-H, Ahn SH. 2009. Ascites and Spontaneous Bacterial Peritonitis:
An Asian Perspective. J Gastroenterol Hepatol;24(9):1494-1503.
doi:10.1111/j.1440-1746.2009.06020.

Lin S, Fu Y, Wu W, Chen T, Chen N, Xun Z, Liu C, Ou Q, Zeng Y, Huang H.


The Efficacy of Addition of Tenofovir Disoproxil Fumarate to Peg-IFN α-2b
Is Superior to The Addition of Entecavir In Hbeag Positive CHB Patients
With A Poor Response After 12 Weeks Of Peg-Ifnα-2b Treatment Alone. Int
J Med Sci 2020; 17(10):1458-1463. doi:10.7150/ijms.45658. Available from
https://www.medsci.org/v17p1458.htm.

Moore KP, Aithal GP. 2006. Guideline On the Management of Ascites in


Cirrhosis. Gut ;55 ;1-12.

Noer, Sjaifoellah H.M., Sundoro, Julitasari. Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati Edisi
Pertama. Editor : H. Ali Sulaiman. Jakarta: Jayabadi. 2007.
Perez-Ayuso RM, Arroyo V, Planas R, Gaya J, Bory F, Rimola A, et al.
Randomized comparative study of efficacy of furosemide versus
spironolactone in nonazotemic cirrhosis with ascites. Relationship between
the diuretic response and the activity of the renin-aldosterone system.
Gastroenterology. 1983 May;84(5 Pt 1):961-8.

Pusat Informasi Obat Nasional (Pionas), Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM) Republik Indonesia. 2014. Informatorium Obat Nasional
Indonesia (IONI). BPOM RI.

Rosner MH, Gupta R, Ellison D, Okusa MD. Management of Cirrhotic Ascites:


Physiological Basis of Diuretic Action. Eur J Intern Med. 2006;17(1):8-
19.

Runyon BA. 2012. Management of Adult Patients with Ascites Due to Cirrhosis:
Update. Am Assoc Study Liver Dis Pract Guidel. 2013:2087-2107.

Sanityoso, A. Hepatitis Virus Akut. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi
V. Jakarta. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2009.

Santos J, Planas R, Pardo A, et al. 2003. Spironolactone Alone or in Combination


with Furosemide in The Treatment of Moderate Ascites In Nonazotemic
Cirrhosis. A Randomized Comparative Study of Efficacy and Safety. J
Hepatol;39(2):187-192. doi:10.1016/S0168-8278(03)00188-0.

Sarah L. Bermingham, Ralph Hughes, Elisabetta Fenu,DKK.2015. Cost-


Effectiveness Analysis of Alternative Antiviral Strategies for the Treatment
of HBeAg-Positive and HBeAg-Negative Chronic Hepatitis B in the United
Kingdom. International Society for Pharmacoeconomics and Outcomes
Research (ISPOR).

Soemoharjo, Soewignjo, Prof. Dr., K-GEH. 2008. Hepatitis Virus B. Jakarta:


Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Spearman, ; E Song, M W Sonderu, H N Hairwadzi.2013. South African guideline
for the management of chronic hepatitis B. Division of Hepatology,
Department of Medicine, University of Cape Town, South Africa : Vol. 103,
No. 5
Tsochatzis, E.A., Bosch, J., Burroughs A.K. 2014. Liver Cirrhosis. Lancet 383
(9930): 1749-1761.
Wilkins, T., Sams, R., & Carpenter, M. (2019). Hepatitis B: screening,
prevention, diagnosis, and treatment. American family physician, 99(5),
314-323.

Anda mungkin juga menyukai