Anda di halaman 1dari 3

1.

Seorang wanita muslimah menikah dengan laki-laki muslim, pada akad nikah tersebut
dihadiri oleh dua orang, yang satu sebagai saksi dan yang lain sebagai wali, atau sebagai
saksi dan yang lain sebagai hakim. Masalahnya adalah dia telah ditalak tiga, namun
mantan suaminya menyakinkannya agar dia kembali lagi kepadanya, karena dianggap
bahwa pernikahan sebelumnya adalah batil. Maka bagaimanakah pendapat anda pada
akad nikah yang pertama, dan rujuknya kepada suami tersebut setelah ditalak tiga kali ?
a. jika dia telah mentalaknya tiga kali maka belum jatuh talak tersebut
b. Suami tersebut telah menggauli istrinya sebelum menjatuhkan talak, dan kalaupun ia
meninggal dunia, maka suami tersebut tetap tidak mendapatkan warisan dari istrinya,
berarti dia meyakini sahnya pernikahan tersebut,
c. talak tersebut tetap terjadi, baik pernikahan tersebut dihukumi dengan sah atau rusak
(tidak sah), maka wanita tersebut tidak boleh lagi kembali kepada suaminya sampai
menikah lagi dengan suami baru.
d. Prinsipnya bagi wanita yang tidak memiliki wali, akad nikahnya dilakukan oleh hakim
syariat atau penghulu nikah.
e. Disyaratkan bagi sahnya pernikahan, agar diakadkan oleh wali dari mempelai wanita,
akad tersebut juga disaksikan oleh dua orang saksi yang muslim, berdasarkan sabda
Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- :
)، ‫) من حديث أبي موسى األشعري‬1881( ‫) وابن ماجه‬1101( ‫) والترمذي‬2085( ‫َاح ِإاَّل بِ َولِ ٍّي) رواه أبو داود‬
َ ‫اَل نِك‬
‫ وصححه األلباني في صحيح الترمذي‬.
“Tidak ada pernikahan kecuali dengan adanya wali”. (HR. Abu Daud: 2085 dan
Tirmidzi: 1101 dan Ibnu Majah: 1881 dari hadits Abu Musa al Asy’ari, dan dishahihkan
oleh al Baani dalam Shahih Tirmidzi).
2. Sebagian para ulama bahwa pengumuman pernikahan sudah cukup tanpa adanya saksi,
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abdullah bin Zubair –radhiyallahu
‘anhuma- bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

)1993( ‫ أعلنوا النكاح ) والحديث حسنه األلباني في إرواء الغليل برقم‬.

Pernyataan diatas adalah tentang :

a. Saksi palsu
b. Al walimah al-urs
c. Al ghanimah
d. Menikahi janda tanpa wali
e. Haram akad nikah tanpa wali

3. Suami saya telah menjatuhkan talak kepada saya di depan hakim saja untuk mengakhiri
pernikahan secara undang-undang, agar dia dibolehkan menikah dengan istri kedua,
namun sebenarnya dia masih menjadi suami saya yang sah, akan tetapi hakim menekan
dan memaksanya untuk menceraikan saya di bawah al Qur’an, kalau tidak maka penjara
menanti kita berdua, dia pun menuruti perintah hakim. Tentu suami saya tidak bermaksud
untuk menceraikan saya, hanya saja undang-undang telah mengakhiri pernikahan dengan
istri pertama selamanya begitu seorang suami ingin menikah lagi dengan istri kedua. Inilah
yang diinginkan oleh hakim dengan paksa, apalagi saya sedang hamil ketika proses
tersebut berlangsung. Apakah talak karena undang-undang tersebut dianggap jatuh
talak ?, apakah kami wajib membayar denda (kaffarat) ?, kami ingin terbebas dari setiap
dosa; karena banyak masalah yang mengitari kami dari semua sisi, besar perkiraan kami
karena keburukan maksiat.
a. Jika seorang suami dipaksa untuk menceraikan istrinya dengan diancam akan disakiti fisik
dan hartanya atau diancam dengan penjara, dari seseorang yang dianggap mampu untuk
melaksanakan ancamannya tersebut, maka dalam kondisi seperti itu jatuh talak.
b. Jika seorang suami dipaksa untuk menceraikan istrinya dengan diancam akan disakiti fisik
dan hartanya atau diancam dengan penjara, dari seseorang yang dianggap mampu untuk
melaksanakan ancamannya tersebut, maka dalam kondisi seperti itu jatuh talak tiga.
c. Sebaiknya anda kuatkan apa saja yang menjadi hak anda dari suami anda, seperti; mas
kawin yang belum dibayarkan atau yang lainnya; karena anda setelah proses perceraian
menurut pengadilan tidak dianggap istrinya yang sah di hadapan undang-undang
d. Belum termasuk jatuhnya talak
e. Belum termasuk jatuhnya talak tiga

4. Berbicara masalah poligami erat terkait hubungannya dengan esensi perkawinan. Dimana
tujuan perkawinan yang sangat esensial adalah menciptakan kedamaian, kebahagiaan,
kasih sayang, dan ketentraman dalam keluarga. Perihal mengenai tata cara untuk
berpoligami dan syarat untuk dapat melakukan poligami telah diatur sedemikian rupa baik
dalam UUP No. 1 Tahun 1974, PP No. 9 Tahun 1975, PP No. 10 Tahun 1983, PP No. 45
Tahun 1990, Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Hukum Islam.
Tata cara pelaksanaan maupun syarat untuk melakukan poligami dalam UUP NO. 1 Tahun
1974 diatur dalam pasal 3, 4, dan 5, mengenai kewajiban seorang suami lebih lanjut diatur
dalam Pasal 65. dalam PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Atas UUP?74 diatur
dalam Pasal 40, 41, 42, 43, dan Pasal 44, dan mengenai sanksi adanya pelanggaran diatur
dalam Pasal 45. Sedangkan dalam PP No. 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan bagi
Pegawai Negeri diatur pada Pasal 4, 9, dan Pasal 10. Dan dalam PP No. 45 Tahun 1990
tentang Perubahan Atas PP NO. 10 diatur dalam Pasal 1 angka 4, 5 dan 9. Selanjutnya,
lebih lanjut dalam KHI Inpres No. 1 Tahun 1991, mengenai tata cara dan persyaratan untuk
melakukan poligami diatur dalam Bab IX Pasal 55, 56, 57, 58 dan Pasal 59.
Adapun dalam Islam, syarat untuk dapat melakukan poligami diterangkan dalam nash al
qur’an. Menurut penjelasan ayat-ayat tersebut syarat seseorang yang hendak berpoligami
ialah ia harus mampu untuk berbuat adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya, baik dalam
hal pemebrian nafkah, tempat tinggal, pakaian, makan dalam mengatur giliran malam,
dan sampai pada pendidikan yang layak terhadap anak. Atas dasar ini, keadilan yang
diwajibkan atas seorang suami adalah bersikap seimbang di antara para istrinya sesuai
dengan kemampuannya, yaitu dalam hal bermalam atau memberi makan, pakaian,
tempat tinggal dan lain-lain; bukan dalam masalah cinta dan kasih sayang yang memang
berada diluar kemampuan manusia.
Nash dimaksud adalah :
a. Undang-undang perkawinan no. 1 / 1974
b. firman Allah SWT, Sr. an-Nisa ayat 3 dan ayat 129.
c. firman Allah SWT, Sr. an-Nisa ayat 3 dan ayat 122.
d. firman Allah SWT, Sr. an-Nisa ayat 13
e. Surah an-Nisa ayat 129 dan Undang undang No, 8 tahun 1989

5. Dalam hukum Islam, khamr adalah minuman keras yang zaman dahulu dibuat dengan
campuran kurma dan anggur. Karena dapat memabukkan, khamr kemudian dilarang
dengan cara bertahap karena sudah menjadi kebiasaan sejak zaman jahiliyah.
Ketika salah satu sahabat nabi

Anda mungkin juga menyukai