Anda di halaman 1dari 5

1.

KEESAAN ALLAH

Pembaca yang dirahmati Allah. Berbicara konsep ketuhanan, Islam adalah satu-satunya
agama yang menanamkan kepada penganutnya konsep ketuhanan yang bersifat tauhidi.
Artinya, dalam hal keyakinan (akidah) seorang muslim wajib meyakini bahwa Allah Maha
Esa, Esa dalam Zat-Nya, Esa dalam sifat-Nya, dan Esa dalam perbuatan-Nya. Dalam Islam,
konsep ketuhanan secara jelas dan tegas dituangkan dalam surat al-Ikhlas, sebuah surat yang
ringkas dan sarat akan makna ketauhidan.

Tafsir Ringkas Surat al-Ikhlas

Sebagian ahli tafsir menyampaikan suatu riwayat yang menerangkan bahwa surat ini
diturunkan untuk menjawab pertanyaan kaum musyrikin kepada Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam perihal sifat dan nasab Tuhan yang beliau
dakwahkan untuk disembah. Untuk tujuan tersebut, surat ini diturunkan kepada beliau. Dalam
surat ini, pada ayat pertama, disampaikan bahwa Tuhan yang mereka tanyakan itu adalah
Allah al-Ahad, yang Maha Esa. Terkait makna al-Ahad, Ibnu Katsir memaparkan bahwa
“Dia-lah al-Wahid al-Ahad, tidak ada yang setara dengan-Nya, tidak memiliki pembantu,
tanpa sekutu, serta tidak ada yang serupa dan sepadan dengan-Nya [Tafsir Ibn Katsir : 8/527].

Pada ayat berikutnya ditegaskan bahwa Allah adalah ash-Shamad, yaitu Tuhan yang
bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Mengingat Allah senantiasa berada dalam kesibukan
sebagaimana dinyatakan dalam surat ar-Rahmaan ayat 29, adalah tepat jika Allah memiliki
nama ash-Shamad , nama yang memiliki cakupan makna yang sangat luas karena memiliki
arti as-Sayyid, yang dijadikan tujuan atau sandaran, dan tidak ada seorang pun yang berada di
atas-Nya [Jaami’ al-Bayaan fii Takwiil al-Quraan 24/692].

Lebih lanjut pada ayat ketiga Allah berfirman (yang artinya), “Dia tiada beranak dan tiada
pula diperanakkan”. Ayat ini menjelaskan bahwa tidak ada anak yang dilahirkan dari-Nya.
Demikian pula Allah tidaklah lahir dari sesuatu apa pun. Kemudian surat ini diakhiri dengan
firman-Nya (yang artinya), “Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia” untuk
memperkuat karena Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa tentu menuntut penafian
(peniadaan) keberadaan sesuatu yang setara dengan-Nya.
2. Menurut pendapat para ulama, iman seorang hamba memiliki tingkatan. Syekh Allamah
Muhammab bin Umar an-Nawawi al-Banteni dalam Kitab Syarah Kasyifah as-Saja Fi
Syarhi Safinah an-Naja mengatakan, ada lima tingkatan iman.

Pertama, iman taklid, yaitu mantap dan percaya dengan ucapan orang lain tanpa
mengetahui dalilnya. Orang yang memiliki tingkatan keimanan ini dianggap sah
keimanannya, tetapi berdosa karena meninggalkan upaya mencari dalil apabila orang
tersebut mampu menemukannya.

Kedua, iman ilmi, yaitu mengetahui akidah-akidah beserta dalil-dalilnya. Tingkatan


keimanan ini disebut ilmu yaqin. Menurut Syekh Nawawi, orang yang memiliki
keimanan tingkat pertama dan kedua termasuk orang yang terhalang jauh dari Zat Allah
Ta'aala.

Ketiga, iman iyaan, yaitu mengetahui Allah dengan pengawasan hati. Oleh karena itu,
Allah tidak hilang dari hati sekedip mata pun karena rasa takut kepada-Nya selalu ada di
hati sehingga seolah-olah orang yang memiliki tingkatan keimanan ini melihat Allah
di maqam muraqabah atau derajat pengawasan hati. Tingkat keimanan ini disebut
dengan ainul yaqin.

Keempat, iman haq, yaitu melihat Allah dengan hati. Tingkatan keimanan ini seperti
yang disampaikan para ulama, yakni orang yang makrifat. Orang tersebut dapat melihat
Allah dalam segala sesuatu. Tingkat keimanan ini berada di maqam musyahadah dan
disebut dengan haq al-yaqiin. Orang yang memiliki tingkatan keimanan ini adalah orang
yang terhalang jauh dari selain Allah.

Kelima, iman hakikat, yaitu sirna bersama Allah dan mabuk karena cinta kepada-Nya.
Oleh karena itu, orang yang memiliki tingkatan keimanan ini hanya melihat Allah seperti
orang yang tenggelam di dalam lautan dan tidak melihat adanya tepi pantai sama sekali.

Tingkatan keimanan yang wajib dicapai seseorang adalah tingkatan pertama dan
kedua. Sementara itu, tingkatan keimanan ketiga, keempat, dan kelima merupakan
tingkatan-tingkatan keimanan yang dikhususkan oleh Allah untuk hamba-Nya yang Dia
kehendaki.
3. HAM merupakan hak yang secara alamiah diperoleh seseorang sejak lahir, karena itu
HAM sejalan dengan ftrah manusia itu sendiri.
HAM pada hakikatnya merupakan anugrah Allah kepada semua manusia. Menurut
Syari‟ah, manusia adalah makhluk bebas yang mempunyai tugas dan tanggung jawab,
dan karenanya ia juga mempunyai hak dan kebebasan. Dasarnya adalah keadilan yang
ditagakkan atas dasar persamaan atau egaliter, tanpa pandang bulu. Artinya, tugas
yang diemban tidak akan terwujud tanpa adanya kebebasan, sementara kebebasan
secara eksistensial tidak terwujud tanpa adanya tanggung jawab itu sendiri.2
Oleh Islam manusia di tempatkan sebagai makhluk yang memilki kemuliaan dan
keutamaan, memiliki harkat dan martabat yang tinggi, sebagaimana dinyatakan dalam
al-Quran. ْ

“ dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak adam, kami angkut mereka
didaratan dan dilautan, kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan kami
lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan mahluk yang
telah kami ciptakan.”( Q.S. Al-Isra:70 )
4. Manusia sebagai Khalifah Allah
Oleh: Dr. Aibdi Rahmat, M.Ag. Khalifah bermakna mengganti, menggantikan, menempati tempatnya,
atau belakang. Khalifah juga bermakna pengganti yang lain baik karena kegaiban/ ketiadaan yang
digantikannya, ada kalanya karena kematian, kelemahan, atau karena kemuliaan yang digantikannya. Pada
makna yang terakhir inilah digunakan pengertian Allah mengangkat wali-wali-Nya sebagai khalifah di
bumi. Karena wali Allah berarti menggantikan posisi kemuliaan Allah di bumi ini. Banyak ayat Alquran
yang membicarakan tentang kekhalifahan manusia di bumi. Allah menjadikan manusia sebagai khalifah-
Nya di bumi yang berarti menunjukkan keutamaan dan kemuliaan manusia. Manusia mendapatkan
kemuliaan dari Allah menjadi khalifah-Nya di bumi ini untuk menjalankan tugas dan fungsi yang akan
diberikan kepada mereka. Pernyataan tentang kekhalifahan manusia disebutkan dalam QS. al-
Baqarah/2:30.

Artinya:"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal
kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".

Allah menjadikan manusia sebagai khalifah-Nya dalam pengertian menegakkan kehendak-Nya dan
menerapkan ketetapan-Nya. Allah mengangkat manusia sebagai khalifah bertujuan untuk menguji manusia
dan memberinya penghormatan. Kekhalifahan merupakan wewenang yang diberikan Allah kepada Adam
dan anak cucunya untuk direalisasikan di bumi ini. Dengan demikian, kekhalifahan mengharuskan
makhluk yang diserahi tugas tersebut melaksanakan tugasnya sesuai dengan petunjuk Allah. Seluruh
perbuatan atau tindakan yang tidak sesuai dengan kehendak-Nya adalah pelanggaran terhadap makna dan
tugas kekhalifahan. Menjadi khalifah Allah di bumi ini ternyata bukan tugas yang ringan atau main-main.
Sebagai khalifah Allah di bumi yang akan menjalankan kehendak dan ketetapan-Nya, Adam –sebagai
bapak manusia- dibekali Allah dengan segala pengetahuan yang dibutuhkannya untuk menjalankan tugas
tersebut. Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruh benda. Dengan demikian berarti Allah
memberinya pengetahuan tentang nama-nama atau kata-kata yang digunakan untuk menunjuk benda-benda
atau fungsi benda-benda tersebut

5. Di dalam Al Qur’an disebutkan fungsi dan peranan yang diberikan Allah kepada
manusia.

• Menjadi abdi Allah. Secara sederhana hal ini berarti hanya bersedia mengabdi
kepada Allah dan tidak mau mengabdi kepada selain Allah termasuk tidak
mengabdi kepada nafsu dan syahwat. Yang dimaksud dengan abdi adalah
makhluk yang mau melaksanakan apapun perintah Allah meski terdapat resiko
besar di dalam perintah Allah. Abdi juga tidak akan pernah membangkang
terhadap Allah. Hal ini tercantum dalam QS Az Dzariyat : 56“Dan tidak Aku
ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu”

• Menjadi saksi Allah. Sebelum lahir ke dunia ini, manusia bersaksi kepada Allah
bahwa hanya Dialah Tuhannya.Yang demikian dilakukan agar mereka tidak
ingkar di hari akhir nanti. Sehingga manusia sesuai fitrahnya adalah beriman
kepada Allah tapi orang tuanya yang menjadikan manusia sebagai Nasrani atau
beragama selain Islam. Hal ini tercantum dalam QS Al A’raf : 172

• “Dan (ingatlah), keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah
mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):”Bukankah Aku
ini Tuhanmu?”. Mereka menjawab:”Betul (Engkau Tuhan Kami),kami menjadi
saksi”.(Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak
mengatakan:”Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap ini(keesaan Tuhan)”

• Khalifah Allah sebenarnya adalah perwakilan Allah untuk berbuat sesuai


dengan misi yang telah ditentukan Allah sebelum manusia dilahirkan yaitu untuk
memakmurkan bumi. Khalifah yang dimaksud Allah bukanlah suatu jabatan
sebagai Raja atau Presiden tetapi yang dimaksud sebagai kholifah di sini adalah
seorang pemimpin Islam yang mampu memakmurkan alam dengan syariah-
syariah yang telah diajarkan Rosulullah kepada umat manusia. Dan manusia
yang beriman sejatilah yang mampu memikul tanggung jawab ini. Karena
kholifah adalah wali Allah yang mempusakai dunia ini.

Anda mungkin juga menyukai