Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH PATOFISIOLOGI

ADAPTASI SEL DAN KEMATIAN PADA SEL

DISUSUN OLEH
KISANADA GHUMAIROH
2101232

SEKAOLAH TINGGI ILMU FARMASI RIAU


YAYASAN UNIV RIAU
PEKANBARU
DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR PUSTAKA i
KATA PENGANTAR ii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan 2
BAB II PEMBAHASAN 2
2.1 Adaptasi Jejas Sel dan Kematian Sel 3
2.1.1 Adaptasi Sel 4
2.1.2 Jejas Sel 11
2.1.3 Kematian Sel 13
BAB III PENUTUP 16
3.1 Kesimpulan 16
DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga makalah ini

dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih terhadap

bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran

maupun materinya. Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan

dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini

bisapembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Pekanbaru, 13 September 2021


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sel merupakan unit kehidupan terkecil yang ada, dalam kehidupannya sel mampu

melakukan berbagai aktivitas metabolisme yang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Di

dalam sel terdapat membran plasma, nukleus, sitoplasma, dan organel-organel yang

melakukan peranannya masing-masing. Setiap sel menjalin suatu hubungan satu sama lain

melalui berbagai cara membentuk suatu jaringan, kemudian, organ, sistem organ, dan pada

akhirnya orgenisme.

Sel normal merupakan mikrokosmos yang berdenyut tanpa henti, secara tetap

mengubah stuktur dan fungsinya untuk memberi reaksi terhadap tantangan dan tekanan

yang selalu berubah. Bila tekanan atau rangsangan terlalu berat, struktur dan fungsi sel

cenderung bertahan dalam jangkauan yang relatif sempit.

Penyesuaian sel mencapai perubahan yang menetap, mempertahankan kesehatan sel

meskipun tekanan berlanjut. Tetapi bila batas kemampuan adaptasi tersebut melampaui

batas maka akan terjadi jejas sel atau cedera sel bahkan kematian sel. Dalam bereaksi

terhadap tekanan yang berat maka sel akan menyesuaikan diri, kemudian terjadi jejas sel

atau cedera sel yang akan dapat pulih kembali dan jika tidak dapat pulih kembali sel

tersebut akan mengalami kematian sel. Dalam makalah ini akan membahas tentang

mekanisme jejas, adaptasi dan kematian sel.


1.2 Rumusan Masalah

1. Apa saja proses adaptasi sel?

2. Bagaimana proses terjadinya adaptasi sel

3. Apa jenis-jenis kematian pada sel

4. Bagaimana proses terjadinya kematian pada sel

1.3 Tujuan

Mengetahui jenis-jenis adaptasi dan juga kematian sel, serta mengetahui proses dari

adaptasi sel dan juga kematian pada sel,


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Adaptasi dan Kematian Sel

Rudolph Virchow (dokter patolog dari Jerman) mengatakan bahwa dasar dari semua

penyakit adalah karena adanya kerusakan pada unit terkecil dari badan kita alias sel. Sel

melakukan perubahan fungsi dan struktur dalam usahanya mempertahankan kondisi

keseimbangan tubuh normal. Apabila tubuh mengalami stres fisiologis ataupun adanya proses

yang abnormal, sel akan melakukan adaptasi.

Kegagalan adaptasi sel berakibat pada cedera sel yang bisa bersifat reversible (dapat

kembali normal) ataupun irreversible (tidak kembali normal). Apabila cedera sel sangat berat

sehingga tidak dapat kembali normal, sel akan mati melalui 2 cara, yaitu apoptosis (bunuh diri,

sebagai kematian sel yang alami) atau nekrosis (rusak, sehingga mati).

2.1.1 Adaptasi Sel

Adaptasi sel merupakan respons sel terhadap cedera yang tidak mematikan dan bersifat

menetap (persistent). Ada 4 cara yang dilakukan yaitu atrofi, hipertrofi, hiperplasia, dan

metaplasia.

2.1.1.1. Atrofi

Atrofi merupakan pengurangan ukuran yang disebabkan oleh mengecilnya ukuran sel

atau mengecilnya/berkurangnya (kadang-kadang dan biasa disebut atrofi numerik) sel

parenkim dalam organ tubuh .


Atrofi dapat disebabkan oleh berbagai faktor tergantung pada jenis atrofi tersebut.

Sebelum membahas mengenai penyebab terjadinya, maka harus diketahui terlebih dahulu

jenis-jenis atrofi agar pembahsannya lebih spesifik. Secara umum, terdapat dua jenis atrofi,

yaitu atrofi fisiologis dan atrofi patologis.

Atrofi fisiologis merupakan atrofi yang bersifat normal atau alami. Beberapa organ

tubuh dapat mengecil atau menghilang sama sekali selama masa perkembangan atau

pertumbuhan, dan jika alat tubuh tersebut organ tubuh tersebut tidak menghilang ketika sudah

mencapai usia tertentu, malah akan dianggap sebagai patologik. Contoh dari atrofi fisiologis

ini yaitu proses penuaan (aging process) dimana glandula mammae mengecil setelah laktasi,

penurunan fungsi/produktivitas ovarium dan uterus, kulit menjadi tipis dan keriput, tulang-

tulang menipis dan ringan akaibat resorpsi. Penyebab proses atrofi ini bervariasi, diantaranya

yaitu berkurangnya/hilangnya stimulus endokrin, involusi akibat menghilangnya rangsan-

rangsang tumbuh (growth stimuli), berkurangnya rangsangan saraf, berkurangnya perbekalan

darah, dan akibat sklerosis arteri. Penyebab-penyebab tersebut terjadi karena peoses normal

penuaan. Berbeda dengan atrofi fisiologis, atrofi patologis merupakan atrofi yang terjadi di luar

proses normal/alami.
Secara umum, atrofi patologis dan fisiologis terbagi menjadi lima jenis, yaitu atrofi

senilis, atrofi inaktivas, atrofi desakan, dan atrofi endokrin.

1. Atrofi senilis

Atrofi senilis terjadi pada semua alat tubuh secara umum, karena atrofi senilis termasuk

dalam atofi umum (general atrophy). Atropi senilis tidak sepenuhnya merupakan atropi

patologis karena proses aging pun masuk ke dalam kelompok atrofi senilis padahal proses

aging merupakan atropi fisiologis.

Contoh atropi senilis yang merupakan proses patologik yaitu starvation (kelaparan).

Starvation atrophy terjadi bila tubuh tidak mendapat makanan/nutrisi untuk waktu yang lama.

Orang yang menderita gangguan pada saluran pencernaan misalnya karena penyempitan

(striktura) esophagus. Pada penderita stiktura esophagus tersebut mungkin mendapatkan suplai

makanan yang cukup, namun makanan tersebut tidak dapat mencapai lambung dan usus karena

makanan akan di semprotkan keluar kembali. Karena itu, makanan tidak akan sampai ke

jaringan-jaringan tubuh sehingga terjadilah emasiasi, inanisi, dan badan menjadi kurus.

2. Atropi inaktivitas

Terjadi akibat inaktivitas organ tubuh atau jaringan. Misalnya inaktivitas otot-otot

mengakibatkan otot-otot tersebut mengecil. Atropi otot yang paling nyata yaitu bila terjadi

kelumpuhan otot akibat hilangnya persarafan seperti yang terjadi pada poliomyelitis.

Atrofi inaktivitas disebut juga sebagi atrofi neurotrofik karena disebabkan oleh

hilangnya impuls trofik. Tulang-tulang pada orang yang karena suatu keadaan terpaksa harus

berbaring lamaocclusion) pada saluran keluar pancreas, sel-sel asinus pancreas (eksokrin)

menjadi atrofik. Namun, pulau-pulau Langerhans (endokrin) yang membentuk hormon dan

disalurkan ke dalam darah tidak mengalami atrofi. mengalami atrofi inaktivitas. Akibatnya,

tulang-tulang menjadi berlubang-lubang karena kehilangan kalsiumnya sehingga tidak dapat


menunjang tubuh dengan baik. Sel-sel kelenjar akan rusak apabila saluran keluarnya tersumbat

untuk waktu yang lama.

3. Atrofi desakan

Atrofi ini terjadi akibat desakan yang terus-menerus atau desakan dalam waktu yang

lama dan yang mengenai suatu alat tubuh atau jaringan. Atrofi desakan fisiologik terjadi pada

gusi akibat desakan gigi yang mau tumbuh dan dan yang mengenai gigi (pada anak-anak). Atroi

desakan patologik misalnya terjadi pada sternum akibat aneurisma aorta. Pelebaran aorta di

daerah substernal biasanya terjadi akibat sifilis. Karena desakan yang tinggi dan terus menerus

mengakibatkan sternum menipis.

Atrofi desakan ini pun dapat terjadi pada ginjal. Parenkim ginjal dapat menipis akibat

desakan terus-menerus. Ginjal seluruhnya berubah menjadi kantung berisi air, yang biasanya

terjadi akibat obstruksi ureter, yang biasanya disebabkan oleh batu. Atrofi dapat terjadi pada

suatu alat tubuh kerena menerima desakan suatu tumor didekatnya yang makin lama makin

membesar.

4. Atrofi endokrin

Terjadi pada alat tubuh yang aktivitasnya bergantung pada rangsangan hoemon

tertentu. Atrofi akan terjadi jika suplai hormon yang dibutuhkan oleh suatu organ tertentu

berkurang atau terhenti sama sekali. Hal ini misalnya dapat terjadi pada penyakit Simmonds.

Pada penyakit ini, hipofisis tidak aktif sehingga mrngakibatkan atrofi pada kelenjar gondok,

adrenal, dan ovarium.

Secara umum, atrofi dapat terjadi karena hal-hal/kondisi berikut.

• Kurangnya suplai Oksigen pada klien/seseorang

• Hilangnya stimulus/rangsangan saraf


• Hilangnya stimulus/rangsangan endokrin

• Kekurangan nutrisi

• Disuse/inaktivitas (organ tidak sering digunakan, maka akan mengakibatkan

pengecilan organ tersebut).

Secara umum, seluruh perubahan dasar seluler (dalam hal ini merupakan perubahan ke

arah atropi) memiliki proses yang sama, yaitu menunjukkan proses kemunduran ukuran sel

menjadi lebih kecil. Namun, sel tersebut masih memungkinkan untuk tetap bertahan hidup.

Walupun sel yang atropi mengalami kemunduran fungsi, sel tersebut tidak mati.

Atropi menunjukkan pengurangan komponen-komponen stutural sel. Sel yang

mengalami atropi hanya memiliki mitokondria dengan jumlah yang sedikit, begitu pula dengan

komponen yang lain seperti miofilamen dan reticulum endoplasma. Akan tetapi ada

peningkatan jumlah vakuola autofagi yang dapat memakan/merusak sel itu sendiri.

2.1.1.2. Hipertrofi

Hipertrofi adalah Pertambahan besar organ akibat adanya pertambahan ukuran sel pada

organ. Hipertrofi adalah suatu respons adaptif yang terjadi apabila terdapat peningkatan beban

kerja suatu sel. Kebutuhan sel akan oksigen dan zat gizi meningkat, menyebabkan

pertumbuhan sebagian besar struktur dalam sel.


Contoh hipertrofi yang menguntungkan adalah yang terjadi pada jaringan yang terdiri

atas sel permanen misalnya otot skelet pada binaragawan. Hipertrofi yang bersifat patologis

contohnya adalah jantung yang dipotong melintang, kapasitas jadi lebih kecil dan kerja jantung

jadi lebih berat.

Pada kondisi hipertropi patologis jantung terjadi peningkatan ukuran sel atau

pebengkakan jantung yang ditandai dengan ventrikel kiri , hal ini disebabkan beban kerja

jantung meningkat. Kardiomiopati hipertrofik bisa terjadi sebagai suatu kelainan bawaan.

Penyakit ini dapat terjadi pada orang dewasa dengan akromegali (kelebihan hormon

pertumbuhan di dalam darah) atau penderita hemokromositoma (suatu tumor yang

menghasilkan adrenalin).

Dampak hipertrofi ventrikel bagi penderita yaitu jantung menebal dan lebih kaku dari

normal dan lebih tahan terisi oleh darah dari paru-paru. Sebagai akibatnya terjadi tekanan balik

ke dalam vena-vena paru, yang dapat menyebabkan terkumpulnya cairan di dalam paru-paru,

sehingga penderita mengalami sesak nafas yang sifatnya menahun. Penebalan dinding

ventrikel juga bisa menyebabkan terhalangnya aliran darah.

2.1.1.3. Metaplasia

Metaplasia adalah perubahan sel dari satu subtipe ke subtipe lainnya. Metaplasia

biasanya terjadi sebagai respons terhadap cedera atau iritasi kontinu yang menghasilkan

peradangan kronis pada jaringan. Dengan mengalami metaplasia, sel-sel yang lebih mampu

bertahan terhadap iritasi dan peradangan kronik akan menggantikan jaringan semula.
Contoh metaplasia yang paling umum adalah perubahan sel saluran pernapasan dari sel

epitel kolumnar bersilia menjadi sel epitel skuamosa bertingkat sebagai respons terhadap

merokok jangka panjang. Contoh lain yang dapat kita amati pada kasus kanker serviks. Pada

perubahan sel kolumnar endoserviks menjadi sel skuamosa ektoserviks terjadi secara

fisiologis pada setiap wanita yang disebut sebagai proses metaplasia. Karena adanya faktor-

faktor risiko yang bertindak sebagai ko-karsinogen, proses metaplasia ini dapat berubah

menjadi proses displasia yang bersifat patologis. Displasia merupakan karakteristik

konstitusional sel seperti potensi untuk menjadi ganas.

Salah satu contoh peradangan kronis misalnya pada penyakit gastritis. Gastritis adalah

suatu peradanganpada dinding gaster terutama pada lapisan mukosa gaster. Salah satu etiologi

terjadinya gastritis adalah Helycobacter pylory ( pada gastritis kronis ).

Helicobacter pylori merupakan bakteri gram negatif. Organisme ini menyerang sel

permukaan gaster, memperberat timbulnya desquamasi sel dan muncu lah respon radang

kronispada gaster yaitu: destruksi kelenjar dan metaplasia.

Metaplasia adalah salah satu mekanisme pertahanan tubuh terhadap iritasi, yaitu

dengan mengganti sel mukosa gaster misalnya dengan sek squamosa yang lebih kuat. Karena

sel squamosa lebih kuat maka elastisitasnya juga berkurang. pada saat mencerna makanan,

lambung melakukan gerakan peristaltik tetapi karena sel penggantinya tidak elastis maka akan

timbul kekakuan yang pada akhirnya akan menimbulkan rasa nyeri. Metaplasia ini juga

menyebabkan hilangnya sel mukosa pada lapisan lambung, sehingga akan mengakibatkan

kerusakan pembuluh darah lapisan mukosa. Kerusakan pembuluh darah ini akan menimbulkan

perdarahan.
2.1.1.4. Hiperplasia

Hiperplasia merupakan suatu kondisi membesarnya alat tubuh/organ tubuh karena

pembentukan atau tumbuhnya sel-sel baru (Saleh, 1973). Sama halnya dengan atrofi, terdapat

dua jenis hyperplasia, yaitu hyperplasia fisiologis dan patologis. Contoh yang sering kita

temukan pada kasus hyperplasia fisiologis yaitu bertambah besarnya payudara wanita ketika

memasuki masa pubertas. Sedangkan hyperplasia patologis sering kita temukan pada serviks

uterus yang dapat mengakibatkan kanker serviks. Sel-sel pada serviks tersebut mengalami

penambahan jumlah. Biasanya hyperplasia ini diakibatkan oleh sekresi hormonal yang

berlebihan atau faktor pemicu pertumbuhan yang besar.


2.1.2. Jejas Sel

Terdapat beberapa penyebab cedera (jejas) sel. Lima dari beberapa penyebab umum

jejas sel antara lain:

• kekurangan oksigen

• kekurangan nutrisi

• infeksi sel

• respon imun yang abnormal

• Faktor fisik (suhu, temperature, radiasi, trauma, dan gejala kelistrikan) dan kimia

(bahan-bahan kimia beracun).

Berdasarkan tingkat kerusakannya, jejas sel dikelompokkan menjadi 2 kategori utama

yaitu p) jejas reversible (degenerasi sel) dan q) jejas irreversible (kematian sel). Hipokisa atau

defisiensi oksigen, mengganggu respirasi oksidatif aerobic merupakan penyebab jejas sel yang

paling sering dan terpenting, serta menyebabkan kematian.

Selain hipoksia terdapat pula penyebeb yang lain yaitu: Iskemia (penghambatan

pembulu darah) merupakan penyebab tersering dari hipoksia. Selain itu, disebabkan oleh

oksigenasi darah yang tidak adekuat (seperti pada pneumonia), berkurangnya kemampuan

pengangkutan oksigen darah (seperti pada anemia atau keracunan CO Sehingga menghalau

pengikatan oksigen)

Respon seluler terhadap stimulus yang berbahaya bergantung pada tipe cedera, durasi,

dan keparahannya. jadi toksin berdosis rendah atau iskemia berdurasi singkat dapat

menimbulkan jejas sel yang reversible. begitu pula sebaliknya. Jadi jejas tersebut bisa terlihat

atau tidak itu tergantung pada durasi iskemia dan kadar toksin yang terkandung didalam jejas

tersebut.
Respon imun yang abnormal merupakan respon dari kekebalan tubuh terhadap suatu

keadaan yang dapat menimbulkan jejas sel. sebagai contoh dalam Skleroderma terjadi pada

fase vaskuler. pada fase tersebut dari respon imun yang abnormal mengakibatkan akumulasi

lokal faktor-faktor pertumbuhan yang menggerakkan proliferasi fibroblas dan menstimulasi

sisntesis kolagen.

Kekurangan imun juga dapat menyebabkan jejas sel, kekurangan nutrisi yang dimaksud adalah

kekuarangan suatu zat yang sanagt diperlukan untuk sel tersebut, misalnya terjadi defisiensi

protein. defisiensi protein ini akan menyebabkan terganggunya pertumbuhan dan pemeliharaan

pada jaringan, sehingga akan timbul jejas yang akan merugikan bagi tubuh.

2.1.3. Kematian Sel

2.1.3.1. Apotosis

Apoptosis adalah suatu proses kematian sel yang terprogram, diatur secara genetik,

bersifat aktif, ditandai dengan adanya kondensasi kromatin, fragmentasi sel dan fagositosis

sel tersebut oleh sel tetangganya. Istilah apoptosis berasal dari Bahasa Yunani, yang artinya

gugurnya putik bunga atau daun dari batangnya. Apoptosis pertama kali diidentifikasikan

sebagai bentuk kematian sel berdasarkan kepada morfologinya.

Penelitian mengenai kejadian biokimiawi apoptosis dapat merupakan prediksi dari

peranannya dalam mengontrol sel yang ditentukan secara genetik dan alamiah, sehingga

kontrol genetik dan mekanisme biokimiawi dari apoptosis menjadi lebih dimengerti dalam

perkembangan dan strategi terapi yang mengatur kejadian proses . Apoptosis merupakan

bentuk atau mekanisme kematian sel yang terprogram (programmed cell death) atau karena

bunuh diri sel (suicide), yang ditandai dengan gambaran morfologi dan biokimiawi yang

khas, yaitu adanya kondensasi kromatin, fragmentasi sel dan pagositosis sel tersebut oleh

sel tetangganya.
Terjadinya deregulasi apoptosis dapat menyebabkan keadaan patologis, termasuk

proliferasi secara tidak terkontrol seperti dijumpai pada sel kanker. Kontrol apoptosis

umumnya dikaitkan dengan gen yang mengatur berlangsungnya siklus sel, di antaranya

melibatkan gen p53, Rb, Myc dan keluarga BcL2. Gangguan regulasi dan proliferasi sel

baik aktivitas onkogen dominan maupun in aktivasi gen tumor supresor p53, ada

hubungannya dengan kontrol apoptosis. Beberapa jenis virus seperti SV50, Herpes dan

adenovirus dapat mengalami proses transformasi dengan cara mengganggu fungsi apoptosis

di dalam sel. Apoptosis ini merupakan proses penting dalam pengaturan homeostasis normal,

yang menghasilkan keseimbangan dalam jumlah sel jaringan tertentu melalui eliminasi

sel yang rusak dan proliferasi fisiologi.

Dengan demikian apoptosis dapat memelihara fungsi jaringan normal. Apoptosis

berfungsi mengeliminasi sel yang tidak diinginkan atau sel yang tidak berguna lagi selama

proses pertumbuhan sel dan proses biologi normal lainnya. Selain itu apoptosis juga dapat

berperan pada perkembangan embrio, perkembangan suatu jaringan atau organ yang

didahului oleh pembelahan sel dan diferensiasi sel yang besar-besaran dan kemudian

diseleksi atau dikoreksi melalui apoptosis.

Proses apoptosis juga dapat terjadi misalnya pada pelepasan sel endometrium

selama siklus menstruasi, regresi payudara selama masa me- nyusui, dan atresia folikel

ovarium pada masa menopause . Pada pengamatan secara fisio- logis, beberapa karakteristik

yang ditunjukkan pada sel yang mengalami apoptosis, antara lain berupa pengkerutan sel,

kerusakan membran plasma dimana membran menjadi berlekuk-lekuk namun tidak

mengalami perubahan integritas, terjadinya kondensasi atau agregasi kromatin pada

membrane inti, dimulai dengan penciutan sitoplasma dan kondensasi inti yang diakhiri

dengan fragmentasi sel, fragmenasi protein dan DNA. Sel yang telahmati melalui proses

ini tidak kehilangan kandungan internal sel dan tidak menyebabkan respon inflamasi. Jika
program apoptosis suatu sel telah selesai, maka akan tertinggal kepingan sel mati yang

disebut badan apoptosis dan terjadi kebocoran mitokondria karena pembentukan pori-pori

yang melibatkan protein keluarga Bcl-2. Badan apoptosis akan segera dikenali oleh sel-

sel makrofag dan dimakan (engulfed).

2.1.3.2. Nekrosis

Proses apoptosis berbeda dengan nekrosis. Nekrosis merupakan proses kematian sel

yang terjadi pada organisme hidup yang disebabkan oleh kondisi patologis, seperti infeksi

atau inflamasi. Pada nekrosis terjadi perubahan pada inti yang menyebabkan inti menjadi

lisis dan membran plasma menjadi ruptur atau patah-patah. Nekrosis merupakan proses

kerusakan sel akibat peningkatan volume sel dan hilangnya tekanan membran yang

disebabkan pelepasan enzim pelisis lisosomal seperti protease dan nuklease, sehingga sel

mengalami lisis yang diikuti dengan respon inflamasi. Nekrosis merupakan proses
patologis, yakni terjadi karena adanya pemaparan melalui tekanan fisik maupun pemaparan

kimia yang berpengaruh terhadap sel secara cukup signifikan.

Apoptosis adalah kematian sel per individu sel, sedangkan nekrosis melibatkan sekelompok

sel. Membran sel yang mengalami apoptosis akan mengalami penonjolan-penonjolan ke

luar tanpa disertai hilangnya integritas membran. Sedangkan sel yang meng- alami

nekrosis mengalami kehilangan integritas membran. Sel yang meng- alami apoptosis

terlihat menciut, dan akan membentuk badan apoptosis. Sedangkan sel yang mengalami

nekrosis akan terlihat membengkak untuk kemudian mengalami lisis. Sel yang mengalami

apoptosis lisosomnya utuh, sedangkan sel yang mengalami nekrosis terjadi kebocoran

lisosom. Dengan mikroskop akan terlihat kromatin sel yang mengalami apoptosis terlihat

bertambah kompak dan mem- bentuk massa padat yang uniform. Sedangkan sel yang

mengalami nekrosis kromatinnya bergerombol dan terjadi agregasi. Selanjutnya badan

apoptosis akan difagosit oleh sel makrofag.


BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

• Adaptasi sel merupakan respons sel terhadap cedera yang tidak mematikan dan

bersifat menetap (persistent). Ada 4 cara yang dilakukan yaitu atrofi, hipertrofi,

hiperplasia, dan metaplasia.

• Apoptosis adalah suatu proses kematian sel yang terprogram, diatur secara genetik,

bersifat aktif, ditandai dengan adanya kondensasi kromatin, fragmentasi sel dan

fagositosis sel tersebut oleh sel tetangganya

• Nekrosis merupakan proses kematian sel yang terjadi pada organisme hidup yang

disebabkan oleh kondisi patologis, seperti infeksi atau inflamasi.


DAFTAR PUSTAKA

Hongmei Z. Extrinsic and Intrinsic Apoptosis Signal Pathway in Apoptosis And

Medicine. 2012; Edited Volume:3-23 2.

Lawen A. Apoptosis—An Introduction. Bio Essays. 2003;25(9):888-96 3. Mohan H.

Textbook of Pathology. 5th ed. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers;

2010 4.

Fink SL, Cookson BT. Apoptosis, pyroptosis, and necrosis: mechanistic description of

dead and dying eukaryotic cells. Infect Immun. 2005;73(4):1907-16

Anda mungkin juga menyukai