Anda di halaman 1dari 3

3.

PENGUKURAN IKLIM, GEOGRAFIS DAN TOPOGRAFI


a. Pengukuran iklim
iklim kerja (panas) hasil perpaduan antara suhu, kelembaban, kecepatan gerakan
udara dan panas radiasi ( SNI 16-7061-2004). Adapun menurut Peraturan menteri
tenaga kerja dan transmigrasi Nomor per.13/Men/X/2011 tahun 2011 Tentang Nilai
ambang batas faktor fisika dan faktor kimia di tempat kerja, Iklim kerja adalah hasil
perpaduan antara suhu, kelembaban, kecepatan gerakan udara dan panas radiasi
dengan tingkat pengeluaran panas dari tubuh tenaga kerja sebagai akibat
pekerjaannya, yang dimaksudkan dalam peraturan ini adalah iklim kerja panas.
Sebagai negara tropis yang mendapatkan curah mentari lama, potensi kejadian yang
terkait iklim kerja panas di Indonesia sering dijumpai dalam lingkungan industri.
Sehingga regulator dalam hal ini Kementerian Kesehatan mengeluarkan peraturan
terkait iklim kerja dalam PERMENKES No 70 Tahun 2016 tentang Tentang Standar
dan Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Industri. Peraturan ini menyesuaiakan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan , teknologi dan industri serta kebutuhan
hukum sehingga menggantikan peraturan lama yakni Keputusan Menteri kesehatan
Nomor 1405 /Menkes/SK/XI/2002 tentang Persyaratan Lingkungan Kerja
Perkantoran dan Industri. Pengendalian terhadap bahaya fisika terkait panas diawali
dengan adanya identifikasi dan asssesment terhadap iklim kerja panas. Pengukuran
Iklim kerja sebagai data obyektik merupakan langkah awal pijakan untuk
mengendalikan bahaya panas. Kegiatan lanjutan dalam pengelolaan panas akan
disesuaikan dengan hasil pengukuran dan kondisi indstri yang ada, Pendekatan
melalui administratif standar prosedur, penggunaan alat pelindung diri maupun
rekayasa enginering berupa subtitusi atau eliminasi terkait sumber panas (Catatan bila
memungkinkan dalam industri tersebut). Pendekatan untuk mengukur iklim kerja
dapat melalui berbagai indek, antara lain heat index, Thermal work limit dan WBGT
(Wet Blube Globe Temperatur) dan indeks lainya. Dari berbagai pola pengukuran
yang sering digunakan oleh industri, yang dijadikan rujukan oleh NIOSH ( National
Institute for Occupational Safety and Health) Amerika dan menjadi pedoman dalam
peraturan di Indonesia baik Kementerian Tenaga Kerja maupun Kemenkes Republik
Indonesia, yakni pendekatan dengan WBGT (Wet Blube Globe Temperatur) atau
Indeks Suhu Bola Basah. Yang menarik dari peraturan menteri Kesehatan 2016 ini
adalah detil dalam langkah pengukuran iklim kerja. Disebutkan bahwa Nilai Ambang
Batas (NAB) iklim lingkungan kerja merupakan batas pajanan iklim lingkungan kerja
atau pajanan panas (heat stress) yang tidak boleh dilampaui selama 8 jam kerja
perhari sebagaimana tercnatum pada tabel 1. NAB Iklim iklim Lingkungan kerja
dinyatakan dalam derajat Celcius Indeks Suhu Basah dan Bola (0C ISBB).
b. Pengukuran geografis
Perubahan iklim dalam banyak penelitian geologi dan iklim masa lampau telah
terbukti terjadi di masa lampau (Huggett, 1991; Goudie, 1994). Namun demikian,
kondisinya berubah sejak abad ke-19 ketika revolusi industri mulai berlangsung
(Dragoni dan Sukhija, 2008). Saking banyaknya pengaruh dan dampaknya bagi
kehidupan manusia, isu inipun menjadi salah satu agenda dalam sidang Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) pada Tahun 1988 (Murdiyarso, 2005). Beberapa hasil sidang
tahun 1988tersebut adalah amanat bagiWorld Meteorological Organization(WMO)
dan United Nation Environment Programme(UNEP) untuk membentuk Inter-
governmental Panel on Climate Change(IPCC). Lembaga ini kemudian diberi tugas
untuk menilai besaran, skala, dan masa waktu perubahan iklim, mengukur
dampaknya, serta menyusun strategi untuk menghadapinya (Salim, 2010).Hasil
sidang ini di antaranya adalahpada Juni 1992 disepakati konvensi perubahan iklim
yang dihasilkandalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro,
Brasil.Peubahan iklim tidak lepas dari banyaknya jumlah gas rumah kaca yang
terdapat di atmosefer (Ratag, 2008). Gas rumah kaca yang dimaksud terdiri dari
CO2 ,CH4, CFC, N2O, dan O3. Perubahan iklim yang terjadi lebih cepat dari masa
sebelumnya di antaranya disebabkan oleh karena semakin banyaknya aktivitas
manusia yang mengemisikan gas rumah kaca ke atmosfer pasca revolusi industri.
Beberapa kegiatan tersebut anatara lain terdiri daripembakaran bahan bakar fosiluntuk
industri dan kendaraan bermotor, penebangan hutan, peternakan dan pembakaran
lahan pertanian dan atau hutan.Cahyono (2009) menyebutkan bahwa Karbondioksida
(CO2) memiliki peranan terbesar dalam menyebabkan pemanasan global (50%). Gas
rumah kaca lain berkontribusi lebih sedikit, seperti CFC (20%), CH4(15%), O3 (8%)
dan NOx(7%). Hal tersebut menyebabkan Gas CO2 digunakansebagai komparasi
terhadap kenaikan temperatur yang terjadi di Bumi(Cahyono, 2009). IPCC (2007)
menyebutkan bahwa dalam kurun waktu 1850 hingga 1995 konsentrasi
CO2mengalami kenaikan rata-rata pertahunnya sebesar 0,46% atau telah meningkat
31%.Kawasan karst merupakan salah satu kawasan yang memiliki potensi penyerapan
CO2atmosfer (Daoxian, 2002; Cahyadi, 2010; Cheng, 2011; dan Cahyadi dan
Priadmodjo, 2015; Cahyadi, 2016). Penyerapan CO2 atmosfer terjadi ketika terjadi
proses pelarutan batuan karbonat(Haryono, 2011)(Persamaan1). Pelarutan 1 ton batu
gamping akan diikutipenyerapan karbondioksida sebanyak 0,12 ton CO2dari
atmosfer(Cahyadi, 2010; Sayekti dkk., 2016). Proses karstifikasi di seluruh dunia
diperkirakan berperan menyerap CO2atmosfer sekitar 1,5x109ton per tahun, dan karst
di Tiongkokberkontribusi sebesar9,46x108ton per tahun (Daoxian, 2002).

Daftar pustaka:

Cahyadi, A., & Prabawa, B. A. (2017). Variasi Temporal Curah Hujan Bulanan dan
Pengaruhnya Terhadap Penyerapan Karbondioksida Atmosfer pada Proses Pelarutan
di Kawasan Karst Gunungsewu. 1(1), 13–24. https://doi.org/10.31227/osf.io/h6uaw

Departemen Pekerjaan umum. (2005). Modul rde - 05: 88.

Anda mungkin juga menyukai