Anda di halaman 1dari 5

1.

wacana

dalam Tarigan (1981:4) menjelaskan bahwa wacana adalah suatu peristiwa berstruktur yang
dimanifestasikan dalam perilaku linguistik (yang lainnya), sedangkan teks adalah suatu urutan ekspresi-
ekspresi linguistik terstruktur yang membentuk suatu keseluruhan yang padu uniter.

dalam Tarigan (1983:10) menjelaskan bahwa wacana adalah organisasi bahasa di atas kalimat atau
di atas klausa, dengan kata lain unit-unit linguistik yang lebih besar dari kalimat atau klausa, seperti
percakapan atau teks-teks tertulis. Secara singkat apa yang disebut teks bagi wacana adalah kalimat bagi
ujaran atau utterance.

dalam Tarigan (1984:72) menjelaskan bahwa wacana adalah seperangkat proposisi yang saling
berhubungan untuk menghasilkan rasa kepaduan atau rasa kohesi bagi penyimak atau pembaca. Kohesi
atau kepaduan itu sendiri harus muncul dari isi wacana, tetapi banyak sekali rasa kepaduan yang
dirasakan oleh penyimak atau pembaca harus muncul dari cara pengutaraan atau pengutaraan wacana
itu.

2.Teks

Luxemburg, et.al. (1992) mendefinisikan teks sebagai ungkapan bahasa yang terkandung aspek isi,
sintaksis, pragmatic dan merupakan suatu kesatuan. Berdasarkan pendapat Luxemburg.et al. tersebut,
terdapat tiga hal yag harus ada dalam sebuah teks. Tiga hal tersebut, yaitu: isi, sintaksis, dan pragmatik.

Isi dalam sebuah teks berkaitan dengan konten. Sebuah teks yang baik harus mengungkapkan gagasan-
gagasan atau gambaran-gambaran yang ada dalam kehidupan. Gagasan-gasasan atau gambaran-
gambaran tersebut dituangkan dalam bentuk bahasa yang berupa penceritaan, lazimnya dalam bentuk
drama dan prosa maupun untaian kata-kata, seperti dalam bentuk puisi. Pengarang dalam menuangkan
gagasan-gagasannya dapat secara eksplisit maupun implisit dalam menunjukkan isi sebagai pesan yang
disampaikan dalam teks.

Isi dalam teks juga sangat berkaitan dengan semantik. Semantik merupakan salah satu kajian dalam
bahasa yang berkaitan dengan makna. Isi dalam teks tidak ubahnya adalah makna- makna yang
disampaikan pengarang. Pengungkapan makna ini dapat dilakukan secara terang- terangan, lugas, jelas
maupun dengan tersembunyi melalui simbol-simbol. Berkaitan dengan makna dalam teks, Luxemburg,
et.al. (1992) menyatakan bahwa kesatuan semantik yang dituntut sebuah teks ialah tema global yang
melingkupi semua unsur. Dengan kata lain, tema berfungsi sebagai ikhtisar teks atau perumusan
simboliknya. Meskipun demikian, menunjukkan tema saja belumlah memadai. Masih diperlukan
penafsiran menyeluruh untuk menelaah sebuah teks sebagai satu kesatuan. Hal ini terkait dengan
keberadaan sebuah cerita maupun puisi yang merupakan satu kesatuan ide/gagasan

3. analisis wacana
Analisis wacana (discourse analysis) diperkenalkan Harris melalui artikel Discourse Analysis dalam jurnal
Language, No. 28/1952, 1-30. Dalam artikel itu Harris membicarakan wacana iklan dengan menelaah
saling hubungan antara kalimat-kalimat yang menyusunnya dan kaitan antara teks dengan masyarakat
dan budaya (lih. Renkema, 2004:7). Analisis wacana muncul sebagai suatu reaksi terhadap linguistik
mumi yang tidak bisa mengungkapkan hakikat bahasa secara sempurna. Dalam hal ini para pakar analisis
wacana mencoba memberikan alternatif dalam memahami hakikat bahasa tersebut. Analisis wacana
mengkaji bahasa secara terpadu, dalam arti tidak terpisah-pisah seperti dalam linguistik, semua unsur
bahasa terkait pada konteks pemakaian. Oleh karena itu, analisis wacana sangat penting untuk
memahami hakikat bahasa dan perilaku berbahasa termasuk belajar bahasa. Analisis wacana adalah
suatu disiplin ilmu yang berusaha mengkaji penggunaan bahasa yang nyata dalam komunikasi, Stubbs
(1983:1) mengatakan bahwa analisis wacana merupakan suatau kajian yang meneliti dan menganalisis
bahasa yang digunakan secara alamiah, baik lisan maupun tulis, misalnya pemakaian bahasa dalam
komunikasi sehari-hari, Selanjutnya Stubbs menjelaskan bahwa analisis wacana menekannkan kajiannya
pada penggunaan bahasa dalam kontes sosial, khususnya dalam penggunaan bahasa antarpenutur. Jadi,
jelasnya analisis wacana bertujuan untuk mencari keteraturan, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan
keberterimaan penggunaan bahasa di masyarakat secara realita dan cenderung tidak merumuskan
kaidah bahasa seperti dalam tata bahasa.

2. Pertama, pandangan positivisme-empiris, aliran ini memandang bahasa sebagai jembatan antara
manusia dan objek di luar dirinya. Salah satu ciri dari pemikiran ini adalah pemisahan antara pemikiran
dan realitas. Kaitannya dengan analisis wacana, konsekuensi logis dari pemahaman ini ialah orang tidak
perlu mengetahui makna-makna subjektif atau nilai yang mendasari pernyataannya, sebab yang pen-
ting menurut aliran ini ialah apakah pernyataan itu dilontarkan secara benar menurut kaidah sintaksis
dan semantik atau tidak. Oleh karena itu, tata bahasa dan kebenaran sintaksis merupakan bidang utama
alir- an ini. Jadi, analisis wacana dimaksudkan untuk menggambarkan tata urutan kalimat, bahasa, dan
pengertian secara bersama. Titik perhatian pendekatan positivisme terutama didasarkan pa- da benar
tidaknya bahasa itu secara gramatikal." Wacana yang baik menurut pandangan ini ialah wacana yang di
dalamnya mengandung kohesi dan koherensi. Kohesi adalah hubungan antarbagian dalam teks yang
ditandai oleh penggunaan unsur bahasa." Adapun koherensi adalah kepaduan hubungan maknawi
antara bagian-bagian di dalam sebuah wacana.
Kedua, pandangan konstruktivisme. Pandangan tersebut menolak pandangan positivisme/empirisme
yang memisahkan subjek dan ob- jek bahasa. Menurut pandangan konstruktivisme, bahasa tidak hanya
dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objek belaka dan yang dipisahkan dari subjek sebagai
penyampai pernyataan, tetapi subjek sebagian faktor sentral dalam kegiatan wacana serta hubungan-
hubungan sosialnya. Subjek memiliki kemampuan melakukan kontrol terhadap maksud tertentu dalam
setiap wacana. Kaitannya dengan bahasa, bahasa yang digunakan memiliki tujuan tertentu. Setiap
pernyataan pada dasarnya merupakan tindakan penciptaan makna, yakni tindakan pembentukan diri
serta pengungkapan jati diri dari sang pembicara. Oleh karena itu analisis wacana dimaksudkan sebagai
suatu analisis untuk mengurai maksud dan makna tertentu. Pengung- kapan itu dilakukan dengan
menempatkan diri pada posisi pembicara dengan penafsiran mengikuti struktur makna dari pembicara.

Ketiga, pandangan kritis. Pandangan ini mengoreksi pandang- an konstruktivisme yang kurang sensitif
pada proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis maupun institusional.
Pandangan konstruktivisme masih dipandang belum menganalisis faktor-faktor hubungan kekuasaan
yang inheren dalam setiap wacana yang pada akhirnya dapat membentuk jenis-jenis subjek tertentu dan
perilakunya. Analisis wacana dalam pandangan kritis menekankan pada konstalasi kekuatan yang terjadi
pada proses produksi dan re- produksi makna. Individu tidak dianggap sebagai subjek yang netral yang
dapat menafsirkan secara bebas sesuai dengan pikirannya, karena sangat berhubungan dan dipengaruhi
oleh kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat. Bahasa dalam pandangan kritis dianggap sebagai
representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema- tema wacana tertentu, maupun
strategi-strategi di dalamnya. Oleh karena itu, analisis wacana dipakai untuk membongkar kuasa yang
ada dalam setiap proses bahasa. Dengan pandangan tersebut, wacana melihat bahasa selalu terlibat
dalam hubungan kekuasaan, terutama dalam membentuk subjek, dan berbagai tindakan terdapat dalam
masyarakat.

Dari uraian mengenai bahasa dalam analisis wacana di atas, ke- entasi cenderungan penelitian ini lebih
ke arah pendekatan kritis. Hal ter- sebut sesuai dengan tujuan buku ini yang ingin melihat faktor-faktor
kesejarahan dan pengaruh kekuatan sosial, budaya, dan ekonomi-politik yang memengaruhi wacana
berita surat kabar, baik disengaja mau- pun tidak dalam memarginalkan perempuan. Kecenderungan
buku ini juga didasari pula oleh pandangan bahwa pendekatan kritis lebih melihat realitas yang teramati
(virtual reality). Dalam hal ini, realitas media yang merupakan realitas "semu" yang terbentuk oleh
proses se- jarah dan kekuatan-kekuatan sosial budaya dan ekonomi politik.
3.wacana berita surat kabar lebih menekankan pada fakta terjadinya suatu peristiwa di masyarakat yang
secara jelas dan disajikan dengan mengikuti formula apa, siapa, kapan, di mana, mengapa, dan
bagaimana. Perbedaannya dengan produk jurnalistik lainnya dapat dikemukakan seperti berikut. Isi tajuk
rencana lebih banyak membawakan pandangan menge- sikap surat kabar yang umumnya ditulis oleh
redaktur senior yang mengerti visi dan misi surat kabar dalam menanggapi suatu peristiwa penting.
Surat Pembaca berisi mengenai sikap, kesan, harapan, kritik, dan saran yang berkaitan dengan
kepentingan pribadi dan kepentingan umum yang ditulis oleh pribadi maupun suatu organisasi.
Perbedaan lain antara berita dan halaman yang berisi pendapat tampak pula da- lam tulisan Pojok. Pojok
sering kali hanya terdiri dari satu atau dua kalimat yang bersifat lugas yang isiya menyindir dan kritis.
Berita juga dapat dibedakan dengan artikel. Artikel berisi suatu gagasan yang bertujuan untuk mendidik,
meyakinkan, dan menghi- bur, sedangkan berita hanya menyampaikan informasi mengenai fakta dan
tidak menyajikan gagasan. Kalaupun ada gagasan, itu berasal dari aktor atau sumber berita yang
dilaporkan. Berita berbeda pula dengan isi feature atau karangan yang bersifat khas. Feature menyajikan
tulisan yang bersifat enteng dan menghibur yang tidak terikat dengan waktu. Adapun berita terikat
dengan waktu yang isinya harus diketahui oleh khalayak dalam waktu yang relatif singkat.

4.Salah satu pendekatan yang akan dibahas dalam buku ini ialah pendekatan kritis yang oleh Norman
Fairclough disebut analisis wacana kritis (critical discourse analysis). Metode tersebut dipilih karena
analisis wacana kri- tis memadukan tiga aspek, yaitu: (a) analisis teks; (b) analisis proses produksi; (c)
analisis sosiokultural yang berkembang di sekitar wacana tersebut. Hal yang penting dalam pendekatan
kritis ialah sifatnya yang ho- listik dan kontekstual. Hal tersebut didasarkan pada pendapat yang
dikemukakan oleh Eriyanto, bahwa kualitas suatu analisis wacana kri- tis akan selalu dinilai dari segi
kemampuannya untuk menempatkan teks dalam konteksnya yang utuh, holistik, melalui pertautan
antara analisis pada jenjang teks dan analisis terhadap konteks pada jenjang yang lebih tinggi. Dengan
aspek dan sifat analisis wacana kritis terse- but, penulis berpendapat bahwa pendekatan analisis wacana
kritis yang digunakan dalam buku ini tidak hanya dapat melakukan textual interrogation terhadap posisi
perempuan dalam wacana berita, tetapi juga dapat dilakukan untuk mempertautkan hasil interogasi
tersebut dengan konteks makro yang "tersembunyi" di balik teks sebagai suatu academic exercise
ataupun dalam rangka upaya penyadaran, pemberdayaan, dan transformasi sosial terhadap
permasalahan perempuan dewasa ini.
Salah satu kekuatan dari analisis wacana kritis adalah kemampuannya untuk melihat dan membongkar
politik ideologi di dalam me- dia. Hal tersebut penting karena di dalam wacana yang bersifat kritis
diyakini bahwa teks adalah bentuk dari praktik ideologi atau pencer- minan ideologi tertentu. Bahkan,
teori-teori klasik tentang ideologi di antaranya menyatakan bahwa ideologi dibangun oleh kelompok
yang dominan dengan tujuan untuk memproduksi dan melegitimasi dominasi mereka. Berdasarkan
asumsi tersebut, maka buku ini berusaha mengungkap pula motif pemosisian perempuan yang
dilakukan oleh surat kabar melalui wacana beritanya.

Anda mungkin juga menyukai