Ardiman Kelihu
Ekonomi-Politik Adat
Hira I ni entub fo i ni, it did entub fo it did, “milik orang tetap milik orang, milik
kita tetaplah milik kita”. Demikian bunyi diktum ke-7 Larwul Ngabal, Hukum
adat Kei, Maluku Tenggara seperti ditulis ulang pada sampul belakang buku
Orang –Orang Kalah yang disunting Roem Topatimasang (2004). Orang-
Orang Kalah adalah potret wajah manusia Maluku yang dipecundangi oleh
ekspansi modal dan kekuasaan. Hingga pada akhirnya menyingkirkan mereka
dari ruang hidup, alam dan segala nilai imajinernya.
Diktum di atas adalah pengingat penting yang memberi batas tentang “yang kita
miliki” dan “yang bukan kita miliki”. Pengingat tentang batas-batas kepemilikan
yang tegas, dan melampaui hukum-hukum positif kita. Sejauh ini, hukum positif
kita, hampir tidak menyebutkannya secara implisit. Paling, banter, secara teknis
sebagai definisi, sanksi, kategori, dan mekanisme penyesalaian atau
semacamnya.
Di arena politik, polarisasi politik dalam adat tampil dalam bentuk : klientelisme,
Standing Position
Dari uraian cepat di atas, tulisan ini hendak menyoroti posisi adat di Maluku
yang secara reflektif. Yang menurut penulis tidak lagi menjadi ritus penting yang
memperkuat eksistensi masyarakat Maluku terhadap tanah dan ruang hidupnya.
Melainkan telah dikomersialiasi karena kepentingan ekonomi-politik. Penulis
berargumen bahwa : “adat, kuasa dan bisnis di Maluku masa kini adalah tiga
hal penting yang saling mensubsidi perluasan kekuasan politik dan ekspansi
modal”. Argumen ini didasari oleh dua alasan penting. Pertama, adat tidak lagi
jadi ritus yang mengatur dan memberi limit bagi etik kekuasaan politik.
Melainkan disubordinasi oleh kepentingan kekuasaan sempit dalam setiap
Pemilu/Pilkada. Kedua, adat justru telah dikonversi secara ekonomis untuk
memuluskan ekspansi bisnis para pemodal. Dari perizinan formal hingga
pengukuhan seremonial. Dengan memberi persetujuan tertulis, atau
mengukuhkan sejumlah penjabat sebagai tetua adat secara enteng untuk
membuka investasi.
Politisasi Adat
Adat politis ? Ya tentu. Tapi adat menjadi struktur politik terkecil di tingkat
masyarakat (negeri/yama/yamano/amang/aman/hena) demi memperkuat
posisi politik masyarakat terhadap berbagai kepentingan politik praktis. Bukan
sebaliknya dipolitisir untuk mensubordinasi masyarakat dan institusi adat. Tak
jarang lembaga-lembaga adat dan para pemimpinnya menjadi broker politik
petahana/kandidat di desa-desa. Dalam setiap kali Pemilu/Pilkada mereka
membangun pertukaran kepentingan personal secara klientelistik dengan
petahana/kandidat.
Dalam banyak kasus, hampir pasti adat hidup sebagai ingatan, terjejal dan
diadopsi oleh kalangan akar rumput saja. Sebagai ritusi paling penting yang
mengatur tata hidup dan keterlibatan mereka. Lepas dari mereka, adat yang
dipahami oleh elit lokalnya justru menjadi sangat cair, dinamis dan bersisian
dengan ragam kepentingan politik praktis. Keterputusan tersebut menjadikan
adat tidak lagi mengikat emosi dan soliditas masyarakat secara kolektif,
melainkan kerap dibelokan sesuka hati oleh para elit menurut kepentingan
personalnya. Tak terkecuali menjadikannya sebagai jejaring loby bagi sejumlah
proyek. Sayangnya, sebagian besar ingatan sakral tentang adat di Maluku hari-
hari ini “diagungkan sebagai nostalgia, namun dikhianati dalam kenyataan”.
Sejumlah kasus tersebut menunjukan bahwa adat kerap kali bersentuhan dan
kalah oleh perluasan bisnis di Maluku. Situasi dimana adat tersubordinasi dan
dikompromikan sebagai pintu masuk bagi perluasan industri ekstraktif. Adat
bermetamorosa dari mistifikasi kultural, politik dan menjadi institusi kultural
yang berorientasi profit. Sebagai alat legitimasi politik sekaligus perluasan bisnis,
yang sayangnya menjadikan masyarakat adat sebagai pengatsanamaan. Sebuah
situasi tragis yang disebut Topatimasang (2004) telah menghujam orang
Maluku, oleh karena investasi sektor ekstraktif yang bertujuan menguras sumber
daya alam untuk akumulasi modal.
Persisian adat dan bisnis tersebut tidak berlangsung dalam posisi yang setara
apalagi otonom. Melainkan relasi subordinatif yang mengeksklusi adat sekadar
pintu masuk dalam memperluas investasi bisnis. Tak jarang batas-batas ruang,
tanah, hutan dan gelar-gelar adat dipasangan begitu enteng sesuai order. Biar
apa ?. Biar proses masuk investasi terkesan dilegitimasi oleh adat. Simbol bahwa
masyarakat telah menerima dengan lapang hati. Dalam banyak kasus (di Seram
Selatan, Seram Timur, Seram Barat) proses macam ini hanya menempatkan para
pemimpin adat dan institusinya sebagai instrumen bisnis, bukan representasi
otentik yang memperkuat posisi masyarakat adat sekaligus memberi limit bagi
perluasan investasi.
Enclosure
Sebuah perubahan sosial telah dan sedang meluas : dimana adat tidak lagi
jadi ritus penting yang memperkuat otonomi dan daya tawar masyarakat adat
di Maluku, melainkan telah bergeser sebagai instrumen politik praktis dan bisnis.
Perubahan ini sedang terjadi dan mungkin saja menggeser posisi masyarakat
Maluku sebagai masyarakat adat dari ruang, tanah dan hutannya. Apalagi
sejumlah hal tersebut tidak diatur secara tegas dalam regulasi (misalnya
meskipun Maluku mengkampanyekan hutan adat, namun tidak punya satupun
Perda tentang Hutan Adat).