Anda di halaman 1dari 2

Kisah Sedih Pencuci Piring

Siapa yang paling berbahagia saat pesta pernikahan berlangsung? Bisa jadi kedua mempelai
yang menunggu detik-detik memadu kasih. Meski lelah menderanya namun tetap mampu
tersenyum hingga tamu terakhir pun. Berbulan bahkan hitungan tahun sudah mereka
menunggu hari bahagia ini. Mungkin orang tua si gadis yang baru saja menuntaskan
kewajiban terakhirnya dengan mendapatkan lelaki yang akan menggantikan perannya
membimbing putrinya untuk langkah selanjutnya setelah hari pernikahan. Atau bahkan ibu
pengantin pria yang terlihat terus menerus sumringah, ia membayangkan akan segera
menimang cucu dari putranya. “Aih, pasti segagah kakeknya,” impinya.

Para tamu yang hadir dalam pesta tersebut tak luput terjangkiti aura kebahagiaan, itu nampak
dari senyum, canda, dan keceriaan yang tak hentinya sepanjang mereka berada di pesta. Bagi
sanak saudara dan kerabat orang tua kedua mempelai, bisa jadi momentum ini dijadikan
ajang silaturahim, kalau perlu rapat keluarga besar pun bisa berlangsung di sela-sela pesta.
Sementara teman dan sahabat kedua mempelai menyulap pesta pernikahan itu menjadi reuni
yang tak direncanakan. Mungkin kalau sengaja diundang untuk acara reuni tidak ada yang
hadir, jadilah reuni satu angkatan berlangsung. Dan satu lagi, bagi mereka yang jarang-jarang
menikmati makanan bergizi plus, inilah saatnya perbaikan gizi walau bermodal uang
sekadarnya di amplop yang tertutup rapat.

Nyaris tidak ada hadirin yang terlihat sedih atau menangis di pesta itu kecuali air mata
kebahagiaan. Kalau pun ada, mungkin mereka yang sakit hati pria pujaannya tidak menikah
dengannya. Atau para pria yang sakit hati lantaran primadona kampungnya dipersunting pria
dari luar kampung. Namun tetap saja tak terlihat di pesta itu, mungkin mereka meratap di
balik dinding kamarnya sambil memeluk erat gambar pria yang baru saja menikah itu. Dan
pria-pria sakit hati itu hanya bisa menggerutu dan menyimpan kecewanya dalam hati ketika
harus menyalami dan memberi selamat kepada wanita yang harus mereka relakan menjadi
milik pria lain.

Apa benar-benar tidak ada yang bersedih di pesta itu? Semula saya mengira yang paling
bersedih hanya tukang pembawa piring kotor yang pernah saya ketahui hanya mendapat upah
sepuluh ribu rupiah plus sepiring makan gratis untuk ratusan piring yang ia angkat. Sepuluh
ribu rupiah yang diterima setelah semua tamu pulang itu, sungguh tak cukup mengeringkan
peluhnya. Sedih, pasti.
Tak lama kemudian saya benar-benar mendapati orang yang lebih bersedih di pesta itu.
Mereka memang tak terlihat ada di pesta, juga tak mengenakan pakaian bagus lengkap
dengan dandanan yang tak biasa dari keseharian di hari istimewa itu. Mereka hanya ada di
bagian belakang dari gedung tempat pesta berlangsung, atau bagian tersembunyi dengan
terpal yang menghalangi aktivitas mereka di rumah si empunya pesta. Mereka lah para
pencuci piring bekas makan para tamu terhormat di ruang pesta.

Bukan, mereka bukan sedih lantaran mendapat bayaran yang tak jauh berbeda dengan
pembawa piring kotor. Mereka juga tidak sedih hanya karena harus belakangan mendapat
jatah makan, itu sudah mereka sadari sejak awal mengambil peran sebagai pencuci piring.
Juga bukan karena tak sempat memberikan doa selamat dan keberkahan untuk pasangan
pengantin yang berbahagia, meski apa yang mereka kerjakan mungkin lebih bernilai dari doa-
doa para tamu yang hadir.

Air mata mereka keluar setiap kali memandangi nasi yang harus terbuang teramat banyak,
juga potongan daging atau makanan lain yang tak habis disantap para tamu. Tak tertahankan
sedih mereka saat membayangkan tumpukan makanan sisa itu dan memasukkannya dalam
karung untuk kemudian singgah di tempat sampah, sementara anak-anak mereka di rumah
sering harus menahan lapar hingga terlelap.

Andai para tamu itu tak mengambil makanan di luar batas kemampuannya menyantap, andai
mereka yang berpakaian bagus di pesta itu tak taati nafsunya untuk mengambil semua yang
tersedia padahal tak semua bisa masuk dalam perut mereka, mungkin akan ada sisa makanan
untuk anak-anak di panti anak yatim tak jauh dari tempat pesta itu. Andai pula mereka
mengerti buruknya berbuat mubazir, mungkin ratusan anak yatim dan kaum fakir bisa
terundang untuk ikut menikmati hidangan dalam pesta itu.

Sekadar usul untuk Anda yang akan melaksanakan pesta pernikahan, tidak cukup kalimat
“Mohon Doa Restu” dan “Selamat Menikmati” yang tertera di dinding pesta, tapi sertakan
juga tulisan yang cukup besar “Terima Kasih untuk Tidak Mubazir”. Mungkinkah?

Anda mungkin juga menyukai