FERTILISASI,
PEMBELAHAN DAN BLASTULASI
Fertilisasi adalah proses penyatuan oosit dan spermatozoa, masing-masing membawa materi genetik
yang haploid (n), membentuk zigot yang diploid (2n). Proses fertilisasi terjadi karena adanya interaksi
spesifik antara spermatozoa dan oosit. Proses ini melewati beberapa tahap, mulai dari spermatozoa
menembus sel-sel kumulus ooforus, berikatan dengan zona pelusida (ZP), penetrasi ZP, ikatan dan
peleburan dengan membran plasma sel telur, sampai akhirnya terbentuk pronukleus jantan dan betina
serta proses syngami keduanya. Sebelum memulai proses fertilisasi, kedua gamet harus terlebih dahulu
mengalami proses pematangan dan transportasi di saluran reproduksi (lihat Prakikum 1. Alat
Perkembangbiakan).
Setelah fertilisasi, zigot melanjutkan proses embriogenesis, yaitu tahap pembelahan dan blastulasi.
Zigot membelah secara mitosis membentuk embrio tahap 2 sel, 4 sel, 8 sel dst. membentuk morula, dan
melanjutkannya dengan proses blastulasi membentuk blastosis. Pada saat proses blastulasi terjadi
diferensiasi sel yang paling awal pada masa embrional, yakni sel blastomer berkembang menjadi dua jenis
sel: inner cell mass (ICM) dan trofoblast. Sel-sel ICM akan berkembang menurunkan seluruh jenis sel-sel
tubuh, sedangkan trofoblast berperan dalam pembentukan selaput ekstraembrionik dan plasenta.
Pematangan Spermatozoa
Spermatozoa secara morfologi terdiri dari kepala yang merupakan inti sel yang mengandung
kromosom (DNA) dan ekor yang berfungsi untuk pergerakan (motilitas). Ekor terbentuk selama proses
spermiogenesis dan mitokondria tersusun di daerah midpiece berfungsi sebagai sumber energi. Pada
ujung anterior kepala spermatozoa terdapat tudung akrosom yang berisi enzim-enzim hidrolitik dan
berfungsi mencerna ZP pada saat fertilisasi.
Untuk dapat membuahi oosit, spermatozoa harus terlebih dahulu mengalami proses pematangan
(maturasi) di epididymis, kapasitasi di saluran reproduksi betina, dan reaksi akrosom pada saat menembus
selubung sel telur. Pematangan spermatozoa di epididymis meliputi penambahan glikoprotein pada
membran spermatozoa sehingga membran menjadi lebih stabil, serta memperoleh kemampuan motilitas
selama perjalanannya di epididymis. Meskipun telah mengalami pematangan di epididymis, kemampuan
membuahi sel telur diperoleh spermatozoa ketika berada di saluran reproduksi betina. Perubahan fisiologis
pada spermatozoa di saluran reproduksi betina ini dikenal sebagai proses kapasitasi. Proses kapasitasi
meliputi perubahan permukaan membran antara lain perubahan glycosaminoglycans dan ion serta terjadi
hiperaktivasi motilitas. Selain itu pada proses ini juga terjadi peningkatan kalsium ekstraseluler, serta
peningkatan siklus AMP dan penurunan pH intraseler. Perubahan ini menyebabkan instabilisasi membran
spermatozoa yang memungkinkan spermatozoa mengalami reaksi akrosom. Reaksi akrosom terjadi
akibat peleburan membran spermatozoa dengan membran akrosom sebelah luar. Peleburan (fusi)
membran ini diikuti dengan perluasan vesikula di segmen luar anterior akrosom. Fusi dan vesikulasi dari
akrosom ini akan menyebabkan pelepasan enzim-enzim hidrolitik, antara lain: hyaluronidase, proacrosin
(bentuk inaktif dari acrosin), esterase, fosfolipase dan asam fosfatase. Enzim-enzim ini yang akan terlibat
pada proses penetrasi ovum oleh spermatozoa.
Proses Fertilisasi
Fertilisasi pada mamalia umumnya terjadi di sepertiga bagian atas tuba Fallopii yang dikenal sebagai
ampulla tuba Fallopii. Oosit sekunder yang telah diovulasikan hanya mampu bertahan hidup dan masih
fertil kira-kira selama 12-24 jam sedangkan spermatozoa mampu bertahan hidup dan tetap fertil hingga
72 jam di saluran reproduksi betina. Oosit sekunder akan bergerak ke tempat fertilisasi dengan adanya
gerakan peristaltik dari tuba Fallopii. Beberapa faktor yang mempengaruhi pergerakan spematozoa antara
lain, pergerakan dari ekor spermatozoa, kontraksi uterus, dan gerakan silia dari sel-sel epitelium tuba
Fallopii.
Sel telur dan spermatozoa bertemu di daerah ampula dari tuba Fallopii. Untuk membuahi sel telur,
spermatozoa harus melewati tiga selubung oosit yaitu sel-sel kumulus ooforus, zona pelusida dan
membran plasma (membran vitelin) sel telur. Untuk menembus sel-sel kumulus, spermatozoa
mengeluarkan enzim hyaluronidase untuk mencerna asam hyaluronat yang membentuk matriks diantara
sel-sel kumulus. Setelah menembus sel-sel kumulus, spermatozoa akan berikatan dengan zona pelusida
melalui ikatan antigen-reseptor yang spesifik. Pada membran plasma spermatozoa terdapat glikoprotein
yang berfungsi sebagai antigen, sedangkan glikoprotein pada zona pelusida berfungsi sebagai reseptornya.
Pada mamalia zona pelusida terdiri dari tiga jenis glikoprotein, yang biasa disebut ZP1, ZP2, dan ZP3.
Glikoprotein ZP3 bertindak sebagai reseptor utama yang akan berikatan dengan spermatozoa, juga
2 | Fahrudin et al.
berfungsi menginduksi terjadinya reaksi akrosom. Glikoprotein ZP1 membentuk kerangka dari zona
pelusida dan berikatan dengan ZP2 membentuk filamen. Glikoprotein ZP2 merupakan reseptor sekunder,
dimana ikatan ZP2 dan spermatozoa terjadi setelah spermatozoa mengalami reaksi akrosom. Setelah
menembus zona pelusida, spermatozoa masuk ke dalam ruang perivitelin, ruang yang terletak diantara
zona pelusida dan membran plasma (membran vitelin) sel telur (Gambar 3.1).
Gambar 3.1. Fertilisasi pada mamalia: A. Kapasitasi spermatozoa di saluran reproduksi betina; B.
Hipermotilitas spermatozoa dan ikatan dengan zona pelusida oosit; C. Reaksi akrosom; D.
Pengeluaran enzim-enzim hidrolitik dari tudung akrosom dan penembusan zona pelusida;
E. Spermatozoa masuk ke ruang perivitelin dan membran plasma spermatozoa berikatan
dengan membran plasma oosit; F. Kondensasi/dekondensasi spermatozoa membentuk
pronukleus jantan (♂PN), secara bersamaan inti oosit metaphase II mengalami aktivasi
menyelesaikan pembelahan meiosis II, melepaskan badan kutub II, dan membentuk
pronukleus betina (♀PN). Selanjutnya kedua pronukleus syngami (menyatu) dan sel telur
hasil fertilisasi disebut zigot (Tremoleda, 2003).
Setelah berada di dalam ruang perivitelin, spermatozoa harus menembus lapisan terakhir yaitu
membran plasma sel telur. Bagian ekuator kepala spermatozoa akan menempel dengan membran plasma
sel telur. Karena adanya perlekatan membran plasma sel telur-membran plasma spermatozoa maka akan
menyebabkan fusi kedua membran tersebut, memungkinkan inti spermatozoa masuk ke dalam sitoplasma
sel telur. Selanjutnya ketika berada di dalam sitoplasma sel telur, membran inti spermatozoa akan pecah
dan inti mengalami kondensasi, dekondensasi kromatin dan akhirnya membentuk pronukleus jantan (n).
Sementara itu, oosit akan mengalami aktivasi dan menyelesaikan pembelahan meiosis II yang ditandai
dengan pelepasan badan kutub II. Selanjutnya inti oosit akan berkondensasi membentuk pronukleus
betina (n). Setelah kedua pronuklues terbentuk, beberapa jam kemudian kedua pronukleus akan bergerak
ke tengah, membran pronukleus akan pecah dan kedua material genetik akan menyatu atau syngami
(karyogami). Hasil dari syngami ini akan dihasilkan jumlah kromosom diploid (2n) dan sel telur tahap ini
selanjutnya disebut embrio tahap satu sel atau zigot.
Embriogenesis
Pembelahan dan Blastulasi
Zigot hasil fertilisasi selanjutnya memulai proses pembelahan secara mitosis yang disebut dengan
istilah cleavage. Pembelahan pertama terjadi dari satu sel menjadi dua sel, masing-masing sel anak hasil
pembelahan disebut blastomer. Blastomer memiliki bentuk serta ukuran yang sama, dengan ukuran kira-
kira setengah dari ukuran sel awal. Masing-masing blastomer selanjutnya akan membelah lagi sehingga
menjadi 4, 8, 16 sel dan seterusnya, dengan lama waktu yang berbeda-beda bergantung jenis hewan (Tabel
3.1). Karena pembelahan terjadi secara mitosis serta ukurannya menjadi setengah dari ukuran awal,
akhirnya sel-sel blastomer akan kembali menjadi seukuran sel normal (bandingkan dengan ukuran zigot,
embrio tahap satu sel) (Gambar 3.2).
Tabel 1. Waktu Pembelahan dan Blastulasi pada Beberapa Spesies Mamalia (hari)
Spesies 2 Sel 4 Sel 8 Sel Morula Blastosis
Manusia 1,5 2 2,5 4 6
Sapi 1 1,5 3 4~7 7~12
Kuda 1 1,5 3 4~5 6~8
Domba 1 1,3 2,5 3~4 4~10
Babi 14-16 jam 1 2 3~5 4~5
Mencit 1 1.5 2 3 3,5
Sel-sel blastomer hasil pembelahan tetap berada dalam zona pelusida. Ketika jumlah sel blastomer
sudah bergerombol berbentuk seperti anggur, sel-sel blastomer akan saling melekat satu sama lainnya dan
menjadi compact, maka embrio tahap ini disebut morula (L= morulae, seperti buah murbei). Blastomer
pada embrio tahap dua sel sampai dengan morula bersifat totipotent, dimana setiap blastomer memiliki
kemampuan untuk menjadi individu baru.
Pada tahap morula, sel bagian tengah akan merapat (compact) dibandingkan sel bagian luar. Pada sel
bagian dalam komunikasi antar sel terjadi melalui gap junction, sedangkan pada sel-sel permukaan
komunikasi antar sel melalui tight junction. Tight junction diyakini menjadikan sel-sel pada daerah
permukan lebih permeable dibandingkan sel-sel sebelah dalam. Setelah tight junction terbentuk, dimulai
akumulasi cairan di dalam morula. Akumulasi cairan ini terjadi karena konsentrasi ion di bagian dalam
meningkat sehingga air akan masuk ke dalam embrio, dan mulai membentuk rongga yang disebut blastosul.
Blastulasi adalah proses pembentukan blastula. Pada mamalia, embrio tahap blastula disebut blastosis,
yaitu ketika embrio telah memiliki rongga blastosul (Gambar 3.2). Sel-sel di bagian dalam yang
berkomunikasi dengan gap junction akan menjadi inner cell mass (ICM), sedangkan sel-sel di bagian
permukaan yang berkomunikasi dengan tight junction akan menjadi trophoblast. Perkembangan
selanjutnya ICM akan menjadi embrio sedangkan trophoblast akan berdiferensiasi menjadi bagian dari
plasenta.
Sel-sel blastomer pada blastosis akan terus bermitosis dan akumulasi cairan akan semakin bertambah.
Selain itu trophoblast memproduksi enzim proteolitik yang berfungsi untuk menipiskan zona pelusida
sehingga zona pelusida mudah pecah. Adanya pertambahan jumlah sel, akumulasi cairan, dan melemahnya
zona pelusida menyebabkan zona pelusida pecah dan embrio keluar dari zona pelusida. Proses ini disebut
hatching (menetas). Selanjutnya, embrio tanpa zona akan melakukan proses implantasi di uterus, yakni di
dinding endometrium induk.
4 | Fahrudin et al.
ZP
B
Ba
Ba
A C
D E F
ICM
Bo
TF
G H I
Gambar 3-2. Perkembangan embrio mamalia (mencit) praimplantasi, A. Oosit dengan sel-sel kumulus,
belum terfertilisasi; B. Zigot (embrio tahap 1 sel, terfertilisasi), ß = badan kutub, ZP= zona
pelusida,; C. Embrio tahap 2 sel, Ba=blastomer; D. Embrio tahap 4 sel; E. Embrio tahap 8
sel; F. Morula; G. Blastosis, Bo=blastosul, ICM= inner cell mass, TF= trofoblas; H.
Blastosis ekspan; I. Blastosis menetas (hatching).
Tabel 3.1. Tempat-tempat Terjadinya Proses Maturasi, Fertilisasi, Pembelahan dan Blastulasi
Tahapan Proses Lokasi
Gamet/Embrio
Spermatozoa Pembentukan Testis: Epitelium tubuli seminiferi
(spermatogenesis)
Pematangan Epididymis
(pendewasaan)
Kapasitasi Saluran reproduksi ...........
Fertilisasi .........................
Blastosis ..............
Tabel 3.2. Jenis dan Potensi Sel Embrio Tahap Morula dan Blastosis
Tahapan Embrio Jenis Sel Akan Berkembang Potensi Sel
Menjadi
Morula Blastomer Embrio ........
6 | Fahrudin et al.
Prosedur Praktikum 3
Tujuan Praktikum:
• Mampu menjelaskan perbedaan sel telur yang belum dan yang telah dibuahi.
• Mampu menyebutkan bagian-bagian embrio morula dan blastosis dan menjelaskan proses
embriogenesis tahap pembelahan dan blastulasi.
Bahan Praktikum:
• Foto-foto slide dari preparat natif dan pewarnaan inti (aceto-orcein) oosit dan embrio.
Prosedur Praktikum:
• Pelajarilah tahapan fertilisasi sel telur dan perkembangan embrio mamalia dari slide yang
disajikan.
• Buatlah gambar skematis lengkap dengan keterangannya. Keterangan ditulis langsung pada
gambar, tidak menggunakan sistem penomoran, untuk memudahkan penilaian.
Pendalaman:
1. Apakah yang dimaksud dengan poliploidi dan sebutkan salah satu penyebabnya?
2. Sebutkan beberapa fungsi dari zona pelusida?
A. Fertilisasi
A1. Sel telur belum dibuahi. Ket: oosit, sel- A2. Inti sel telur yang belum dibuahi. Ket: inti
sel kumulus ooforus. Preparat natif metafase II, badan kutub I. Pewarnaan aceto-
orcein.
A3. Sel telur telah dibuahi. Ket: oosit, badan A4. Kondensasi sperma pada sel telur telah
kutub, zona pelusida, ruang perivitelin. Preparat dibuahi terfertilisasi. Ket: kondensasi sperma,
natif. inti oosit telofase II, badan kutub II (jika ada).
Pewarnaan inti aceto-orcein
A5. Fertilisasi normal, diploid. Ket: A6. Fertilisasi abnormal, poliploidi akibat
pronukleus (jantan dan betina). Pewarnaan inti polispermia. Ket: pronukleus (lebih dari dua).
aceto-orcein. Pewarnaan inti aceto-orcein.
B1. Embrio 2 sel. Ket: sel blastomer, zona B2. Embrio morula. Ket: sel blastomer, zona
pelusida. Preparat natif. pelusida, kompaksi (jika terlihat). Preparat natif.
B3. Embrio blastosis. Ket: ICM (inner cell B4. Embrio blastosis hatching. Ket: ICM
mass), sel trofoblas, rongga blastosul, zona (inner cell mass), sel trofoblas, rongga blastosul,
pelusida. Preparat natif. zona pelusida. Preparat natif.
Pendalaman 1:
Pendalaman 2: