Anda di halaman 1dari 2

Ceritakan Mereka

Senja masih menampakkan terangnya di Timur kemudian berkabung kembali di


Barat.
Sementara genggaman bayu pada ranting pohon kian kendur
bersamaan dengan lamanya waktu yang dihabiskan.
Semua itu terjadi kala fenomena alam
bersamanya melewati kelopak mata begitu saja.
Ada banyak yang berubah sejak pertama kali tanah ini terbebas dari belenggu
yang menjerat.
Pun soal masalah yang mengikutinya juga kemajuannya,
ada begitu banyak hal lain yang mengganggu.

Kita melihat beda antara Timur dan Barat.


Jerami menjadi atap di Timur, memberi kehangatan dalam tawa ceria wanita
dan anak dalam gendongannya.
Sementara di Barat kita melihat kerukunan pun tutur kata dijaga,
anak lelaki dan perempuan dipisah begitu tegasnya.
Lantas apa yang berubah?
Kala dunia tak lagi sama, batas tak terlihat di antara cakrawala.
Semuanya terasa bias.

Ada banyak martabat yang sengaja dijatuhkan,


pula mahakarya yang dilihat dari cangkangnya saja.
Ada banyak ego yang diterbangkan dengan bebasnya,
menghiraukan moral yang sudah tertanam.
Mereka lupa akan jati diri bangsa, hanya karena diberi penglihatan yang fana.
Mereka lupa akan nasihat nenek moyang, hanya karena terlalu sungkan
menolak timang.

Jendela dibiarkan terbuka untuk pergantian udara,


menyesap sesak yang sedari tadi melayang bebas.
Membuat budaya yang sudah tertanam seperti kembali melayang.
Perebutan ada dimana-mana.
Kala semua baik saja tidak ada yang mengakui, tidak ada yang berupaya agar
tetap lestari.
Baru saat gonggongan seperti hujan itu terdengar, mereka ribut, riuh, gaduh,
hingga memekakkan telinga.
Mencoba berupaya mengenggam sekuat tenaga.

Mereka beradu argumen dengan tempramen.


Mengatakan siapa yang lebih pantas tanpa memberi batas.
Diupayakan dalam berbagai perjamuan.
Pun menarik berbagai simpati banyak pihak.
Baru kali ini pemuda memberi suara. Menarik Koja sembari memakai jubah,
menyesap cengkih sembari meneguk kopi, katanya itu milik kami.
Padahal kemana mereka dulu, saat semuanya baik saja tapi malah terpedaya,
hingga kini terlepas genggaman baru mereka bercerita.

Biar aku ceritakan padamu apa yang harusnya terjadi.


Negeri kaya ini harusnya sudah maju beberapa masa lalu, hanya jika tidak ada
yang terpedaya fana.

Sudahlah beras jadi bubur, semuanya sudah kabur.


Yang ada kita melihat ke depan, tentang apa yang akan kemudian menghadang.
Siluet kemakmuran berbatasan dengan kehancuran, budaya kita mungkin
memiliki banyak kemiripan, tapi apa yang lahir di tanah ini adalah milik tanah
ini, milik bangsa.

Jangan tunggu hingga nanti ada perebutan lain,


menunggu perjamuan hanya untuk membahas siapa lebih pantas.
Bergeraklah sekarang, detik yang sama, waktu yang sama, dan masa yang sama.
Ini bukan orasi pun argumen bela diri, sudah sepatutnya kita bersatu demi
budaya sendiri.
Berpegang kuat bagai bayu di pinggir Gapi pula sekuat cerita legenda yang
melatabelakanginya.
Mulainya dari diri sendiri, kemudian berpartisipasi pada orang lain.

Tanamkan kembali akar budaya yang mulai rapuh,


siram kembali dengan air susu agar tidak melepuh,
beri pupuk hingga menumpuk, ceritakan pada mereka legenda itu.
Tabur kembali senyum dan sapa yang mulai jarang, jangan kembalikan muka
garang
Perketat kembali penjagaan.
Pun upaya mempekuat tali perhubungan.

Jauhkan dari benih-benih fana yang memabukkan, beri mereka pengertian.


Bahwa yang putih belum tentu bersih pun yang hitam belum tentu kelam.
Siapkan pasukan di garda paling depan, menjaga apa yang sudah di dalam pun
mencegah apa yang akan masuk.
Majulah dengan cerdas, berbudayalah dengan tetap berkelas

Anda mungkin juga menyukai